Prolog dari buku kedua. Gabriel. Aku duduk di kantorku dengan pikiranku yang menerawang. Kekhawatiran akan saudaraku membuat benakku sesak siang dan malam. Sudah beberapa bulan sejak keributan yang disebabkan oleh Emma dan sejak dia akan menikahi Ava sebab dia telah menghamilinya. Sejak di hari dia kehilangan Emma, dia tidak sama. Seolah sesuatu di dalam dirinya rusak. Seolah dia hanya sedang setengah hidup. Travis berkata padaku bahwa Emma juga sama, tapi sebagaimanapun aku juga menyayanginya, dia bukanlah kekhawatiran utamaku. Aku hanya akan tetap loyal pada Rowan tidak peduli apa yang dilakukannya. Aku menarik laciku dan mengambil sekotak rokok. Aku menyumat sebatang dan menghisapnya dan merasakan diriku sedikit tenang. Aku tahu ini kebiasaan yang buruk, tapi aku tidak bisa berhenti. Tidak ketika hanya inilah hal selain seks yang bisa membuat diriku tenang. Aku berdiri dari kursiku dan menatap kantorku. Aku sedang magang di perusahaan keluarga kami. Perusahaan ini sudah berdiri
Memang itu bukan bagianku. Rowan-lah yang bertanggung jawab atas akuisisi bisnis baru. Dia benar-benar bekerja dengan sangat baik di bagian itu, tapi sekarang ini dia sedang tidak dalam kondisi baik untuk melakukannya. Di usia kami yang ke dua puluh dua, kami melakukan pekerjaan kami dengan sangat baik. Bukannya aku menyombong, tapi seluruh orang di industri ini mengenal si kembar dari Keluarga Wijaya. Segalanya berjalan dengan lancar sampai Ava menghancurkan segalanya. Jalang itulah alasan mengapa kembaranku hancur.“Aku tahu, tapi bukan itu alasanku ke sini,” ujarnya dengan nada datar. Aku harus memujinya. Kalau dia mengambil alih bisnis keluarganya lebih awal, mungkin dia bisa menyelamatkan perusahaan mereka, sebab aku bisa melihat di balik matanya, Andrew itu orang yang tajam dan culas. “Lalu, apa maumu?”Aku tahu apa yang dilakukannya. Dia membuatku merasa cemas dan aku tidak menyukainya.“Mudah saja,” ujarnya dan aku menelisik pandangannya. “Aku ingin kamu menikahi adikku.”“K
Aku berdiri di samping dengan memegang segelas sampanye dan memandang sekeliling. Semua orang terlihat dalam suasana hati bagus dan bahagia, selain diriku. Kami sedang berada di resepsi pernikahan kedua milik Rowan dan Ava, dan aku tidak bisa merasa hatiku senang. Jangan salah, aku benar-benar bahagia melihat kembaranku. Aku bahagia bahwa dia dan Ava bisa memperbaiki segalanya, bahagia bahwa mereka memiliki kesempatan kedua meskipun kisah cinta mereka dimulai dengan tidak baik. Walau begitu, aku mungkin terdengar egois, tapi aku memiliki masalah sendiri untuk ditangani. Aku masih tidak bisa melupakan percakapanku bersama ayahku kemarin. Pembicaraan itu seolah menelanku hidup-hidup dan membuatku menggila. Percakapan itu menghancurkan suasana hatiku. Seharusnya aku tengah menari-nari, seharusnya aku berkenalan dengan wanita seksi yang lajang dan memutuskan siapa wanita beruntung yang bisa kutiduri, tapi aku malah murung di sini dan berharap sampanye ini diganti dengan sesuatu yang le
Aku menoleh ke kembaranku. Aku tidak menyadari bahwa dia tidak lagi di samping Ava. Aku tidak pernah melihatnya sebahagia ini, kecuali saat hari di mana Noah lahir dan hari pertama Liliana memanggilnya Ayah. Senyumnya begitu menyilaukan dan matanya berbinar. Dia terlihat dan terasa berbeda dari Rowan yang kukenal bertahun-tahun ini. “Tidak ada apa-apa,” gumamku sambil mengerlingkan pandanganku ke arah orang tuaku yang tengah terduduk. Sialan para petinggi perusahaan itu dan urusan mereka. “Bohong kamu. Kamu lupa kalau aku kembaranmu? Aku tahu kalau kamu tidak baik-baik saja,” ujarnya dengan bersikeras. Inilah salah satu dari sekian kali aku membenci mempunyai kembaran. Tidak ada yang bisa membaca pikiranku kecuali Rowan. Tidak mungkin aku bisa menyembunyikan segalanya darinya. “Kita bisa membicarakannya ketika kamu sudah kembali dari bulan madumu. Hari ini hari pernikahanmu, aku tidak mau membebanimu dengan masalahku.”“Ah, seperti sama siapa kamu ini. Ayolah, katakan saja.”Aku
