Sepeninggal Ayah
Weekend telah tiba, tetapi senyuman hangat belum juga tercetak di bibirku. Entah kenapa pagi ini aku ingin menangis padahal tidak ada yang melukai hati, Rafan pun merasakan hal yang sama katanya.
Rasa gunda terus menyelimuti tubuhku, hingga kaki mondar mandi depan kamar sambil memegang ponsel. Bingung harus mengabari siapa atau entah. Kali ini aku dibuat bingung sama perasaan sendiri.
Aku menghela napas lega dan berhenti mondar-mandir setelah melihat Rafan keluar dari kamar. Ia telah berpakaian rapi dengan warna abu basah, serasi denganku. Kami bahkan sudah mandi pagi tanpa tahu harus ke mana.
“Sayang.”
“Iya?”
“Perasaanku makin gak enak. Kenapa, ya?”
Baru saja aku ingin menjawab asal pertanyaan Rafan, ponsel tiba-tiba berdering. Panggilan dari Ibu menambah debar dalam dada. Kudekatkan ponsel ke telinga dan langsung terhubung. Di balik telepon terdengar tangis yang tertahan.
Duka Dalam CintaAku ingin berlari dari takdir yang tidak pernah diangan-angankan sebelumnya, tetapi sejauh apa pun melangkahkan kaki tetap akan kembali ke tempat semula. Kehadiran Marsha bukan hanya melukai Raline, tetapi juga hati ini. Bukan hanya melukai, tetapi memupuskan harapan untuk berdua hingga ke surga Allah.Bukannya tidak bisa tegas dalam mengambil keputusan, tetapi takut keputusan yang aku beri tidak adil. Sekarang hanya mampu dihantui bayangan penyesalan yang tidak bisa diperbaiki.Aku tipe manusia yang malas mengungkap segala yang ada dalam hati dan tidak punya teman untuk diajak berbagi cerita. Dulu ada, tetapi ia sudah meninggal tiga bulan sebelum pernikahanku dengan Raline. Sekarang hanya Allah saja.Setiap malam aku berusaha merayu Tuhan dalam sepinya malam. Air mata menjadi saksi bisu bahwa hati ini juga terluka. Mungkin Raline mengira aku tidak memikirkan perasaannya karena tidak terlihat sedih.Bukan tidak sedih, tetapi
Secawan Madu“Diam. Jangan katakan apa pun. Biarkan air matamu menceritakan semuanya. Ketika hati mulai terbakar, baunya seperti dupa.”—Maulana Jalaluddin Rumi.***Rafan benar pergi bersama Marsha sehingga aku hanya sendiri dalam rumah. Suasana tentu amat sepi apalagi tahu suami sedang bersama istri keduanya. Sepertinya Rafan menolak pergi bersama Marsha, tetapi perempuan kedua itu keras kepala sampai menjemput Rafan.Aku tahu suamiku tidak sampai hati membiarkan istri pertamanya sendirian di rumah teruma saat hari libur. Namun, tuntutan untuk berbuat adil lah yang memaksanya. Aku paham betul air muka yang ia tampilkan.Saat aku lirik jam, sudah menunjuk angka satu siang. Hari ini libur beribadah sehingga benar-benar tidak ada aktivitas. Ingin ke rumah Kak Rina dan menceritakan semuanya juga tidak mungkin apalagi jika harus ke rumah mertua. Untung saja belum ada buah hati di rumah ini karena akan menangis melihat Ayahnya dibawa p
Pelukan Nestapa“Kamu tidak ingin apa, Fan?” tanyaku penasaran.“Aku tidak ingin menorehkan luka lagi dalam hatimu. Ketika kamu terluka, aku merasakannya, Sayang,” jawab Rafan dengan suara tertahan. Air matanya berlinang. Ia memang lelaki yang bisa dikata mudah menangis.“Marsha sudah menjadi istrimu. Namun, tidak mungkin juga kamu tidur di depan tv, Sayang.”“Mungkin jika aku mau, tetapi aku ingin bersamamu.”Aku menggeleng sambil terus menitikkan air mata. “Bukan aku tak ingin bersamamu, Sayang. Hanya saja Marsha juga seorang perempuan, bisa jadi ia terluka dan merasa diperlakukan tidak adil.”Rafan hanya diam sambil mengatupkan bibir yang dihiasi kumis tipis. Suara di dapur merusak suasana, aku dan Rafan melangkah ke sana dan menemui Marsha tengah memasak. Ia tersenyum padaku. “Maaf, Lin. Aku lancang memasak karena mungkin kamu sedang sibuk.”Senyuman yang ia b
Lara HatiSepulang dari kantor, Rafan langsung ke rumah Marsha yang ia bangun sebelum pernikahan pertamanya. Lelaki itu keluar dari mobil dan mengetuk pintu. Sebenarnya ia ingin langsung pulang ke rumahnya karena tidak ingin membuat Raline menunggu terlalu lama.Selang beberapa menit, pintu terbuka lebar menampilkan sosok perempuan yang cantik. Ia mengajak Rafan masuk.Mereka masuk, langsung ke dalam kamar karena status memang sudah halal. Perempuan bernama Marsha itu melepas jilbab yang menutupi kepala, lalu merapikan rambutnya. Rafan masih berdiri kaku, di hati dan pikiran lelaki itu hanya ada bayangan Raline yang menunggu dengan khawatir.“Kenapa kamu memintaku ke sini?” tanya Rafan sambil mendudukkan diri di tempat tidur.Marsha hanya tersenyum, lalu melangkah ke meja rias. Tangan mulus itu meraih lipstik lalu memoles ke bibir tipisnya. Ia cantik. “Apa aku tidak bisa meminta suamiku datang ke sini?” tanya Marsha sambil m
Hati Ini Untuk RalineAku baru saja tiba di rumah Marsha, sebenarnya ingin langsung pulang ke rumah, tetapi ponsel tidak sengaja tertinggal di kamar saat di-charger. Entah apa yang ada dalam pikiran Raline karena tidak ada kabar sama sekali, tadi malam pun entah kenapa rasanya sangat mengantuk sehingga tidak sanggup untuk pulang atau sekadar mengabari.Aku buka pesan WhatsApp, tetapi tidak ada chat dari Raline. Apa ia tidak khawatir atau rindu pada suami sendiri?Notifikasi messenger berbunyi, rupanya dari Raline. Aku mengambangkan senyuman.[Pulang kapan, Fan? Soalnya kalau pulang hari ini aku akan masak untukmu.][Maaf sebelumnya mengganggu.]Ia mengirim pesan dengan menyertakan emoji yang mengatupkan kedua tangan. Aku scrool pesan terdahulu dan kaget. Ternyata Marsha mengirim pesan hoax padanya. Pasti Raline merasa cemburu dan terluka lagi.Argh!Raline tidak pernah mengganggu bahkan selalu aku rindukan. Andai saja bis
Kekuatan CintaAku duduk termangu depan rumah karena tidak tahu harus berbuat apa. Awan tebal menutupi seluruh langit hingga cuaca siang ini cukup terlihat mendung. Angin sepoi berembus menembus kulit yang hanya tertutup daster panjang.Tukang bakso lewat sambil tangannya memukul mangkuk dengan sendok, gegas aku melangkah ke luar karena kebetulan ada selembar uang dua puluh ribu di kantong daster yang aku temukan saat mencuci celana Rafan tadi.“Bakso, Bang!” panggilku.Penjual bakso yang masih muda itu menoleh, lalu menghentikan langkahnya. Gerobak warna merah muda dihiasi stiker love, mungkin ia seperti pujangga atau musafir cinta. Diva juga mendekat beriringan dengan Sita sambil meringis seperti kuda.“Semangkuk, Kak?” tanya penjual bakso, aku menangguk.Diva dan Sita sudah sampai. “Suka bakso, Lin?” tanya Diva.“Enggak, suka penjualnya,” jawabku ketus, tetapi berhasil mem
Cincin CoupleAku memainkan ponsel sementara Farah menerima panggilan telepon. WhatsApp aku cek karena di Facebook tidak ada sesuatu yang menarik. Mataku tertuju pada nomor yang belum disimpan ke kontak, ia mengganti foto profilnya dengan dua tangan.Saat aku klik, ternyata itu sepasang tangan berpegangan yang saling memakai cincin. Cincin pasangan tepatnya. Aku perhatikan dengan seksama, tangan itu jelas milik Rafan Aditia. Ternyata mereka punya cincin, tetapi saat Rafan pulang aku tidak melihat selain cincin pernikahan kami.“Lagi liatin apa, Lin?” tanya Farah.Aku memperlihatkan gambar itu padanya. Ia menatap penuh tanya. “Itu tangan Rafan, Far. Nomor ini milik Marsha,” jelasku.“Kamu yakin?”“Aku yakin sekali itu tangan Rafan. Ada tahi lalat kecil di jari manisnya,” jawabku dengan suara lirih.“Lin, kamu harus tanya ke Rafan dulu. Pasti ia bisa jelasin, jangan mudah perca
Nasihat Ustazah NurSudah tiga hari Ibu menginap di sini, saatnya weekend. Sabtu ini Rafan ke rumah Marsha karena harus menemani entah kemana tadi, sepertinya sedang liburan karena mertuanya juga ikut. Aku mengizinkan bahkan memaksa Rafan untuk pergi. Meski penuh rasa malas, akhirnya ia beranjak.Hari sudah sore, tepat pukul tiga. Akan tetapi Rafan belum juga pulang. Jika pun akan menginap seharusnya memberi kabar.“Kamu mau hatimu bisa lebih ikhlas? Ibu tahu kamu memikirkan Rafan, bukan?”“Aku mau belajar tentang keikhlasan, Bu. Begitu sulit menjalaninya. Ia seperti tawadu, mudah diucapkan susah dipraktikan. Ngomong-ngomong caranya gimana, Bu?”“Assalamualaikum.” Suara di balik pintu menarik perhatian.“Itu adalah jawaban atas pertanyaan kamu, Lin. Buka pintu!”Aku gegas berdiri, lalu membuka pintu. Rupanya Ustazah Nur. Mungkin Ibu sengaja mengundang atau ada hal lain sehingga bel