Dika menatap mamanya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Amel, cinta pertama bahkan masih bertakhta di hatinya sampai sekarang.
“Iya, Ma. Jaga kesehatan kalau gitu. Jangan tidur larut malam.” Dika memindahkan mamanya ke ranjang.“Setelah ketemu, walaupun dia tinggal jauh di pelosok desa, akan Mama datangi. Mama mau minta maaf, sama Amel sekalian. Kalau perlu kita pindah semua. Itu perintah Mama jangan dibantah lagi.” Ketegasan Bu Inah masih awet walau sudah duduk di kursi roda. Dika lagi-lagi hanya berkata iya saja. Paling nanti dia akan ribut lagi dengan Sinta.***Satria meminta bantuan salah satu rekannya yang biasa melacak keberadaan orang hilang. Tak perlu menunggu sampai tiga hari. Dalam satu setengah hari saja semua data-datang tentang wanita bernama Camelia sudah terkumpul. Dimulai dari peristiwa wanita dengan lesung pipi itu keluar dari klinik bersalin dengan membawa bayi perempuan.“Camila, namanya?” tanya Satria pada temannya.“Iya, tulisanya gitu.”“Coba terus cari di mana mereka sekarang.”Jemari itu terus bergulir di sebuah laptop. Awal-awal tahun lahir Camila, Amel masih tinggal di rumah kontrakan yang sama. Lalu pada tahun kedua nekat wanita tersebut menyebrangi pulau Jawa dengan bekal seadanya.Ibunya tak mau menerima dirinya beserta sang cucu. Berbekal tawaran dari teman, Amel merantau, katanya di pulau itu jika mahir memasak bisa menyambung hidup dengan mudah."Oke, makasih ya.” Poin-poin penting telah dicatat oleh Satria. Segera ia akan berikan jawaban itu pada Nyonya Besar—begitu ia memanggilnya.Pria muda itu datang ke rumah Bu Inah. Sinta yang menyambutnya. Tatapan wanita angkuh yang begitu dalam, seolah-olah menelisik Satria dari ujung rambut sampai kaki.“Mau ngapain ketemu mertua saya? Ada yang harus dihilangkan atau diculik?” tanya Sinta sambil melipat kedua tangannya.“Rahasia, Bu,” jawab Satria tegas.“Halah, sudah tua main rahasia-rahasiaan. Sana, itu kamar mertua saya. Jangan buat keributan, ya. Saya mau tidur siang.”Satria masuk ke kamar Nyonya Besar. Bu Inah terlihat semringah melihat kedatangan pria muda yang sangat ia andalkan itu. Awalnya Satria ingin segera memberi tahu tentang Amel dan Camila. Namun, terlebih dahulu ia buka pintu kamar sang nyonya. Benar saja, Sinta di depan sana tertangkap basah sedang menguping pembicaraan mereka.“Pergi kamu. Bikin malu saya saja!” bentak Bu Inah pada Sinta. Sambil mencibir wanita angkuh itu pun naik ke lantai dua.“Nyonya Besar, cucu Nyonya bernama Camila. Usianya sudah 21 tahun dan dia tumbuh menjadi gadis yang cantik.” Satria menyodorkan foto Camila pada Bu Inah. Gadis itu begitu mirip dengan Dika. Tak lupa pula lesung pipi di sebelah kiri saja persis seperti Camelia.“Cantiknya cucuku.” Wanita tua itu mengusap foto Camila. Gadis yang mengenakan kerudung segi empat untuk menutupi kepalanya.“Sayangnya mereka jauh, Nyonya.”“Seberapa jauh. Ke Cina pun saya kejar juga.”“Ke Riau, Nyonya. Sudah belasan tahun lamanya. Sudah jadi warga tetap dan punya tanda pengenal di sana.”“Itu perkara gampang. Usaha sawit kami juga lagi maju-majunya di Riau. Akan saya minta Dika untuk pindah ke sana. Sinta mau ikut atau tidak terserah dia. Mau cerai juga terserah. Saya tidak peduli lagi.”“Baik, Nyonya.” Gaya bahasa Satria dengan Bu Inah memang formal, mengingat relasi wanita itu dulunya banyak dari kalangan militer kelas atas.“Saya akan minta kamu dimutasi juga. Masalah fasilitas akan saya jamin. Harus ada yang bisa menjaga cucu saya. Siap-siap, Satria. Kamu orang pertama yang mengenali Camila. Bantu saya supaya dia bisa dekat dengan saya. Masalah bayaran akan saya tambah.”“Iya, Nyonya, nanti saya sebisa mungkin akan bantu. Sekarang Nyonya istirahat dulu. Pindah ke Riau juga tidak mungkin dalam satu dua hari. Harus sehat dan kuat. Cucu yang cantik ini pasti juga rindu ingin bertemu dengan neneknya,” bujuk pria muda tersebut. Ia bahkan membantu nenek itu untuk meminum obat.Saat Satria keluar dari kamar Nyonya Besar, ia dipanggil oleh Sinta. Satria hanya diam saja sebagai tanda hormat. Ditanya pun ia tak menjawab dengan gamblang. Ia hanya bilang menemukan berlian di antara sawit-sawit saja. Pria itu berkomitmen menjaga rahasia tuannya.***Camelia atau kerap disapa Amel, masih ingat dengan jelas bagaimana ia banting tulang menghidupi putrinya. Awal mula ia tinggal di Riau sangatlah sulit. Uang yang dulu diberikan Bu Inah tentu habis untuk keperluan hidup.Dengan modal pas-pasan Amel memulai usaha kateringnya. Masakan wanita itu memang enak, tapi tidak demikian dengan jalan hidupnya.Pertama kali hidup di luar pulau Jawa, Amel sempat kebingungan. Udara di sana panas berbeda dengan tempatnya tinggal dulu. Mantan istri Dika memulai usaha kecil-kecilan saja. Ia menawarkan pada mahasiswa yang banyak menempati kos-kosan di sekitar kontrakannya.Tak lupa juga ia berikan harga murah. Namun, saat pembayaran ada yang mangkir ada yang tiba-tiba pindah kosan dan tak diketahui alamatnya di mana. Tentu saja Amel merugi. Sudahlah kurang tidur karena memasak dan urus bayi, masih ditambah tak ada bayaran pula.Dengan sabar Amel melewati cobaan hidupnya dari tahun ke tahun. Berbagai usaha telah ia coba rintis. Pernah ia membuka usaha kateringan khusus ke kantor-kantor. Dan ia mendapatkan penawaran besar, terlebih dahulu Amel diminta menghadap seseorang yang cukup berpengaruh. Seorang lelaki yang dari wajahnya menatap wanita dengan lesung pipi itu dengan tatapan lapar. Saat Amel sedang menjelaskan harga-harga makanan, tangannya dipegang dan dicium berulang kali. Jelas saja ibu Mila ketakutan. Ia langsung kabur dan tak mau berurusan dengaan pihak perusahaan itu lagi. Meski sebenarnya ia sangat butuh uang untuk membayar di muka kontrakannya selama enam bulan.Pindah dari usaha katering, lalu wanita itu membuka jasa cuci dan setrika baju mahasiswa saja. Bisa ia santai sejenak tak perlu bangun di pagi buta untuk naik angkutan umum ke pasar atau begadang hanya untuk menyiapkan bahan masakan. Namun, hanya bisa bertahan satu tahun saja. Pundak Amel tak cukup kuat untuk mencuci dan menyeterika terus-terusan menggunakan tangan. Harga mesin cuci masih tergolong mahal untuknya.Wanita itu pun memutuskan untuk istirahat selama satu minggu lamanya, sambil nanti memutuskan untuk memulai usaha apa. Ia masih menyimpan nomor ponsel Dika. Ingin ia hubungi, bukan untuk mengemis cinta atau kasih sayang lagi. Namun, untuk meminta hak Camila pada ayahnya.Bersambung ...Putri pertama Amel terlahir dengan jalan yang baik dan benar, dia bukanlah anak yang kehilangan hak nafkah dari ayahnya, juga bukan anak haram yang digosipkan warga sekitar. Sebab Amel tak memilik suami. Amel akhirnya mencoba menghubungi Dika, nomor itu ternyata masih sama, dan yang mengangkat seorang perempuan. Terdiam Amel di tempatnya. Sudah ia duga cepat atau lambat mantan suaminya akan menikah lagi seperti yang dikatakan ibunya. Bahkan suara di seberang sana mengatakan bahwa yang menerima panggilan ialah Sinta, istri Dika yang sah secara agama juga negara. Lekas saja Amel tutup panggilan itu dan berjanji seumur hidupnya tak akan meminta hak nafkah Camila pada Dika. Biarlah lelaki itu berdosa dan menanggung semuanya di hari akhir besok. “Jangan pernah mimpi, Bang, untuk melihat wajah putri kita. Kamu sendiri yang memutuskan hubungan. Padahal dia darah daging dan nasabnya ada padamu. Ya sudahlah, anggap saja dulu aku wanita bodoh yang terlalu mudah dimabuk cinta,” ujar Amel pad
“Mah, Mila pergi dulu, ya. Pulang sore mungkin, kalau capek tutup aja kedai lebih cepet. Kumpulin duit dari dulu nggak kaya-kaya juga,” ujar gadis manis dengan lesung pipi itu. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan panas-panasan. Kalau nggak di rumah aja bantu Mama jualan.” “Nggak berkembang. Mau cari usaha lain aja." Mila pergi usai mencium tangan kedua orang tuanya. Terlebih dahulu ia antar adik laki-lakinya yang kini hampir tamat SD. Menggunakan honda fit X keluaran tahun 2008 yang masih cukup tangguh digunakan. Satu-satunya kendaraan yang digunakan untuk ke sana kemari di rumah itu. Amel yang membeli setelah menabung sekian lama. Camila begitu akrab dengan adik laki-lakinya, anak yang diberi nama Fathan. Amel benar-benar menutupi semua jejak tentang Dika pada diri putrinya. Amel mengatakan bahwa Mila dan Fathan kakak adik sedarah dan senasab. Padahal tidak, hanya seibu saja. Demi Fathanlah Amel bekerja apa saja yang menghasilkan uang. Ia tak mau adiknya seperti dirinya waktu kecil. Tak
Mila pulang dengan menggunakan motor usai menyelesaikan pertemuan yang berlangsung sampai waktu zuhur masuk. Oma—begitu Bu Inah minta dipanggil olehnya, benar-benar mengajak gadis itu mengobrolkan segala hal, termasuk rasa sepi yang mulai melanda sejak ditinggal suaminya lima tahun yang lalu, dan satu demi satu anaknya mulai fokus mengurus kehidupan masing-masing. Sejatinya hidup memang seperti itu, jika ada yang datang tentu akan ada yang pergi. Jika dulu berbuat jahat tentu balasan akan didapat walau tak sesegera mungkin turunnya. Namun, dari semua hal yang membuat Mila agak susah berpaling hari ini yaitu, kehadiran Satria. Pria muda yang katanya orang kepercayaan Oma juga Bapak Dika.“Tipis harapan, pasti gadis incarannya anak orang kaya juga. Mimpi kali dia mau sama aku yang kucel dan dekil gini.” Mila kembali ke kantor perumahan menyerahkan hasil laporannya kali ini. Gadis itu tak datang dengan tangan kosong saja. Uang muka senilai sepuluh juta rupiah diberikan oleh Dika sebaga
“Tunggu, Mel.” Dika memegang pergelangan tangan mantan istrinya, ketika Amel tak sudi lagi melihat wajahnya. Jelas saja wanita itu melepaskan dengan paksa. “Abang cuma ingin memberikan ini sedikit, nanti pasti Abang berikan setiap bulan. Kalau kurang kamu bisa bilang jangan sungkan, sedikit biaya bulanan untuk anak kita.” Dika mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang isinya cukup tebal. Namun, terlebih dahulu Amel menepisnya. “Terlambat kamu. Mila sudah bisa cari uang sendiri, sudah saya bilang dia anak yang mandiri. Jangankan uang, kehadiran kamu aja nggak diperlukan dalam hidupnya. Sekarang kalian berdua pergi dari sini. Atau saya panggil warga untuk mengusir kalian, jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke sini, haram rumah saya kalian datangi, selamanya, walau saya mati sekali pun.” Amel serius dengan perkataannya. Dika menarik napas panjang, ia mengajak Satria untuk pulang, bahkan bayaran untuk sepiring nasi yang tak habis ia makan ditolak oleh mantan istrinya. Lelaki itu tak ak
