Malam pun datang, dengan mengenakan batik khas Solo, lima keluarga itu ; ayah, ibu dan kedua adik perempuan Dika pergi ke keluarga calon besan mereka.
Sampai di sana tak tanggung-tanggung sambutan yang diberikan. Hidangan lezat menggugah selera disediakan, bahkan lebih mewah dari makanan saat resepsi pernikahan Dika dan Amel.Lanjut setelah makan, perbicangan tentang bisnis kebun kepala sawit dibicarakan oleh dua orang kepala kelaurga, terletak di luar pulau. Investasi menjanjikan apalagi jika ditekuni selama puluhan tahun mendatang.Seorang gadis cantik keluar dengan potongan rambut pendek juga bergelombang. Khas pemain film Suzana dandanannya. Memang sedang trend pada saat sekarang. Ia menyapa Dika dengan ramah, mengajak lelaki itu berjabat tangan.Gadis yang digadang-gadangkan berpendidikan tinggi dan mampu menjadi pendamping seorang anak lelaki pertama dari keluarga terpandang. Fasih berbahasa Inggris dan teman-temannya juga dari kalangan kelas atas.Terlihat sedikit angkuh gayanya, terutama saat menjelaskan siapa dirinya dalam bahasa asing. Dika tak suka dengan perempuan seperti itu. Sinta berbeda dengan Amel yang lugu dan lemah lembut.“Rencana setelah selesai kuliah S2 kamu akan bagaimana dengan masa depanmu?” tanya Sinta.Baginya seorang laki-laki harus memiliki peta kehidupan yang jelas. Kalau tidak, ya, maka kepemimpinan akan diambil alih oleh perempuan.Dika tak suka dengan gaya Sinta yang menyebut dirinya dengan kata kamu. Berbeda dengan Camelia saat pertama kali berjumpa sudah sopan menyapanya dengan sebutan abang.“Ya, saya akan bekerja dengan Papa. Bantu-bantu bisnis keluarga,” jawab Dika ala kadarnya. Sungguh ia ingin pulang dan lari dalam rengkuhan hangat Amel. Melepas lelah dan rindu dalam satu selimut yang sama, dan pasti sangat menyenangkan.“Tidak ada rencana untuk membesarkan bisnis ke arah lain? Papa aku akan buka kebun sawit baru di Riau. Kamu tidak ada rencana untuk mencobanya juga?”“Nanti biar papa saya yang urus, saya belum bisa ambil keputusan sendiri.” Dika merendah di hadapan Sinta. Wanita itu tersenyum simpul, sedikit banyak lelaki perlente di depannya mudah untuk diatur.Pertemuan itu pun akhirnya selesai hampir tengah malam. Banyak hal yang dibicarakan, termasuk kedua belah pihak langsung berterus terang tentang rencana perjodohan Sinta dan Dika.Buah tangan dari Dika pun diberikan. Sinta menyukainya, bunga mawar putih dan kain batik yang dicanting dengan tangan langsung.“Bagaimana tadi kesan pertama dengan Sinta? Papa harap kamu cocok dengan dia. Elegan, berkelas dan produk anti gagal. Pasti kalau kamu menikah dengan dia bisa lahir anak laki-laki kebanggaan keluarga lagi,” ujar sang kepala keluarga dengan penuh penekanan.“Anak perempuan juga penting, Pa. Nanti siapa yang urus hidup orang tua. Anak laki-laki itu sibuk cari uang, anak perempuan yang di rumah.” Kata Bu Inah, membuat dua anak gadisnya saling melirik. Artinya mereka akan menjadi pembantu di rumah mertuanya nanti?“Lihat nanti, Pa, Ma. Semoga aja ada takdir yang baik untuk kami.” Dika malas berdebat lagi pula ia sedang menyetir.Sampai di rumah lelaki itu mengirimkan sms pada istrinya. Wanita itu tak membalas, entah sedang tidur atau ada pekerjaan lain. Tak tenang hati Dika, seolah-olah terjadi sesuatu dengan istrinya. “Kamu ke mana?” Ia menarik napas panjang, sudah dua jam tak juga mendapat balasan pesan.Hari demi hari dilewati Dika dengan gundah, tanpa balasan pesan juga teleponnya tidak diangkat. Libur juga masih lama, sengaja papanya memberikan tumpukan pekerjaan.Katanya agar anak lelaki mereka cepat pintar dan bisa mengatur perusahaan. Ditambah tak ada pula tetangga yang bisa ditanyakan.Kesalahan besar Dika menitipkan Amel tanpa mengenal lingkungan kiri dan kanan sama sekali. Sampai akhirnya waktu terus terlewati selama tiga minggu tanpa kabar dari Camelia.Risau? Jangan tanya lagi, Dika takut istrinya di bawa lari orang. Ingin bergerak juga susah. Bu Inah seolah-olah mengawasi hidup putranya selama 24 jam.Lalu akhirnya hal yang dinanti tiba. Dika mendapatkan tugas ke luar kota, tak jauh dari tempat Amel tinggal. Kali ini ia dilepaskan sendirian, sekalian belajar kata mamanya. Dengan senyum terkembang ia pergi ke luar kota, dibarengi khayalan dapat menemui Amel setelah satu bulan terpisah dan tentu saja untuk minta dilayani dari ujung rambut sampai kaki lagi.Pelayanan yang diberikan Amel membuatnya serasa seperti raja, tidak seperti di rumah yang selalu menyuruhnya untuk ini dan itu, ditambah lagi Sinta yang belum apa-apa saja sudah mulai mengaturnya.Dika sampai di rumah Amel, ia mengetuk pintu perlahan-lahan. Terbuka, Amel menyambutnya dengan muka yang masam dan merengut. Tak ada pelukan hangat, tak ada cium pipi kiri kanan dan tak ada cium tangan tanda patuh pada suaminya.Dika pun merasa kehilangan. Padahal ia sudah membawa banyak hadiah untuk istrinya itu.“Kamu kenapa, Mel? Marah sama Abang” tanya lelaki itu sambil masuk ke kamar mengikuti istrinya. Ia usap punggung wanita itu, terluka hati Dika mendapat penyambutan seperti demikian.“Aku pikir aku ini tidak ada artinya buat Abang. Sudah masuk tiga bulan usia pernikahan kita dan orang tua kamu tidak tahu apa-apa tentang anaknya yang sudah menikah. Abang pikir aku apa? Barang yang bisa dibuang sesuka hati?” Wanita itu menghela napas panjang.Ditinggal satu bulan dan hanya dijenguk sesekali membuatnya merasa seperti wanita simpanan saja, padahal dia istri sah secara agama.“Maafkan, Abang, Mel. Abang belum berani bicara sama kedua orang tua. Selain sibuk, juga karena kuliah Abang tinggal sedikit lagi. Kamu bisa sabar, kan?” Dika memeluk istrinya dari belakang.Rindu telah lama menuntut untuk dipenuhi terutama ketika mencium aroma bunga dari baju tidur Amel.“Sampai kapan? Aku takut tiba-tiba hamil dan orang tua Abang tidak terima kalau anaknya sudah mau punya anak.” Amel berusaha melepaskan pelukan itu tapi Dika menahannya.“Kenapa harus takut? Kamu hamil ada suaminya, anak kita bukan anak haram, kan?”“Kamu menyindir aku, Bang?”“Bukan gitu maksud Abang, Mel. Siapa tahu kalau ada anak justru akan membuat kedua orang tuaku luluh. Kalau gitu kita harus cepat-cepat kasih cucu untuk mama sama papa Abang. Gimana, bisa malam ini?” tanya lelaki itu sambil berusaha merayu Amel.“Bisa aja kamu, Bang.” Amel pun tersenyum juga.Tak dipungkiri ia juga rindu, semuanya tentang Dika ia rindukan. Lalu keduanya hanyut dalam pelabuhan cinta yang hanya satu kapal yang boleh berhenti. Tanpa keraguan, tanpa rasa curiga dan tanpa rasa takut akan kehilangan.BersambungHari berganti menjadi hari lalu berganti pula menjadi bulan. Dika kerap membagi waktunya agar bisa mengunjungi istrinya. Meski ia juga selalu diatur kapan harus berkencan dengan Sinta. Saat menatap mata Sinta yang Dika pikirkan hanyalah Amel