Aku menatap pada laporan di tanganku dengan tatapan kosong. Beberapa minggu terakhir rasanya berat, bisa dibilang aku sangat membenci minggu-minggu ini, terutama disebabkan oleh para petinggi yang terus mengurusi urusanku. Kecuali ayahku, aku bertanya-tanya apakah orang-orang ini tidak ada pekerjaan lain sampai-sampai mau memaksaku untuk melakukan hal yang tidak kuinginkan? Astaga, mereka bahkan memecat sekretarisku yang benar-benar seksi dan menggantinya dengan yang laki-laki. Kata mereka, aku tidak diperbolehkan memiliki sekretaris wanita sampai aku menikah. Bajingan itu bahkan melakukan yang lebih jauh untuk mengancam posisiku. Mereka berkata bahwa kalau mereka melihat atau mendengar gosip soal wanita baru di hidupku yang bukanlah istriku, maka aku akan kehilangan segalanya. Ayah mencoba berbicara dengan mereka sebagai kepala petinggi, tapi keputusan mereka sudah gelap. Aku harus menikah dan menunjukkan kedewasaan serta tanggung jawabku atau mereka akan membuatku keluar dan menen
HanaPandanganku jatuh pada foto Eddy, suamiku yang telah meninggal. Sudah dua tahun berlalu dan aku masih merindukannya seperti orang gila.Aku meletakkan sapu sembari menghela nafas dan mengambil foto itu. Aku duduk di sofa tua yang sudah usang dan hanya menatapnya, aku hanya bisa mengelus wajahnya di foto dengan lembut. Kami berusaha untuk melupakannya, tetapi itu tidak mudah. Dia melamarku saat kami masih kuliah dan kami menikah segera setelah aku menyelesaikan kuliahku. Awalnya, aku tidak begitu yakin padanya. Maksudku, aku tidak punya pengalaman dengan pria, kecuali Gabriel, tapi dia tidak dihitung. Pria yang dulunya suamiku memperlakukanku seolah aku adalah virus yang ingin segera dia buang.Eddy tahu segalanya tentang Gabriel. Dia tahu apa yang terjadi dalam pernikahan kami dan juga mengapa dia menceraikanku sebelum mengusirku ke jalanan sehari setelah aku menguburkan saudaraku.Ketika aku pergi ke luar negeri untuk melarikan diri, aku begitu hancur sehingga aku bertanya-tanya
Aku menatapnya dengan benar-benar terkejut. Segera aku menutup mulutku agar tidak terlihat bodoh sebab rahangku ternganga. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan kembali bertemu dengan Gabriel. Aku mengira bahwa hari saat dia menceraikanku adalah hari terakhir aku akan melihatnya.Aku tahu kalian mungkin bertanya tentang tabloid dan saluran gosip di TV, tapi itu bukan urusanku. Aku terlalu sibuk untuk fokus pada apa yang terjadi dengan para selebriti.“Apakah kamu tidak akan membiarkanku masuk?” Suaranya yang dalam menginterupsi pikiranku.Aku menarik nafas dalam-dalam dan menenangkan diriku. Sekarang bukan waktunya untuk kehilangan fokus.“Apa yang kamu lakukan di sini?”Kehadirannya di sini lebih dari sekedar kejutan, dan aku juga tahu bahwa ini bukan kebetulan. Tidak sama sekali. Gabriel yang aku kenal tidak melakukan sesuatu tanpa alasan. Jika dia di sini dengan sukarela, maka ada sesuatu yang dia inginkan.‘Apakah kamu benar-benar ingin tahu apa yang dia inginkan?’ tanya
“Tidak!” Seruku, bahkan mengejutkan sekali mendengar diriku sendiri mengatakan itu dengan tegas. Dia menatapku dengan sebuah perasaan yang tidak terungkapkan. Dalam hitungan detik, wajahnya menjadi kosong, dan ekspresi dingin yang menggantikan ekspresi itu.Aku menyadari seketika ruangan ini terasa kelam. Inilah Gabriel yang aku kenal. Gabriel yang aku tahu. Pria keras kepala yang bisa menjadi berbahaya ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.“Begitukah? Kamu bahkan belum mendengarkan apa yang ingin aku katakan serta yang akan aku usulkan” Dia sekarang terlihat tenang, tetapi aku tahu itu hanya topeng semata. Aku tahu ada kelicikan di balik pemikiran itu. Dia terasa seperti seekor hiu yang bergerak tenang sebelum kamu bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi atau bagaimana kamu berakhir terjebak dalam cengkeramannya.“Tidak,” ulangku. “Aku tidak ingin menjadi bagian dari apa pun yang ingin kamu usulkan,” jawabku dengan percaya diri.Membuat kesepakatan dengan Gabriel sepert