Pulang dari kerja dan memberikan obat untuk ayahnya, Mila hanya sempat beristirahat untuk makan dan ganti baju saja. Ia masih harus kuliah lagi yang kelasnya akan berlangsung setengah jam lagi. Tak jarang, Mila—yang sering dibully anak mama itu disuapi oleh Amel ketika detik jam terus berjalan ke depan tanpa tahu kalau orang tak sempat melakukan hal-hal lain lagi. Itu lebih baik daripada melihat anaknya kelaparan. Sebelum pergi, Amel sempat ingin mengganti uang yang digunakan untuk membeli obat suaminya. Namun, mendapat penolakan dari gadis manis dengan lesung pipi itu. “Murah rezeki Mila hari ini, Ma. Ada Oma baik hati yang ngasih tips habis beli rumah, terus dapat uang tambahan. Simpan aja untuk tambahan modal harian,” ujar Mila, lalu ia mencium tangan Amel dan pergi kuliah menggunakan kendaraan satu-satunya di rumah itu. Amel menatap putrinya dengan haru, rasanya sudah ia kerahkan semua kemampuan untuk membesarkan putri satu-satunya, dan tak akan ia biarkan Dika datang mengambi
Pagi hari di rumah besar itu semuanya makan dengan jadwal masing-masing. Kebersamaan dalam kediaman itu semakin memudar akhir-akhir ini. Sinta yang sibuk dengan urusan pribadi, Dika dan mamanya yang selalu mengurusi hidup Mila. Sedangkan dua anak laki-laki di rumah itu punyak kehidupan sendiri-sendiri. Gilang kuliah, sambil menekuni hobinya balap motor, dan yang paling kecil sekolah dan les ini itu agar menambah prestasi akademik. Bu Inah sudah mendapatkan perawat baru. Tugasnya mengurusi kebutuhan sehari-hari wanita tua itu. Sudah bertahan sebulan lebih dan belum menunjukkan tanda-tangan perawat tersebut minta berhenti. Sebab tiada hari tanpa hardikan dari bibir orang tua itu meski yang merawatnya sudah bekerja sebaik mungkin. “Puih! Makanan encer gini kamu kasih saya, tawar, nggak ada rasa sama sekali!” Mama Dika meludahi bubur yang baru disuapkan ke lantai. Lekas saja perawat itu membersihkannya dengan kain lap. “Bawakan saya makanan yang manis-manis,” perintahnya lagi. “Ngg
Mila baru saja menerima sisa bonus pembelian rumah secara cash. Jumlah yang cukup membuat matanya berbinar. Sangat berguna untuk menopang kehidupannya selama beberapa minggu ke depan, atau mungkin beberapa hari saja mengingat uang kuliah dan kebutuhan pribadinya habis juga. Gadis manis itu hanya bersyukur masih bisa mendapatkan uang secara halal di tengah himpitan ekonomi yang makin lama makin terasa menyesakkan dada. “Belikan bakso aja, ya untuk orang-orang di rumah,” gumam Mila sendirian. Kemudian ia starter hondanya dan menuju tempat bakso langganannya. Keadaan lalu lintas yang belum terlalu macet, karena jam pulang kerja masih beberapa jam kemudian. Dua orang yang menggunakan motor dengan kecepatan cukup tinggi mengikuti Mila dari belakang. Gadis itu memberikan jalan agar mereka bisa lebih dahulu. Namun, nyatanya dua orang tersebut hanya mengikutinya dari belakang saja. Tak ingin curiga berlebihan, Mila terus melajukan motornya sampai di gerobak bakso langganannya. Kunci motor