saja. Makan malam romantis kembali digelar oleh Sinta, di sebuah restoran mewah dengan penyanyi pop yang mengenakan baju di atas lutut, suaranya yang merdu sangat asyik menemani malam yang bertaburan bintang. Sinta menyukai Dika, tapi tidak dengan lelaki itu. Ia gelisah, seperti ada hal lain yang ia rasakan. Berkali-kali lelaki itu melihat ponselnya, berharap ada kabar dari Amel. Sebab dua minggu lalu saat ditinggalkan istrinya mengeluh sakit kepala setiap hari dari pagi sampai malam. “Kamu kenapa? Sepertinya tidak suka dengan makan malam kita, sampai berkeringat begitu?” tanya Sinta, Dika tak menghiraukannya. Matanya tertuju pada tanda pesan masuk di ponselnya. Bergetar tangan lelaki itu membukanya. Sebuah pesan dari Amel. Di sana tertulis ba
Lelaki itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya, ia harus fokus sebab tak lama lagi akan ada ujian akhir. Semua harus selesai tepat waktu, agar pernikahannya bersama Amel bisa segera ia umumkan. Namun, pintu kamarnya diketuk, tanpa izin darinya Bu Inah masuk dan melemparan foto-foto mesra di ranjang Dika begitu saja. Foto putranya bersama seorang gadis dalam balutan jas hitam dan yang wanita menggunakan kebaya. “Mama sudah tahu?” tanya lelaki itu. Ia tak berani memandang mata wanita yang melahirkannya. “Dia siapa? Iya, baru Mama saja yang tahu, Papa belum. Bisa kamu bayangkan kalau Papa tahu dan menarik semua fasilitas yang sudah diberikan. Kamu akan hidup miskin tanpa mobil, motor, ponsel dan uang. Didepak dari kantor, dicoret dari daftar penerima harta warisan. Dan kamu bukan anak kami lagi.” Tegas Bu Inah. Ia tak pernah main-main dengan perkataannya. Apalagi jika sudah suaminya yang berkata-kata langsung. “Ma, apa salahnya Dika menikah?” “Tidak salah asal calonnya atas persetujua
Puluhan tahun kemudian sekitar tahun 2016 Bu Inah duduk di kursi rodanya. Suaminya telah lama tiada, dua anak perempuannya tentu ikut ke mana suami mereka pergi. Tinggallah orang tua itu di rumah anak lelakinya—Dika, dan sudah bisa dipastikan Sinta juga turut serta. Usai peristiwa perceraian dengan Amel, tak perlu menunggu waktu lama pernikahan dua orang kaya itu digelar juga. Peristiwa yang benar-benar hanya Dika dan mamanya saja yang tahu, mendiang papa tidak, begitu juga dengan dua adiknya. Namun, tidak menutup kemungkinan jika Sinta mencari tahu diluar sepengetahuan mertuanya. Masa tua yang sangat sepi. Dika dan Sinta dikaruniai dua anak laki-laki. Yang satu berusia 19 tahun yang satu lagi jaraknya sangat jauh, kira-kira tujuh tahun. Sebab Sinta yang mengatur jarak kehamilan itu. Bagi wanita keras kepala tersebut, tubuhnya adalah haknya. Ia yang menentukan kapan harus hamil bukan siapa pun. Sinta dan Bu Inah keduanya memiliki watak yang sama dan cenderung sering meributkan ha
Dika menatap mamanya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Amel, cinta pertama bahkan masih bertakhta di hatinya sampai sekarang. “Iya, Ma. Jaga kesehatan kalau gitu. Jangan tidur larut malam.” Dika memindahkan mamanya ke ranjang. “Setelah ketemu, walaupun dia tinggal jauh di pelosok desa, akan Mama datangi. Mama mau minta maaf, sama Amel sekalian. Kalau perlu kita pindah semua. Itu perintah Mama jangan dibantah lagi.” Ketegasan Bu Inah masih awet walau sudah duduk di kursi roda. Dika lagi-lagi hanya berkata iya saja. Paling nanti dia akan ribut lagi dengan Sinta. *** Satria meminta bantuan salah satu rekannya yang biasa melacak keberadaan orang hilang. Tak perlu menunggu sampai tiga hari. Dalam satu setengah hari saja semua data-datang tentang wanita bernama Camelia sudah terkumpul. Dimulai dari peristiwa wanita dengan lesung pipi itu keluar dari klinik bersalin dengan membawa bayi perempuan. “Camila, namanya?” tanya Satria pada temannya. “Iya, tulisanya gitu.” “Coba terus car
Putri pertama Amel terlahir dengan jalan yang baik dan benar, dia bukanlah anak yang kehilangan hak nafkah dari ayahnya, juga bukan anak haram yang digosipkan warga sekitar. Sebab Amel tak memilik suami. Amel akhirnya mencoba menghubungi Dika, nomor itu ternyata masih sama, dan yang mengangkat seorang perempuan. Terdiam Amel di tempatnya. Sudah ia duga cepat atau lambat mantan suaminya akan menikah lagi seperti yang dikatakan ibunya. Bahkan suara di seberang sana mengatakan bahwa yang menerima panggilan ialah Sinta, istri Dika yang sah secara agama juga negara. Lekas saja Amel tutup panggilan itu dan berjanji seumur hidupnya tak akan meminta hak nafkah Camila pada Dika. Biarlah lelaki itu berdosa dan menanggung semuanya di hari akhir besok. “Jangan pernah mimpi, Bang, untuk melihat wajah putri kita. Kamu sendiri yang memutuskan hubungan. Padahal dia darah daging dan nasabnya ada padamu. Ya sudahlah, anggap saja dulu aku wanita bodoh yang terlalu mudah dimabuk cinta,” ujar Amel pad
“Mah, Mila pergi dulu, ya. Pulang sore mungkin, kalau capek tutup aja kedai lebih cepet. Kumpulin duit dari dulu nggak kaya-kaya juga,” ujar gadis manis dengan lesung pipi itu. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan panas-panasan. Kalau nggak di rumah aja bantu Mama jualan.” “Nggak berkembang. Mau cari usaha lain aja." Mila pergi usai mencium tangan kedua orang tuanya. Terlebih dahulu ia antar adik laki-lakinya yang kini hampir tamat SD. Menggunakan honda fit X keluaran tahun 2008 yang masih cukup tangguh digunakan. Satu-satunya kendaraan yang digunakan untuk ke sana kemari di rumah itu. Amel yang membeli setelah menabung sekian lama. Camila begitu akrab dengan adik laki-lakinya, anak yang diberi nama Fathan. Amel benar-benar menutupi semua jejak tentang Dika pada diri putrinya. Amel mengatakan bahwa Mila dan Fathan kakak adik sedarah dan senasab. Padahal tidak, hanya seibu saja. Demi Fathanlah Amel bekerja apa saja yang menghasilkan uang. Ia tak mau adiknya seperti dirinya waktu kecil. Tak
Mila pulang dengan menggunakan motor usai menyelesaikan pertemuan yang berlangsung sampai waktu zuhur masuk. Oma—begitu Bu Inah minta dipanggil olehnya, benar-benar mengajak gadis itu mengobrolkan segala hal, termasuk rasa sepi yang mulai melanda sejak ditinggal suaminya lima tahun yang lalu, dan satu demi satu anaknya mulai fokus mengurus kehidupan masing-masing. Sejatinya hidup memang seperti itu, jika ada yang datang tentu akan ada yang pergi. Jika dulu berbuat jahat tentu balasan akan didapat walau tak sesegera mungkin turunnya. Namun, dari semua hal yang membuat Mila agak susah berpaling hari ini yaitu, kehadiran Satria. Pria muda yang katanya orang kepercayaan Oma juga Bapak Dika.“Tipis harapan, pasti gadis incarannya anak orang kaya juga. Mimpi kali dia mau sama aku yang kucel dan dekil gini.” Mila kembali ke kantor perumahan menyerahkan hasil laporannya kali ini. Gadis itu tak datang dengan tangan kosong saja. Uang muka senilai sepuluh juta rupiah diberikan oleh Dika sebaga
“Tunggu, Mel.” Dika memegang pergelangan tangan mantan istrinya, ketika Amel tak sudi lagi melihat wajahnya. Jelas saja wanita itu melepaskan dengan paksa. “Abang cuma ingin memberikan ini sedikit, nanti pasti Abang berikan setiap bulan. Kalau kurang kamu bisa bilang jangan sungkan, sedikit biaya bulanan untuk anak kita.” Dika mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang isinya cukup tebal. Namun, terlebih dahulu Amel menepisnya. “Terlambat kamu. Mila sudah bisa cari uang sendiri, sudah saya bilang dia anak yang mandiri. Jangankan uang, kehadiran kamu aja nggak diperlukan dalam hidupnya. Sekarang kalian berdua pergi dari sini. Atau saya panggil warga untuk mengusir kalian, jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke sini, haram rumah saya kalian datangi, selamanya, walau saya mati sekali pun.” Amel serius dengan perkataannya. Dika menarik napas panjang, ia mengajak Satria untuk pulang, bahkan bayaran untuk sepiring nasi yang tak habis ia makan ditolak oleh mantan istrinya. Lelaki itu tak ak
Satria berjalan tertatih di dalam hutan. Saat ia dikejar oleh sekelompok pembunuh dengan senjata tajam. Ia menyelamatkan diri lari ke sembarang arah lalu terjatuh berguling-guling di jurang yang dekat dengan tepi sungai. Di sana ia tak sadarkan diri selama berhari-hari. Lalu saat bangun, kakinya sakit bukan main dan tak bisa dibawa berjalan jauh. Ditambah Satria tak tahu sedang berada di mana. Kedalaman hutan yang ia tempati masih sangat luas, perawan, dan tentunya banyak binatang buas. Tidak ada senapan yang Satria bawa, hanya belati tajam yang beruntung masih tersangkut di pinggang. Di sana ia menyembuhkan dirinya sendiri. Minum air sungai, memakan ikan yang bisa ditangkap di sungai, dan tidur setelah menghidupkan api kecil agar terjaga dari terjangan binatang buas. Sampai suami Camila tak tahu lagi hari apa yang ia lewati, sudah berapa minggu atau bahkan mungkin sudah berbulan-bulan lamanya. Baju dinas yang Satria gunakan bahkan sudah lusuh dan robek. Namun, hanya itu satu-satunya
Camila tak bisa menahan air matanya di depan banyak orang. Suaminya—Satria—lelaki yang baru saja menikah dengannya kini dinyatakan hilang. Tidak meninggal tidak juga ada di tempat. Jejaknya tidak ditemukan usai baku tembak dengan kelompok bersenjata yang amat mematikan tersebut. Bibirnya bergetar dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia dibantu duduk oleh tentara wanita yang ada di sana, lalu diberikan segelas air agar sedikit tenang, mengingat Mila sedang hamil. “Yang sabar, ya, Ibu,” ucap petugas yang ada di ruangan itu. Namun, sampai sekarang tidak ada satu kata-kata pun yang masuk dalam kepala Mila. Ia hanya ingin suaminya ditemukan, walau harus mencari dalam kurun waktu yang sangat panjang. “Apa nggak bisa suami saya dicari lagi, Pak?” Camila berusaha tenang setelah puas menangis. “Sudah kami telusuri semua wilayah di dalam hutan, tetapi jejaknya tidak ada,” jawab petugas di sana. “Berarti suami saya belum mati.” Mila masih meyakini Satria masih hidup. “Ada dua kemungkinan. Ma
