Sah. Satu kata yang diucapkan oleh wali hakim yang menikahkan Dika dengan Camelia. Pernikahan itu hanya digelar secara agama saja, tanpa pengesahan kenegeraan. Alasannya karena orang tua dari Dika tidak menyetujui calon istri yang ia bawa.
Wanita yang tak jelas siapa bapaknya. Sebab nasab yang mengikut pada ibunya. Pernikahan itu pun hanya dihadiri keluarga dekat dari pihak Camelia saja, termasuk ibunya yang sudah menikah lagi. Ayah kandung wanita itu kabur tanpa jejak yang bisa terendus entah ke mana, tak ada yang tahu.Tidak ada resepsi, catering dan lagu yang dibawakan oleh biduan sebagai penanda di rumah itu ada pernikahan yang sedang berlangsung. Dika harus merahasiakannya, sebab jika kedua orang tuanya tahu maka semua fasilitas bulanannya akan dihentikan. Itu juga berarti ia tak bisa memberikan nafkah untuk Camelia—istrinya. Yang kedua orang tua Dika tahu, putranya sudah putus sejak enam bulan lalu dengan gadis tak jelas siapa bapaknya itu.Malam pun akhirnya datang menyapa. Dua insan yang sudah sah secara agama itu akhirnya merasakan apa yang disebut orang sebagai malam pertama. Tanpa rasa takut atau waswas sebab mereka memang sudah suami istri.Sampai malam berganti pagi dan keduanya masih terlelap dalam selimut yang sama. Ketika bangun, Camelia berusaha menjadi seorang istri yang menyejukkan hati bagi suaminya. Ia siapkan semua kebutuhan Dika, termasuk makan dan pakaian.Kemaren, selesai Amel langsung dibawa ke rumah kontrakan sederhana, tapi Camelia menerima semuanya dengan lapang dada, karena itu merupakan pilihan mereka berdua untuk merahasiakan pernikahan, entah sampai kapan.“Mel,” sapaan Camelia, begitu Dika memanggilnya.“Iya, kenapa, Bang?” tanya wanita itu, ia bawakan sepiring makanan yang asapnya masih mengepul. Kebutuhan dapur di rumah itu dipenuhi Dika dengan baik.“Malam ini Abang nggak bisa pulang, ya. Bisa curiga kedua orang tua Abang, karena alasan kemaren cuma main ke rumah temen di luar kota.” Lelaki itu memegang tangan Camelia. Begitulah resiko dari pernikahan diam-diam.“Iya, nggak apa, Bang, Amel sangat mengerti, kok. Hati-hati di jalan, ya. Bilang sama mertua dapat salam dari menantunya yang paling cantik.” Camelia tersenyum dan terlihatkan satu lesung pipinya di sebelah kanan.“Soal itu, Abang belum bisa bilang, Mel. Perlu waktu, tapi Abang janji akan menafkahi Amel, lahir batin terpenuhi.”“Iya, Amel tahu, Bang. Semoga saja hati kedua mertuaku terbuka dan pernikahan kita bisa disahkan secara hukum.” Begitu harapan sederhana Amel.Perempuan yang sekolah hanya sampai bangku SMP saja, begitu mudah terpesona dengan paras menawan Dika yang notabenenya seorang anak pengusaha. Tentu dengan sesuka hatinya bisa mendapatkan dan membuang perempuan sangat mudah.Lelaki itu pulang dari rumah istri sirinya. Ia menaiki motor besar yang dibelikan oleh kedua orang tuanya. Dengan perlahan-lahan ia kendarai hingga membelah jalanan aspal di kota besar.Jarak dari rumah Dika ke rumah istri sirinya memakan waktu tiga jam lamanya. Dalam perjalanan pulang, jujur saja lelaki dengan paras menawan itu sempat pusing. Ia takut ketahuan oleh keluarga besarnya. Namun, untuk melepaskan Camelia juga Dika tak bisa.Paras manis wanita tersebut telah membuatnya susah tidur dan sulit makan. Setahun mengenal Amel membuat Dika berani mengambil keputusan untuk menikahinya.***“Udah puas nginap di rumah temen?” tanya Mama Dika, sering dipanggil Bu Inah.“Udah, Ma. Dika ke kamar dulu, ya, lelah, ingin mandi terus tidur,” jawab anak pertama laki-laki yang merupakan kebanggaan keluarga itu.