“Katakan saja padanya untuk menjauh. Tapi, katakan dengan baik-baik ya?”“Oke.”Dia kembali makan dan segera dia menyelesaikan makan malamnya. Dia eninggalkan meja dan bilang padaku bahwa dia akan mandi sebelum tidur. Beberapa menit kemudian, aku selesai makan. Aku merasa lelah dan mau segera tidur. Aku berdiri dari dudukku saat Rowan kembali. “Kamu sudah selesai?” tanyanya sambil duduk. “Iya. Aku mau memeriksa Liliana dulu, lalu aku akan tidur.”“Aku akan naik sebentar lagi.”Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan ke arah kamar utama. Kamar kami ada di sebelah kamar Liliana. Setelah memastikan dia sudah tertidur, aku menuju kamarku.Aku memutuskan untuk merendam diriku yang lelah ini, jadi aku memutuskan untuk mandi. Aku masuk ke bathup dan membiarkan pikiranku berkecamuk. Segalanya menjadi begitu membingungkan sejak aku terbangun. Aku mau percaya bahwa segalanya sudah berubah, tapi aku tidak bisa tidak bisa berhenti merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Perilaku Rowan-lah y
Aku terbangun dengan setengah tubuhku ada di atas Rowan dengan lengannya yang memeluk erat pinggangku. Dengan perlahan aku mengangkat kepalaku dari dadanya. Ini adalah hal lain yang terasa baru bagi kami. Lihat saja dari keintiman posisi tidur ini, pasti kalian pikir bahwa kami saling mencintai. Hanya aku yang tahu kebenarannya. Memang ada cinta di pernikahan kami, benar itu, tapi itu adalah cinta bertepuk sebelah tangan. Aku perlahan bangun. Aku tidak mau membangunkannya. Aku perlu waktu untuk diriku sendiri. Aku perlu waktu untuk mencoba mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku merasa hidupku berbalik 180 derajat sejak aku terbangun dari koma itu. Sudah dua hari berlalu, tapi di dua hari itulah kejadiannya penuh dengan tikungan dan hal tidak terduga. Sekarang, aku masih merasa terkejut akan kejadian-kejadian yang telah berlalu. Aku tidak yakin haruskah aku memercayai mataku atau hatiku. Aku melihat botol susu di nakasnya. Liliana terbangun tiga kali. Aku menyusuinya sampai di kal
Aku mencoba untuk berpikir, tapi tidak ada yang terdengar masuk akal. Emma sudah kembali? Bagaimana mungkin?Ketika dia pergi, dia bersumpah tidak akan pernah kembali. Ayah, Ibu, dan Travis-lah yang biasa mengunjunginya, tapi dia tidak pernah pulang ke rumah. Tidak bahkan untuk sebuah liburan. Nyatanya, keluargaku biasanya yang ke sana dan menghabiskan Natal bersamanya, aku tidak pernah diundang. Sebelum Noah sudah cukup umur untuk mengerti segala hal, aku selalu menghabiskan Natal sendirian. Ketika keluargaku pergi bersama Emma, Rowan dan Noah pergi bersama keluarga Rowan, dan seperti biasa, aku tidak diundang. Melihatnya di sini, di rumahku membuatku terkejut. Dia pernah berkata padaku bahwa kalau dia memiliki kesempatan, dia akan segera kembali pada Emma. Inilah yang semakin membuatku bingung. Kalau dia sudah kembali, lalu mengapa Rowan menciumku? Kenapa dia masih bersamaku?Aku berjalan menjauh dan dia mengumpat. Aku tidak tahu umpatannya ditujukan karena aku menjauh darinya atau
Kami bahkan tidak menyadari dia sudah memasuki kamar. Dia bersandar di kusen pintu dengan melipat tangannya di dada, yang membuat otot tangannya membesar. Dia memakai kaus berkerah V dan jins hitam. Rambitnya masih basah dan dia tidak memakai alas kaki. “Maksud Ayah seperti sapi atau hewan lainnya yang kulihat di acara TV soal peternakan?” tanya Noah. Pandangannya berganti-ganti dari aku, Liliana, dan ayahnya. Liliana terbaring tenang di tanganku setelah mengeluarkan gas, dan sama sekali tidak paham akan apa yang tengah kami diskusikan dan caranya menyusu.“Benar. Tepat seperti itu,” balasku dengan senyuman. Matanya menjadi tidak fokus selama beberapa saat sebelum mengerutkan hidungnya sebab merasa aneh. “Benar-benar menjijikkan,” ujarnya sambil berjalan menjauh seolah aku ini menjijikkan. “Kupikir dia akan lebih senang kalau pakai botol.”Pandangannya terus berpindah dari dadaku ke Liliana. “Lalu, bagaimana kalau Ibu sedang tidak ada? Apa yang akan terjadi? Bisakah kita pakai sus