Satria berada di wilayah pedalaman sana. Selain ruas jalan terbaru akan dibuka besar-besaran tentu saja ada beberapa kelompok bersenjata yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran mereka dari dulu tidak pernah dianggap main-main. Tidak sedikit nyawa rakyat sipil atau bahkan militer yang tewas. Hal itu pulalah yang menjadi penyebab mengapa Camila tak enak hati melepas kepergian suaminya. Selain karena firasat seorang istri, juga kebersamaan mereka yang baru sebentar saja. Pagi itu beberapa kelompok kembali dibagi oleh pemimpin perjalanan. Satria mendapatkan tugas yang cukup berat. Ia harus berpatroli ke dalam hutan yang sangat belantara tentu dengan beberapa temannya yang lain. Sebelum berangkat doa bersama digelar, tak lupa pula Satria melihat ponselnya sejenak. Mana tahu ada pesan masuk dari istrinya. Namun, ternyata sinyal satu batang pun tidak kunjung muncul. Jelas saja sebab mereka berada di wilayah pedalaman. Pesan terakhir dari Camila ia terima beberapa bulan lalu. Betap
“Nggak bisa resign aja, Bang?” bisik Camila ketika mengantar kepergian suaminya. Ia menggunakan baju serba hijau resmi seperti halnya yang lain. “Tadi malam udah janji, kan, nggak mau bahas ini lagi,” jawab Satria sambil menggenggam tangan istrinya. Tak hanya mereka berdua saja di sana, yang lain juga ada. Kebanyakan membawa anak, dan hanya sedikit yang masih berdua saja dengan pasangannya. “Iya itu tadi malam. Pagi hari ya beda lagi, Bang. Seriusan perasaan Mila nggak enak. Nggak usah pergi ya.” “Terus kamu mau Abang kena pelanggaran berat. Udah, nggak usah mikir macem-macem. Abang nggak akan kawin lagi, kok, di sana. Pasti pikiran kamu ke sana, kan?” “Nggak. Bukan masalah itu.” “Berarti boleh di sana Abang kawin lagi kalau jumpa.” “Yok, menghadap atasan, minta berhenti sekalian. Otak Abang isinya kawin melulu dari tadi.” Mila menarik tangan lelaki itu, tak terima dengan candaan barusan. Ia agak sensitif mendengar kata nikah sirri atau sejenisnya. “Eh, udah. Bercanda aja diang
Camila dan Satria telah lama menyelesaikan bulan madu mereka. Keduanya kembali ke rencana awal untuk hidup berdua saja tanpa campur tangan Papa Dika ataupun Oma. Namun, ternyata memang tak mudah. Oma sangat suka mengatur kehidupan cucunya meski dari jarak jauh. Bahkan tak jarang wanita yang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit itu meminta Mila untuk makan di rumah, tanpa membawa suaminya. Jujur saja dalam hati Bu Inah, ia sulit menerima kehadiran lelaki itu karena perbedaan kasta. Hanya demi agar cucunya bahagia, ia terpaksa mengiyakan semua kata Dika. Agar kesalahan masa lalu itu tak terulang lagi. “Maafin Oma, ya, Bang. Jangan diambil hati. Nanti Mila bingung harus gimana,” ucap wanita berparas manis itu ketika datang ke rumah Bu Inah. Mereka menggunakan mobil baru yang dihadiahkan Dika untuk putrinya. Tentu saja Satria yang menyetir, karena hal itu sudah menjadi kewajiban dirinya sebagai suami. “Iya, apa, sih, yang nggak demi kamu. Kalau nggak cinta aja, nggak akan mau Aban
"Kenapa jalannya kayak gitu?" tanya Satria pada istrinya. Dua hari menginap di hotel mewah, pria itu telah mendapatkan apa yang selama ini ia nantikan."Pakai nanya segala, Bang. Emang nggak ingat tadi malam habis ngapain?" sindir Camila. Wanita itu lalu duduk di tepi ranjang dan setengah berbaring, ia tak ingin ke mana-mana hanya tidur saja seharian."Oh, ingat donk, kenapa? Mau diulang lagi, ayok, Abang siap aja kapan pun dibutuhkan." Pria itu berdiri dan menatap Camila yang meliriknya, ia langsung ikut duduk tetapi istrinya berguling ke sisi lain."Jangan, jangan dulu, please, Mila capek banget, Bang." Wanita berparas manis itu menutup wajahnya dengan bantal. "Jadi, kapan?" Satria memeluk istrinya dari samping. Menggoda Camila agar tersipu malu lagi seperti malam tadi. "Kapan-kapan, gak kejar target punya anak cepet, kan?" ujar Camila dari balik bantal. "Nggak juga harus cepet, tapi kalau bisa dua tahun sekali satu anak." "Agh, ikut program pemerintah, dua anak cukup." Mila mem
Dika terbata-bata ketika harus mengucapkan kalimat untuk melepaskan kepemilikan putrinya pada Satria. Berkali-kali ia salah mengucapkan nama atau lelaki itu bingung harus berkata apa, padahal sudah ada pihak KUA yang membantu Dika. Ya, lelaki itu seakan-akan tak rela kalau harus menyerahkan Mila secepat itu pada seorang pria yang bukan siapa-siapa baginya. Akad nikah dilangsungkan pagi itu di sebuah gedung dan langsung disambung pada resepsi sampai selesai. Mila yang sudah duduk di sebelah Satria sampai membersihkan wajahnya dengan tisu berkali-kali karena ia pun ikut grogi juga. Dika kembali menarik napas panjang, ia menguatkan hati kecilnya. Memang sudah saatnya ia harus melepaskan Camila pada pria yang telah berjanji akan membahagiakan putrinya. Hingga akhirnya ia tak terbata-bata lagi mengucapkan kalimat penyerahan lalu disambung Satria dalam satu tarikan napas tanpa kesalahan apa pun. Mila menarik napas lega dibuatnya. Gema kata sah di seluruh ruangan terdengar. Pernikahan merek
“Ya Allah, ribet sekali urusan untuk menikah dengan abdi negara ini.” Camila membaca berulang-ulang persyaratan yang baru saja dikirimkan oleh Satria. Ya, pernikahan mereka telah mendapatkan lampu hijau dari Oma. Cukup alot juga Dika memberitahu mamanya agar kesalahan yang sama tak terulang lagi seperti pada mendiang Amel dulu. Hanya perlu menunggu proses pengajuan selesai, dan lamaran resmi dari pihak keluarga Satria akan dilayangkan. “Kalau mau menyerah dari sekarang, bilang, Sayang. Nanti Oma lanjutkan perkenalan dengan Sadewa. Kan, anaknya lebih ganteng dan kaya daripada Satria,” jawab Oma yang melihat cucunya cemberut. “Eh, jangan Oma, nggak menyerah, kok. Baru juga mau diurus.”“Apa, sih, yang kamu lihat dari Satria. Secara akal juga lebih bagus Sadewa ke mana-mana,” tanya Bu Inah. Ia meredam egonya kali ini. Demi kebahagiaan Mila akan ia biarkan cucu perempuannya menikah dengan Satria. Meski setelah itu cucunya akan diboyong entah ke mana. Mengingat pemuda itu belum punya ru
Dika memanggil Satria secara khusus ke kantornya. Ruangan itu tertutup dan hanya ada mereka berdua saja. Lelaki yang telah menjalani masa duda selama enam bulan itu tahu tadi malam Mila pulang agak larut. Ia hanya takut putrinya terjerumus pada hal-hal tak baik. Sebagai orang tua tentu Dika khawatir dengan keselamatan Mila. “Tadi malam kita belum sempat bicara. Ada apa kamu datang ke rumah? Pasti ada sesuatu yang ingin dibahas, terus tadi malam apa putri saya masih pulang dalam keadaan utuh? Tidak kekurangan sesuatu apa pun pada Mila. Kamu nggak ambil kesempatan dalam kesempitan, bukan?” tanya Dika. Dua orang itu berhadap-hadapan, cinta yang mereka miliki untuk Camila sama besarnya.“Mila masih saya pulangkan utuh-utuh tadi malam, Pak. Tidak ada yang berkurang dari dirinya, kami terutama saya masih bisa menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya diinginkan,” jawab Satria apa adanya. “Lalu kedatangan saya tadi malam ingin serius menjalin hubungan dengan putri bapak tentunya.” “Oh, ya?