Bab 6. Tamu Tak Tahu Diri
Untuk menutupi rasa terkejutku, aku hanya bisa diam dan terus mengamati mereka terlebih dua anak kembarnya yang menatapku dengan penuh rasa takut. Tidak, dia tidak boleh tahu bahwa aku terkejut apalagi terluka oleh perbuatannya tersebut. Menarik napas lalu manggut-manggut, aku menanggapinya dengan biasa. Tidak Devi, kamu harus kuat dan tidak boleh terlihat lemah. Tersenyum lebar, aku menatap Daniel dengan tatapan biasa sambil bersedekap. "Oh jadi ini kejutan yang kamu katakan kemarin Mas?" tanyaku dengan nada sedikit guyon. "Tidak apa-apa, aku juga menyukai anak-anak." Untuk mengurangi ketegangan dalam batinku, aku mencoba tersenyum pada anak-anak itu dan menjawil pipinya yang gempil. "Aku harap aku juga bisa dipanggil mama oleh mereka." Daniel dan Anggun saling tatap, sepertiya mereka keheranan atas reaksi yang kutunjukkan. Tidak, tidak semudah itu kalian membuatku lemah dan menangis. "Mari masuk, Bi Nani sudah menyiapkan sarapan pagi untukmu Mas." Berbalik badan, aku masuk duluan ke dalam rumah. "Tunggu!" Anggun bersuara, menghentikan langkah kakiku hingga aku berbalik menatap ke arahnya. Dengan wajah memuakkan, wanita berambut pirang itu tersenyum lebar. "Bisa bawakan koper kami masuk? Tamu adalah raja, bukankah begitu Sayang?" Hmm ... menjijikkan sekali. Wanita itu berani sekali memanggil sayang pada pria yang jelas-jelas bukan haknya dalam pernikahan. Tak mau kalah, aku pun tersenyum sambil melirik ke arah Daniel. "Tapi kamu melupakan sesuatu Mbak, saya di sini nyonya rumah. Meskipun Anda tamu, ratu rumah tidak akan mungkin mau membawakan koper. Bi Nani, tolong bawakan koper nyonya ini." Aku memanggil Bi Nani dengan suara sedikit keras, wajah wanita itu tampak kesal dan mendongkol. "Tidak usah, aku bisa sendiri," jawabnya dengan ketus sambil menarik koper ketika Bi Nani berlari keluar untuk membantu membawakan koper. Aku tersenyum tipis, sedikit merasa menang atas tingkah lakunya yang teramat sombong dan angkuh. Kami pun langsung berjalan menuju ke ruang makan. Seperti yang kujanjikan tadi, ruang makan sudah dipenuhi dengan makanan enak kesukaan Daniel. Kami bertiga sekaligus dengan anak-anak yang katanya buah hati mereka duduk di kursi yang berderet indah di ruang makan. "Mas, kamu mau makan apa? Ada rendang sapi loh. Bukankah kamu sangat suka rendang?" Anggun kini menebar kemesraan di depanku. Aku menyipitkan mata terlebih Daniel sama br*ngseknya dengan wanita itu. Ia tersenyum manis, senyum yang tidak pernah ditunjukkan kepadaku, istrinya. "Iya Sayang." Daniel mengangguk, mengiyakan saja apa yang dikatakan kekasih hatinya. Aku menghembuskan napas, mencoba untuk mengalihkan pandangan ke arah dua bocah kembar yang tengah memandangi kedua orang dewasa tersebut tanpa bersuara. Ih ... Darimana wanita pirang itu memungut anak-anak ini? Benarkah mereka adalah buah hati keduanya? "Nyonya, sepertinya kau terlalu asyik melayani suamiku hingga kau melupakan dua anakmu yang sama-sama kelaparan di sini," singgungku sambil tersenyum elegan. Ia memandangku dengan muak, memutar bola mata ia lantas melayani kedua anaknya yang terlihat kelaparan. Duh kasihan sekali. Aku menggeleng prihatin, memilih diam dan menyuapi mulutku sendiri dengan roti bakar yang tadi belum sempat kusentuh. Entah dimana otak Daniel saat ini. Tidakkah ia berpikir jika kesakitanku bisa jadi awal kehancuran karirnya di kantor. Ya, lima puluh persen saham kantornya adalah milik ayahku. Jika aku tidak kuat dan mengadu, bukankah itu artinya perusahaannya akan tamat? Entahlah, terkadang cinta membuat seseorang buta. Seperti diriku dan juga Daniel. Aku buta karena mencintainya, tak peduli ia balas perasaanku atau tidak yang penting aku bisa memilikinya. Sedangkan Daniel, dia tidak mencintaiku dan memilih wanita pirang itu untuk melabuhkan hasratnya. Sungguh dunia terbalik. "Dev," panggil Daniel mengalihkan pandanganku pada piring berisi roti. Pria itu menyendok nasi, mengunyahnya sambil menatapku. "Tolong siapkan kamar untuk Anggun dan anak kami untuk beberapa hari di sini. Sebelum aku menemukan apartemen yang bagus, aku ingin mereka tinggal di sini." Aku terdiam, berhenti mengunyah dan memandang Daniel. Tak menjawab dan memilih untuk melirik ke arah Anggun, aku bisa menangkap senyum kemenangan di wajah perempuan sial*n tersebut. "Kamu tidak keberatan kan? Lagipula rumah ini—rumahku juga," ucap Daniel mencoba untuk menindasku dengan cara mengatakan hak milik rumah yang kami tinggali. Aku menghela napas, menghabiskan sisa rotiku lalu manggut-manggut. Menatap mereka berdua, sebenarnya aku benci untuk berpura-pura. "Tentu saja, ini adalah rumahmu. Kau boleh memasukkan siapa saja yang boleh tinggal di dalam istanamu," ucapku tak keberatan sambil tersenyum. Daniel tampaknya puas dengan jawabanku. Ia menganggukkan kepala dan melanjutkan acara sarapannya dengan tenang. Kini pandanganku tertuju pada Anggun, ada rasa sakit yang diam-diam menumpuk di dalam hatiku. Dia kira aku bisa seikhlas itu apa ya? Oh tidak bisa. "Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat," ucapku kemudian. Daniel dan Anggun mengangkat wajah, mereka sama-sama memandangku. Aku menghembuskan napas dan masih tersenyum pada mereka. "Jangan melangkahi aturan yang ada. Bagaimana pun, akulah ratu dan nyonya di rumah ini." **Bab 7. Rencana Selanjutnya"Kamu tak seharusnya bilang begitu Devi," dengkus Daniel lirih. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang dalam, bahkan untuk membela kekasih hatinya ia rela menghentikan makan dan melotot ke arahku.Aku mengendikkan bahu lalu tersenyum tipis, "kamu lupa Mas siapa aku di rumah ini. Boleh saja kamu menampung selingkuhanmu di sini, anggap saja aku kasihan pada bocah-bocah manis ini.""Dev!""Satu lagi Mas, tamu harusnya menghargai pemilik rumah ini. Meskipun ia sudah diberi jantung, aku harap ia cukup tahu diri dan mengerti untuk tidak lagi meminta hati." Aku tersenyum lalu menyeruput sisa susuku yang tinggal separuh.Meraih serbet di atas meja dan membersihkan noda di atas mulutku, sejenak kulirik dua bocah kembar itu yang tampak makan dengan belepotan. Duh, ibu mereka saja sibuk bermesraan hingga lupa seperti apa rupa anak mereka saat ini."Karena aku sudah selesai, aku akan istirahat dulu di kamar." Aku berpamitan sambil mengulas senyum, sebelum itu aku sempat m
Bab 8. Pembalasan PertamaSebagai istri sekaligus penguasa rumah, keputusanku paling mutlak untuk didengarkan oleh seluruh penghuni rumah termasuk Bi Nani. Setelah tahu Daniel hendak pulang dari Bali, firasatku sama sekali tidak enak. Ditambah lagi cerita dari Riko dan juga kejutan yang bakal diberikan suamiku, membuatku harus menyiapkan antisipasi pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.Maka malam itu setelah pertemuanku dengan Riko sekaligus datangnya pesan berbau aneh dari Daniel, aku meminta Bi Nani untuk menyiapkan serangkaian rencana yang tentunya hanya kami yang tahu."Bi, Tuan sepertinya mau pulang besok. Hanya saja saya merasa ganjil dengan pesan yang dikirim tadi sore," curhatku pada Bi Nani. Ya, Bi Nani sudah kuanggap seperti bibi sendiri. Jika aku ada keluhan, wanita paruh baya itulah yang pertama kali akan menolongku."Pesan apa Nyonya? Kenapa ganjil?" Bi Nani tak paham, ia yang duduk di lantai menatapku dengan tatapan polos.Aku menarik napas, mencoba menceritakan apa
Bab 9. Bagai KutukanMengabaikan pesan singkat Daniel yang menyatakan aku tidak boleh mengusik kekasih hatinya, pulang dari restoran mahal aku pun bergegas membersihkan diri. Karena saat itu sudah sore, aku meminta Bi Nani untuk menghidupkan saluran air yang tempatnya bersifat rahasia dan tentunya hanya kami yang tahu.Setelah mandi dan keramas tubuhku terasa sangat segar. Aroma sabun greentea dan juga aroma sampo yang serupa cukup menenangkan pikiranku yang stres akibat Anggun dan juga anak-anaknya.Duduk di ruang tengah, aku membawa segelas air putih dingin dan juga majalah baru. Tak harus bekerja, saham-saham ayahku cukup membuatku bisa jajan dan foya-foya setiap hari.Mataku melebar saat mendapati ruang tengah itu penuh dengan benda mainan dari kedua bocah yang katanya anaknya Anggun, aku duduk tak berkutik untuk beberapa saat. Jujur emosiku langsung naik, aku tak biasa melihat rumah ini berantakan barang sejenak. Entah apa yang dilakukan ibun
Bab 10. Surat PembuktianAku memang polos tapi kepolosanku tidak separah yang dibayangkan Daniel selama ini. Dia kira dengan membawa Anggun ke rumah maka aku bisa bungkam dan menyerah begitu saja, oh tidak. Tentu saja aku akan mempertahankan buku nikah kita dan tidak akan pernah menukarnya dengan surat perceraian dalam bentuk apa pun.Aku sendiri juga tidak pernah menduga jika kedatangan Anggun ada manfaatnya juga. Ya, selain menyaksikan drama gratis setiap hari, ternyata aku cukup terhibur dengan pertengkaran mereka yang sayup-sayup selalu kudengar setiap waktu.Ah, emang enak. Siapa suruh menyepelekan istri sah, Anggun sendiri seolah mendekati bara api setiap kali berpapasan denganku.Malam itu aku pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Sebuah botol kemasan berisi air mineral menjadi favoritku setiap hari. Melewati ruang tengah, dapat kulihat Daniel dan kekasih hatinya tengah menonton film romantis dari masa ke masa.Tertegun sejenak
Bab 11. PersyaratanMelihat Daniel memalingkan muka dari hadapanku, sudah pasti aku tahu apa yang menjadi jawaban dia sekarang. Menggigit bibir, aku berbalik dan duduk di pinggir ranjang. Kedua tanganku menggenggam erat, kepiluan yang kurasakan terjadi lagi malam ini."Aku tahu, kamu tidak sudi memiliki anak bersamaku bukan?!" Aku menunduk, sakit memang mengetahui jawaban itu dari pikiran kita sendiri. "Demi Anggun dan kedua putrimu, apakah kau juga ingin menceraikanku?"Kini aku mendongak, sengaja memandang ke arahnya dan ingin tahu jawabannya. Coba kita lihat, jawaban apa yang akan Daniel berikan padaku malam ini."Aku tak tahu," desahnya pelan sambil menyugar rambut. "Perusahaanku masih membutuhkan banyak dukungan investor termasuk ayahmu."Dadaku sesak untuk yang kedua kalinya. Ya, bagaimana tidak sesak, dia mencintai Anggun tapi enggan melepas harta kekayaan ayahku. Benar-benar licik!"Jadi kau tidak ingin menceraikanku kare
Bab 12. Kedatangan Ayah dan IbuRencana kedatangan ayah dan ibu tentu saja membuatku terkejut, tidak habis pikir jika malam ini mereka akan datang secepat ini. Tentu saja aku tidak akan kelimpungan seandainya di rumah tidak ada wanita lain yang sedang menginap juga.Ekspresiku yang tampak bingung dapat dibaca oleh Riko, pria itu memperhatikan wajahku dengan seksama dan hati penuh tanda tanya."Ada apa Nyonya? Sepertinya kamu sedang bingung?" Riko memberanikan diri untuk bertanya, saking perhatiannya padaku sedari tadi ia juga tak kunjung memesan makanan.Aku menatap Riko sejenak, kepanikanku ini jelas sekali terbaca olehnya. Karena tak ingin memendam rasa bingungku sendirian, tak ada salahnya jika aku bercerita kepadanya bukan?!"Ayah dan ibu akan berkunjung malam ini, ada kemungkinan mereka akan menginap. Aku bingung, harus kukemanakan Anggun dan kedua anaknya," keluhku pada Riko yang terus saja menyimak ucapanku."Oh ya? Sebaga
Bab 13. Kado SpesialJarang-jarang ayah dan ibuku datang membawa hadiah. Sebagai pria yang tidak pernah kenal apa itu romantis dan sejenisnya, tentu saja aku terheran-heran sekaligus menebak-nebak kira-kira hadiah apa yang diberikan oleh ayahku. Mungkin itu tambahan saham? Liburan ke luar negeri? Atau sekedar jalan-jalan di wahana sekitar? Entahlah.Kini kami sekeluarga duduk di ruang makan. Bi Nani sudah sibuk sejak sore mengingat kedatangan orangtuaku di rumah. Sebagai pembantu yang dibawa ayah untuk melayaniku, tentu saja Bi Nani mendedikasikan hidupnya untuk melayaniku dan juga keluargaku.Tawa membahana di ruang makan, ayah banyak bercerita tentang hobi barunya kali ini. Setelah pensiun dari jabatannya di kantor, pria paruh baya itu ternyata menggilai bisnis bonsai. Ya, siapa yang tidak tahu bisnis itu. Jika berhasil, dalam sekejap saja orang yang menggelutinya akan jadi kaya raya."Lobsternya kelihatan sangat enak," puji Ayah saat melihat lo
Bab 14. Hubungan Tak SengajaTidak ada yang menyangka jika peristiwa langka itu bisa terjadi pada kami malam ini. Setelah dilanda gelora yang panas dan tidak mampu mengendalikan, barulah kami sadar ternyata pemicu dari semua ini adalah vitamin yang diberikan ayah dan ibu sehabis makan malam tadi.Nasi sudah menjadi bubur, ketika semuanya sudah berlalu yang ada hanyalah rasa canggung diantara kami berdua. Baik aku maupun Mas Daniel hanya bisa merenung, kami sama-sama tidak bisa menghindar dari nafsu yang melingkari kami beberapa waktu yang lalu.Bangun dari ranjang, kuraih pakaian yang berserakan di lantai. Sementara itu Daniel masih menutupi tubuhnya dengan selimut dan tertidur membelakangiku. Entah harus bahagia atau bagaimana, secara tidak langsung aku sudah mendapatkan hakku sebagai seorang istri di mata Mas Daniel. Sekarang aku sudah menjadi istri yang sah dan benar-benar sempurna di mata suamiku.Mengenakan kembali satu persatu pakaian yang t
Bab 70. Ayah BaruAku dan Riko kini akhirnya bisa hidup satu atap. Setelah pernikahan, aku diboyong dan tinggal di sebuah perumahan yang cukup luas dan nyaman. Meski tidak semewah yang dulu, aku merasa hidupku jauh lebih berbahagia.Perumahan yang sekarang adalah hasil keringat Riko sejak tiga tahun yang lalu. Beruntungnya aku hanya tinggal dan menempatinya saja.Kami bertiga hidup di perumahan itu, memiliki kebun kecil yang sering kutanami sayur mayur dan beberapa jenis bunga. Tak heran jika rumahku paling hijau sendiri dibandingkan rumah-rumah yang lain.Jarak dari perumahan ke tempat kerja Riko juga tidak jauh. Tak perlu memakai mobil, Riko lebih senang mengendarai motornya untuk pergi bekerja. Benar-benar hidup yang sederhana namun bahagia."Hallo Alvaro, sudah makan belum nih? Nih ayah belikan biskuit buat kamu," ujar Riko setiap kali pulang dari tempat kerjanya di restoran.Pria itu sangat penyayang, sering mengajak Alvaro main cilukba bahkan saat ia baru pulang kerja dan capek.
Bab 69. Aku Mengaku KalahHari pernikahan telah ditentukan, seluruh keluarga kembali berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal mulai dari wedding organizer, konsep pernikahan, souvernir apa yang akan mereka beri untuk tamu, hingga jenis hidangan yang akan mereka suguhkan nanti.Semua orang begitu ribut membahas hal ini, beda dengan diriku dan Riko yang hanya pasrah dan menunggu clear saja.Setelah melakukan banyak persiapan yang hampir disiapkan sebulan penuh, hari bahagia itu akhirnya sampai juga di depan mata. Kami menggunakan konsep adat Jawa dimana kami memang sama-sama keturunan orang Jawa.Pernikahan digelar di sebuah gedung yang besar, mewah, meriah, dan banyak tamu yang diundang. Tentu saja penikahan kali ini tak kalah semarak dari pernikahanku yang dulu. Hanya bedanya, dulu pasanganku adalah pria dingin yang sama sekali tidak berniat untuk membalas cintaku sedangkan saat ini, pria yang berdiri di sampingku adalah pria baik hati yang akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
Bab 68. Kedatangan MantanMenahan napas beberapa detik, aku sadar jika kejadian seperti ini pasti bakal terjadi suatu saat. Ya, semenjak pisah dengan Daniel, aku memutuskan akur demi Alvaro. Akur di sini bukan berarti tidak ada lagi masalah, hanya saja aku memilih menghindar tiap kali bertemu Daniel.Pria itu akan datang beberapa bulan sekali untuk menjenguk Alvaro. Hanya Alvaro dan sama sekali tidak bertemu denganku. Bagaimana pun luka tetap saja luka, butuh waktu untuk benar-benar bisa menyembuhkannya."Ini bukan saat yang tepat Mas, aku masih bekerja." Aku mengucapkan alasan sambil menunduk, "mungkin nanti selepas dhuhur kamu bisa menemui Alvaro di rumah."Daniel menggeleng, tidak setuju dengan saran yang kuberikan."Tidak bisa, aku ada pekerjaan lain selepas dhuhur nanti." Daniel menolak ideku, matanya yang tajam kini memandangku, "aku bisa mengubahnya misal kau juga mau menemuiku nanti."Aku menelan ludah. Sulit rasanya menerima penawaran itu, selama ini setiap kali bertemu Alva
Bab 67. Lamaran"Iya, kamu jangan kaget." Ayah menepuk lenganku dengan lembut. "Ternyata Pak Effendi ini dulu temen perjuangan ayah waktu SMA. Kami punya hobi yang sama, sama-sama menyukai bonsai. Hanya baru akhir-akhir ini kami bertemu saat reuni sekolah."Ayah terkekeh, menggelengkan kepala sesaat. "Ternyata dunia ini tidak selebar daun kelor ya. Kukira siapa, ternyata kamu toh.""Dan yang lebih mengejutkannya lagi, si Devi ini sudah kenal Riko beberapa tahun belakangan. Bener-bener jodoh nggak sih Yah?" Ibu turut berbaur dengan perbincangan itu. Kedua keluarga saling terkekeh, berbagi kebahagiaan satu sama lain."Iya Pak, Bu, saya juga kaget ternyata ayah saya malah jauh lebih kenal keluarga ini ketimbang saya," ucap Riko dengan sopan. Pria itu sesekali melirikku yang tengah memangku Alvaro sambil tersenyum."Berarti memang benar-benar jodoh," timpal Pak Effendi mantap dan disambut tawa ceria yang lain."Oh ya Pak, Bu, silakan diminum dulu tehnya. Dimakan juga cemilannya," ucap ibu
Bab 66. Pernyataan Cinta"Ini?" Riko lalu mengalihkan pandangannya sendiri ke arah dekapannya. Ia lantas tertawa, "bukan. Ini keponakanku Dev. Anak dari kakak perempuanku, baru berusia sepuluh bulan.""Oh kirain anakmu," sahutku dengan wajah sedikit malu. Pria berkaos hitam itu hanya terkekeh sambil menimang-nimang keponakannya yang berjenis kelamin perempuan."Bukan. Aku masih single, belum memiliki istri apalagi anak," ujar Riko selaki lagi. "Oh ya, bisa kita ngobrol di sana nggak? Sambil minum kopi atau makan roti."Riko menunjuk pada salah satu stand yang menjajakan kopi dan juga roti. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Riko, tanpa basa-basi aku pun langsung mengiyakan saja."Kamu pesan apa? Aku hari ini yang akan mentraktirmu," ujar Riko setibanya di stand itu. Sambil mendudukkan keponakannya di pangkuan, Riko begitu luwes ketika memomong bayi berumur sepuluh bulan tersebut."Terserah kau saja," jawabku tanpa keberatan. Riko mengangguk, ia lantas melambaikan tangannya pada penj
Bab 65. Siapa yang Lebih Munafik?POV DeviAku masih diam, saat ini aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dengan kaki gemetar, aku melangkah untuk melihat bayi mungil tersebut dari dekat.Benar saja, kini terlihat jelas bagaimana wajah, dagu, alis, hingga warna kulitnya sama persis dengan Daniel. Aku menelan ludah, bagaimana pun aku benar-benar seperti ditusuk dari belakang oleh Daniel. Dia bilang nggak berbuat, dia bilang mungkin itu bayi orang lain tapi apa? Buktinya bayi ini bahkan amat sangat mirip dengannya. Memang, dosa akan bicara pada waktunya."Lihat Dev, bayinya mirip dengan Mas Daniel bukan?! Aku tidak berbohong. Aku memang hanya berbuat dengan dia seorang," ucap Anggun sambil menarik tanganku dengan lembut. "Tapi aku nggak tahu harus kukemanakan bayi ini. Mas Daniel terus saja mengelak, ia tidak ingin mengakui anak ini."Anggun mulai terisak, ada kesedihan di wajahnya kali ini. Sebagai seseorang yang sudah menjadi ibu, tentu saja aku tahu bagaimana perasaan Anggun saat
Bab 64. Bayi AnggunPOV AuthorDaniel tak bisa berkata-kata. Wajar jika Riko menyukai Devi, wanita itu sangat baik dan dermawan. Bahkan ketika ia disakiti selalu ada lautan maaf yang ia berikan. Kini, ketika Daniel mendapati kenyataan bahwa Riko juga menyukai Devi, Daniel tidak sanggup mengelak.Posisi pria itu makin terancam, ia tidak bisa bersaing dengan pria sebaik Riko. Sejauh ini hanya pria itulah yang benar-benar peduli pada Devi. Bahkan Riko mengaku jika ia tunduk dibawah kuasa Daniel bukan karena apa melainkan karena permintaan Devi sendiri kepadanya. Ya, saking cintanya Riko ia merendahkan harga dirinya dan membantu rivalnya dalam segala hal.Tertohok, tentu saja. Namun Daniel tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini kondisi rumah tangganya benar-benar berada di ujung tanduk. Karena hawa nafsunya, ia menanam benih pada orang yang salah dan pada akhirnya benih itu tumbuh dan kelak akan bersaksi atas perbuatan salahnya.Satu bulan berlalu, setelah ketahuan menyimpan foto-foto Devi
Bab 63. Penemuan FotoAlvaro, itu nama yang kuberikan pada bayi laki-laki yang kulahirkan beberapa hari yang lalu. Bermakna bijaksana, aku menyematkan harapan yang besar pada anak kesayanganku tersebut. Dilimpahi kasih sayang dari orang-orang terdekat, Alvaro adalah bocah yang penurut dan sangat manis.Setelah memandikannya dengan air hangat dan merawat pusarnya yang belum puput, kususui bayi itu agar tidak rewel dan lekas tertidur seperti sebelum-sebelumnya.Peranku cukup terbantu dengan adanya Bi Nani dan Ibu yang bahu membahu menggantikan posisiku ketika lelah. Mereka tidak membiarkan aku sendirian, selalu menemani dan mengobrol apa saja yang membuatku cukup terhibur dan tidak stres. Ya, Alvaro masih gemar begadang membuat kami bertiga harus bekerjasama untuk merawat bayi mungil berbobot dua setengah kilo gram tersebut."Apakah kau sudah minum susumu dengan baik?" tanya ibu saat mengecek vitamin yang harusnya kuminum pagi ini.Aku mendongak, mengalihkan perhatianku pada Alvaro yang
Bab 62. Tiba WaktunyaSetelah melakukan taruhan itu, aku dan Daniel memang tidak berdekatan satu sama lain. Aku sendiri juga heran, entah kemana perginya rasa cinta yang dulu pernah menggebu untuknya. Aku pun menikmati kesendirianku bersama orangtuaku di rumah yang lama.Seiring berjalannya waktu, kehamilanku telah menginjak usia sembilan bulan. Waktu yang sangat mendebarkan untuk menunggu anakku lahir ke dunia.Sepanjang itu banyak dukungan yang ditujukan kepadaku. Dania yang baru saja naik jabatan, mengirimi kami hadiah yang sangat mengesankan. Ya, sebuah dorongan bayi merek terkenal.Tak hanya Dania, Ratih dan Pamela pun memberikan kami hadiah yang tak kalah menarik. Kehadiran dan dukungan mereka benar-benar menjadi salah satu support sistem saat aku menjalani kehamilanku sendirian tanpa Daniel.Pagi itu aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Berjalan menyusuri taman atau bergerak apa saja guna memperlancar persalinanku nanti.Orangtuaku juga senang ketika aku bisa terpantau di r