“Hah, dijemput?” Mila berbicara sendirian ketika membaca pesan dari Satria. Pria itu memang diperintahkan untuk mengantar dan menjemput sang putri atas perintah Nyonya Besar. Tanpa menunggu jawaban dari gadis manis itu, Satria sudah mengatakan otw. Tak dijemput di depan rumah melainkan di gang menuju kediaman Amel. Sebab mantan istri Dika pernah bilang tak mau melihat wajah pria muda itu lagi. Gadis manis dengan lesung pipi di sebelah kiri itu berpamitan pada mamanya. Sebelum benar-benar pergi, Amel mengingatkan putrinya agar menimbang kembali keputusan untuk menjaga orang yang sudah sepuh. Tak jarang semakin bertambah usia dan uban, perangai bukannya semakin lembut tapi semakin tak bisa diberi tahu dan selalu merasa benar. Mila hanya meyakinkan ia bisa melewati semuanya demi kehidupan di rumah itu berjalan lebih baik. “Jalan kaki, Nak?” tanya Camelia pada putrinya. “Iya, mana tahu Mama mau pakai motor, kan, pulangnya deket-deket kuliah. Kalau nggak sempat pulang Mila langsung k
Satria berjalan tertatih di dalam hutan. Saat ia dikejar oleh sekelompok pembunuh dengan senjata tajam. Ia menyelamatkan diri lari ke sembarang arah lalu terjatuh berguling-guling di jurang yang dekat dengan tepi sungai. Di sana ia tak sadarkan diri selama berhari-hari. Lalu saat bangun, kakinya sakit bukan main dan tak bisa dibawa berjalan jauh. Ditambah Satria tak tahu sedang berada di mana. Kedalaman hutan yang ia tempati masih sangat luas, perawan, dan tentunya banyak binatang buas. Tidak ada senapan yang Satria bawa, hanya belati tajam yang beruntung masih tersangkut di pinggang. Di sana ia menyembuhkan dirinya sendiri. Minum air sungai, memakan ikan yang bisa ditangkap di sungai, dan tidur setelah menghidupkan api kecil agar terjaga dari terjangan binatang buas. Sampai suami Camila tak tahu lagi hari apa yang ia lewati, sudah berapa minggu atau bahkan mungkin sudah berbulan-bulan lamanya. Baju dinas yang Satria gunakan bahkan sudah lusuh dan robek. Namun, hanya itu satu-satunya
Camila tak bisa menahan air matanya di depan banyak orang. Suaminya—Satria—lelaki yang baru saja menikah dengannya kini dinyatakan hilang. Tidak meninggal tidak juga ada di tempat. Jejaknya tidak ditemukan usai baku tembak dengan kelompok bersenjata yang amat mematikan tersebut. Bibirnya bergetar dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia dibantu duduk oleh tentara wanita yang ada di sana, lalu diberikan segelas air agar sedikit tenang, mengingat Mila sedang hamil. “Yang sabar, ya, Ibu,” ucap petugas yang ada di ruangan itu. Namun, sampai sekarang tidak ada satu kata-kata pun yang masuk dalam kepala Mila. Ia hanya ingin suaminya ditemukan, walau harus mencari dalam kurun waktu yang sangat panjang. “Apa nggak bisa suami saya dicari lagi, Pak?” Camila berusaha tenang setelah puas menangis. “Sudah kami telusuri semua wilayah di dalam hutan, tetapi jejaknya tidak ada,” jawab petugas di sana. “Berarti suami saya belum mati.” Mila masih meyakini Satria masih hidup. “Ada dua kemungkinan. Ma
Satria berada di wilayah pedalaman sana. Selain ruas jalan terbaru akan dibuka besar-besaran tentu saja ada beberapa kelompok bersenjata yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran mereka dari dulu tidak pernah dianggap main-main. Tidak sedikit nyawa rakyat sipil atau bahkan militer yang tewas. Hal itu pulalah yang menjadi penyebab mengapa Camila tak enak hati melepas kepergian suaminya. Selain karena firasat seorang istri, juga kebersamaan mereka yang baru sebentar saja. Pagi itu beberapa kelompok kembali dibagi oleh pemimpin perjalanan. Satria mendapatkan tugas yang cukup berat. Ia harus berpatroli ke dalam hutan yang sangat belantara tentu dengan beberapa temannya yang lain. Sebelum berangkat doa bersama digelar, tak lupa pula Satria melihat ponselnya sejenak. Mana tahu ada pesan masuk dari istrinya. Namun, ternyata sinyal satu batang pun tidak kunjung muncul. Jelas saja sebab mereka berada di wilayah pedalaman. Pesan terakhir dari Camila ia terima beberapa bulan lalu. Betap
“Nggak bisa resign aja, Bang?” bisik Camila ketika mengantar kepergian suaminya. Ia menggunakan baju serba hijau resmi seperti halnya yang lain. “Tadi malam udah janji, kan, nggak mau bahas ini lagi,” jawab Satria sambil menggenggam tangan istrinya. Tak hanya mereka berdua saja di sana, yang lain juga ada. Kebanyakan membawa anak, dan hanya sedikit yang masih berdua saja dengan pasangannya. “Iya itu tadi malam. Pagi hari ya beda lagi, Bang. Seriusan perasaan Mila nggak enak. Nggak usah pergi ya.” “Terus kamu mau Abang kena pelanggaran berat. Udah, nggak usah mikir macem-macem. Abang nggak akan kawin lagi, kok, di sana. Pasti pikiran kamu ke sana, kan?” “Nggak. Bukan masalah itu.” “Berarti boleh di sana Abang kawin lagi kalau jumpa.” “Yok, menghadap atasan, minta berhenti sekalian. Otak Abang isinya kawin melulu dari tadi.” Mila menarik tangan lelaki itu, tak terima dengan candaan barusan. Ia agak sensitif mendengar kata nikah sirri atau sejenisnya. “Eh, udah. Bercanda aja diang
Camila dan Satria telah lama menyelesaikan bulan madu mereka. Keduanya kembali ke rencana awal untuk hidup berdua saja tanpa campur tangan Papa Dika ataupun Oma. Namun, ternyata memang tak mudah. Oma sangat suka mengatur kehidupan cucunya meski dari jarak jauh. Bahkan tak jarang wanita yang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit itu meminta Mila untuk makan di rumah, tanpa membawa suaminya. Jujur saja dalam hati Bu Inah, ia sulit menerima kehadiran lelaki itu karena perbedaan kasta. Hanya demi agar cucunya bahagia, ia terpaksa mengiyakan semua kata Dika. Agar kesalahan masa lalu itu tak terulang lagi. “Maafin Oma, ya, Bang. Jangan diambil hati. Nanti Mila bingung harus gimana,” ucap wanita berparas manis itu ketika datang ke rumah Bu Inah. Mereka menggunakan mobil baru yang dihadiahkan Dika untuk putrinya. Tentu saja Satria yang menyetir, karena hal itu sudah menjadi kewajiban dirinya sebagai suami. “Iya, apa, sih, yang nggak demi kamu. Kalau nggak cinta aja, nggak akan mau Aban
"Kenapa jalannya kayak gitu?" tanya Satria pada istrinya. Dua hari menginap di hotel mewah, pria itu telah mendapatkan apa yang selama ini ia nantikan."Pakai nanya segala, Bang. Emang nggak ingat tadi malam habis ngapain?" sindir Camila. Wanita itu lalu duduk di tepi ranjang dan setengah berbaring, ia tak ingin ke mana-mana hanya tidur saja seharian."Oh, ingat donk, kenapa? Mau diulang lagi, ayok, Abang siap aja kapan pun dibutuhkan." Pria itu berdiri dan menatap Camila yang meliriknya, ia langsung ikut duduk tetapi istrinya berguling ke sisi lain."Jangan, jangan dulu, please, Mila capek banget, Bang." Wanita berparas manis itu menutup wajahnya dengan bantal. "Jadi, kapan?" Satria memeluk istrinya dari samping. Menggoda Camila agar tersipu malu lagi seperti malam tadi. "Kapan-kapan, gak kejar target punya anak cepet, kan?" ujar Camila dari balik bantal. "Nggak juga harus cepet, tapi kalau bisa dua tahun sekali satu anak." "Agh, ikut program pemerintah, dua anak cukup." Mila mem