Ketika Gabriel mengatakan padaku bahwa kami akan mengunjungi keluarganya di acara barbekyu mingguan mereka, aku tidak berpikir acaranya akan secepat ini. Kemarin di kantor aku begitu sibuk. Jelas sekali bahwa pegawai wanita begitu menggilai Gabriel. Sejujurnya, aku tidak masalah. Bukan salahnya karena dia sendiri begitu menawan. Apa yang menjadi masalah adalah beberapa pandangan penuh kebencian dan iri hati yang kudapatkan dari beberapa wanita itu. Kalau kupikir hanya Laras-lah wanita satu-satunya yang mengancamku akan merebut Gabriel, yah aku salah. Bahkan aku tidak bisa menghitung berapa kali aku ‘diajak bicara’ oleh beberapa wanita ketika Christopher menyuruhku untuk melakukan sesuatu di bawah. Ternyata, dua wanita yang dimarahi oleh Gabriel tadi itu bertanggung jawab karena menyebarkan berita bahwa aku wanita barunya Gabriel. Sepertinya tangannya yang ditaruh di punggungku-lah yang membuat mereka mengira demikian. Kabar baiknya adalah mereka semua berpikir aku hanyalah sekedar m
"Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Wijaya," ujarnya setelah beberapa saat sambil memberikan senyum lebar yang menyilaukan."Senang juga bertemu denganmu," jawabku, menjabat tangannya. "Lalu, panggil saja aku Hana.""Karena sudah jelas, Christopher, Hana akan bekerja bersama Anda. Aku butuh dia belajar beberapa hal, jadi tolong tunjukkan semua yang perlu dia ketahui," kata Gabriel, menarik perhatian kami ke arahnya."Tentu, Bos," jawab Christopher.Dia hendak berbalik, tetapi berhenti sejenak. "Dan tolong jangan beri tahu siapa pun bahwa dia istriku untuk saat ini. Jika ada yang bertanya, tetap diam saja," tambahnya, sebelum melangkah ke meja kerjanya dan duduk.Mata Christopher berpindah dari aku ke Gabriel. Ada tampak kebingungan, tapi aku tidak bisa menjelaskan situasinya. Kami sudah sepakat bahwa sampai orang tua Gabriel tahu, kami tidak akan mengumumkan pernikahan kami.“Kalian berdua bisa pergi,” ujar Gabriel dengan suara yang terdengar sibuk. Matanya sudah tertuju pada dokumen-d
Dia mulai berjalan lagi dan aku mengikutinya dari belakang.“Ini kantor Rowan,” ujarnya setelah kami berhenti di depan sebuah pintu.Namanya tertulis di pintu itu. Aku mengangguk, tidak begitu paham kenapa aku perlu tahu soal ini. Ya, aku akan bekerja untuknya, tapi apa aku benar-benar perlu berurusan dengan atasan lain?“Kantorku tepat di sebelahnya, tapi biar kutemani keliling perusahaan dengan cepat sebelum aku minta sekretarisku yang lain untuk menunjukkan sisanya dan membimbingmu tentang tugas-tugasmu nanti.”“Itu benar-benar tidak perlu ... sekretarismu saja pasti bisa menemaniku berkeliling. Kamu pasti punya banyak hal yang harus dikerjakan,” ujarku dengan suara yang dibuat manis.Gabriel terkenal karena sering tidur dengan asisten pribadinya, dan dia tidak pernah benar-benar menyembunyikan fakta kotor itu.Hal itu sangat menggangguku waktu kami masih menikah. Aku benci mengetahui kalau dia suamiku, tapi tetap saja dia tidak bisa menjaga diri. Bukan berarti aku tidak bisa member
“Hana, keluarlah dari mobil sekarang! Kamu membuang-buang waktuku,” bentak Gabriel padaku.Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Alisnya mengernyit dan dia terlihat tidak sabar dan kesal. Aku mendesah sebelum turun dari mobil. Inilah Gabriel yang biasa kutemui. Dingin, arogan, dan kasar.Aku merapikan rokku sebelum mengambil tas tangan. Dia mulai berjalan, dan aku mengikutinya dari belakang seperti anak domba yang digiring ke rumah jagal. Rasanya aku sangat gugup, seolah jantungku hampir meloncat keluar dari dadaku.Aku sedang memasuki dunia Gabriel. Wilayahnya. Rasanya tidak nyaman dan menakutkan berada di tempat di mana dia memiliki kendali penuh atas setiap aspek.Gabriel menekan tombol lift, dan pintunya terbuka. Aku masuk, berdiri di sebelahnya, dan mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar kencang."Satu-satunya yang punya akses ke lift ini adalah keluargaku, dan lift ini langsung membawa kita ke lantai atas, tempat kantor kami," ujarnya lalu melanjutkan, "Aku akan mena
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup