Lara Hati
Sepulang dari kantor, Rafan langsung ke rumah Marsha yang ia bangun sebelum pernikahan pertamanya. Lelaki itu keluar dari mobil dan mengetuk pintu. Sebenarnya ia ingin langsung pulang ke rumahnya karena tidak ingin membuat Raline menunggu terlalu lama.
Selang beberapa menit, pintu terbuka lebar menampilkan sosok perempuan yang cantik. Ia mengajak Rafan masuk.
Mereka masuk, langsung ke dalam kamar karena status memang sudah halal. Perempuan bernama Marsha itu melepas jilbab yang menutupi kepala, lalu merapikan rambutnya. Rafan masih berdiri kaku, di hati dan pikiran lelaki itu hanya ada bayangan Raline yang menunggu dengan khawatir.
“Kenapa kamu memintaku ke sini?” tanya Rafan sambil mendudukkan diri di tempat tidur.
Marsha hanya tersenyum, lalu melangkah ke meja rias. Tangan mulus itu meraih lipstik lalu memoles ke bibir tipisnya. Ia cantik. “Apa aku tidak bisa meminta suamiku datang ke sini?” tanya Marsha sambil m
Hati Ini Untuk RalineAku baru saja tiba di rumah Marsha, sebenarnya ingin langsung pulang ke rumah, tetapi ponsel tidak sengaja tertinggal di kamar saat di-charger. Entah apa yang ada dalam pikiran Raline karena tidak ada kabar sama sekali, tadi malam pun entah kenapa rasanya sangat mengantuk sehingga tidak sanggup untuk pulang atau sekadar mengabari.Aku buka pesan WhatsApp, tetapi tidak ada chat dari Raline. Apa ia tidak khawatir atau rindu pada suami sendiri?Notifikasi messenger berbunyi, rupanya dari Raline. Aku mengambangkan senyuman.[Pulang kapan, Fan? Soalnya kalau pulang hari ini aku akan masak untukmu.][Maaf sebelumnya mengganggu.]Ia mengirim pesan dengan menyertakan emoji yang mengatupkan kedua tangan. Aku scrool pesan terdahulu dan kaget. Ternyata Marsha mengirim pesan hoax padanya. Pasti Raline merasa cemburu dan terluka lagi.Argh!Raline tidak pernah mengganggu bahkan selalu aku rindukan. Andai saja bis
Kekuatan CintaAku duduk termangu depan rumah karena tidak tahu harus berbuat apa. Awan tebal menutupi seluruh langit hingga cuaca siang ini cukup terlihat mendung. Angin sepoi berembus menembus kulit yang hanya tertutup daster panjang.Tukang bakso lewat sambil tangannya memukul mangkuk dengan sendok, gegas aku melangkah ke luar karena kebetulan ada selembar uang dua puluh ribu di kantong daster yang aku temukan saat mencuci celana Rafan tadi.“Bakso, Bang!” panggilku.Penjual bakso yang masih muda itu menoleh, lalu menghentikan langkahnya. Gerobak warna merah muda dihiasi stiker love, mungkin ia seperti pujangga atau musafir cinta. Diva juga mendekat beriringan dengan Sita sambil meringis seperti kuda.“Semangkuk, Kak?” tanya penjual bakso, aku menangguk.Diva dan Sita sudah sampai. “Suka bakso, Lin?” tanya Diva.“Enggak, suka penjualnya,” jawabku ketus, tetapi berhasil mem
Cincin CoupleAku memainkan ponsel sementara Farah menerima panggilan telepon. WhatsApp aku cek karena di Facebook tidak ada sesuatu yang menarik. Mataku tertuju pada nomor yang belum disimpan ke kontak, ia mengganti foto profilnya dengan dua tangan.Saat aku klik, ternyata itu sepasang tangan berpegangan yang saling memakai cincin. Cincin pasangan tepatnya. Aku perhatikan dengan seksama, tangan itu jelas milik Rafan Aditia. Ternyata mereka punya cincin, tetapi saat Rafan pulang aku tidak melihat selain cincin pernikahan kami.“Lagi liatin apa, Lin?” tanya Farah.Aku memperlihatkan gambar itu padanya. Ia menatap penuh tanya. “Itu tangan Rafan, Far. Nomor ini milik Marsha,” jelasku.“Kamu yakin?”“Aku yakin sekali itu tangan Rafan. Ada tahi lalat kecil di jari manisnya,” jawabku dengan suara lirih.“Lin, kamu harus tanya ke Rafan dulu. Pasti ia bisa jelasin, jangan mudah perca