“Katakan sesuatu, Ava,” ujar Travis dengan nada memohon. Aku menatap mereka. Aku tidak yakin apa yang harus kurasakan. Ayah dan aku tidak akrab. Terutama setelah apa yang telah terjadi di antara Rowan, Emma, dan aku. Aku hanya tidak pernah berharap dia meninggal, tapi aku juga tidak bisa bilang kalau aku sedih. Apakah ini akan membuatku jadi orang jahat? Bahwa pria yang kukenal sebagai ayahku selama ini meninggal, tapi aku malah tidak merasakan kesedihan?“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” gumamku jujur. Rowan mengarahkanku untuk duduk. Kami duduk di arah yang berlawanan dengan ketiga orang yang seharusnya merupakan keluargaku. Aku memandangi mereka, lalu menggeleng kebingungan. Aku dulu merasa sayang pada mereka. Di luar kejahatan mereka, kasihku pada mereka bukan sesuatu yang bisa kusembunyikan. Tapi sekarang, aku tidak merasakan apa-apa. Tempat di mana kasihku pada mereka dulu tercurah sudah kosong. Tidak ada jejak kasih sayang lagi bagi mereka. Hal ini membuatku bertan
“Seperti yang sudah kukatakan berulang kali, kamu bukan keluargaku, jadi dia bukanlah ayahku. Selain itu, pria itu memperlakukanku seolah aku ini orang terkutuk. Aku tidak pernah berharap dia meninggal. Ditambah lagi, seharusnya dia memeriksa latar belakangnya sebelum membuat perjanjian dengan mereka.”“Jadi menurutmu ini salahnya sendiri dia bisa meninggal?” tanya Travis sambil menggertakkan giginya. Aku mengedikkan bahuku. “Apa yang kamu harapkan? Jangan khianati organisasi kriminal dan berharap bebas dengan hati riang.”“Tidak bisa kupercaya kamu akan berkata seperti itu,” lirih Ibu dengan berusaha menahan air matanya. “Dan tidak bisa kupercaya juga kalian di sini. Apa yang kalian lakukan di sini? Aku sudah membayangkan kalian bertiga untuk mendoakan aku meninggal dengan menderita.” Aku melawan balik dengan kepahitan di suaraku. Aku terkejut akan perkataan yang keluar dari mulutku. Seperti bukan aku saja. Seakan ada seseorang yang mengambil alih tubuhku. Aku tidak bisa menghentik
Beberapa jam berlalu sejak Noah membentak ketiga tamu tidak diinginkan itu. Mereka sekarang ada di halaman belakang untuk menikmati matahari. Noah terlihat sudah tenang, tapi aku sangat tahu dia. Dia orang yang tajam. Tatapannya masih menatap mereka dan mengawasinya, seolah dia menunggu mereka untuk berbuat salah. Liliana tengah tidur di kamarnya, dan aku di dapur untuk mengambil nafas. Ibu dan Travis terus mencoba untuk menggendong Liliana, tapi untuk beberapa alasan, hatiku tidak mau menyetujuinya. Itu bahkan bukan hal utama yang menggangguku. Yang menggangguku adalah Emma yang tidak menghargaiku dan perasaanku. Dia melakukan itu di rumahku sendiri. Aku paham bahwa aku bersalah padanya saat aku tidur bersama Rowan, tapi Rowan sekarang adalah suamiku. Seharusnya aku tidak merasa terganggu saat dia mencoba mendekat dengannya. Caranya tersenyum nakal, menggoyangkan pinggangnya saat lewat di dekatnya, dan menggesekkan tubuhnya saat dia didekatnya. Aku tidak mau cemburu, tapi nyatanya
“Terus kenapa?”Dia meraih lengannya dan sedikit mendorongnya. “Terus kenapa?” geramnya. “Dia istriku. Istriku. Dan kamu kasar dan tidak menghargainya sepanjang waktu!”“Rowan,” Travis mencoba untuk ikut campur, tapi Ibu menghentikannya. Sejujurnya aku tidak paham mengapa dia melakukannya. Ibu selalu memihak pada Emma. Perasaanku dinomor sekiankan. Emma-lah yang terutama, dan apa yang Emma mau, didapat olehnya. “Istrimu?” dengusnya. “Dia bukan siapa-siapa kecuali jalang yang merebutmu dariku, dan seakan itu belum cukup, dia menjebakmu saat dia hamil. Kamu milikku, Rowan. Akulah yang kamu cintai, ingat itu?”Aku tidak mendengar apa yang dikatakannya setelah itu sebab aku berjalan kedapur. Aku benar-benar jengkel. Aku juga tidak mau mendengar jika Rowan mengatakan kalau dia mencintainya. Itu bukan rahasia lagi kalau dia mencintainya. Memang, dia perhatian padaku sekarang, bahkan memberiku beberapa kecupan, tapi hatinya selalu milik Emma. Dia benar. Rowan itu milik Emma seutuhnya.Keti
“Apakah makanannya sudah siap?” tanyaku ke pengurus rumah ketika aku memasuki dapur. Dia menjawab dengan senyuman lembut, “Belum, tapi akan siap dalam beberapa menit.”“Baiklah, biar aku menyiapkan mejanya.”Dia baru saja akan membantah, tapi dengan cepat kupotong argumennya. Aku mau membantu. Karena dia memasak, inilah setidaknya yang bisa kulakukan. “Apakah kamu perlu bantuan?”Aku menengadah dan melihat Ibu Gabriel dari sisi meja makan yang berlawanan. Aku menyusun piring di meja dan memberinya senyuman. “Iya. Tapi, aku hampir selesai.”Dia berjalan ke arahku dan mulai membantu menyusun gelas dan sendok. “Jadi, Hana, bagaimana perlakuan putraku terhadapmu?” tanyanya secara tiba-tiba. Aku tidak segera menjawab. Aku perlu beberapa saat untuk memikirkan pertanyaannya, bukan karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi karena nada suaranya. Dia bukan hanya sedang memulai perbincangan. Dia benar-benar ingin tahu bagaimana perlakuan Gabriel terhadapku. Sepertinya aku terdia
“Kenapa aku membiarkan kalian berdua memengaruhiku dalam rencana kalian?” tanyaku dengan penuh nada frustasi sambil menatap Gabriel dan Lilly. “Sekarang, kita terlambat.”Mereka berdua sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Lilly tersenyum dan matanya berbinar akan kebahagiaan, sedangkan Gabriel mengulas senyumnya. Mereka berdua terlihat puas akan diri mereka sendiri. Aku menghela nafas kalah, bingung akan apa yang harus kuperbuat dengan mereka berdua. Aku bisa jelas melihatnya. Pasangan Ayah-anak itu selalu bekerja sama untuk membuatku kewalahan. Mereka selalu bergabung untuk ‘mengerjaiku’. Aku menatap sinis Lilly, lalu berucap, “Mana solidaritasmu?”“Ibu harus mengakui bahwa ini menyenangkan, ‘kan?” ujarnya sambil meraih lenganku dan Gabriel. Dia terlihat sangat bahagia. Bahkan, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya sejak kami kemari. Tentu saja, kami memang bahagia, tapi tidak sebahagia ini. Lilly berhubungan baik dengan Eddy, tapi hubungannya tidak sebaik dengan hubunga
Aku memutar badanku untuk melihat ke sekeliling, sebelum akhirnya menatap Gabriel yang menatapku dengan penuh harap. “Rumah ini besar sekali, Gabriel!” Aku tahu bahwa masih ada banyak ruangan lagi, tapi akan kujelajahi lagi nanti. “Ada berapa banyak kamar tidur di sini?”Dia mendekat ke arahku. “Delapan kamar tidur dan dua kamar tamu.”Aku terpaku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat kulihatnya. Tentu, kami memang tumbuh di rumah yang besar, tapi rumah itu hanya sampai memiliki lima kamar tidur. Itu juga sudah lebih dari cukup. “Sepuluh kamar tidur itu terlalu banyak Gabriel,” ujarku sambil tertawa kecil gugup. Apa yang akan kami lakukan dengan ruangan sebanyak itu?Dia kembali mendekat padaku, sebelum melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku ke arahnya. Aku menempatkan tanganku di dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdegup. “Aku serius saat mengatakan bahwa aku menginginkan anak lagi, Hana.” Pandangannya menelisik secara dalam ke diriku. “Aku hanya tengah berj
