“Aku tidak percaya kamu barusan berkata buruk soal Ayah!”“Beruntungnya aku, sebab aku tidak peduli akan apa yang kamu pikir,” balasku dengan sinis. Tidak bisakah dia tetap diam dan membiarkanku berkonsentrasi? Waktu terus berjalan, aku belum bebas, dan rasa cemasku mulai naik. Dia memelototiku, tapi tetap diam. Aku menarik napas lega. Sekarang aku bisa fokus untuk membebaskan tanganku. Jika aku bisa melakukan itu, segalanya akan menjadi mudah. Kuharap begitu. Aku tidak tahu berapa lama sampai aku menyerah. Tanganku gemetar. Pergelangan tanganku terasa terbakar dan aku tahu pergelangan tanganku berdarah. Sepertinya semakin aku mencoba membebaskan mereka, semakin dalam tali itu menusuk kulitku. Aku menghela nafas berat. Aku benci melakukan ini, tapi aku tidak punya pilihan lain. Pada titik ini, pilihannya adalah kabur atau berisiko terbunuh. “Aku punya rencana yang mungkin berhasil,” Aku menoleh ke arah Emma dan memberitahunya dengan enggan. Rasanya seperti menghancurkan egoku, tap
Aku keluar dan mengamati sekeliling. Kami ada di semacam tempat penampungan rongsokan. Aku tersenyum karena merasa beruntung. Berarti ada banyak tempat untuk bersembunyi dari Reaper dan anak buahnya. “Kita harus mencari pintu keluar. Setelah itu, kuyakin segalanya akan mudah,” kataku pada Emma saat kami mulai berjalan. Dia menganggukkan kepalanya setuju dan berjalan di sampingku. Kami begitu hati-hati saat mencari jalan keluar. Kami membuat diir kami tersembunyi dan tidak berjalan di tempat terbuka. “Di mana pintu keluarnya?” Tanya Emma jengkel. Aku tahu dia akan berkata seperti ini. Kami telah berjalan selama beberapa menit. Meskipun kami belum menemukan satu pun anak buahnya, kami juga belum menemukan jalan keluarnya. “Mungkin kita harus istirahat sebentar.” Aku mulai lelah. Wajahku sakit, begitu pula tangan dan kakiku. Pikiran itu langsung kutepis, ketika kita di sini ada alarm yang berbunyi. Suaranya terdengar keras di seluruh halaman. Jantungku mulai berdebar kencang. Sial.
“Sial, ini sakit sekali!” Emma mengerang kesakitan, membuatku tersadar dari keterkejutanku saat melihat seorang pria mengangkat pistolnya. Aku merangkak untuk mengambil pistol yang kujatuhkan dan segera menembak. Dia terjatuh di tanah. Aku berdiri dan berlari ke Emma, yang merintih di tanah. Aku bahkan tidak memeriksa jika pria itu hidup atau mati. Sekarang, itu tidak penting bagiku. Tidak ketika aku panik dan Emma berdarah-darah di tanah. “Aku akan mati, ‘kan?” Tanyanya dengan pipinya yang dibanjiri air mata. Aku bisa saja bilang padanya untuk berhenti menjadi cengeng, tetapi tidak kulakukan. Tidak ketika dialah yang mendorongku untuk menyelamatkanku dari peluru yang seharusnya mengenaiku. "Tidak akan," jawabku sambil memeriksanya. Dia tertembak di bahu, dan mengeluarkan banyak darah. Aku khawatir. Pertama, dia mungkin mati kehabisan darah, dan kedua, kami masih dalam bahaya. Seseorang pasti akan menemukan kita pada akhirnya. "Kamu berbohong!" Dia mendesis saat aku menekan luka
Jantungku mulai mencelos dan mulai panik. Aku mencoba mengguncang tubuhnya dan tidak ada perlawanan. Aku menangkapnya sebelum dia terjatuh. Aku membalikkan tubuhnya, jadi dia tertidur di pangkuanku. Kubisikkan namanya sekali lagi, masih tidak ada jawaban. Dengan tangan gemetar dan rasa takut yang merusuk sampai tulangku, aku memeriksa denyut nadinya, takut tidak merasakan apa-apa. Aku menghela nafas lega saat merasakannya. Itu agak lemah, tapi itu ada. Aku menarik napas lega. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika aku tidak menemukan denyut nadinya. Air mata mulai memenuhi mataku. Kami terjebak di sini. Emma mengalami pendarahan dan lemah. Aku lelah dan pegal dan kami berada tepat di tengah-tengah markas musuh. Aku tidak menghentikan mereka ketika mereka jatuh. Aku hanya muak. Mengapa semua ini terjadi padaku sekarang? Aku tidak menginginkan apa pun selain perdamaian, tetapi aku belum mencapainya. Aku benci ini. Benci semua yang terjadi. Aku terus memantau denyut nadi Emma ha