Dika terbata-bata ketika harus mengucapkan kalimat untuk melepaskan kepemilikan putrinya pada Satria. Berkali-kali ia salah mengucapkan nama atau lelaki itu bingung harus berkata apa, padahal sudah ada pihak KUA yang membantu Dika. Ya, lelaki itu seakan-akan tak rela kalau harus menyerahkan Mila secepat itu pada seorang pria yang bukan siapa-siapa baginya. Akad nikah dilangsungkan pagi itu di sebuah gedung dan langsung disambung pada resepsi sampai selesai. Mila yang sudah duduk di sebelah Satria sampai membersihkan wajahnya dengan tisu berkali-kali karena ia pun ikut grogi juga. Dika kembali menarik napas panjang, ia menguatkan hati kecilnya. Memang sudah saatnya ia harus melepaskan Camila pada pria yang telah berjanji akan membahagiakan putrinya. Hingga akhirnya ia tak terbata-bata lagi mengucapkan kalimat penyerahan lalu disambung Satria dalam satu tarikan napas tanpa kesalahan apa pun. Mila menarik napas lega dibuatnya. Gema kata sah di seluruh ruangan terdengar. Pernikahan merek
“Ya Allah, ribet sekali urusan untuk menikah dengan abdi negara ini.” Camila membaca berulang-ulang persyaratan yang baru saja dikirimkan oleh Satria. Ya, pernikahan mereka telah mendapatkan lampu hijau dari Oma. Cukup alot juga Dika memberitahu mamanya agar kesalahan yang sama tak terulang lagi seperti pada mendiang Amel dulu. Hanya perlu menunggu proses pengajuan selesai, dan lamaran resmi dari pihak keluarga Satria akan dilayangkan. “Kalau mau menyerah dari sekarang, bilang, Sayang. Nanti Oma lanjutkan perkenalan dengan Sadewa. Kan, anaknya lebih ganteng dan kaya daripada Satria,” jawab Oma yang melihat cucunya cemberut. “Eh, jangan Oma, nggak menyerah, kok. Baru juga mau diurus.”“Apa, sih, yang kamu lihat dari Satria. Secara akal juga lebih bagus Sadewa ke mana-mana,” tanya Bu Inah. Ia meredam egonya kali ini. Demi kebahagiaan Mila akan ia biarkan cucu perempuannya menikah dengan Satria. Meski setelah itu cucunya akan diboyong entah ke mana. Mengingat pemuda itu belum punya ru
Dika memanggil Satria secara khusus ke kantornya. Ruangan itu tertutup dan hanya ada mereka berdua saja. Lelaki yang telah menjalani masa duda selama enam bulan itu tahu tadi malam Mila pulang agak larut. Ia hanya takut putrinya terjerumus pada hal-hal tak baik. Sebagai orang tua tentu Dika khawatir dengan keselamatan Mila. “Tadi malam kita belum sempat bicara. Ada apa kamu datang ke rumah? Pasti ada sesuatu yang ingin dibahas, terus tadi malam apa putri saya masih pulang dalam keadaan utuh? Tidak kekurangan sesuatu apa pun pada Mila. Kamu nggak ambil kesempatan dalam kesempitan, bukan?” tanya Dika. Dua orang itu berhadap-hadapan, cinta yang mereka miliki untuk Camila sama besarnya.“Mila masih saya pulangkan utuh-utuh tadi malam, Pak. Tidak ada yang berkurang dari dirinya, kami terutama saya masih bisa menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya diinginkan,” jawab Satria apa adanya. “Lalu kedatangan saya tadi malam ingin serius menjalin hubungan dengan putri bapak tentunya.” “Oh, ya?