Nasihat Ustazah NurSudah tiga hari Ibu menginap di sini, saatnya weekend. Sabtu ini Rafan ke rumah Marsha karena harus menemani entah kemana tadi, sepertinya sedang liburan karena mertuanya juga ikut. Aku mengizinkan bahkan memaksa Rafan untuk pergi. Meski penuh rasa malas, akhirnya ia beranjak.Hari sudah sore, tepat pukul tiga. Akan tetapi Rafan belum juga pulang. Jika pun akan menginap seharusnya memberi kabar.“Kamu mau hatimu bisa lebih ikhlas? Ibu tahu kamu memikirkan Rafan, bukan?”“Aku mau belajar tentang keikhlasan, Bu. Begitu sulit menjalaninya. Ia seperti tawadu, mudah diucapkan susah dipraktikan. Ngomong-ngomong caranya gimana, Bu?”“Assalamualaikum.” Suara di balik pintu menarik perhatian.“Itu adalah jawaban atas pertanyaan kamu, Lin. Buka pintu!”Aku gegas berdiri, lalu membuka pintu. Rupanya Ustazah Nur. Mungkin Ibu sengaja mengundang atau ada hal lain sehingga bel
Kekuatan Datangnya Dari AllahHari minggu ini cucian tetap sama seperti kemarin. Hanya saja aku lelah setelah mengepel seluruh ruangan. Rafan memang membantu, tetapi tentu tidak aku biarkan membantu terlalu banyak karena esok ia akan kembali ke kantor mencari nafkah dan berhadapan dengan komputer.Untung Ibu bersedia memasak sehingga aku bisa merebahkan diri sekejab di depan televisi sambil menonton acara apa saja. Merebahkan diri sejenak memang menyenangkan karena membuat nyaman, tetapi jika terlalu lama akan menjadi sakit juga.Sesuatu yang nyaman apabila terlalu lama akan membuat sakit. Seperti itu pula manusia, maka jangan terlalu nyaman padanya.Ah, aroma masakan Ibu mengusik indra penciuman karena tadi pagi hanya sarapan roti. Rafan masih di depan rumah mencuci mobil dan motor. Saat aku lirik jam, sudah menunjuk angka 10. Pasti cuaca di luar sudah panas.Aku melangkah ke pintu depan. Saat terbuka, ternyata Diva ada di depan terus mengaj
Sabar Itu Indah“Ibu sama siapa nanti di rumah? Kalau sendiri akan sepi, Bu.”“Ibu ditemani sepupu kamu, Si Dea.”Aku bernapas lega karena rumah Dea memang dekat dari rumah Ibu, hanya beberapa meter saja. Aku mencium tangan Ibu, lalu tangan Rafan setelah itu mereka naik ke mobil dan membelah jalan membiarkanku seorang diri di rumah.Hari ini tidak tahu harus melakukan apa, sepi kembali menemani. Aku seakan dipeluk paksa sunyi yang menjadikanku rindu masa kecil dengan keluarga yang masih lengkap. Angan hanya sebatas angan, nyatanya belum ada calon bayi dalam rahim yang sudah lama tidak disentuh.Jam sudah menunjuk angka sembilan, tidak terasa waktu bergulir begitu cepat padahal sedang sendiri. Mungkin karena membiarkan tiap detik berlalu dengan khayalan. Sebenarnya ini sama saja membuang waktu, harusnya dimanfaatkan selagi ada kesempatan karena waktu selalu ada, tetapi tidak dengan kesempatan.Di luar sana banyak orang
Pendar KebahagiaanPagi ini hujan mengguyur begitu deras disertai angin yang teramat kencang. Suasana di luar rumah begitu gelap sehingga Rafan memutuskan untuk libur sendiri saja. Aku duduk di depan televisi sambil membalut diri dengan jaket dan selimut, di samping ada Rafan dengan jaket tebal pula.“Sayang, bagi selimutnya, dong!”Aku mengangguk membiarkan Rafan menutupi diri dengan selimut juga. Di depan kami terhidang teh hangat. Cuaca begitu menusuk bahkan aku mengenakan kos kaki karena tidak tahan. Jangankan untuk membuka pintu, menengok di balik jendela saja sudah takut bukan main.Tadi Ibu sempat menelepon katanya ditemani Dea dan itu membuatku bisa bernapas lega. Suasana yang amat mencekam membuatku ingin berkumpul dengan keluarga, ingin memastikan mereka baik-baik saja. Semoga pula Marsha sedang tidak sendirian di rumah, Rafan bilang WhatsApp-nya tidak aktif sejak tadi malam.“Ya Allah, aku mohon redakan hujan dan angin
Nahkodaku KembaliKapal kembali berlayar di dua samudera karena nahkoda telah kembali. Meski jika sampai di pelabuhan, ia harus pergi ke kapal yang kedua tidak apa-apa. Ketika semua terasa damai dengan ikhlas dan sabar, aku pasti akan mengulum senyum meski pahit.Kebahagiaan benar datang dari diri kita sendiri. Jika terus memikirkan hal yang bisa membuat sedih, maka otomatis otak merespon dan wajah pun tertekuk bagai pakaian yang tak disetrika. Air mata akan luruh karena luka dalam hati.Akan tetapi, jika memikirkan sesuatu yang indah misal burung berkicauan di taman-taman penuh bunga bermekaran, tentu ketenangan akan datang dan bibir pun mengulum senyum paling manis. Bersikap tenang di saat seharusnya amarah meledak-ledak adalah sesuatu yang membanggakan karena jarang orang yang bisa seperti itu.“Tandas!” ucapku bangga. Rasa kenyang sudah berhasil membuat mood semakin bagus.“Farah?” Suara Rafan membuatku menol
POV AUTHORBaru saja selesai mandi, Raline merasakan nyeri di bagian pinggangnya. Dia memanggil Rafan dengan suara sangat lemah. Beruntung lelaki itu memang berada di depan kamar. Melihat sang istri kesakitan, dia langsung membopongnya."Kenapa, Sayang?" tanya Rafan khawatir."Sakit, Fan. Kayaknya udah mau lahiran deh!" pekik Raline sambil memejamkan mata. Dia benar-benar lemah.Rafan dengan gerak cepat membawa sang istri ke mobil. Di depan dia bertemu sahabatnya. "Raline mau lahiran, kalian tolong bawa perlengkapan, susul segera!""Oke, Fan!" Mei dan Farah melangkah cepat sementara mobil yang membawa Raline sudah meninggalkan halaman rumah. Ibu Raline memilih tidak ikut karena terlalu takut. Dia berdoa di rumah saja.Setibanya di rumah sakit tepat di ruang persalinan setelah tiga jam menunggu, Raline mengalami kontraksi hebat. Para perawat dan bidan yang sejak tadi menunggu mulai mengecek pembukaan.Sementara di ruang tunggu, Farah d
Mentari pagi telah menyapa begitu hangat. Hujan tadi malam menyisakan genangan yang berangsur hilang. Aku jalan-jalan pagi di depan rumah sambil melafazkan zikir untuk perlindungan dari mata jahat.Sepagi ini pula Rafan menyalakan mesin motor dan melajukan menuju pasar karena harus membeli tiga potong ayam ukuran jumbo. Mei dan Farah itu raja makan sehingga kalau dua potong saja tidak akan cukup.Tidak lupa aku menitip beberapa cemilan juga pada Rafan karena ingat pada Salsa. Ah, bukan sepenuhnya pada anak Mei itu tetapi juga ibu dan sahabat ibunya.“Olaraga, Bu?”Aku menoleh, rupanya itu Diva dan Sita. Baru kali ini aku melihat Diva memakai gamis dan jilbab panjang.“Iya.”“Kamu gak nanya aku mau ke mana?”“Enggak.”“Meski gak nanya aku tahu kamu kepo, Lin. Aku sebenarnya lagi jogging ngikutin calon suami. Ya sudah, bye!”Aku memutar bola mata malas, sungguh ti
“Jika sabar itu ada ujungnya, mungkin aku telah menjauh dari sumber luka. Jika sabar itu tidak berbuah surga, maka tidak mungkin aku terus bermain dalam taman penuh luka. Pun jika sabar menghadapi cobaan bukan bagian dari titah dalam agamaku, maka aku akan berlari dari takdir.”—Putri Raline.***Seperti hari-hari sebelumnya aku hanya bisa banyak bergerak di depan rumah. Rafan membuka toko lebih pagi karena ada Ibu yang membantu kami mengurus rumah. Tidak ada agenda jalan-jalan seperti pasangan pada umumnya.Dulu kami selalu menanti weekend, sekarang semua hari pun sama saja. Tidak harus liburan ke luar juga karena kondisi yang tidak memungkinkan. Ibu hamil sebaiknya banyak di rumah dan olahraga kecil agar proses lahiran lancar.Matahari sudah semakin menyengat, aku kembali masuk dalam kamar karena keringat sudah sedikit membasahi tubuh. Aku langsung masuk kamar mandi agar tubuh segar lagi.Setelah mandi dan mengenakan daster ukura
“Percayalah! Beratnya memaafkan bukanbesarnya kezhaliman orang kepadamu, melainkan hatimu yang kurang luas untuk menampung semua beban.Kala hatimu lapang, kesalahan orang hanyalah warna-warna gelap yang justru memperkaya lukisan di kanvas kehidupanmu.”—S.Aminah Al Attas***“Ibu bahas apa saja sama Rafan?” tanyaku saat Ibu tengah mencuci piring bekas makan tadi.“Ibu bahas semua yang kamu ceritakan. Kenapa memangnya?”“Rafan belum mengajak kamu ngobrol semalam?” tanya Ibu lagi setelah hening dua menit. Ia ikut duduk di kursi meja makan.“Belum, Bu. Aku pura-pura tidur karena mau tahu dulu Ibu bahas apa saja.”Ibu hanya tersenyum, lalu memintaku menyusul Rafan dalam kamar. Tanpa menunggu waktu lagi kaki menuntun diriku masuk kamar.Aku meraih gagang pintu dan membuka perlahan. Rafan terlihat duduk di kursi rias seperti sedang latihan drama atau entahlah.
Jam sepuluh pagi aku baru selesai mandi karena lepas salat subuh tadi ketiduran. Bagaimana tidak tidur, sepanjang malam begadang karena jadi langganan kamar kecil.Setelah makan, aku melangkah pelan ke toko menghampiri Rafan. Butuh beberapa menit baru sampai, ternya sedang sepi. Mungkin baru pulang atau entah.Dari dalam muncul Diva sambil tersenyum manis. “Rafan, sejak kapan ....”“Anu tadi, an–”“Tadi ke sini karena ada satu hal. Kalau begitu aku pulang dulu, ya.”“Fan, jangan lupa. Siang atau sore nanti aku balik,” tambah Diva, lalu melenggang pergi.Aku diam menantikan penjelasan. Namun, lelaki itu hanya bisa menunduk. Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.“Assalamualaikum.”Aku menoleh pada pemilik suara itu. Ia tersenyum, di kantong mata dan beberapa bagian wajahnya tergambar keriput.“Waalaikumussalam, Ibu,&rdqu
[Kamu ke sana jam berapa, Lin?]Pesan WhatsApp pribadi yang dikirim Mei subuh tadi baru aku baca setelah hampir pukul delapan pagi.[Jam delapan, insya Allah, Mei. Kamu sama siapa?][Nebeng sama sepupu. Kebetulan ia mau keluar dan lewatin rumah Farah.][Oke, kalau begitu kita ketemu di sana saja.][Sip.]Aku meletakkan ponsel dan melangkah ke cermin. Sudah bagus dengan make up minimalis. Untung saja Farah ingat kalau aku sedang hamil tua jadi diberi baju ukuran jumbo.Rafan pun telah siap, aku gegas mengambil tas kecil berwarna putih, lalu melangkah ke luar bersama Rafan. Diva berdiri setelah melihat kami.Sejak pukul enam pagi tadi ia sudah ada di sini. Entah ia mandi sebelum subuh atau entahlah. Make up ia poles di ruang tamu, bahkan jilbabnya sekalian. Ia benar-bemar tidak ingin ketinggalan.Aku jadi semakin penasaran seperti apa rupa calon suaminya. Ia memakai dress warna silver untung saja tidak senada dengank
“Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”—QS. Al-Baqarah ayat 187.***Badai pernikahan pasti berlalu meski dalam waktu yang lama. Aku hanya harus bersabar sedikit lagi. Tentang foto Marsha kemarin, biarlah dilupakan dahulu.Aku menghampiri Rafan yang tengah menyeduh teh hangat. Besok pernikahan Farah, barangkali ia lupa. “Fan?”“Raline. Duduklah!”“Besok kita ke nikahan Farah, 'kan?” tanyaku setelah mengempas bokong di kursi.“Insya Allah, kenapa?”“Aku pikir kamu lupa.Rafan memamerkan gigi putihnya. Benar-benar bosan kala pembicaran habis. Seperti anak remaja akan badmood saat tidak ada bahasan yang harus dibahas lagi.Entah untuk pacar, sahabat atau gebetan. Tepatnya kehabisan kata-kata.Sudah tiga hari hujan mengguyur menjadikan pakaian kadang tidak kering te
“Aku pulang dulu, ya, Lin. Sudah mau pukul lima sore. Nanti orang di rumah nyariin lagi,” ucap Farah dengan raut sedih.Memang kami sering bertemu, tetapi ketahuilah bahwa jika kita punya teman yang bisa membawa kedamaian pasti akan selalu rindu untuk bertemu dan seperti itulah kawan terbaik. “Hum.”“Tenang saja, aku bakal ke sini lagi. Namun, harus kamu dulu yang datang ke pernikahan aku.”“Aku hamil tua, Far.” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara sedih. Dilema.“Yang penting hadir. Kamu sama Mei di dalam kamar saja. Nanti aku sediain kamar si samping kamar pengantin khusus untuk sahabat tercinta. Oke?”“Jangan mencoba beralasan lagi atau persahabatan kita cukup sampai di sini.”“Kalau misal aku lahiran?”“Kamu boleh tidak hadir kalau lagi sakit, lahiran atau semoga enggak, meninggal. Oke?”“Insya Allah, Farah. Kamu sahaba
Minggu ini Rafan izin jogging sebentar karena badannya pegal. Aku mengiyakan dengan syarat tidak membawa ponsel dan dompet. Jika membawa keduanya tentu bisa jauh perginya.Teringat saat pertama ia bertemu dengan Diva. Hal itu bisa terjadi lagi jika tidak berusaha dihindari. Netra memandang ke nakas, di sana ada dompet Rafan sementara ponsel ia charger.Aku beranjak dari kursi rias, lalu menuju nakas. Dompet kulit berwarna cokelat kini dalam genggaman. Sungguh sudah lama aku tidak memegan dompet ini sehingga penasaran dengan isinya.Ada dua atm di sana yang aku tidak tahu berapa saldonya. Aku cek lagi ada beberapa lembar uang merah bergambar presiden pertama, Soekarno Hatta. Namun, saat melihat ke arah KTP, jantung berdebar cepat karena ada sesuatu yang mengganjal.Aku mencopot KTP itu dan ternyata berhasil membuat lidah kelu. Jantung memompa cepat dan aku langsung menjatuhkan diri di tepi ranjang.“Foto Marsha?” gumamku.Pa