Aku menatapnya dengan bingung. Aku mencoba untuk berbicara, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku saat pandanganku berganti dari Gabriel ke rumah itu. “Rumah ini cantik sekali!” seru Lilly. Keantusiasannya nampak saat dia melompat kegirangan, seolah dia benar-benar ingin meninggalkan kami dan memasuki rumah itu. “Di sinikah kita akan tinggal? Inikah rumah baru kita?”Pandangan Gabriel beralih dariku ke putri kami yang tersenyum lebar. “Kalau ibumu menyukainya, maka iya. Rumah ini akan menjadi rumah baru kita.”Pandanganku kembali ke rumah itu dan memandanganya dengan takjub. Rumah ini berdiri megah dengan berlatarkan perbukitan, kemegahannya terlihat dari berbagai sudut. Rumah ini perpaduan cocok antara elemen klasik dan modern, yang menggunakan eksterior marmer putih yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Ada juga pahatan batu rumit di setiap sudut dan lekukan, membuat rumah ini terlihat elegan yang tidak akan lekang oleh waktu.Bagian pintu masuknya didominasi oleh sepasa
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap
Hana“Aku ingin kamu dan Lilly menemaniku ke suatu tempat,” ujar Gabriel.Aku di kamar kami dan melipat baju bersih. Memang, kami memiliki asisten rumah tangga, tapi aku tidak terbiasa untuk dibantu dalam pekerjaan rumah. Rasanya aneh bahwa aku terbiasa melakukan segalanya sendirian, dan sekarang ada orang lain yang melakukan hal itu untukku. Aku suka sibuk. Aku tidak bisa menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apa-apa. “Orangtuamu akan kemari untuk makan malam, Gabriel. Apakah kamu sudah melupakannya?” tanyaku. Aku membawa sebagian dari baju yang sudah terlipat itu dan berjalan menuju lemari kami yang luas, di mana aku menaruhnya sesuai tempatnya. Gabriel itu sepertiku, sangat rapi. Sedangkan Eddy tidak, dan hal itu sering membuatku kesal sampai aku marah. Kami menikah, jadi kami harus menemukan cara untuk betah tinggal bersama dengan kekurangan masing-masing. Memang tidak mudah, tapi kami selalu menemukan jalannya. Aku keluar dari tempat lemari dan melihatnya terduduk di
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn
Dia sekali lagi memandang mobilnya sebelum melangkah masuk. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya bergerak mengamati ruangan itu.Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali, kalau tidak salah, adalah setelah dia ditembak saat pemakaman Ayah.Pandangannya terlihat muram. Aku bisa melihat bayangan kekelaman memenuhi pandangannya. Beban kenangan buruk yang dia bawa tentang rumah ini dan orang-orang di dalamnya. Apakah Guntur akan terbayang oleh hal yang sama karena aku? Karena apa yang telah aku lakukan?Aku tidak mau itu terjadi.Aku memang tidak banyak berada di sini setelah dia dan Rowan menikah, tetapi aku ada saat kami masih kecil. Aku tidak secara langsung mau mengakuinya sebagai saudaraku, seperti yang lainnya, aku mengabaikannya. Kami seharusnya menjadi saudara, tapi aku memperlakukannya seolah dia tidak pantas berada di sini. Orang lain juga melakukan hal yang sama. Saat melihatnya sekarang, aku bisa memahami apa yang Mia
Perkataan Mia terus terngiang di kepalaku bahkan saat aku memasuki mobilku. Kebenaran itu brutal. Tidak mudah untuk menelan pil pahit, tetapi aku harus menelannya.Alih-alih keluar dari tempat parkir dengan terburu-buru seperti biasanya, aku hanya duduk di dalam mobil dan membiarkan air mata mengalir. Aku tidak bisa menghentikannya, meskipun aku mau. Ruangan itu dipenuhi suara tangisanku. Isakanku terasa menyiksa dari dalam, seolah-olah seluruh bebanku menghantamku sekaligus.Kepalaku terjatuh ke kemudi karena aku sudah tidak bisa lagi menahannya. Rasa maluku sudah tertanam di diriku. Rasa malu itu terukir jauh di dalam diriku seperti sebuah tato yang terkutuk.Kenapa aku membiarkan semuanya sampai sejauh ini? Kenapa aku menyakitinya seperti itu? Kenapa aku membiarkan keegoisanku merusak ikatan yang bisa aku miliki dengan Guntur?Kenapa. Kenapa. Kenapa?Kalau saja kutahu bahwa suatu hari nanti aku akan sangat ingin memeluk Guntur. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ingin mendengar dia