Jantungku mulai mencelos dan mulai panik. Aku mencoba mengguncang tubuhnya dan tidak ada perlawanan. Aku menangkapnya sebelum dia terjatuh. Aku membalikkan tubuhnya, jadi dia tertidur di pangkuanku. Kubisikkan namanya sekali lagi, masih tidak ada jawaban. Dengan tangan gemetar dan rasa takut yang merusuk sampai tulangku, aku memeriksa denyut nadinya, takut tidak merasakan apa-apa. Aku menghela nafas lega saat merasakannya. Itu agak lemah, tapi itu ada. Aku menarik napas lega. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika aku tidak menemukan denyut nadinya. Air mata mulai memenuhi mataku. Kami terjebak di sini. Emma mengalami pendarahan dan lemah. Aku lelah dan pegal dan kami berada tepat di tengah-tengah markas musuh. Aku tidak menghentikan mereka ketika mereka jatuh. Aku hanya muak. Mengapa semua ini terjadi padaku sekarang? Aku tidak menginginkan apa pun selain perdamaian, tetapi aku belum mencapainya. Aku benci ini. Benci semua yang terjadi. Aku terus memantau denyut nadi Emma ha
Rowan. Saya tidak bisa menjelaskan ketakutan yang saya rasakan ketika saya melihat bajingan itu menodongkan pistol ke kepalanya. Dia gemetar, dan air mata jatuh di wajahnya. Aku mendengarnya saat dia memohon padanya untuk melepaskannya, tapi aku tahu dia tidak akan melakukannya. Saat dia menutup matanya. Seolah menerima takdirnya. Itu hampir membuatku bertekuk lutut. Jika bukan karena aku tahu dia lelah, aku akan membiarkan pria itu supaya aku bisa memberinya penyiksaan versi pribadiku. “Dia butuh dokter, Rowan,” katanya dengan suara kecil saat aku berlutut di hadapannya. Aku sudah mengirim pesan pada Gabriel. Ambulans akan tiba di sini dalam beberapa menit. Bukannya aku tidak peduli pada Emma; Ya. Aku hanya lebih menyayangi Ava. Aku membawa wajahnya dengan lembut ke tanganku. Pipinya bengkak, begitu pula matanya. Sudah memar, dan bibirnya terluka.Wajahku mengeras membayangkan seseorang mengayunkan tangan padanya. “Siapa yang memukulmu? Apa itu Ronny?” Tanyaku dengan menggertakk
“Ya, tolong,” jawabnya dengan menatapku sayu. Aku menunduk dan menggendongnya. Aku merengkuhnya dekat dengan dadaku lalu berjalan. “Aku bilang aku butuh bantuan untuk berdiri, bukan digendong.” Dia mengeluh tetapi tidak melawan. Ini menunjukkan betapa lelahnya dia. Aku tidak menjawab. Aku menariknya dekat denganku. Rasanya pas dengan dia dalam pelukanku seperti ini. Seolah-olah segala sesuatu di alam semesta sedang menyelaraskan dirinya sendiri. Jika aku bisa tetap seperti ini selamanya, maka itu adalah takdir yang akan aku terima dengan senang hati. Saat aku berjalan bersamanya ke mobilku, mau tak mau aku bertanya-tanya. Aku tidak pernah membiarkan diriku sedekat ini dengannya. Untuk memeluknya atau mencium dia. Aku selalu menyembunyikan sebagian diriku darinya. Jadi itu membuatku bertanya-tanya apakah, seandainya aku membiarkan diriku menjadi diri sendiri, akankah rasanya seperti ini? Seolah dia adalah bagian jiwaku yang hilang? Aku baru saja sampai ke mobil saya ketika Brian me
Aku tidak bisa menyangkalnya lagi. Aku benar-benar menginginkannya. Walaupun dengan masa lalu kami yang buruk, aku tidak berpikir dia akan mau menerimaku lagi. Tidak perlu diberitahu lagi kasih yang biasanya kulihat di binar matanya sudah tidak ada lagi. Sekarang, dia hanya menganggapku karena Noah. “Pak Wijaya,” aku membuyarkan lamunanku ketika namaku dipanggil. Aku melihat ke arah suster yang sedari tadi menatapku. “Bagaimana dia?” Tanyaku dengan berharap. “Dia baik-baik saja, begitu juga dengan bayinya. Kami hanya harus memantaunya selama beberapa jam karena dia dehidrasi ketika sampai.”Aku mendengar suara terkesiap di belakangku. Astaga! Kate tidak tahu mengenai kehamilan Ava, tetapi dia sekarang jadi tahu. Aku mengabaikannya dan fokus pada si suster. “Bolehkah aku melihatnya?” Dia menganggukkan kepalanya dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami sampai di sebuah ruangan dan dia membuka pintu, mempersilahkanku masuk. Begitu aku masuk, dia pergi, menutup pintu di belaka
Ava. “A-apa?” Jawabku dengan terbata-bata, menatap Rowan dengan terkejut. Aku pasti salah mendengarnya. Rowan yang kutahu pasti akan melakukan apa pun untuk Emma, termasuk mengorbankanku. Jantungku berdegup kencang saat aku menatap wajahnya yang tanpa emosi. “Kamu mendengarku, Ava,” ulangnya. Tidak ada tanda-tanda kebohongan di suaranya. “Jika aku harus memilih, aku dengan senang hati membiarkannya mati jika itu bisa menyelamatkanmu.”Awalnya kupikir dia berbohong, supaya aku tidak merasa buruk. Lagipula, siapa yang mau mengetahui bahwa pria yang menghabiskan waktu bersamanya selama hampir satu dekade akan dengan senang hati menyelamatkan wanita lain?Kupikir dia mengatakan itu untuk menjaga perasaanku. Ketika melihat wajahnya, aku sadar dia berkata jujur. Tertulis di wajahnya dan sorot matanya. Selain itu, sejak kapan Rowan menjaga perasaanku? Dia tidak pernah begitu sebelumnya, lalu mengapa dia mulai berbohong sekarang?Aku menghela nafas dalam-dalam dan melepaskan tautan tangank
Bagaimana bisa dia berharap aku bisa memercayainya? Selama sembilan tahun lamanya dia dan yang lainnya menganggapku bukan siapa-siapa. Bahwa aku tidak berarti baginya. Jadi, bagaimana bisa dia berharap untuk memutar perkataannya dan berharap aku akan memercayainya?Aku memiliki begitu banyak pertanyaan, tetapi tidak ada jawaban. Seluruh pertanyaan menyeruak di kepalanya, jadi kutepis mereka. Apa pun yang terjadi dalam benak Rowan bukanlah urusanku. Dia dan aku sudah usai. Bukan urusanku lagi untuk mengurusnya.Setelah itu, aku merasa kelelahan menghampiri dan aku jatuh tertidur.Ketika aku terbangun, aku melihat orangtuaku di ruangan bersamaku. Mereka sama terlihat lelahnya sepertiku. Masing-masing dari mereka menggenggam tanganku dan saat itu aku merasa benar-benar dicintai.Inilah yang kudambakan dari Rowan dan keluarga Santoso. Karena akhirnya aku mendapatkannya, aku merasa begitu emosional.Aku pasti habis membuat suara, sebab mereka berdua mengangkat kepalanya.“Ava?” Panggil Ibu
Sudah dua hari sejak aku dan Emma diculik. Polisi sudah mencari Reaper, tetapi nihil. Mereka tidak bisa menemukannya dan anak buahnya yang ditangkap tidak mau angkat bicara. Aku hidup dalam ketakutan semenjak itu. Aku tidak ingin sesuatu seperti itu terjadi lagi. Terlebih, aku tidak ingin diincar atas sesuatu yang di mana aku tidak ikut campur. “Ibu, bolehkah aku main game?” Pertanyaan Noah menarikku kembali ke dunia nyata. Aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumahku dengan harapan menyibukkanku dari terlalu banyak berpikir. Aku tengah melipat pakaian, setelah ini aku tidak melakukan apa-apa. “Tentu. Pukul berapa Guntur bilang dia akan datang?”Mereka berdua sekarang semakin erat. Mereka melakukan segalanya bersama bahkan ketika di sekolah. Pertemanan mereka sungguh unik dan aku jadi teringat dengan pertemanan Rowan, Gabriel, dan Travis yang terbentuk sejak kecil.“Sekitar pukul tiga.”“Baik. Ibu akan membuatkan kalian camilan.”Dia mencium pipiku. “Ibu yang terbaik!”Setelah itu, d
Aku belum melihatnya sejak terakhir kali dia bertamu. Guntur di sini hampir setiap saat dan Noah terkadang ke rumah mereka, tetapi aku jarang melihat atau berinteraksi dengan Calvin. Seakan dia menjauhiku.“Apakah kamu mau masuk?” Tanyaku padanya ketika melihatnya seakan ingin bertamu.“Iya, jika kamu tidak keberatan.”Aku menyingkir untuk membiarkannya masuk. Dia terlihat tidak yakin awalnya, tetapi akhirnya dia masuk ke rumah.Aku mengajaknya ke dapur, menyuruhnya duduk sambil menyiapkan camilan bagi anak-anak.“Aku mendengar apa yang terjadi padamu. Aku hanya ingin memastikan apakah kamu baik-baik saja,” ujarnya setelah beberapa saat.Bukan rahasia umum lagi di kota ini. Seseorang pasti mendengar kabarnya, dan di sore hari, aku dan Emma sudah terpampang di portal berita. Tidak ada yang tahu kalau aku bagian dari Hadinata, dan aku mengjnginkan itu sebab aku belum siap akan reaksi orang-orang akan nama itu. Mereka masih percaya aku bagian darj Santoso dan sekarang semuanya berspekulas
Hai pembaca terkasih, aku baru saja membaca komentar kalian dan kalian benar-benar memberi tahuku perasaan kalian. Setiap orang berhak atas pendapatnya masing-masing, dan aku menghormati itu. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah pandangan mereka, dan itu benar-benar tidak masalah.Aku telah menerima beberapa kritik yang sangat baik, dan aku ingin berterima kasih kepada mereka yang telah menunjukkan kesalahanku. Aku selalu kesulitan menulis bagian akhir cerita, dan itulah mengapa kadang-kadang terasa terburu-buru. Jangan khawatir, aku akan bekerja keras untuk memperbaikinya di buku berikutnya.Tentang Emma dan Calvin, aku ingin kalian semua mengerti bahwa ini memang selalu menjadi akhir yang direncanakan, setidaknya di buku ini.Emma tidak mencintai Calvin. Dia menyesal atas apa yang dia lakukan, tetapi dia tidak pernah mencintainya dengan kedalaman yang sama seperti Calvin mencintainya. Dengan kata lain, dia mencintai Calvin, tetapi dia tidak jatuh cinta padanya. Calvin pan
Hana. Aku seolah sedang melayang dalam langit ketujuh. Aku merasa hangat, damai, dan dicintai. Perlahan, aku terbangun. Gabriel di belakangku dengan tangannya yang merengkuhku. Dia selalu melakukan ini setiap kali kami tidur. Dia terus memegangiku, seolah takut kalau aku akan menghilang kalau dia tidak melakukannya. Aku menggeliat sedikit untuk lepas dari tangannya. Alih-alih melepasku, dia mengeratkan tangannya, yang mendorongku mendekat ke badannya. Aku berhenti ketika merasakannya. Ketika kurasakan kejantanannya yang mengeras, libidoku naik, dan aku segera menginginkannya. Aku ingin merasakannya memasukiku. Kehidupan ranjang kami sehat, tapi selalu ada waktu di mana aku menginginkan lebih. Dengan memiliki tiga anak, kadang sulit untuk mendapat waktu untuk berduaan. “Hmm,” geram Gabriel ketika aku menggesekkan pantatku di kejantanannya. Suaranya menggetarkan klitorisku. Aku melakukannya lagi, dan mengundang desahan seksi darinya. Gabriel mulai membubuhi punggung, pundak, dan
“Tentu,” dia membalas senyumku tepat saat Henry berjalan mendekati kami.“Aku di sini untuk mencuri istriku yang cantik.” Suaranya serak, dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak meleleh mendengar nadanya. Suaranya benar-benar seksi.“Dia milikmu.” Calvin melepaskanku dan menyingkir sebelum pergi.Henry menarikku ke dalam pelukannya, memastikan tidak ada jarak di antara kami. “Apakah kamu baik-baik saja? Punggungmu sakit? Kaki-kakimu bagaimana?”Lihat apa yang aku bilang? Dia mendominasi di dunia hukum, tapi perhatian dan penuh cinta sebagai pasangan. Aku bahkan tidak tahu bahwa aku punya tipe pria seperti ini sampai aku bertemu dengannya.“Aku baik-baik saja, cintaku, berhentilah khawatir,” ujarku sambil terkekeh dan menyeret diriku lebih dekat padanya.“Sudahkah aku memberitahumu bahwa aku mencintaimu?” tanyanya.Aku tidak bisa menahan senyum saat aku berdiri di ujung jari kakiku dan berbisik di bibirnya. “Sudah kamu katakan seribu kali hari ini, tapi aku tidak mengeluh.”“Kamu adal
Merrisa adalah salah satu pengiring pengantin perempuanku, begitu juga Ava, Calista, Ruby, Hana, dan Anjani. Mereka telah menjadi sahabatku selama empat tahun terakhir sejak kecelakaan itu. Tentu saja, aku tidak pernah bisa menggantikan Merrisa, dia sahabat terbaikku, tapi aku bersyukur memiliki mereka.Ditambah lagi, kemarin Merrisa memberitahuku bahwa dia berpikir untuk pindah ke sini. Aku sangat bersemangat. Aku menyayanginya, tapi kami mengakui bahwa menjalani persahabatan jarak jauh itu sulit. Aku benar-benar merasa di atas awan karena dia akan berada di dekatku.Musiknya melambat, dan Guntur mendekat, memecah semua percakapan lain.“Bolehkah aku berdansa denganmu, Ibu?”Seruan riuh para tamu terdengar, dan aku bersumpah hatiku langsung meleleh.“Tentu saja, putra tampanku,” jawabku sebelum menggenggam tangannya.Guntur sekarang sudah empat belas tahun, sudah jadi remaja. Bisa kalian percaya itu? Tingginya sudah sama denganku, dan aku yakin dalam beberapa tahun dia akan lebih ting
Emma. Aku menari dengan Merrisa, membiarkan musik menenggelamkanku. Aku merasakan sedikit rasa sakit di punggungku, tapi masa bodoh, sebab aku merasa sangat bahagia. Gaunku berayun mengikuti irama tubuhku sembari kami meneriakkan lirik lagu Cruel Summer milik Taylor Swift sekuat tenaga. Ava, yang hamil besar bergabung dengan kami. Aku tertawa sebab dia berpikir bahwa dia sedang menari, tapi tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya. Aku bisa menghitung saat-saat terbahagiaku dengan jari. Satu adalah ketika aku lolos ujian pengacara. Kedua, ketika Guntur memanggilku Ibu untuk pertama kali setelah bertahun-tahun lamanya, dan yang ketiga adalah hari ini, di hari pernikahanku.Kalian tidak salah dengar. Aku baru saja menikah, dan aku tidak pernah sebahagia ini. Ingat pengacara tampan yang kuberi tahu Ava saat ulang tahun James? Ya, dia tidak mau menyerah, tidak peduli berapa kali aku menolaknya. Dia terus bertanya hampir setiap hari. Aku lelah ditanyai hal yang sama setiap har
Jadi, kalian sudah sampai pada akhir dari Penyesalan Mantan Suami dan cerita sampingannya. Aku hanya mau berterima kasih pada kalian semua atas cinta dan dukungan kalian akan buku ini. Ini adalah buku terpanjang yang pernah kutulis, dan sejauh ini adalah yang paling sukses. Buku ini tidak akan sesukses ini kalau bukan karena dukungan kalian. Maka dari itu, terima kasih banyak. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan buku ini dari awal sampai akhir. Hal ini sungguh berarti bagiku. Sekarang, aku mau mengumumkan bahwa buku Noah akan diunggah selanjutnya. Judulnya ‘Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan’. Aku masih mengerjakan plotnya, tapi akan kuunggah pada pertengahan Oktober, nantikan saja! Kita akan ada cerita sampingan soal Guntur dan mungkin satu lagi soal Lilly. Inilah sedikit intipan dari Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan. Di bawah ini hanyalah cuplikan kasarnya. ***Shella. Aku berjalan ke arah altar. Jantungku berdegup, dan langkahku lambat. Bunga mawa
Tiga tahun kemudian.Emma.“Serius, Emma, kapan kamu akan mulai berkencan?” tanya Ava sambil duduk di sampingku.Aku memandang ke arah halaman belakang, dan aku tak bisa menahan senyum yang muncul di bibirku. Hari ini adalah ulang tahun anak laki-laki Travis dan Ruby. James, dinamai dari ayah kami, yang berusia satu tahun hari ini.Ruby dan Travis menikah sekitar dua tahun yang lalu. Travis langsung melamarnya setelah aku sadar dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku. Kalian mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi pada pengemudi itu. Dia saat ini sedang menjalani hukuman lima tahun penjara karena mengemudi sembarangan. Aku berharap dia belajar dari kesalahannya.Kembali ke Travis dan Ruby. Kurasa melihatku di rumah sakit membuatnya menyadari betapa singkatnya hidup manusia. Dia melamarnya, dan Ruby setuju. Mereka menikah saat musim semi. Sebagai hasil dari perbaikan hubunganku dengan Ava, aku dibawa masuk ke pertemanan mereka. Calista dan Reaper menikah dalam sebuah pernikahan k
“Tidak! Aku harus mengejan!” seruku sambil menggenggam baju Gabriel. Aku merasa seperti sudah gila. Seolah aku sudah kehilangan akal sehatku. Rasa sakit ini sungguh sudah membuatku gila. Untungnya, kami sampai di kamar sebelum aku melahirkan di koridor rumah sakit sialan ini. Aku menghela nafas lega saat memasuki ruangan, dan mereka mulai mempersiapkanku. Ava sudah di dalam. Aku bersyukur memiliki seseorang yang mengerti rasanya kemaluan terbelah dua agar manusia cilik itu bisa terlahir ke dunia. “Aku tidak bisa menahannya lagi,” ujarku sebelum mengejan sekuat tenaga. Aku bersumpah bisa merasakan belahan pantatku seolah terbelah, yang menambah rasa sakitku.“Ini semua salahmu!” seruku pada Gabriel sambil mencengkeram erat tangannya. Aku menatap tajam padanya dengan nafas yang menderu. Batang hidungku kembang-kempis untuk berusaha meraup sebanyak-banyaknya oksigen ke paru-paruku. “Ayo, Hana, ejanlah!” ujar Ava sambil menyeka keringat dari dahiku. “Jangan pedulikan Gabriel.”“Jaha
“Tidak apa-apa, sayangku. Ibu hanya akan melahirkan. Ingatkah yang Ibu katakan padamu apa yang akan terjadi ketika sudah waktunya?”Dia menganggukkan kepalanya. “Iya. Ibu bilang akan merasa kesakitan, tapi aku tidak seharusnya takut, sebab itu bagian dari melahirkan bayi ke dunia.”“Bagus,” ujarku sambil meringis saat sakit kontraksi kembali menghampiri. “Itulah yang terjadi sekarang, jadi janganlah takut.”Gabriel menggenggam tanganku dan membantuku keluar dari kamar. Aku bernafas melalui hidung dan mulutku, tapi jujur saja. Ini sama sekali tidak membantu, ‘kan?“Aku hanya tidak paham. Kenapa Ibu harus kesakitan? Kenapa bayinya tidak langsung lahir saja tanpa menyakiti Ibu?”Hal terakhir yang kuinginkan adalah menorehkan trauma pada putriku dengan menjelaskan padanya bahwa rasa sakit memang lumrah untuk mengeluarkan bayi dari diriku. Dia pasti akan ingin tahu mengapa bayi harus dikeluarkan dengan mengejan, dan aku harus menjelaskan bahwa bayi itu besar, dan jalan keluarnya lebih kecil