Bab 3. Pura-pura Tak Peduli
Dikecewakan Daniel bukanlah yang pertama kali bagiku. Selama ini aku hidup bersama Daniel, banyak kekecewaan yang harus kutelan mentah-mentah termasuk tidak pernah disentuh di setiap malam-malam panjang. Demi cintaku pada Daniel, aku rela menelan semuanya dan pura-pura tak peduli. Entah sampai kapan, aku sendiri tidak tahu. Semalam aku lagi-lagi harus merasakan ranjang dingin tanpa pangeranku tersebut. Entah karena urusan apa, aku sendiri tidak tahu kenapa Daniel begitu buru-buru meninggalkan diriku tanpa memberitahu. Demi menjaga pikiran tetap waras, aku memilih untuk pergi mencari kopi bersama para sahabatku. Duh, sudah lama sekali aku tidak merasakan kumpul bersama teman-teman. Maka siang itu rencana yang sudah lama terpendam akhirnya terwujudkan. Kukumpulkan semua teman yang kupunya agar suasana semakin meriah. Jam satu siang tepatnya di cafe Horizon, cafe langganan kami selama ini jika ingin berkumpul bersama-sama. Dengan tawa cekikikan mereka, aku bisa menghilangkan lara hati akibat dikecewakan oleh Daniel. "Lihat-lihat, aku punya koleksi tas baru dong. Beli di Singapura," ucap Ratih sambil memamerkan tas kulit warna merah bata kepada kami semua. "Ciee ... Tapi produk Singapura murah-murah, kamu beli yang KW ya," timpal Dania pura-pura mengolok-olok Ratih. "Enak aja KW, gini-gini yang beliin Mas Rudi tahu!" Ratih merengut, tidak terima tas yang ia pamerkan dibilang KW. Seluruh teman menyorakinya hingga suasana kafe terasa ramai seolah cafe itu milik sendiri. Sementara aku hanya senyam-senyum melihat canda tawa mereka yang menghibur. Jujur saja aku cemburu pada Ratih, ia tidak kaya tapi pasangannya begitu memperhatikan fasion dan kebutuhannya. Rudi bukanlah orang penting seperti Daniel tapi pria itu mampu membuat seorang Ratih yang cuek bebek bisa klepek-klepek jatuh cinta padanya. "Yuk foto-foto dulu yuk terus upload di I*," seru Dania ketika tidak ingin kehilangan momen kebersamaan kami siang ini. Segera saja niatnya yang bagus itu disambut teman-teman yang lainnya. Alhasil, kami pun foto-foto dengan seru lalu menguploadnya di I* masing-masing. "Tunggu, tunggu!" Pamela tiba-tiba berseru, ia lalu menunjukkan sesuatu di ponselnya pada Dania yang kebetulan duduk di sebelahnya. Setelah melihat apa yang ditunjukkan Pamela, wajah Dania terlihat sangat terkejut. "Devi, coba lihat deh! Bukankah ini Daniel, suamimu?" Dania tiba-tiba mengajakku bicara. Aku yang saat itu tengah sibuk menyedot es kopi cappucino milikku segera mendongak. Dania menunjukkan foto yang dimaksud di ponsel Pamela. "Kok seperti Daniel, ya? Apa aku sendiri yang salah lihat." "Coba lihat, coba lihat!" seru yang lainnya dengan rasa penasaran tinggi. Dalam sekejap seluruh teman-temanku melihat foto itu. Foto dimana Mas Daniel tengah berfoto mesra dengan seorang wanita di sebuah pantai dan juga kue ulang tahun di tangan mereka. "Fotonya baru diupload pagi tadi loh. Dan yang upload itu si Anggun, teman kuliahku pas di Jogja." Pamela menjelaskan bagaimana ia bisa menemukan foto tersebut. "Apakah dia pacarnya Daniel?" Dania tanpa sadar bertanya pada Pamela. "Eh, bukan. Mungkin dia sedang reuni sama temannya," ucap Ratih buru-buru berseru. Sebagai teman, Ratih tahulah bagaimana perasaanku sekarang. "Jangan terlalu dipikir Dev, mungkin itu hanya foto lama yang baru-baru ini diupload sama si Anggun. Kamu jangan percaya foto itu ya." Ratih meraih tanganku, menggenggamnya supaya aku tidak hilang kendali saat ini. Meskipun aku merasakan sangat pahit, aku pura-pura tersenyum saja sama mereka. "Biarkan saja, aku tidak terlalu memperdulikan kok. Yuk kita nikmati kebersamaan ini sama-sama," ucapku seolah-olah aku adalah wonder woman tak terkalahkan. "Yeeay ... Asyik!" seru yang lainnya. "Oh ya, aku dengar di kafe ini ada fitur baru loh. Katanya bisa karaoke sepuasnya. Bagaimana kalo kita coba?!" "Wah seru tuh, yuk karaoke sama-sama." Dania terlihat begitu bersemangat. Ia pun buru-buru memesan tempat untuk berkaraoke tanpa harus mengganggu pelanggan lain. Alhasil pertemuan kami siang itu benar-benar menghibur. Dalam sekejap aku bisa melupakan keresahan serta kekecewaanku dibohongi Mas Daniel. Setelah hampir tiga jam kumpul-kumpul bersama, kami akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku yang kala itu membawa mobil sendiri tak kunjung pulang dan memilih untuk berdiam diri dulu di dalam mobil. Perasaanku sangat resah. Meskipun aku terhibur dengan kekocakan temanku, jujur aku tidak mungkin bisa mengabaikan apa yang kulihat saat itu. Menelan ludah pahit, aku memejamkan mata beberapa saat. Ya Tuhan ini hanya mimpi, tolong katakan padaku bahwa foto yang kulihat tadi benar-benar tidak nyata. Mengembuskan napas di udara, aku mengecek ponsel. Tak ada panggilan ataupun pesan. Ya, Mas Daniel terbiasa tanpaku sehingga apa pun yang terjadi ia tidak pernah menghubungiku. Iseng-iseng memencet nomer ponselnya, aku hanya ingin dengar suaranya dan juga kabarnya. Itu pun jika aku beruntung dan Mas Daniel mau menunjukkan suaranya. "Halo," suara Mas daniel terdengar di telingaku. Rupanya dia masih peduli dan mau mengangkat panggilanku. "Mas, kamu dimana? Kenapa pergi tidak bilang-bilang dulu sama aku," protesku dengan nada selembut mungkin. Tidak, aku tidak boleh menunjukkan sisi amarahku karena foto itu. "Aku sedang di Bali, ada rapat dadakan di sini. Sudah, jangan telepon-telepon lagi. Kau hanya akan mengganggu pertemuanku dengan klien nanti." Daniel tampak tidak suka dengan panggilanku. Terlihat bagaimana ia langsung memutuskan panggilan begitu saja. Aku terdiam, firasatku terasa makin kuat. Ia tidak mungkin sedang rapat, apalagi dadakan seperti ini. Biasanya, meskipun ia sibuk ia masih mau berbincang denganku dua atau tiga menit lamanya. Mengembuskan napas sesak sekali lagi, perasaanku benar-benar tidak tenang. Sampai kapan aku harus mengalah dan bersikap pura-pura tak peduli seperti ini?! Menatap ponsel sekali lagi, aku memutar otak untuk mencari informasi. Ya, Riko. Kenapa aku tidak menanyakan hal itu pada Riko? Toh kemarin sepertinya ia juga tampak menyembunyikan sesuatu dariku. Berbekal rasa penasaran itu, aku menghubungi Riko via telepon. "Hallo, Riko, bisakah kau menemuiku di kafe Horizon?" kataku dalam panggilan tersebut. "Aku, aku sedang mabuk." **Bab 4. Mencari InformasiKenapa aku mengatakan bahwa aku sedang mabuk? Ya karena aku tahu Riko tidak akan mungkin mau menemuiku dalam keadaan sehat atau apalah itu.Riko adalah orang terdekat suamiku, sudah pasti ia akan lebih condong pada Daniel ketimbang diriku.Setelah menelponnya dan pura-pura sedang mabuk, entah terpaksa atau tidak aku yakin Riko pasti akan segera menghampiriku di kafe Horizon.Benar saja, tidak sampai tiga puluh menit pria itu datang membawa motor matiknya dan menghampiri mobilku. Memang kejahatan tapi apa boleh buat, aku terpaksa membohonginya.Pria itu berjalan cepat, wajahnya tampak cemas dan khawatir. Menuju ke pintu mobil, dengan sigap ia mengetuk-ngetuk kaca mobil."Nyonya, Nyonya Devi, buka pintu mobilnya." Riko berkata di luar sana sambil terus mengetuk pintu mobil.Aku menghela napas, membuka pintu lalu memandangnya cukup lama. Seperti dugaanku, Riko tercengang dengan apa yang ia lihat. Tidak mabuk dan ia melihatku dalam keadaan sehat wal Afiat."Nyonya
Bab 5. Menyambut Daniel Pulang"Nyonya, kamu baik-baik saja?" Riko melambaikan tangannya di depanku, membuatku sedikit tersentak dan sadar akan lamunan yang entah sudah berapa lama."Ah, tidak. Sampai mana percakapan kita tadi?" balasku pura-pura kembali ke topik bahasan. Riko tak menjawab, ia merasa tidak enak hati terlebih melihat wajahku yang nampak tertekan karena informasi itu."Maafkan aku Nyonya, meskipun aku teman baik Tuan Daniel tapi aku tidak mampu menasehatinya untuk menjadi pasangan yang baik," ujar Riko dengan perasaan resah.Untuk menyamarkan ketidaknyamanan itu, Riko meraih cangkir kopi dan menyeruputnya pelan.Aku tersenyum tipis, mengusap dahiku yang berdenyut sakit akibat kenyataan di luar nalar ini. "Tidak apa-apa, aku justru berterima kasih sekali karena kamu sudah terbuka dengan hubungan gelap mereka."Riko manggut-manggut, ia menatap keluar cafe dimana senja perlahan mulai membayang di langit. "Jadi kau hanya pura-pura mabuk untuk menjebakku kemari?"Aku menatap
Bab 6. Tamu Tak Tahu DiriUntuk menutupi rasa terkejutku, aku hanya bisa diam dan terus mengamati mereka terlebih dua anak kembarnya yang menatapku dengan penuh rasa takut. Tidak, dia tidak boleh tahu bahwa aku terkejut apalagi terluka oleh perbuatannya tersebut.Menarik napas lalu manggut-manggut, aku menanggapinya dengan biasa. Tidak Devi, kamu harus kuat dan tidak boleh terlihat lemah.Tersenyum lebar, aku menatap Daniel dengan tatapan biasa sambil bersedekap."Oh jadi ini kejutan yang kamu katakan kemarin Mas?" tanyaku dengan nada sedikit guyon. "Tidak apa-apa, aku juga menyukai anak-anak."Untuk mengurangi ketegangan dalam batinku, aku mencoba tersenyum pada anak-anak itu dan menjawil pipinya yang gempil. "Aku harap aku juga bisa dipanggil mama oleh mereka."Daniel dan Anggun saling tatap, sepertiya mereka keheranan atas reaksi yang kutunjukkan. Tidak, tidak semudah itu kalian membuatku lemah dan menangis."Mari masuk, Bi Nani sudah menyiapkan sarapan pagi untukmu Mas." Berbalik
Bab 7. Rencana Selanjutnya"Kamu tak seharusnya bilang begitu Devi," dengkus Daniel lirih. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang dalam, bahkan untuk membela kekasih hatinya ia rela menghentikan makan dan melotot ke arahku.Aku mengendikkan bahu lalu tersenyum tipis, "kamu lupa Mas siapa aku di rumah ini. Boleh saja kamu menampung selingkuhanmu di sini, anggap saja aku kasihan pada bocah-bocah manis ini.""Dev!""Satu lagi Mas, tamu harusnya menghargai pemilik rumah ini. Meskipun ia sudah diberi jantung, aku harap ia cukup tahu diri dan mengerti untuk tidak lagi meminta hati." Aku tersenyum lalu menyeruput sisa susuku yang tinggal separuh.Meraih serbet di atas meja dan membersihkan noda di atas mulutku, sejenak kulirik dua bocah kembar itu yang tampak makan dengan belepotan. Duh, ibu mereka saja sibuk bermesraan hingga lupa seperti apa rupa anak mereka saat ini."Karena aku sudah selesai, aku akan istirahat dulu di kamar." Aku berpamitan sambil mengulas senyum, sebelum itu aku sempat m
Bab 8. Pembalasan PertamaSebagai istri sekaligus penguasa rumah, keputusanku paling mutlak untuk didengarkan oleh seluruh penghuni rumah termasuk Bi Nani. Setelah tahu Daniel hendak pulang dari Bali, firasatku sama sekali tidak enak. Ditambah lagi cerita dari Riko dan juga kejutan yang bakal diberikan suamiku, membuatku harus menyiapkan antisipasi pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.Maka malam itu setelah pertemuanku dengan Riko sekaligus datangnya pesan berbau aneh dari Daniel, aku meminta Bi Nani untuk menyiapkan serangkaian rencana yang tentunya hanya kami yang tahu."Bi, Tuan sepertinya mau pulang besok. Hanya saja saya merasa ganjil dengan pesan yang dikirim tadi sore," curhatku pada Bi Nani. Ya, Bi Nani sudah kuanggap seperti bibi sendiri. Jika aku ada keluhan, wanita paruh baya itulah yang pertama kali akan menolongku."Pesan apa Nyonya? Kenapa ganjil?" Bi Nani tak paham, ia yang duduk di lantai menatapku dengan tatapan polos.Aku menarik napas, mencoba menceritakan apa
Bab 9. Bagai KutukanMengabaikan pesan singkat Daniel yang menyatakan aku tidak boleh mengusik kekasih hatinya, pulang dari restoran mahal aku pun bergegas membersihkan diri. Karena saat itu sudah sore, aku meminta Bi Nani untuk menghidupkan saluran air yang tempatnya bersifat rahasia dan tentunya hanya kami yang tahu.Setelah mandi dan keramas tubuhku terasa sangat segar. Aroma sabun greentea dan juga aroma sampo yang serupa cukup menenangkan pikiranku yang stres akibat Anggun dan juga anak-anaknya.Duduk di ruang tengah, aku membawa segelas air putih dingin dan juga majalah baru. Tak harus bekerja, saham-saham ayahku cukup membuatku bisa jajan dan foya-foya setiap hari.Mataku melebar saat mendapati ruang tengah itu penuh dengan benda mainan dari kedua bocah yang katanya anaknya Anggun, aku duduk tak berkutik untuk beberapa saat. Jujur emosiku langsung naik, aku tak biasa melihat rumah ini berantakan barang sejenak. Entah apa yang dilakukan ibun
Bab 10. Surat PembuktianAku memang polos tapi kepolosanku tidak separah yang dibayangkan Daniel selama ini. Dia kira dengan membawa Anggun ke rumah maka aku bisa bungkam dan menyerah begitu saja, oh tidak. Tentu saja aku akan mempertahankan buku nikah kita dan tidak akan pernah menukarnya dengan surat perceraian dalam bentuk apa pun.Aku sendiri juga tidak pernah menduga jika kedatangan Anggun ada manfaatnya juga. Ya, selain menyaksikan drama gratis setiap hari, ternyata aku cukup terhibur dengan pertengkaran mereka yang sayup-sayup selalu kudengar setiap waktu.Ah, emang enak. Siapa suruh menyepelekan istri sah, Anggun sendiri seolah mendekati bara api setiap kali berpapasan denganku.Malam itu aku pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Sebuah botol kemasan berisi air mineral menjadi favoritku setiap hari. Melewati ruang tengah, dapat kulihat Daniel dan kekasih hatinya tengah menonton film romantis dari masa ke masa.Tertegun sejenak
Bab 11. PersyaratanMelihat Daniel memalingkan muka dari hadapanku, sudah pasti aku tahu apa yang menjadi jawaban dia sekarang. Menggigit bibir, aku berbalik dan duduk di pinggir ranjang. Kedua tanganku menggenggam erat, kepiluan yang kurasakan terjadi lagi malam ini."Aku tahu, kamu tidak sudi memiliki anak bersamaku bukan?!" Aku menunduk, sakit memang mengetahui jawaban itu dari pikiran kita sendiri. "Demi Anggun dan kedua putrimu, apakah kau juga ingin menceraikanku?"Kini aku mendongak, sengaja memandang ke arahnya dan ingin tahu jawabannya. Coba kita lihat, jawaban apa yang akan Daniel berikan padaku malam ini."Aku tak tahu," desahnya pelan sambil menyugar rambut. "Perusahaanku masih membutuhkan banyak dukungan investor termasuk ayahmu."Dadaku sesak untuk yang kedua kalinya. Ya, bagaimana tidak sesak, dia mencintai Anggun tapi enggan melepas harta kekayaan ayahku. Benar-benar licik!"Jadi kau tidak ingin menceraikanku kare
Bab 70. Ayah BaruAku dan Riko kini akhirnya bisa hidup satu atap. Setelah pernikahan, aku diboyong dan tinggal di sebuah perumahan yang cukup luas dan nyaman. Meski tidak semewah yang dulu, aku merasa hidupku jauh lebih berbahagia.Perumahan yang sekarang adalah hasil keringat Riko sejak tiga tahun yang lalu. Beruntungnya aku hanya tinggal dan menempatinya saja.Kami bertiga hidup di perumahan itu, memiliki kebun kecil yang sering kutanami sayur mayur dan beberapa jenis bunga. Tak heran jika rumahku paling hijau sendiri dibandingkan rumah-rumah yang lain.Jarak dari perumahan ke tempat kerja Riko juga tidak jauh. Tak perlu memakai mobil, Riko lebih senang mengendarai motornya untuk pergi bekerja. Benar-benar hidup yang sederhana namun bahagia."Hallo Alvaro, sudah makan belum nih? Nih ayah belikan biskuit buat kamu," ujar Riko setiap kali pulang dari tempat kerjanya di restoran.Pria itu sangat penyayang, sering mengajak Alvaro main cilukba bahkan saat ia baru pulang kerja dan capek.
Bab 69. Aku Mengaku KalahHari pernikahan telah ditentukan, seluruh keluarga kembali berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal mulai dari wedding organizer, konsep pernikahan, souvernir apa yang akan mereka beri untuk tamu, hingga jenis hidangan yang akan mereka suguhkan nanti.Semua orang begitu ribut membahas hal ini, beda dengan diriku dan Riko yang hanya pasrah dan menunggu clear saja.Setelah melakukan banyak persiapan yang hampir disiapkan sebulan penuh, hari bahagia itu akhirnya sampai juga di depan mata. Kami menggunakan konsep adat Jawa dimana kami memang sama-sama keturunan orang Jawa.Pernikahan digelar di sebuah gedung yang besar, mewah, meriah, dan banyak tamu yang diundang. Tentu saja penikahan kali ini tak kalah semarak dari pernikahanku yang dulu. Hanya bedanya, dulu pasanganku adalah pria dingin yang sama sekali tidak berniat untuk membalas cintaku sedangkan saat ini, pria yang berdiri di sampingku adalah pria baik hati yang akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
Bab 68. Kedatangan MantanMenahan napas beberapa detik, aku sadar jika kejadian seperti ini pasti bakal terjadi suatu saat. Ya, semenjak pisah dengan Daniel, aku memutuskan akur demi Alvaro. Akur di sini bukan berarti tidak ada lagi masalah, hanya saja aku memilih menghindar tiap kali bertemu Daniel.Pria itu akan datang beberapa bulan sekali untuk menjenguk Alvaro. Hanya Alvaro dan sama sekali tidak bertemu denganku. Bagaimana pun luka tetap saja luka, butuh waktu untuk benar-benar bisa menyembuhkannya."Ini bukan saat yang tepat Mas, aku masih bekerja." Aku mengucapkan alasan sambil menunduk, "mungkin nanti selepas dhuhur kamu bisa menemui Alvaro di rumah."Daniel menggeleng, tidak setuju dengan saran yang kuberikan."Tidak bisa, aku ada pekerjaan lain selepas dhuhur nanti." Daniel menolak ideku, matanya yang tajam kini memandangku, "aku bisa mengubahnya misal kau juga mau menemuiku nanti."Aku menelan ludah. Sulit rasanya menerima penawaran itu, selama ini setiap kali bertemu Alva
Bab 67. Lamaran"Iya, kamu jangan kaget." Ayah menepuk lenganku dengan lembut. "Ternyata Pak Effendi ini dulu temen perjuangan ayah waktu SMA. Kami punya hobi yang sama, sama-sama menyukai bonsai. Hanya baru akhir-akhir ini kami bertemu saat reuni sekolah."Ayah terkekeh, menggelengkan kepala sesaat. "Ternyata dunia ini tidak selebar daun kelor ya. Kukira siapa, ternyata kamu toh.""Dan yang lebih mengejutkannya lagi, si Devi ini sudah kenal Riko beberapa tahun belakangan. Bener-bener jodoh nggak sih Yah?" Ibu turut berbaur dengan perbincangan itu. Kedua keluarga saling terkekeh, berbagi kebahagiaan satu sama lain."Iya Pak, Bu, saya juga kaget ternyata ayah saya malah jauh lebih kenal keluarga ini ketimbang saya," ucap Riko dengan sopan. Pria itu sesekali melirikku yang tengah memangku Alvaro sambil tersenyum."Berarti memang benar-benar jodoh," timpal Pak Effendi mantap dan disambut tawa ceria yang lain."Oh ya Pak, Bu, silakan diminum dulu tehnya. Dimakan juga cemilannya," ucap ibu
Bab 66. Pernyataan Cinta"Ini?" Riko lalu mengalihkan pandangannya sendiri ke arah dekapannya. Ia lantas tertawa, "bukan. Ini keponakanku Dev. Anak dari kakak perempuanku, baru berusia sepuluh bulan.""Oh kirain anakmu," sahutku dengan wajah sedikit malu. Pria berkaos hitam itu hanya terkekeh sambil menimang-nimang keponakannya yang berjenis kelamin perempuan."Bukan. Aku masih single, belum memiliki istri apalagi anak," ujar Riko selaki lagi. "Oh ya, bisa kita ngobrol di sana nggak? Sambil minum kopi atau makan roti."Riko menunjuk pada salah satu stand yang menjajakan kopi dan juga roti. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Riko, tanpa basa-basi aku pun langsung mengiyakan saja."Kamu pesan apa? Aku hari ini yang akan mentraktirmu," ujar Riko setibanya di stand itu. Sambil mendudukkan keponakannya di pangkuan, Riko begitu luwes ketika memomong bayi berumur sepuluh bulan tersebut."Terserah kau saja," jawabku tanpa keberatan. Riko mengangguk, ia lantas melambaikan tangannya pada penj
Bab 65. Siapa yang Lebih Munafik?POV DeviAku masih diam, saat ini aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dengan kaki gemetar, aku melangkah untuk melihat bayi mungil tersebut dari dekat.Benar saja, kini terlihat jelas bagaimana wajah, dagu, alis, hingga warna kulitnya sama persis dengan Daniel. Aku menelan ludah, bagaimana pun aku benar-benar seperti ditusuk dari belakang oleh Daniel. Dia bilang nggak berbuat, dia bilang mungkin itu bayi orang lain tapi apa? Buktinya bayi ini bahkan amat sangat mirip dengannya. Memang, dosa akan bicara pada waktunya."Lihat Dev, bayinya mirip dengan Mas Daniel bukan?! Aku tidak berbohong. Aku memang hanya berbuat dengan dia seorang," ucap Anggun sambil menarik tanganku dengan lembut. "Tapi aku nggak tahu harus kukemanakan bayi ini. Mas Daniel terus saja mengelak, ia tidak ingin mengakui anak ini."Anggun mulai terisak, ada kesedihan di wajahnya kali ini. Sebagai seseorang yang sudah menjadi ibu, tentu saja aku tahu bagaimana perasaan Anggun saat
Bab 64. Bayi AnggunPOV AuthorDaniel tak bisa berkata-kata. Wajar jika Riko menyukai Devi, wanita itu sangat baik dan dermawan. Bahkan ketika ia disakiti selalu ada lautan maaf yang ia berikan. Kini, ketika Daniel mendapati kenyataan bahwa Riko juga menyukai Devi, Daniel tidak sanggup mengelak.Posisi pria itu makin terancam, ia tidak bisa bersaing dengan pria sebaik Riko. Sejauh ini hanya pria itulah yang benar-benar peduli pada Devi. Bahkan Riko mengaku jika ia tunduk dibawah kuasa Daniel bukan karena apa melainkan karena permintaan Devi sendiri kepadanya. Ya, saking cintanya Riko ia merendahkan harga dirinya dan membantu rivalnya dalam segala hal.Tertohok, tentu saja. Namun Daniel tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini kondisi rumah tangganya benar-benar berada di ujung tanduk. Karena hawa nafsunya, ia menanam benih pada orang yang salah dan pada akhirnya benih itu tumbuh dan kelak akan bersaksi atas perbuatan salahnya.Satu bulan berlalu, setelah ketahuan menyimpan foto-foto Devi
Bab 63. Penemuan FotoAlvaro, itu nama yang kuberikan pada bayi laki-laki yang kulahirkan beberapa hari yang lalu. Bermakna bijaksana, aku menyematkan harapan yang besar pada anak kesayanganku tersebut. Dilimpahi kasih sayang dari orang-orang terdekat, Alvaro adalah bocah yang penurut dan sangat manis.Setelah memandikannya dengan air hangat dan merawat pusarnya yang belum puput, kususui bayi itu agar tidak rewel dan lekas tertidur seperti sebelum-sebelumnya.Peranku cukup terbantu dengan adanya Bi Nani dan Ibu yang bahu membahu menggantikan posisiku ketika lelah. Mereka tidak membiarkan aku sendirian, selalu menemani dan mengobrol apa saja yang membuatku cukup terhibur dan tidak stres. Ya, Alvaro masih gemar begadang membuat kami bertiga harus bekerjasama untuk merawat bayi mungil berbobot dua setengah kilo gram tersebut."Apakah kau sudah minum susumu dengan baik?" tanya ibu saat mengecek vitamin yang harusnya kuminum pagi ini.Aku mendongak, mengalihkan perhatianku pada Alvaro yang
Bab 62. Tiba WaktunyaSetelah melakukan taruhan itu, aku dan Daniel memang tidak berdekatan satu sama lain. Aku sendiri juga heran, entah kemana perginya rasa cinta yang dulu pernah menggebu untuknya. Aku pun menikmati kesendirianku bersama orangtuaku di rumah yang lama.Seiring berjalannya waktu, kehamilanku telah menginjak usia sembilan bulan. Waktu yang sangat mendebarkan untuk menunggu anakku lahir ke dunia.Sepanjang itu banyak dukungan yang ditujukan kepadaku. Dania yang baru saja naik jabatan, mengirimi kami hadiah yang sangat mengesankan. Ya, sebuah dorongan bayi merek terkenal.Tak hanya Dania, Ratih dan Pamela pun memberikan kami hadiah yang tak kalah menarik. Kehadiran dan dukungan mereka benar-benar menjadi salah satu support sistem saat aku menjalani kehamilanku sendirian tanpa Daniel.Pagi itu aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Berjalan menyusuri taman atau bergerak apa saja guna memperlancar persalinanku nanti.Orangtuaku juga senang ketika aku bisa terpantau di r