“Ya, tolong,” jawabnya dengan menatapku sayu. Aku menunduk dan menggendongnya. Aku merengkuhnya dekat dengan dadaku lalu berjalan. “Aku bilang aku butuh bantuan untuk berdiri, bukan digendong.” Dia mengeluh tetapi tidak melawan. Ini menunjukkan betapa lelahnya dia. Aku tidak menjawab. Aku menariknya dekat denganku. Rasanya pas dengan dia dalam pelukanku seperti ini. Seolah-olah segala sesuatu di alam semesta sedang menyelaraskan dirinya sendiri. Jika aku bisa tetap seperti ini selamanya, maka itu adalah takdir yang akan aku terima dengan senang hati. Saat aku berjalan bersamanya ke mobilku, mau tak mau aku bertanya-tanya. Aku tidak pernah membiarkan diriku sedekat ini dengannya. Untuk memeluknya atau mencium dia. Aku selalu menyembunyikan sebagian diriku darinya. Jadi itu membuatku bertanya-tanya apakah, seandainya aku membiarkan diriku menjadi diri sendiri, akankah rasanya seperti ini? Seolah dia adalah bagian jiwaku yang hilang? Aku baru saja sampai ke mobil saya ketika Brian me
Aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Aku benar-benar menginginkannya. Walaupun dengan masa lalu kami yang buruk, aku tidak berpikir dia akan mau menerimaku lagi. Tidak perlu diberitahu lagi kasih yang biasanya kulihat di binar matanya sudah tidak ada lagi. Sekarang, dia hanya menganggapku karena Noah. “Pak Wijaya,” aku membuyarkan lamunanku ketika namaku dipanggil. Aku melihat ke arah suster yang sedari tadi menatapku. “Bagaimana dia?” Tanyaku dengan berharap. “Dia baik-baik saja, begitu juga dengan bayinya. Kami hanya harus memantaunya selama beberapa jam karena dia dehidrasi ketika sampai.”Aku mendengar suara terkesiap di belakangku. Astaga! Kate tidak tahu mengenai kehamilan Ava, tetapi dia sekarang jadi tahu. Aku mengabaikannya dan fokus pada si suster. “Bolehkah aku melihatnya?” Dia menganggukkan kepalanya dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami sampai di sebuah ruangan dan dia membuka pintu, mempersilahkanku masuk. Begitu aku masuk, dia pergi, menutup pintu di belaka
Ava. “A-apa?” Jawabku dengan terbata-bata, menatap Rowan dengan terkejut. Aku pasti salah mendengarnya. Rowan yang kutahu pasti akan melakukan apa pun untuk Emma, termasuk mengorbankanku. Jantungku berdegup kencang saat aku menatap wajahnya yang tanpa emosi. “Kamu mendengarku, Ava,” ulangnya. Tidak ada tanda-tanda kebohongan di suaranya. “Jika aku harus memilih, aku dengan senang hati membiarkannya mati jika itu bisa menyelamatkanmu.”Awalnya kupikir dia berbohong, supaya aku tidak merasa buruk. Lagipula, siapa yang mau mengetahui bahwa pria yang menghabiskan waktu bersamanya selama hampir satu dekade akan dengan senang hati menyelamatkan wanita lain?Kupikir dia mengatakan itu untuk menjaga perasaanku. Ketika melihat wajahnya, aku sadar dia berkata jujur. Tertulis di wajahnya dan sorot matanya. Selain itu, sejak kapan Rowan menjaga perasaanku? Dia tidak pernah begitu sebelumnya, lalu mengapa dia mulai berbohong sekarang?Aku menghela nafas dalam-dalam dan melepaskan tautan tangank
Bagaimana bisa dia berharap aku bisa memercayainya? Selama sembilan tahun lamanya dia dan yang lainnya menganggapku bukan siapa-siapa. Bahwa aku tidak berarti baginya. Jadi, bagaimana bisa dia berharap untuk memutar perkataannya dan berharap aku akan memercayainya?Aku memiliki begitu banyak pertanyaan, tetapi tidak ada jawaban. Seluruh pertanyaan menyeruak di kepalanya, jadi kutepis mereka. Apa pun yang terjadi dalam benak Rowan bukanlah urusanku. Dia dan aku sudah usai. Bukan urusanku lagi untuk mengurusnya.Setelah itu, aku merasa kelelahan menghampiri dan aku jatuh tertidur.Ketika aku terbangun, aku melihat orangtuaku di ruangan bersamaku. Mereka sama terlihat lelahnya sepertiku. Masing-masing dari mereka menggenggam tanganku dan saat itu aku merasa benar-benar dicintai.Inilah yang kudambakan dari Rowan dan keluarga Santoso. Karena akhirnya aku mendapatkannya, aku merasa begitu emosional.Aku pasti habis membuat suara, sebab mereka berdua mengangkat kepalanya.“Ava?” Panggil Ibu
Sudah dua hari sejak aku dan Emma diculik. Polisi sudah mencari Reaper, tetapi nihil. Mereka tidak bisa menemukannya dan anak buahnya yang ditangkap tidak mau angkat bicara. Aku hidup dalam ketakutan semenjak itu. Aku tidak ingin sesuatu seperti itu terjadi lagi. Terlebih, aku tidak ingin diincar atas sesuatu yang di mana aku tidak ikut campur. “Ibu, bolehkah aku main game?” Pertanyaan Noah menarikku kembali ke dunia nyata. Aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumahku dengan harapan menyibukkanku dari terlalu banyak berpikir. Aku tengah melipat pakaian, setelah ini aku tidak melakukan apa-apa. “Tentu. Pukul berapa Guntur bilang dia akan datang?”Mereka berdua sekarang semakin erat. Mereka melakukan segalanya bersama bahkan ketika di sekolah. Pertemanan mereka sungguh unik dan aku jadi teringat dengan pertemanan Rowan, Gabriel, dan Travis yang terbentuk sejak kecil.“Sekitar pukul tiga.”“Baik. Ibu akan membuatkan kalian camilan.”Dia mencium pipiku. “Ibu yang terbaik!”Setelah itu, d
Aku belum melihatnya sejak terakhir kali dia bertamu. Guntur di sini hampir setiap saat dan Noah terkadang ke rumah mereka, tetapi aku jarang melihat atau berinteraksi dengan Calvin. Seakan dia menjauhiku.“Apakah kamu mau masuk?” Tanyaku padanya ketika melihatnya seakan ingin bertamu.“Iya, jika kamu tidak keberatan.”Aku menyingkir untuk membiarkannya masuk. Dia terlihat tidak yakin awalnya, tetapi akhirnya dia masuk ke rumah.Aku mengajaknya ke dapur, menyuruhnya duduk sambil menyiapkan camilan bagi anak-anak.“Aku mendengar apa yang terjadi padamu. Aku hanya ingin memastikan apakah kamu baik-baik saja,” ujarnya setelah beberapa saat.Bukan rahasia umum lagi di kota ini. Seseorang pasti mendengar kabarnya, dan di sore hari, aku dan Emma sudah terpampang di portal berita. Tidak ada yang tahu kalau aku bagian dari Hadinata, dan aku mengjnginkan itu sebab aku belum siap akan reaksi orang-orang akan nama itu. Mereka masih percaya aku bagian darj Santoso dan sekarang semuanya berspekulas
Aku merasa begitu bosan. Sangat bosan. Namun, tidak buruk juga sebab akhir pekan ada Noah di sini. Kalau hari biasa, aku tidak tahan.Ruby dan Calista tentu saja bekerja di siang hari. Orangtuaku juga. Aku merekrut Maria untuk mengurus keseharian di Yayasan Harapan. Meskipun aku ke sana, tidak ada yang bisa kulakukan selain menandatangani dokumen yang perlu persetujuanku.Aku sudah berteman baik dengan Calvin setelah itu. Aku lalu mengetahui bahwa dia memiliki gedung dan perusahaan konstruksi. Dia memulainya sekitar dua tahun lalu dan sejauh ini, katanya cukup bagus. Dia juga tidak bisa dihubungi saat siang.Aku sangat bosan sehingga aku mulai berpikir untuk kembali bekerja. Usia kehamilanku sudah lima bulan, jadi aku masih punya waktu sebelum waktu jatuh tempoku tiba. Daripada itu, aku mengangkat teleponku dan memutar nomornya. “Hai Nyonya Djaja, apa kabarmu?” Aku bertanya. Kami tinggal di lingkungan yang sama dan dia meneleponku beberapa hari yang lalu. Dia memiliki seorang putri rem
Aku memutuskan memakai riasan hari ini. Aku memakai riasan tipis. Setelah itu, aku menata rambutku, aku mau membuatnya menjadi ikal, daripada lurus. Aku puas dengan bagaimana aku terlihat, lalu aku mengambil sepatu pantofelku san memakainya. Baru saja aku akan pergi ketika ponselku berdering.Aku tidak mengenali nomonya, tetapi aku tetap mengangkatnya.“Halo?”“Halo, Ava. Ini aku Ethan,” suara beratnya tersalur lewat telepon.Bahkan tanpa dia memperkenalkan dirinya, aku tetap tahu itu dia. Aku hafal suaranya, yang sempat menjadi kesenanganku. Pada saat dia berbicara kepadaku dengan penuh emosi dan perhatian, aku merasa diinginkan. Kalau saja itu nyata dan bukan permainan yang dia mainkan. Sambil mengguncang pikiran itu, aku menyingkirkan kenangan menyakitkan itu. “Halo Ethan, apa kabarmu?” Aku bertanya, suaraku terkontrol. Aku tidak pernah mengunjunginya lagi. Kami hanya berbicara melalui surat. Terutama dengan aku memberi tahu dia tentang apa yang terjadi dengan kehamilanku.“Aku b
Ketika aku sudah selesai membaca semuanya dan menaruhnya di atas meja, tanganku gemetaran dan jantungku berdegup kencang. Aku benar-benar kehabisan kata-kata saat aku ganti melirik dari wajah Gabriel ke dokumen di atas meja. “Gabriel,” ujarku sambil menggelengkan kepalaku. “Aku tidak mengerti.”Dia menautkan tanganku ke tangannya yang lebioh besar. Tatapannya hanya menyiratkan kehangatan dan kasih sayang. “Aku sudah memutar otakku untuk mencoba menemukan cara agar aku bisa membuiktikan padamu bahwa aku menginginkan ini. Bahwa aku menginginkan ‘kita’. Ide ini datang saat kita ada di Rafles. Aku sudah meminta pada pengacaraku untuk membuat dua dokumen baru, lalu membuatnya membawanya kemari. Yang perlu kamu lakukan hanyalah menandatanganinya.”“Tapi, perusahaannya masih milikmu dan kontraknya masih belum usai ...” Aku mengatakan itu dengan tergesa saat otakku menolak untuk bekerja sama. “Aku benar-benar ingin kesempatan kedua bersamamu, Hana. Aku menginginkan pernikahan yang sungguhan
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Gabriel sambil menarikku ke arah ballroom, di mana semua orang tengah berdansa. Setelah makan malam, ada beberapa sambutan dan kemudian, seluruh orang diperbolehkan untuk bersantai dan menikmati pesta. Mataku seketika tertuju pada Ava dan Rowan. Mereka terlihat berada di dunia mereka sendiri saat menyeretkan langkah mereka untuk menyeberangi ruangan. Pandangan mereka memancarkan kasih bagi satu sama lain. Aku menginginkannya. Aku menginginkan pria yang melihatku seolah akulah pusat semestanya dan tujuan hidupnya satu-satunya. Aku ingin menjadi wanita yang menggenggam hatinya. Aku sangat ingin dicintai begitu dalam sampai seluruh orang menyadarinya dari aura dirinya.Pandanganku kembali pada Gabriel saat dia menarikku mendekat. Sebenarnya sungguh tidak pantas untuk berdansa sedekat ini di acara seperti ini, tapi sepertinya Gabriel tidak memedulikannya. Aku menatap matanya dan hanya melihat rasa kekaguman di dalamnya. Aku juga melihat sesuatu ya
Sementara kami mengobrol, mata Ava terus kembali ke Rowan. Kalian bisa melihat cinta yang ada di sana. Terlepas dari semua yang telah dia alami, dia masih bisa memberinya kesempatan lagi.Pandangan Rowan, tentu saja juga terus melirik istrinya. Sepertinya dia benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya bahkan tangannya, mengingat dia selalu mencari alasan untuk menyentuhnya.Aku tahu betapa kejamnya Rowan terhadap Ava selama tiga tahun pernikahan mereka dari cerita Gabriel. Dia memperlakukannya seperti dia bukan siapa-siapa. Tapi sekarang, Ava tampaknya menjadi seluruh dunianya. Cintanya kepada Ava bersinar terang, jelas untuk dilihat semua orang. Aku tidak pernah menyangka dia akan berubah terhadap Ava, tapi bukti perubahan dan cintanya terpampang jelas di depan mataku.“Ada sesuatu yang mengganggumu,” bisik Ava yang menarikku dari pikiranku.Aku menoleh ke arahnya, pandanganku mencari sesuatu di wajahnya. “Apa kamu benar-benar sudah memaafkan Rowan? Bagaimana kamu melakuk
“Ayo pergi sebelum kita terlambat,” ujarku setelah kami berdua berhasil mengatur nafas.Dia mengangguk, sementara tangannya meluncur turun dan menggenggam tanganku, lalu menarikku keluar dari kamar kami.“Kamu terlihat menakjubkan, Tante Hana!” seru Shella dengan suaranya yang penuh kegembiraan ketika dia melihatku.“Iya! Kamu cantik sekali, Ibu,” tambah Lilly sambil melompat-lompat penuh semangat.“Terima kasih, sayang,” jawabku. Shella akan pulang nanti malam karena harus sekolah besok. Karena aku dan Gabriel tidak akan ada di rumah saat dia pergi, kami telah mengatur agar sopir kami mengantarnya. Dia akan memastikan Shella pulang dengan selamat.“Sekarang, kalian berdua bersikap baiklah pada Sharon, ya. Jangan bikin masalah, oke?” ujarku dengan nada memperingatkan.“Akan kami lakukan!” jawab mereka serempak.Pandanganku terus tertuju pada Shella sejak aku bertemu dengannya. Seperti yang pernah aku bilang, ada sesuatu tentang dirinya yang menarik perhatianku. Sesuatu yang terasa akr
“Sudah selesai.”Ketika aku tidak dapat menemukan gaun yang cocok untuk acara ini, Gabriel memanggil bantuan. Sebuah tim lengkap tiba sekitar tiga jam yang lalu untuk membantu merias wajah dan menyiapkan gaunku.Riasanku sempurna. Sang penata rias memilih tampilan yang elegan. Mataku dihiasi dengan eyeshadow lembut namun tegas yang memperdalam keindahan alaminya, dikelilingi bulu mata panjang nan lentik yang membuat tatapanku semakin memikat. Sentuhan emas yang berkilauan di sudut dalam mata memberikan kecerahan serta menonjolkan kehangatan tatapanku, sementara rambutku tergerai dalam gelombang natural dan terlihat berkilau seperti sutra di bawah cahaya lembut.Untuk gaunku, kami memilih gaun merah karena merah telah menjadi warna favorit Gabriel saat aku mengenakannya. Gaun itu adalah perpaduan menawan antara seksi dan elegan, dibuat dari satin berwarna merah rubi yang membalut lekuk tubuhku dengan indah. Leher gaunnya menjuntai cukup rendah untuk terlihat menggoda, sementara detail r
“Masuklah.” Akhirnya dia menjawab saat aku hampir menyerah dan berpikir dia masih tidur. Aku membuka pintu dan memasukinya, lalu kulihat dia duduk di kasurnya. Ketika dia melihatku, dia bergeser dan duduk di ujung kasur. Aku menutup pintu dan menyeberangi ruangan untuk mendekatinya. “Bagaimana makan siangmu bersama teman-temanmu?” tanyanya dengan nada mengantuk.“Sungguh mencerahkan.”“Bagaimana?”“Bisakah aku menanyakan sesuatu padamu? Dan janjilah untuk menjawabnya dengan jujur.”Dia lalu menoleh sepenuhnya ke arahku, dia sudah benar-benar sadar dari kantuknya. Pandangannya mengamati wajahku seolah dia tengah menerka apa yang ingin kutanyakan. Setelah lewat semenit, dia menganggukkan kepalanya. “Aku sadar bahwa mungkin Andrew mengancammu untuk menikahiku dulu. Karena kamu saat itu masih patah hati, kamu tidak mungkin langsung setuju untuk menikah, apalagi dengan gadis yang tidak kamu kenal. Bisakah kamu mengatakannya padaku apa yang menjadi ancamannya untukmu?”Aku tahu bahwa dia
Seperti yang sudah kukatakan, aku sudah memaafkan Gabriel, jadi kenapa aku masih saja terjebak di masa lalu? Kenapa aku masih membandingkan dia dengan pria yang dulu? Jelas sekali dia sudah berubah, tapi otakku masih meragukannya.Apakah kalian tahu pepatah ‘kalau dia mau, dia pasti akan lakukan?’ Itulah yang terjadi dengan Gabriel sekarang. Dulu dia ogah-ogahan. Dia tidak mau mencintaiku. Dia tidak mau peduli padaku. Bahkan, dia sama sekali tidak menginginkanku ... Dan karena dia tidak menginginkanku, dia memperlakukanku seperti aku tidak ada artinya.Namun, di dalam lubuk hatiku, aku mengerti dia. Jika perhitunganku benar, dia menikahiku satu setengah tahun setelah gadis itu menghancurkan hatinya. Aku kenal kakakku Andrew, dia pasti memeras atau memaksa Gabriel untuk menikahiku.Aku tidak memikirkannya saat kami menikah. Faktanya, aku tidak ingin memikirkannya karena itu akan menghancurkan ilusiku bahwa dia menikahiku karena dia merasakan sesuatu untukku. Baru bertahun-tahun kemudian
“Iya! Dia sudah tidak bersembunyi lagi!” ujarnya dengan berbinar-binar. Kebahagiaan dan keantusiasannya sungguh menular. “Dia bahkan secara tidak langsung sudah melamarku.”“Apa maksudnya melamar secara tidak langsung itu?” tanyaku dengan kebingungan. Dari pandangan yang lain, mereka juga sama bingungnya. Sungguh ambigu, itu terdengar seperti dia akan melamar atau tidak. Aku tidak pernah mendengar lamaran secara tidak langsung. “Yah, ketika kuberi tahu bahwa aku hamil, dia berkata bahwa dia berencana untuk melamar, tapi karena mukjizat yang secara tiba-tiba ini, dia akan memajukan lamarannya agar kami bisa menikah sebelum bayi kami lahir,” balasnya dengan mata yang masih berbinar dari kegembiraan dan kebahagiaan. Masuk akal. Aku mengerti mengapa dia mengatakannya sebagai lamaran secara tidak langsung. Kami berseru dengan senang saat kami memeluknya dan sekali lagi memberinya selamat. Kekasihnya yang sudah kembali sungguh berpengaruh pada sikapnya. Dia sekarang terlihat bebas. Beban
Aku menghela nafas untuk menenangkan jantungku. Aku tidak pernah berpikir akan memulai percakapan ini dengan Lilly di umur segini. Satu hal yang patut kusyukuri adalah dia tidak bertanya secara gamblang dari mana asalnya seorang bayi. Kalau dia menanyakannya, maka kami akan melalui pembicaraan yang sulit. “Aku akan kembali ke kamarku sebentar, lalu aku akan pergi,” ujarku pada mereka sembari mengabaikan pembicaraan tentang bayi ini. “Kamu masih belum memberi tahuku ke mana kamu akan pergi,” ujar Gabriel. Apa boleh buat, aku baru saja akan memberi tahunya, tapi kemudian aku terdistraksi. Yah, dialah yang mendistraksiku. “Aku akan bertemu dengan Ava dan yang lainnya untuk makan siang.”Aku sangat tergoda untuk membatalkan janji dengan mereka dan tidur, tapi kuurungkan niat itu. Ava sudah menelepon beberapa hari sebelum kami pulang dari Rafles untuk mengajakku bergabung dengan mereka untuk makan siang di hari Sabtu. Aku langsung mengiyakannya tanpa berpikir bahwa aku akan terlalu lela