“Nanti kita bicara, Nak. Mama sama Papa sudah punya calon istri buat kamu. Harus kami yang tentukan bukan orang lain. Supaya harta keluarga ini nggak jatuh ke tangan yang salah.” Tegas Bu Inah, ia mewakili suaminya yang sedang berada di kantor.Anak lelaki di antara dua adik perempuannya itu hanya mengangguk saja, ia sedang tak mau berpikir atau berdebat dengan siapa pun. Sampai di kamar, ia mandi dan merebahkan tubuhnya. Masih tergambar jelas dalam benaknya, rasa-rasa melewati malam pertama. Ia yang masih perjaka dan Camelia yang masih gadis ting ting.Ada rasa kecanduan yang membuatnya ingin mengulangi lagi, sayang sekali istri sirinya sangat jauh. Dika hanya bisa meredam rasa itu dengan tertiur pulas saja.Saat malam kembali lelaki itu mengambil ponsel nokianya, tak banyak orang yang bisa membeli benda itu. Ia masih dibelikan oleh orang tuanya agar mudah berkomunikasi dengan cara sms atau telepon langsung. Camelia juga Dika belikan, hasil uang tabungan yang ia simpan diam-diam.Ketika ingin melakukan panggilan dengan istri sirinya, pintu kamar Dika terbuka, Bu Inah masuk mengajaknya makan malam bersama.“Iya, Ma. Dika beresin jurnal dulu.” Lelaki itu sempat menyelipkan ponselnya di antara buku-buku ekonomi yang ia miliki.Bu Inah sedikit curiga, ia sempat bertanya tentang tanda kemerahan di leher putranya. Lelaki itu berkilah, ia katakan digigit nyamuk saat pergi bersama teman-temannya ke hutan.Makan malam tersaji, Dika makan secukupnya saja. Masakan yang kalau jauh dengan buatan Camelia. Jika ada yang mengetahui tentang pernikahan mereka berdua, tentu saja meja makan akan heboh dengan ujaran bahwa Dika yang baru satu hari berpisah dengan Amel sudah sangat merindukan istrinya. Nyatanya, tidak ada obrolan apa pun di meja itu. Kecuali ketika piring sudah bersih.“Namanya, Sinta, anak baik-baik, kalem, lemah lembut juga, anak dari salah satu teman Papa,” ujar kepala keluarga di rumah itu. Jika ia sudah bertitah, maka tak ada yang bisa membantah.“Iya, Pa,” jawab Dika bohong. “Tapi kalau boleh Dika selesaikan S2 dulu, satu tahun lagi. Baru memikirkan ke jenjang yang Papa dan Mama inginkan.”“Oh, tentu, selesaikan kuliahmu, kerja dulu, baru pikirin menikah. Supaya nggak menelantarkan anak gadis orang. Nikahi baik-baik dan nafkahi lahir batin baik-baik. Dan mulai besok, kamu sudah harus ikut kerja sama Papa di bagian bawah dulu, supaya tahu apa itu berproses.” Khidmat kepala keluarga itu berkata, semua yang ada di meja makan hanya mendengar saja.“Harus kerja dan kuliah dengan baik, Dika. Kamu itu anak pertama laki-laki, panutan kedua adik kamu. Jangan sampai memberikan contoh yang salah,” sahut Bu Inah pula. Lelaki itu hanya mengangguk saja, yang ia pikirkan ialah jadwal kunjungannya untuk Camelia yang pasti kacau balau.“Kerja ada liburnya, kan?” tanya Dika. Sang ayah hanya bilang iya saja tanpa menanyakan alasan lagi.BersambungKicau burung di pagi hari seharusnya menjadi penanda kebahagiaan bagi Camelia. Namun, wanita itu resah. Sudah dua minggu Dika tidak mengunjunginya. Beberapa kali ia mencoba menelepon tapi suaminya selalu menjawab sedang sibuk, kalau tidak kuliah maka pekerjaan yang menjadi alasan. Amel sangat merindukan suaminya, walau bagaimanapun juga ia merupakan wanita normal yang telah disentuh sebagai seorang istri. “Aku tidak seperti ibuku. Aku menikah dengan baik-baik dan memiliki suami secara sah. Aku tidak merebut milik orang juga tidak menjadi wanita kedua. Dika menikahiku ketika masih lajang. Tapi kenapa sulit sekali untuk memilikinya utuh-utuh.” Amel memandang langit yang kebiruan, hari itu musim kemarau, sinar mentari di jam delapan saja sudah seperti jam dua belas siang. “Baik, mungkin alasannya memang karena bekerja. Tapi jangan lupakan kalau aku sudah kamu nikahi. Atau aku akan datang ke rumah orang tuamu dan menunjukkan bukti kalau kita sudah menikah,” gumam wanita itu sendirian.
Malam pun datang, dengan mengenakan batik khas Solo, lima keluarga itu ; ayah, ibu dan kedua adik perempuan Dika pergi ke keluarga calon besan mereka. Sampai di sana tak tanggung-tanggung sambutan yang diberikan. Hidangan lezat menggugah selera disediakan, bahkan lebih mewah dari makanan saat resepsi pernikahan Dika dan Amel. Lanjut setelah makan, perbicangan tentang bisnis kebun kepala sawit dibicarakan oleh dua orang kepala kelaurga, terletak di luar pulau. Investasi menjanjikan apalagi jika ditekuni selama puluhan tahun mendatang. Seorang gadis cantik keluar dengan potongan rambut pendek juga bergelombang. Khas pemain film Suzana dandanannya. Memang sedang trend pada saat sekarang. Ia menyapa Dika dengan ramah, mengajak lelaki itu berjabat tangan. Gadis yang digadang-gadangkan berpendidikan tinggi dan mampu menjadi pendamping seorang anak lelaki pertama dari keluarga terpandang. Fasih berbahasa Inggris dan teman-temannya juga dari kalangan kelas atas. Terlihat sedikit angkuh g
Hari berganti menjadi hari lalu berganti pula menjadi bulan. Dika kerap membagi waktunya agar bisa mengunjungi istrinya. Meski ia juga selalu diatur kapan harus berkencan dengan Sinta. Saat menatap mata Sinta yang Dika pikirkan hanyalah Amel saja. Makan malam romantis kembali digelar oleh Sinta, di sebuah restoran mewah dengan penyanyi pop yang mengenakan baju di atas lutut, suaranya yang merdu sangat asyik menemani malam yang bertaburan bintang. Sinta menyukai Dika, tapi tidak dengan lelaki itu. Ia gelisah, seperti ada hal lain yang ia rasakan. Berkali-kali lelaki itu melihat ponselnya, berharap ada kabar dari Amel. Sebab dua minggu lalu saat ditinggalkan istrinya mengeluh sakit kepala setiap hari dari pagi sampai malam. “Kamu kenapa? Sepertinya tidak suka dengan makan malam kita, sampai berkeringat begitu?” tanya Sinta, Dika tak menghiraukannya. Matanya tertuju pada tanda pesan masuk di ponselnya. Bergetar tangan lelaki itu membukanya. Sebuah pesan dari Amel. Di sana tertulis ba
Lelaki itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya, ia harus fokus sebab tak lama lagi akan ada ujian akhir. Semua harus selesai tepat waktu, agar pernikahannya bersama Amel bisa segera ia umumkan. Namun, pintu kamarnya diketuk, tanpa izin darinya Bu Inah masuk dan melemparan foto-foto mesra di ranjang Dika begitu saja. Foto putranya bersama seorang gadis dalam balutan jas hitam dan yang wanita menggunakan kebaya. “Mama sudah tahu?” tanya lelaki itu. Ia tak berani memandang mata wanita yang melahirkannya. “Dia siapa? Iya, baru Mama saja yang tahu, Papa belum. Bisa kamu bayangkan kalau Papa tahu dan menarik semua fasilitas yang sudah diberikan. Kamu akan hidup miskin tanpa mobil, motor, ponsel dan uang. Didepak dari kantor, dicoret dari daftar penerima harta warisan. Dan kamu bukan anak kami lagi.” Tegas Bu Inah. Ia tak pernah main-main dengan perkataannya. Apalagi jika sudah suaminya yang berkata-kata langsung. “Ma, apa salahnya Dika menikah?” “Tidak salah asal calonnya atas persetujua
Puluhan tahun kemudian sekitar tahun 2016 Bu Inah duduk di kursi rodanya. Suaminya telah lama tiada, dua anak perempuannya tentu ikut ke mana suami mereka pergi. Tinggallah orang tua itu di rumah anak lelakinya—Dika, dan sudah bisa dipastikan Sinta juga turut serta. Usai peristiwa perceraian dengan Amel, tak perlu menunggu waktu lama pernikahan dua orang kaya itu digelar juga. Peristiwa yang benar-benar hanya Dika dan mamanya saja yang tahu, mendiang papa tidak, begitu juga dengan dua adiknya. Namun, tidak menutup kemungkinan jika Sinta mencari tahu diluar sepengetahuan mertuanya. Masa tua yang sangat sepi. Dika dan Sinta dikaruniai dua anak laki-laki. Yang satu berusia 19 tahun yang satu lagi jaraknya sangat jauh, kira-kira tujuh tahun. Sebab Sinta yang mengatur jarak kehamilan itu. Bagi wanita keras kepala tersebut, tubuhnya adalah haknya. Ia yang menentukan kapan harus hamil bukan siapa pun. Sinta dan Bu Inah keduanya memiliki watak yang sama dan cenderung sering meributkan ha
Dika menatap mamanya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Amel, cinta pertama bahkan masih bertakhta di hatinya sampai sekarang. “Iya, Ma. Jaga kesehatan kalau gitu. Jangan tidur larut malam.” Dika memindahkan mamanya ke ranjang. “Setelah ketemu, walaupun dia tinggal jauh di pelosok desa, akan Mama datangi. Mama mau minta maaf, sama Amel sekalian. Kalau perlu kita pindah semua. Itu perintah Mama jangan dibantah lagi.” Ketegasan Bu Inah masih awet walau sudah duduk di kursi roda. Dika lagi-lagi hanya berkata iya saja. Paling nanti dia akan ribut lagi dengan Sinta. *** Satria meminta bantuan salah satu rekannya yang biasa melacak keberadaan orang hilang. Tak perlu menunggu sampai tiga hari. Dalam satu setengah hari saja semua data-datang tentang wanita bernama Camelia sudah terkumpul. Dimulai dari peristiwa wanita dengan lesung pipi itu keluar dari klinik bersalin dengan membawa bayi perempuan. “Camila, namanya?” tanya Satria pada temannya. “Iya, tulisanya gitu.” “Coba terus car
Putri pertama Amel terlahir dengan jalan yang baik dan benar, dia bukanlah anak yang kehilangan hak nafkah dari ayahnya, juga bukan anak haram yang digosipkan warga sekitar. Sebab Amel tak memilik suami. Amel akhirnya mencoba menghubungi Dika, nomor itu ternyata masih sama, dan yang mengangkat seorang perempuan. Terdiam Amel di tempatnya. Sudah ia duga cepat atau lambat mantan suaminya akan menikah lagi seperti yang dikatakan ibunya. Bahkan suara di seberang sana mengatakan bahwa yang menerima panggilan ialah Sinta, istri Dika yang sah secara agama juga negara. Lekas saja Amel tutup panggilan itu dan berjanji seumur hidupnya tak akan meminta hak nafkah Camila pada Dika. Biarlah lelaki itu berdosa dan menanggung semuanya di hari akhir besok. “Jangan pernah mimpi, Bang, untuk melihat wajah putri kita. Kamu sendiri yang memutuskan hubungan. Padahal dia darah daging dan nasabnya ada padamu. Ya sudahlah, anggap saja dulu aku wanita bodoh yang terlalu mudah dimabuk cinta,” ujar Amel pad
“Mah, Mila pergi dulu, ya. Pulang sore mungkin, kalau capek tutup aja kedai lebih cepet. Kumpulin duit dari dulu nggak kaya-kaya juga,” ujar gadis manis dengan lesung pipi itu. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan panas-panasan. Kalau nggak di rumah aja bantu Mama jualan.” “Nggak berkembang. Mau cari usaha lain aja." Mila pergi usai mencium tangan kedua orang tuanya. Terlebih dahulu ia antar adik laki-lakinya yang kini hampir tamat SD. Menggunakan honda fit X keluaran tahun 2008 yang masih cukup tangguh digunakan. Satu-satunya kendaraan yang digunakan untuk ke sana kemari di rumah itu. Amel yang membeli setelah menabung sekian lama. Camila begitu akrab dengan adik laki-lakinya, anak yang diberi nama Fathan. Amel benar-benar menutupi semua jejak tentang Dika pada diri putrinya. Amel mengatakan bahwa Mila dan Fathan kakak adik sedarah dan senasab. Padahal tidak, hanya seibu saja. Demi Fathanlah Amel bekerja apa saja yang menghasilkan uang. Ia tak mau adiknya seperti dirinya waktu kecil. Tak
Satria berjalan tertatih di dalam hutan. Saat ia dikejar oleh sekelompok pembunuh dengan senjata tajam. Ia menyelamatkan diri lari ke sembarang arah lalu terjatuh berguling-guling di jurang yang dekat dengan tepi sungai. Di sana ia tak sadarkan diri selama berhari-hari. Lalu saat bangun, kakinya sakit bukan main dan tak bisa dibawa berjalan jauh. Ditambah Satria tak tahu sedang berada di mana. Kedalaman hutan yang ia tempati masih sangat luas, perawan, dan tentunya banyak binatang buas. Tidak ada senapan yang Satria bawa, hanya belati tajam yang beruntung masih tersangkut di pinggang. Di sana ia menyembuhkan dirinya sendiri. Minum air sungai, memakan ikan yang bisa ditangkap di sungai, dan tidur setelah menghidupkan api kecil agar terjaga dari terjangan binatang buas. Sampai suami Camila tak tahu lagi hari apa yang ia lewati, sudah berapa minggu atau bahkan mungkin sudah berbulan-bulan lamanya. Baju dinas yang Satria gunakan bahkan sudah lusuh dan robek. Namun, hanya itu satu-satunya
Camila tak bisa menahan air matanya di depan banyak orang. Suaminya—Satria—lelaki yang baru saja menikah dengannya kini dinyatakan hilang. Tidak meninggal tidak juga ada di tempat. Jejaknya tidak ditemukan usai baku tembak dengan kelompok bersenjata yang amat mematikan tersebut. Bibirnya bergetar dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia dibantu duduk oleh tentara wanita yang ada di sana, lalu diberikan segelas air agar sedikit tenang, mengingat Mila sedang hamil. “Yang sabar, ya, Ibu,” ucap petugas yang ada di ruangan itu. Namun, sampai sekarang tidak ada satu kata-kata pun yang masuk dalam kepala Mila. Ia hanya ingin suaminya ditemukan, walau harus mencari dalam kurun waktu yang sangat panjang. “Apa nggak bisa suami saya dicari lagi, Pak?” Camila berusaha tenang setelah puas menangis. “Sudah kami telusuri semua wilayah di dalam hutan, tetapi jejaknya tidak ada,” jawab petugas di sana. “Berarti suami saya belum mati.” Mila masih meyakini Satria masih hidup. “Ada dua kemungkinan. Ma
Satria berada di wilayah pedalaman sana. Selain ruas jalan terbaru akan dibuka besar-besaran tentu saja ada beberapa kelompok bersenjata yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran mereka dari dulu tidak pernah dianggap main-main. Tidak sedikit nyawa rakyat sipil atau bahkan militer yang tewas. Hal itu pulalah yang menjadi penyebab mengapa Camila tak enak hati melepas kepergian suaminya. Selain karena firasat seorang istri, juga kebersamaan mereka yang baru sebentar saja. Pagi itu beberapa kelompok kembali dibagi oleh pemimpin perjalanan. Satria mendapatkan tugas yang cukup berat. Ia harus berpatroli ke dalam hutan yang sangat belantara tentu dengan beberapa temannya yang lain. Sebelum berangkat doa bersama digelar, tak lupa pula Satria melihat ponselnya sejenak. Mana tahu ada pesan masuk dari istrinya. Namun, ternyata sinyal satu batang pun tidak kunjung muncul. Jelas saja sebab mereka berada di wilayah pedalaman. Pesan terakhir dari Camila ia terima beberapa bulan lalu. Betap
“Nggak bisa resign aja, Bang?” bisik Camila ketika mengantar kepergian suaminya. Ia menggunakan baju serba hijau resmi seperti halnya yang lain. “Tadi malam udah janji, kan, nggak mau bahas ini lagi,” jawab Satria sambil menggenggam tangan istrinya. Tak hanya mereka berdua saja di sana, yang lain juga ada. Kebanyakan membawa anak, dan hanya sedikit yang masih berdua saja dengan pasangannya. “Iya itu tadi malam. Pagi hari ya beda lagi, Bang. Seriusan perasaan Mila nggak enak. Nggak usah pergi ya.” “Terus kamu mau Abang kena pelanggaran berat. Udah, nggak usah mikir macem-macem. Abang nggak akan kawin lagi, kok, di sana. Pasti pikiran kamu ke sana, kan?” “Nggak. Bukan masalah itu.” “Berarti boleh di sana Abang kawin lagi kalau jumpa.” “Yok, menghadap atasan, minta berhenti sekalian. Otak Abang isinya kawin melulu dari tadi.” Mila menarik tangan lelaki itu, tak terima dengan candaan barusan. Ia agak sensitif mendengar kata nikah sirri atau sejenisnya. “Eh, udah. Bercanda aja diang
Camila dan Satria telah lama menyelesaikan bulan madu mereka. Keduanya kembali ke rencana awal untuk hidup berdua saja tanpa campur tangan Papa Dika ataupun Oma. Namun, ternyata memang tak mudah. Oma sangat suka mengatur kehidupan cucunya meski dari jarak jauh. Bahkan tak jarang wanita yang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit itu meminta Mila untuk makan di rumah, tanpa membawa suaminya. Jujur saja dalam hati Bu Inah, ia sulit menerima kehadiran lelaki itu karena perbedaan kasta. Hanya demi agar cucunya bahagia, ia terpaksa mengiyakan semua kata Dika. Agar kesalahan masa lalu itu tak terulang lagi. “Maafin Oma, ya, Bang. Jangan diambil hati. Nanti Mila bingung harus gimana,” ucap wanita berparas manis itu ketika datang ke rumah Bu Inah. Mereka menggunakan mobil baru yang dihadiahkan Dika untuk putrinya. Tentu saja Satria yang menyetir, karena hal itu sudah menjadi kewajiban dirinya sebagai suami. “Iya, apa, sih, yang nggak demi kamu. Kalau nggak cinta aja, nggak akan mau Aban
"Kenapa jalannya kayak gitu?" tanya Satria pada istrinya. Dua hari menginap di hotel mewah, pria itu telah mendapatkan apa yang selama ini ia nantikan."Pakai nanya segala, Bang. Emang nggak ingat tadi malam habis ngapain?" sindir Camila. Wanita itu lalu duduk di tepi ranjang dan setengah berbaring, ia tak ingin ke mana-mana hanya tidur saja seharian."Oh, ingat donk, kenapa? Mau diulang lagi, ayok, Abang siap aja kapan pun dibutuhkan." Pria itu berdiri dan menatap Camila yang meliriknya, ia langsung ikut duduk tetapi istrinya berguling ke sisi lain."Jangan, jangan dulu, please, Mila capek banget, Bang." Wanita berparas manis itu menutup wajahnya dengan bantal. "Jadi, kapan?" Satria memeluk istrinya dari samping. Menggoda Camila agar tersipu malu lagi seperti malam tadi. "Kapan-kapan, gak kejar target punya anak cepet, kan?" ujar Camila dari balik bantal. "Nggak juga harus cepet, tapi kalau bisa dua tahun sekali satu anak." "Agh, ikut program pemerintah, dua anak cukup." Mila mem
Dika terbata-bata ketika harus mengucapkan kalimat untuk melepaskan kepemilikan putrinya pada Satria. Berkali-kali ia salah mengucapkan nama atau lelaki itu bingung harus berkata apa, padahal sudah ada pihak KUA yang membantu Dika. Ya, lelaki itu seakan-akan tak rela kalau harus menyerahkan Mila secepat itu pada seorang pria yang bukan siapa-siapa baginya. Akad nikah dilangsungkan pagi itu di sebuah gedung dan langsung disambung pada resepsi sampai selesai. Mila yang sudah duduk di sebelah Satria sampai membersihkan wajahnya dengan tisu berkali-kali karena ia pun ikut grogi juga. Dika kembali menarik napas panjang, ia menguatkan hati kecilnya. Memang sudah saatnya ia harus melepaskan Camila pada pria yang telah berjanji akan membahagiakan putrinya. Hingga akhirnya ia tak terbata-bata lagi mengucapkan kalimat penyerahan lalu disambung Satria dalam satu tarikan napas tanpa kesalahan apa pun. Mila menarik napas lega dibuatnya. Gema kata sah di seluruh ruangan terdengar. Pernikahan merek
“Ya Allah, ribet sekali urusan untuk menikah dengan abdi negara ini.” Camila membaca berulang-ulang persyaratan yang baru saja dikirimkan oleh Satria. Ya, pernikahan mereka telah mendapatkan lampu hijau dari Oma. Cukup alot juga Dika memberitahu mamanya agar kesalahan yang sama tak terulang lagi seperti pada mendiang Amel dulu. Hanya perlu menunggu proses pengajuan selesai, dan lamaran resmi dari pihak keluarga Satria akan dilayangkan. “Kalau mau menyerah dari sekarang, bilang, Sayang. Nanti Oma lanjutkan perkenalan dengan Sadewa. Kan, anaknya lebih ganteng dan kaya daripada Satria,” jawab Oma yang melihat cucunya cemberut. “Eh, jangan Oma, nggak menyerah, kok. Baru juga mau diurus.”“Apa, sih, yang kamu lihat dari Satria. Secara akal juga lebih bagus Sadewa ke mana-mana,” tanya Bu Inah. Ia meredam egonya kali ini. Demi kebahagiaan Mila akan ia biarkan cucu perempuannya menikah dengan Satria. Meski setelah itu cucunya akan diboyong entah ke mana. Mengingat pemuda itu belum punya ru
Dika memanggil Satria secara khusus ke kantornya. Ruangan itu tertutup dan hanya ada mereka berdua saja. Lelaki yang telah menjalani masa duda selama enam bulan itu tahu tadi malam Mila pulang agak larut. Ia hanya takut putrinya terjerumus pada hal-hal tak baik. Sebagai orang tua tentu Dika khawatir dengan keselamatan Mila. “Tadi malam kita belum sempat bicara. Ada apa kamu datang ke rumah? Pasti ada sesuatu yang ingin dibahas, terus tadi malam apa putri saya masih pulang dalam keadaan utuh? Tidak kekurangan sesuatu apa pun pada Mila. Kamu nggak ambil kesempatan dalam kesempitan, bukan?” tanya Dika. Dua orang itu berhadap-hadapan, cinta yang mereka miliki untuk Camila sama besarnya.“Mila masih saya pulangkan utuh-utuh tadi malam, Pak. Tidak ada yang berkurang dari dirinya, kami terutama saya masih bisa menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya diinginkan,” jawab Satria apa adanya. “Lalu kedatangan saya tadi malam ingin serius menjalin hubungan dengan putri bapak tentunya.” “Oh, ya?