Bab 4. Mencari Informasi

Bab 4. Mencari Informasi

Kenapa aku mengatakan bahwa aku sedang mabuk? Ya karena aku tahu Riko tidak akan mungkin mau menemuiku dalam keadaan sehat atau apalah itu.

Riko adalah orang terdekat suamiku, sudah pasti ia akan lebih condong pada Daniel ketimbang diriku.

Setelah menelponnya dan pura-pura sedang mabuk, entah terpaksa atau tidak aku yakin Riko pasti akan segera menghampiriku di kafe Horizon.

Benar saja, tidak sampai tiga puluh menit pria itu datang membawa motor matiknya dan menghampiri mobilku. Memang kejahatan tapi apa boleh buat, aku terpaksa membohonginya.

Pria itu berjalan cepat, wajahnya tampak cemas dan khawatir. Menuju ke pintu mobil, dengan sigap ia mengetuk-ngetuk kaca mobil.

"Nyonya, Nyonya Devi, buka pintu mobilnya." Riko berkata di luar sana sambil terus mengetuk pintu mobil.

Aku menghela napas, membuka pintu lalu memandangnya cukup lama. Seperti dugaanku, Riko tercengang dengan apa yang ia lihat. Tidak mabuk dan ia melihatku dalam keadaan sehat wal Afiat.

"Nyonya, Anda—"

"Maafkan aku Mas Riko tapi aku butuh ngobrol sama kamu," ucapku sambil memandang wajahnya dengan serius.

Pria itu seperti ular yang terperangkap, jangankan berlari, ia bahkan tidak bisa pergi kemana-mana lagi.

"Nyonya membohongiku?" desisnya dengan wajah kecewa.

"Maaf, tapi aku terpaksa melakukannya." Akuku sambil keluar dari dalam mobil. "Bisa kita masuk ke dalam sebentar? Ada hal yang ingin kubicarakan."

Riko hanya pasrah, ia mengekor di belakangku dan masuk kembali ke dalam kafe.

Setelah memesankan Riko minuman, aku menatap pria itu dengan pandangan seksama dan cukup lama. Kami terlibat diam hingga akhirnya Riko sendirilah yang mencairkan suasana tersebut.

"Apa yang ingin Nyonya katakan? Apakah ada hubungannya dengan Tuan Daniel?" Riko bisa menebak, ia memandangku tak kalah tajam.

Aku hanya mengangguk, terus memandang tanpa ada rasa jemu. "Katakan padaku Mas Riko, siapa Anggun itu."

Riko terdiam, ada wajah terkejut yang bisa aku tangkap dari perubahan wajahnya.

"Katakan saja apa yang kau ketahui dari orang itu. Aku tidak akan marah meskipun itu cukup menyakitkan bagiku," terangku dengan suara pelan namun tertahan.

Riko masih diam, ia tertunduk. Antara bicara atau tidak, ia benar-benar terperangkap dalam kondisi yang sama sekali tidak ia ingini.

Aku menghela napas, mengucap terima kasih pada pelayan yang datang mengantarkan pesanan minum untuk Riko kala itu.

"Katakan saja Mas, bukankah aku ini juga temanmu?" kataku berusaha untuk mengambil hati Riko lebih jauh. "Kau tak perlu takut karena aku tidak akan mungkin memarahimu."

"Anggun itu—" Riko masih tampak berat untuk mengaku. Ia tertunduk lagi dengan wajah tampak begitu tegang. "Dia mantan kekasih Daniel waktu SMA."

"Oh ya?" Alisku terangkat sebelah. Meski sesak itu nyata terasa, aku mencoba untuk sabar dan melanjutkan tugasku mencari informasi. "Apakah mereka masih memiliki hubungan sampai sekarang?"

"Nyonya, kenapa kau bertanya begitu?" Riko terlihat tertekan, meski menyembunyikan sesuatu ia tampak berusaha membela dirinya sendiri.

"Jika kau memang temanku, tolong ceritakan padaku tentang detail hubungan mereka. Please Mas Riko, tolong aku."

Riko terkatup, sungguh tidak dinyana kenapa ia bisa terperangkap seperti ini. Berbekal rasa kasihan, ia sendiri yang justru mendapatkan getah dari perbuatan tuannya.

"Apakah mereka berselingkuh?" tanyaku lagi. Bahkan tak kuijinkan Riko bernapas barang sejenak kali ini.

Pria itu mengembuskan napas dengan berat, tertunduk sejenak ia kembali memandangku. "Ya, mereka masih berhubungan sampai sekarang. Bahkan dia pergi ke Bali bukan untuk rapat melainkan —"

"Aku sudah tahu," selaku sambil menatap Riko. Kami terlibat saling adu pandang. "Mas Daniel tidak pernah mencintaiku jadi wajar jika dia mencintai wanita lain di belakangku."

Suasana mendadak canggung, tak ada percakapan lagi diantara kami. Hanya ada beberapa tawa dari meja lain yang tampaknya tengah menikmati kebersamaan mereka.

"Lalu apa rencanamu Nyonya? Apakah kau akan pasrah seperti sebelum-sebelumnya?" Riko kali ini menatapku dengan perasaan nyeri. Mungkin pria itu mulai mengasihaniku sehingga ia bertanya seperti itu kepadaku.

Aku pura-pura mengulas senyum dan mengendikkan bahu. "Entahlah. Jujur saja, aku tidak bisa meninggalkan Mas Daniel karena aku sangat mencintainya."

"Cinta tak harus terluka," tandasnya dengan tegas. Aku pun kembali memandangnya, "Aku mengatakan hal ini sebagai temanmu, Nyonya. Kamu salah jika kamu membiarkan dirimu terus-menerus merasa terluka seperti ini."

Aku menarik napas, memainkan jari-jariku di atas meja. Suasana canggung itu terus berlanjut hingga akhirnya ponselku berdenting.

[Aku akan pulang besok pagi, tolong siapkan dirimu karena aku akan membawa kejutan untukmu. ]

Membaca pesan Daniel seperti membaca pesan dari neraka. Terdiam dan tak bersuara, aku menyimpan kembali ponselku di dalam tas tangan.

'Kejutan apa yang ingin kau perlihatkan padaku Mas? Apa? Apakah ini tentang perselingkuhanmu?!' batinku bertanya-tanya hingga dadaku terasa begitu sesak. 'Mari kita lihat, seperti apa kejutan yang kau janjikan itu.'

**