Rowan. Saya tidak bisa menjelaskan ketakutan yang saya rasakan ketika saya melihat bajingan itu menodongkan pistol ke kepalanya. Dia gemetar, dan air mata jatuh di wajahnya. Aku mendengarnya saat dia memohon padanya untuk melepaskannya, tapi aku tahu dia tidak akan melakukannya. Saat dia menutup matanya. Seolah menerima takdirnya. Itu hampir membuatku bertekuk lutut. Jika bukan karena aku tahu dia lelah, aku akan membiarkan pria itu supaya aku bisa memberinya penyiksaan versi pribadiku. “Dia butuh dokter, Rowan,” katanya dengan suara kecil saat aku berlutut di hadapannya. Aku sudah mengirim pesan pada Gabriel. Ambulans akan tiba di sini dalam beberapa menit. Bukannya aku tidak peduli pada Emma; Ya. Aku hanya lebih menyayangi Ava. Aku membawa wajahnya dengan lembut ke tanganku. Pipinya bengkak, begitu pula matanya. Sudah memar, dan bibirnya terluka.Wajahku mengeras membayangkan seseorang mengayunkan tangan padanya. “Siapa yang memukulmu? Apa itu Ronny?” Tanyaku dengan menggertakk
“Ya, tolong,” jawabnya dengan menatapku sayu. Aku menunduk dan menggendongnya. Aku merengkuhnya dekat dengan dadaku lalu berjalan. “Aku bilang aku butuh bantuan untuk berdiri, bukan digendong.” Dia mengeluh tetapi tidak melawan. Ini menunjukkan betapa lelahnya dia. Aku tidak menjawab. Aku menariknya dekat denganku. Rasanya pas dengan dia dalam pelukanku seperti ini. Seolah-olah segala sesuatu di alam semesta sedang menyelaraskan dirinya sendiri. Jika aku bisa tetap seperti ini selamanya, maka itu adalah takdir yang akan aku terima dengan senang hati. Saat aku berjalan bersamanya ke mobilku, mau tak mau aku bertanya-tanya. Aku tidak pernah membiarkan diriku sedekat ini dengannya. Untuk memeluknya atau mencium dia. Aku selalu menyembunyikan sebagian diriku darinya. Jadi itu membuatku bertanya-tanya apakah, seandainya aku membiarkan diriku menjadi diri sendiri, akankah rasanya seperti ini? Seolah dia adalah bagian jiwaku yang hilang? Aku baru saja sampai ke mobil saya ketika Brian me
Aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Aku benar-benar menginginkannya. Walaupun dengan masa lalu kami yang buruk, aku tidak berpikir dia akan mau menerimaku lagi. Tidak perlu diberitahu lagi kasih yang biasanya kulihat di binar matanya sudah tidak ada lagi. Sekarang, dia hanya menganggapku karena Noah. “Pak Wijaya,” aku membuyarkan lamunanku ketika namaku dipanggil. Aku melihat ke arah suster yang sedari tadi menatapku. “Bagaimana dia?” Tanyaku dengan berharap. “Dia baik-baik saja, begitu juga dengan bayinya. Kami hanya harus memantaunya selama beberapa jam karena dia dehidrasi ketika sampai.”Aku mendengar suara terkesiap di belakangku. Astaga! Kate tidak tahu mengenai kehamilan Ava, tetapi dia sekarang jadi tahu. Aku mengabaikannya dan fokus pada si suster. “Bolehkah aku melihatnya?” Dia menganggukkan kepalanya dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami sampai di sebuah ruangan dan dia membuka pintu, mempersilahkanku masuk. Begitu aku masuk, dia pergi, menutup pintu di belaka
Ava. “A-apa?” Jawabku dengan terbata-bata, menatap Rowan dengan terkejut. Aku pasti salah mendengarnya. Rowan yang kutahu pasti akan melakukan apa pun untuk Emma, termasuk mengorbankanku. Jantungku berdegup kencang saat aku menatap wajahnya yang tanpa emosi. “Kamu mendengarku, Ava,” ulangnya. Tidak ada tanda-tanda kebohongan di suaranya. “Jika aku harus memilih, aku dengan senang hati membiarkannya mati jika itu bisa menyelamatkanmu.”Awalnya kupikir dia berbohong, supaya aku tidak merasa buruk. Lagipula, siapa yang mau mengetahui bahwa pria yang menghabiskan waktu bersamanya selama hampir satu dekade akan dengan senang hati menyelamatkan wanita lain?Kupikir dia mengatakan itu untuk menjaga perasaanku. Ketika melihat wajahnya, aku sadar dia berkata jujur. Tertulis di wajahnya dan sorot matanya. Selain itu, sejak kapan Rowan menjaga perasaanku? Dia tidak pernah begitu sebelumnya, lalu mengapa dia mulai berbohong sekarang?Aku menghela nafas dalam-dalam dan melepaskan tautan tangank
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku