"Kau pasti lapar, ya?"
Loura yang mulai kehilangan fokus penglihatan karena kepeningan menghantam kian kuat kepala, namun masih bisa dilihat si pemilik pertanyaan yang berdiri menjulang di hadapannya.
Loura tidak sempat memberikan respons, tak ingin juga menyahut. Tapi, di tangannya sudah diletakkan sebuah bungkusan. Entah berisi apa.
"Aku kelebihan membeli burger. Aku rasa aku hanya akan makan satu. Jadi, ada sisa untukmu."
Loura belum menunjukkan reaksi apa pun. Mulut dibungkam, padahal ia ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan Bear.
Ya, Loura memang punya panggilan khusus. Nama asli dari Bear tidak diketahui secara pasti. Tidak ada niatan untuk bertanya juga. Biarkan menjadi misteri.
"Terima kasih." Loura berucap tulus.
"Sama-sama. Nanti, kalau aku punya makanan lebih lagi, aku akan berikan padamu."
Loura hanya mengangguk. Tak ada kata-kata yang ingin dilontarkan. Namun kemudian, ia hendak mengatakan sesuatu. Sebuah pertanyaan.
Mulut yang sudah dibuka untuk berbicara, kembali ditutup karena sebuah mobil berhenti tepat di depannya dan Bear. Selang beberapa detik saja, empat orang pria bertubuh besar dengan wajah sangat keluar. Lalu, mendekati mereka.
"Akhirnya, kita menemukan gadis kecil bernama Loura Quinn ini, setelah satu jam mencari."
Saat namanya disebut, seluruh tubuh Loura pun merinding. Rasa takut mulai menyerangnya. Firasat memberi tahu bahwa akan ada buruk terjadi.
Loura hendak kabur menyelamatkan diri. Namun, Bear memeluknya dengan erat. Seketika Loura merasa bahwa ia tidak sendiri. Ada orang lain yang akan melindunginya.
"Untuk apa kalian mencari Loura Quinn?"
"Kami akan mengajak dia pergi jauh, Bocah. Jadi, serahkan temanmu itu kepada kami."
"Aku tidak akan membiarkan kalian membawa Loura pergi! Sialan kalian semua!"
"Kau menyebut kami apa? Sialan? Kurang ajar sekali kau bocah tengik!"
"Kau akan mati di tangan kami bocah kecil!"
Bughh!
Bughh!
Bughh!
Tubuh Loura semakin gemetar menyaksikan perkelahian hebat di depannya. Hantaman demi hantaman dilakukan para penjahat pada Bear.
Tidak hanya pukulan, senjata tajam berupa pisau juga digunakan untuk melukai tubuh Bear. Darah mengalir cukup deras dari beberapa bagian tubuh Bear. Para penjahat tidak segan menyakiti.
Loura merasakan guncangan hebat. Tubuh menggigi hebat karena takut. Sementara, rasa pusing di kepala terus menghantam.
Beberapa detik kemudian, akhirnya Loura kehilangan kesadaran. Ia tak akan pernah bisa melupakan wajah lebam Bear yang dipenuhi luka dan tetesan darah, sebelum dirinya menutup mata.
………………..
"Arghhh!" seru Loura kesakitan karena hantaman pusing luar biasa menyerangnya, saat kedua mata sudah membuka.
Badan Loura bergetar hebat. Air mata begitu deras mengaliri kedua pipinya. Keringat juga keluar kian banyak. Sudah membasahi wajah dan bahkan pakaiannya. Tubuh Loura juga menggigil kuat.
Mata yang masih tergenangi oleh cairan bening, coba diedarkan untuk melihat sekeliling. Loura tak perlu lama menyadari, dimana dirinya berada.
Benar, ruangan kerja. Loura sendiri tengah duduk di kursi kebesarannya yang mewah.
"Ak … Aku bermimpi lagi." Loura berucap sangat pelan dengan napas beratnya.
Loura berupaya untuk kembali berpikir jernih, walau tekanan dari rasa takut terus menguji keberanian dirinya melawan jerat kejadian keji di masa lalu.
Menghantui menerus sebagai mimpi mengerikan setiap saat. Paling sering di malam hari. Namun, tak jarang dialaminya ketika siang juga, seperti sekarang.
Loura tidak pernah bisa merasakan terlelap dengan nyaman dan mendapatkan bunga tidur yang indah. Sebuah kemustahilan tak mungkin terwujud selama rasa bersalah menghantuinya setiap waktu.
Drrtt ….
Drrtt ….
Dengan tangan masih gemetar, Loura berupaya cepat mengambil ponselnya di atas meja. Nama penelepon tidak ada. Nomor yang tak dikenalnya.
Loura tidak bisa memfungsikan otaknya secara baik, memikirkan kemungkinan-kemungkinan kenapa ada orang asing bisa menghubunginya.
Loura tak berniat mengabaikan. Ia mengangkat panggilan tersebut. Namun kemudian, diam. Ditunggu si penelepon bicara dahulu.
"Selamat siang. Apa aku benar bicara dengan Loura Quinn?"
Suara berat seorang pria. Nadanya datar.
"Iya, benar. Saya sendiri Loura Quinn. Maaf, ini dari siapa? Ada kepentingan apa menghubungi saya?" Loura bertanya dengan hati-hati.
"Aku saudara Bear. Kau mencari dia bukan? Kau menyewa seorang detektif dewasa?"
Loura seketika merasakan sekujur tubuhnya jadi merinding bukan main. Ucapan si pria di ujung telepon selanjutnya, tak bisa Loura dengar. Masih diselimuti ketidakpercayaan dan rasa kaget besar.
"Kau membicarakan soal Bear? Apakah dia masih hidup? Tolong beri tahu ak--"
"Kau akan tahu, kalau kau bersedia bertemu denganku, Loura Quinn. Aku juga ingin tahu alasanmu mencari saudaraku."
Loura sudah menunggu selama satu jam di kafe. Belum ada tanda-tanda tamu yang ditunggunya datang. Namun, Loura optimis akan tetap bisa bertemu. Harapannya sudah terlalu besar.Sudah belasan tahun cukup baginya menanti untuk mendapatkan informasi tepat soal Bear. Dan kali ini, ada kesempatan baginya untuk tahu.Loura bahkan sudah berandai-andai. Jika Bear memang masih hidup dengan keadaan yang baik, ia akan bahagia luar biasa.Tentu, menemui Bear adalah keinginan terbesar Loura selanjutnya. Permintaan maaf hendak ia lakukan secara langsung pada Bear.
"Jadi, dia tertangkap?" Berrand memastikan.Rahang wajah semakin mengeras, mendengar penjelasan dari salah satu anak buahnya di seberang telepon.Berrand sangat jelas tidak menyukai informasi yang didapatkan, tak sesuai akan rencana sudah dibuatnya.Berrand mengartikan kegagalan sebagai sebuah kelemahan. Untuk menutupi dan melampiaskan, maka ia akan murka."Apa kau bilang?" Berrand menggeretakkan gigi."Mereka mempunyai bukti yang kuat?" Nada suaranya semakin meninggi karena emosi."Shit!""Sialannn!" Berrand mengumpat lagi, lebih emosi.Selesai mengumpat dengan cukup kencang, Berrand pun bangun dari kursi kerjanya. Ia mengambil gelas berisi wine terlebih dulu, sebelum berjalan menuju ke balkon.Handphone dijauhkan dari telinga, tetapi tetap dipegang dengan erat di tangan kiri.Benda tersebut tak m
"Apa kau tidak capek berdiri terus?"Berrand mengangguk segera, walau dalam gerakan yang pelan, tanpa menoleh ke arah Lauren. "Tidak.""Bagaimana keadaan dia sesungguhnya?"Berrand masih memusatkan objek pandang paa si sosok wanita asing dengan tatapan tajam, namun ekspresi datar. Bahkan, tidak terbaca emosi yang Berrand sedang rasakan."Entahlah ... belum pasti."Berrand menoleh ke arah Lauren, kali ini. "Apa maksudmu menjawab seperti itu?" Kecurigaan pun muncul."Kau sungguh tidak tahu siapa dia?"Berrand menggeleng kecil, dilakukan sekali saja. "Tidak," jawabnya dengan nada datar."Kapan kau menemukan dia di depan?""Aku lupa," sahut Berrand jujur. Karena, ia memang tidak ingat sedikit pun kapan waktunya."Dia tidak mengalami luka-luka yang parah di wajah atau badannya, hanya lecet-lecet."Berrand
Pukul tiga dini hari, lebih tiga puluh menit.Kurang lebih dua jam lagi yang tersisa, menuju pertunjukkan sunrise dan langit California kesukaannya dari atas balkon kamar.Berrand pun memutuskan memperpanjang waktunya untuk tak tidur, jika sampai nanti terlelap, maka tidak dapat diabadikannya momen sang fajar meninggalkan peraduan.Prediksi cuaca yang bagus, tanpa mendung, merupakan kesempatan bagus.Pasti akan dihasilkan pemandangan yang memanjakan mata. Berrand enggan untuk melewatkan.Kopi menjadi solusi guna mencegah kantuk. Memang tidak benar-benar berhasil hingga seratus persen bekerja dengan baik. Namun, yakin bisa bertahan sampai jam enam nanti.Berrand pun menikmati peracikan kopinya yang dilakukan seorang diri, walaupun rasa dihasilkan tidak akan sesempurna barista profesional.Namun, layak diminum. Berrand juga membuat dua buah pa
"Mr. Berrand ...,"Panggilan namanya dalam suara sopan dan segan oleh Arnen Louis, membuat perhatian segera dialihkan dari dokumen ke sosok salah satu ajudan terbaiknya itu. Arnen sedang berdiri di depan meja kerjanya."Kapan Lauren akan tiba di sini?" Langsung saja dilontarkan informasi yang ingin diketahui."Miss Lauren tidak mengangkat telepon.""Shitt!" umpat Berrand kesal, secara spontan.Suasana hatinya yang sudah buruk, semakin diperburuk oleh pemberitahuan tak dikendakinya. Jelas memicu emosi dan amarahnya menjadi tambah meluap."Mr. Bryan juga tidak bisa saya hubungi."Berrand tak menanggapi apa-apa kali ini untuk laporan diberikan oleh Arnen, tetapi kedua tangan semakin mengepal di meja. Rahang wajahnya juga tambah mengetat."Apa saya perlu menelepon dokter lain saja? Saya punya kenalan seorang dokter da—""Tidak perlu."
"Mr. Berrand ...,"Panggilan namanya dalam suara sopan dan segan oleh Arnen Louis, membuat perhatian segera dialihkan dari dokumen ke sosok salah satu ajudan terbaiknya itu. Arnen sedang berdiri di depan meja kerjanya."Kapan Lauren akan tiba di sini?" Langsung saja dilontarkan informasi yang ingin diketahui."Miss Lauren tidak mengangkat telepon.""Shitt!" umpat Berrand kesal, secara spontan.Suasana hatinya yang sudah buruk, semakin diperburuk oleh pemberitahuan tak dikendakinya. Jelas memicu emosi dan amarahnya menjadi tambah meluap."Mr. Bryan juga tidak bisa saya hubungi."Berrand tak menanggapi apa-apa kali ini untuk laporan diberikan oleh Arnen, tetapi kedua tangan semakin mengepal di meja. Rahang wajahnya juga tambah mengetat."Apa saya perlu menelepon dokter lain saja? Saya punya kenalan seorang dokter da—""Tidak perlu."
Pukul tiga dini hari, lebih tiga puluh menit.Kurang lebih dua jam lagi yang tersisa, menuju pertunjukkan sunrise dan langit California kesukaannya dari atas balkon kamar.Berrand pun memutuskan memperpanjang waktunya untuk tak tidur, jika sampai nanti terlelap, maka tidak dapat diabadikannya momen sang fajar meninggalkan peraduan.Prediksi cuaca yang bagus, tanpa mendung, merupakan kesempatan bagus.Pasti akan dihasilkan pemandangan yang memanjakan mata. Berrand enggan untuk melewatkan.Kopi menjadi solusi guna mencegah kantuk. Memang tidak benar-benar berhasil hingga seratus persen bekerja dengan baik. Namun, yakin bisa bertahan sampai jam enam nanti.Berrand pun menikmati peracikan kopinya yang dilakukan seorang diri, walaupun rasa dihasilkan tidak akan sesempurna barista profesional.Namun, layak diminum. Berrand juga membuat dua buah pa
"Apa kau tidak capek berdiri terus?"Berrand mengangguk segera, walau dalam gerakan yang pelan, tanpa menoleh ke arah Lauren. "Tidak.""Bagaimana keadaan dia sesungguhnya?"Berrand masih memusatkan objek pandang paa si sosok wanita asing dengan tatapan tajam, namun ekspresi datar. Bahkan, tidak terbaca emosi yang Berrand sedang rasakan."Entahlah ... belum pasti."Berrand menoleh ke arah Lauren, kali ini. "Apa maksudmu menjawab seperti itu?" Kecurigaan pun muncul."Kau sungguh tidak tahu siapa dia?"Berrand menggeleng kecil, dilakukan sekali saja. "Tidak," jawabnya dengan nada datar."Kapan kau menemukan dia di depan?""Aku lupa," sahut Berrand jujur. Karena, ia memang tidak ingat sedikit pun kapan waktunya."Dia tidak mengalami luka-luka yang parah di wajah atau badannya, hanya lecet-lecet."Berrand
"Jadi, dia tertangkap?" Berrand memastikan.Rahang wajah semakin mengeras, mendengar penjelasan dari salah satu anak buahnya di seberang telepon.Berrand sangat jelas tidak menyukai informasi yang didapatkan, tak sesuai akan rencana sudah dibuatnya.Berrand mengartikan kegagalan sebagai sebuah kelemahan. Untuk menutupi dan melampiaskan, maka ia akan murka."Apa kau bilang?" Berrand menggeretakkan gigi."Mereka mempunyai bukti yang kuat?" Nada suaranya semakin meninggi karena emosi."Shit!""Sialannn!" Berrand mengumpat lagi, lebih emosi.Selesai mengumpat dengan cukup kencang, Berrand pun bangun dari kursi kerjanya. Ia mengambil gelas berisi wine terlebih dulu, sebelum berjalan menuju ke balkon.Handphone dijauhkan dari telinga, tetapi tetap dipegang dengan erat di tangan kiri.Benda tersebut tak m
Loura sudah menunggu selama satu jam di kafe. Belum ada tanda-tanda tamu yang ditunggunya datang. Namun, Loura optimis akan tetap bisa bertemu. Harapannya sudah terlalu besar.Sudah belasan tahun cukup baginya menanti untuk mendapatkan informasi tepat soal Bear. Dan kali ini, ada kesempatan baginya untuk tahu.Loura bahkan sudah berandai-andai. Jika Bear memang masih hidup dengan keadaan yang baik, ia akan bahagia luar biasa.Tentu, menemui Bear adalah keinginan terbesar Loura selanjutnya. Permintaan maaf hendak ia lakukan secara langsung pada Bear.
"Kau pasti lapar, ya?"Loura yang mulai kehilangan fokus penglihatan karena kepeningan menghantam kian kuat kepala, namun masih bisa dilihat si pemilik pertanyaan yang berdiri menjulang di hadapannya.Loura tidak sempat memberikan respons, tak ingin juga menyahut. Tapi, di tangannya sudah diletakkan sebuah bungkusan. Entah berisi apa."Aku kelebihan membeli burger. Aku rasa aku hanya akan makan satu. Jadi, ada sisa untukmu."Loura belum menunjukkan reaksi apa pun. Mulut dibungkam, padahal ia ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan