Rowan. “Apakah kamu akan merenung selamanya?” Tanya Gabriel dengan sebal. Aku tidak memperhatikannya. Aku terus menatap cairan merah di gelasku. berpikir tentang segalanya menjadi lebih sulit soal Ava. Aku tidak cukup naif untuk berpikir bahwa dia sedang berlaku tidak rasional. Dia berlaku layaknya orang lain akan lakukan, seseorang yang disakiti berkali-kali oleh orang yang dikasihinya. “Kamu tidak bisa terus seperti ini, Ro. Jika dia tidak memberimu waktu, tinggalkan dia sendiri! Emma menginginkanmu menangis dengan suara keras. Sial, kamu tidak kekurangan dalam hal wanita yang menginginkanmu,” gerutunya sambil menjatuhkan diri ke kursi. Aku tidak mengakui omelan bodohnya. Sebaliknya, aku memberinya tatapan tajam. “Jika suasana hatiku saat ini sangat mengganggumu, kamu boleh pergi.” Dia tidak mengerti, dan aku sedang tidak ingin membuatnya mengerti. Seluruh keberadaanku baru-baru ini memutuskan bahwa aku tidak menginginkan Emma. Ia juga tidak menginginkan wanita lain selain Ava.
Satu-satunya alasan mengapa perusahaanku masih kokoh adalah karena kami sama kuatnya dengan Hadinata. Perusahaanku tidak akan terpengaruh oleh apa yang dilakukannya pada Travis. Aku tidak sebodoh itu untuk berpikir segalanya akan berakhir di sini. Mereka mungkin tidak bisa menghancurkan perusahaanku, tteapi aku yakin mereka akan mencari jalan lain untuk membalas dendam. Aku bahkan tidak berhadapan dengan mereka. Mereka berhak untuk menghancurkanku, aku layak mendapatkan apa pun yang mereka rencanakan, karena bagaimana aku memperlakukan putri mereka. “Itukah yang membuatmu begitu sedih? Bahwa dia menolak membantumu?” Gabriel menatapnya dengan simpati. Travis menghela nafas panjang dan lelah. "Iya. Itu yang dia katakan. Dia bilang dia tidak menganggapku keluarganya. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa baginya.” Aku melihat rasa sakit yang ditimbulkannya, tetapi aku tidak bersimpati padanya. Kami sangat buruk padanya. Perlakuannya terhadap kami kurang dari yang seharusnya kami ter
“Jangan bercanda,” ujar Emma terkejut, aku juga sama terkejutnya. Aku merasa jantungku berdegup kencang. Kepanikan menjalari hatiku, membuatku kesulitan untuk bernafas. Jika kupikir Ronny atau Reaper, atau siapa pun itu menculik kami sudah buruk, aku salah sebab yang direncanakannya jauh lebih buruk lagi. “Aku serius. Ayahmu tidak seharusnya berurusan denganku, begitu juga dengan Rowan. Waktunya membalaskan dendamku.” Ronny tersenyum jahat layaknya seorang Iblis, membuatku merinding. Dia telah menelepon Rowan tepat di depan kami dan menyuruhnya memilih. Aku masih tidak percaya rencananya adalah hanya satu dari kami yang akan keluar dari sini hidup-hidup. Aku merasa semuanya menghujamku. Ketakutan mendatangkan malapetaka dalam diriku dan akutidak dapat berpikir jernih. Aku yakin wajahku bengkak karena bajingan itu memukulku dan bibirku pecah. Saya memilih untuk fokus pada rasa sakit itu daripada bahaya yang akan datang. “Apakah kamu tidak ingin mengatakan sesuatu, Ava?” Ronny berta
“Aku tidak percaya kamu barusan berkata buruk soal Ayah!”“Beruntungnya aku, sebab aku tidak peduli akan apa yang kamu pikir,” balasku dengan sinis. Tidak bisakah dia tetap diam dan membiarkanku berkonsentrasi? Waktu terus berjalan, aku belum bebas, dan rasa cemasku mulai naik. Dia memelototiku, tapi tetap diam. Aku menarik napas lega. Sekarang aku bisa fokus untuk membebaskan tanganku. Jika aku bisa melakukan itu, segalanya akan menjadi mudah. Kuharap begitu. Aku tidak tahu berapa lama sampai aku menyerah. Tanganku gemetar. Pergelangan tanganku terasa terbakar dan aku tahu pergelangan tanganku berdarah. Sepertinya semakin aku mencoba membebaskan mereka, semakin dalam tali itu menusuk kulitku. Aku menghela nafas berat. Aku benci melakukan ini, tapi aku tidak punya pilihan lain. Pada titik ini, pilihannya adalah kabur atau berisiko terbunuh. “Aku punya rencana yang mungkin berhasil,” Aku menoleh ke arah Emma dan memberitahunya dengan enggan. Rasanya seperti menghancurkan egoku, tap
Aku keluar dan mengamati sekeliling. Kami ada di semacam tempat penampungan rongsokan. Aku tersenyum karena merasa beruntung. Berarti ada banyak tempat untuk bersembunyi dari Reaper dan anak buahnya. “Kita harus mencari pintu keluar. Setelah itu, kuyakin segalanya akan mudah,” kataku pada Emma saat kami mulai berjalan. Dia menganggukkan kepalanya setuju dan berjalan di sampingku. Kami begitu hati-hati saat mencari jalan keluar. Kami membuat diir kami tersembunyi dan tidak berjalan di tempat terbuka. “Di mana pintu keluarnya?” Tanya Emma jengkel. Aku tahu dia akan berkata seperti ini. Kami telah berjalan selama beberapa menit. Meskipun kami belum menemukan satu pun anak buahnya, kami juga belum menemukan jalan keluarnya. “Mungkin kita harus istirahat sebentar.” Aku mulai lelah. Wajahku sakit, begitu pula tangan dan kakiku. Pikiran itu langsung kutepis, ketika kita di sini ada alarm yang berbunyi. Suaranya terdengar keras di seluruh halaman. Jantungku mulai berdebar kencang. Sial.
“Sial, ini sakit sekali!” Emma mengerang kesakitan, membuatku tersadar dari keterkejutanku saat melihat seorang pria mengangkat pistolnya. Aku merangkak untuk mengambil pistol yang kujatuhkan dan segera menembak. Dia terjatuh di tanah. Aku berdiri dan berlari ke Emma, yang merintih di tanah. Aku bahkan tidak memeriksa jika pria itu hidup atau mati. Sekarang, itu tidak penting bagiku. Tidak ketika aku panik dan Emma berdarah-darah di tanah. “Aku akan mati, ‘kan?” Tanyanya dengan pipinya yang dibanjiri air mata. Aku bisa saja bilang padanya untuk berhenti menjadi cengeng, tetapi tidak kulakukan. Tidak ketika dialah yang mendorongku untuk menyelamatkanku dari peluru yang seharusnya mengenaiku. "Tidak akan," jawabku sambil memeriksanya. Dia tertembak di bahu, dan mengeluarkan banyak darah. Aku khawatir. Pertama, dia mungkin mati kehabisan darah, dan kedua, kami masih dalam bahaya. Seseorang pasti akan menemukan kita pada akhirnya. "Kamu berbohong!" Dia mendesis saat aku menekan luka
Jantungku mulai mencelos dan mulai panik. Aku mencoba mengguncang tubuhnya dan tidak ada perlawanan. Aku menangkapnya sebelum dia terjatuh. Aku membalikkan tubuhnya, jadi dia tertidur di pangkuanku. Kubisikkan namanya sekali lagi, masih tidak ada jawaban. Dengan tangan gemetar dan rasa takut yang merusuk sampai tulangku, aku memeriksa denyut nadinya, takut tidak merasakan apa-apa. Aku menghela nafas lega saat merasakannya. Itu agak lemah, tapi itu ada. Aku menarik napas lega. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika aku tidak menemukan denyut nadinya. Air mata mulai memenuhi mataku. Kami terjebak di sini. Emma mengalami pendarahan dan lemah. Aku lelah dan pegal dan kami berada tepat di tengah-tengah markas musuh. Aku tidak menghentikan mereka ketika mereka jatuh. Aku hanya muak. Mengapa semua ini terjadi padaku sekarang? Aku tidak menginginkan apa pun selain perdamaian, tetapi aku belum mencapainya. Aku benci ini. Benci semua yang terjadi. Aku terus memantau denyut nadi Emma ha
Rowan. Saya tidak bisa menjelaskan ketakutan yang saya rasakan ketika saya melihat bajingan itu menodongkan pistol ke kepalanya. Dia gemetar, dan air mata jatuh di wajahnya. Aku mendengarnya saat dia memohon padanya untuk melepaskannya, tapi aku tahu dia tidak akan melakukannya. Saat dia menutup matanya. Seolah menerima takdirnya. Itu hampir membuatku bertekuk lutut. Jika bukan karena aku tahu dia lelah, aku akan membiarkan pria itu supaya aku bisa memberinya penyiksaan versi pribadiku. “Dia butuh dokter, Rowan,” katanya dengan suara kecil saat aku berlutut di hadapannya. Aku sudah mengirim pesan pada Gabriel. Ambulans akan tiba di sini dalam beberapa menit. Bukannya aku tidak peduli pada Emma; Ya. Aku hanya lebih menyayangi Ava. Aku membawa wajahnya dengan lembut ke tanganku. Pipinya bengkak, begitu pula matanya. Sudah memar, dan bibirnya terluka.Wajahku mengeras membayangkan seseorang mengayunkan tangan padanya. “Siapa yang memukulmu? Apa itu Ronny?” Tanyaku dengan menggertakk
Hai pembaca terkasih, aku baru saja membaca komentar kalian dan kalian benar-benar memberi tahuku perasaan kalian. Setiap orang berhak atas pendapatnya masing-masing, dan aku menghormati itu. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah pandangan mereka, dan itu benar-benar tidak masalah.Aku telah menerima beberapa kritik yang sangat baik, dan aku ingin berterima kasih kepada mereka yang telah menunjukkan kesalahanku. Aku selalu kesulitan menulis bagian akhir cerita, dan itulah mengapa kadang-kadang terasa terburu-buru. Jangan khawatir, aku akan bekerja keras untuk memperbaikinya di buku berikutnya.Tentang Emma dan Calvin, aku ingin kalian semua mengerti bahwa ini memang selalu menjadi akhir yang direncanakan, setidaknya di buku ini.Emma tidak mencintai Calvin. Dia menyesal atas apa yang dia lakukan, tetapi dia tidak pernah mencintainya dengan kedalaman yang sama seperti Calvin mencintainya. Dengan kata lain, dia mencintai Calvin, tetapi dia tidak jatuh cinta padanya. Calvin pan
Hana. Aku seolah sedang melayang dalam langit ketujuh. Aku merasa hangat, damai, dan dicintai. Perlahan, aku terbangun. Gabriel di belakangku dengan tangannya yang merengkuhku. Dia selalu melakukan ini setiap kali kami tidur. Dia terus memegangiku, seolah takut kalau aku akan menghilang kalau dia tidak melakukannya. Aku menggeliat sedikit untuk lepas dari tangannya. Alih-alih melepasku, dia mengeratkan tangannya, yang mendorongku mendekat ke badannya. Aku berhenti ketika merasakannya. Ketika kurasakan kejantanannya yang mengeras, libidoku naik, dan aku segera menginginkannya. Aku ingin merasakannya memasukiku. Kehidupan ranjang kami sehat, tapi selalu ada waktu di mana aku menginginkan lebih. Dengan memiliki tiga anak, kadang sulit untuk mendapat waktu untuk berduaan. “Hmm,” geram Gabriel ketika aku menggesekkan pantatku di kejantanannya. Suaranya menggetarkan klitorisku. Aku melakukannya lagi, dan mengundang desahan seksi darinya. Gabriel mulai membubuhi punggung, pundak, dan
“Tentu,” dia membalas senyumku tepat saat Henry berjalan mendekati kami.“Aku di sini untuk mencuri istriku yang cantik.” Suaranya serak, dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak meleleh mendengar nadanya. Suaranya benar-benar seksi.“Dia milikmu.” Calvin melepaskanku dan menyingkir sebelum pergi.Henry menarikku ke dalam pelukannya, memastikan tidak ada jarak di antara kami. “Apakah kamu baik-baik saja? Punggungmu sakit? Kaki-kakimu bagaimana?”Lihat apa yang aku bilang? Dia mendominasi di dunia hukum, tapi perhatian dan penuh cinta sebagai pasangan. Aku bahkan tidak tahu bahwa aku punya tipe pria seperti ini sampai aku bertemu dengannya.“Aku baik-baik saja, cintaku, berhentilah khawatir,” ujarku sambil terkekeh dan menyeret diriku lebih dekat padanya.“Sudahkah aku memberitahumu bahwa aku mencintaimu?” tanyanya.Aku tidak bisa menahan senyum saat aku berdiri di ujung jari kakiku dan berbisik di bibirnya. “Sudah kamu katakan seribu kali hari ini, tapi aku tidak mengeluh.”“Kamu adal
Merrisa adalah salah satu pengiring pengantin perempuanku, begitu juga Ava, Calista, Ruby, Hana, dan Anjani. Mereka telah menjadi sahabatku selama empat tahun terakhir sejak kecelakaan itu. Tentu saja, aku tidak pernah bisa menggantikan Merrisa, dia sahabat terbaikku, tapi aku bersyukur memiliki mereka.Ditambah lagi, kemarin Merrisa memberitahuku bahwa dia berpikir untuk pindah ke sini. Aku sangat bersemangat. Aku menyayanginya, tapi kami mengakui bahwa menjalani persahabatan jarak jauh itu sulit. Aku benar-benar merasa di atas awan karena dia akan berada di dekatku.Musiknya melambat, dan Guntur mendekat, memecah semua percakapan lain.“Bolehkah aku berdansa denganmu, Ibu?”Seruan riuh para tamu terdengar, dan aku bersumpah hatiku langsung meleleh.“Tentu saja, putra tampanku,” jawabku sebelum menggenggam tangannya.Guntur sekarang sudah empat belas tahun, sudah jadi remaja. Bisa kalian percaya itu? Tingginya sudah sama denganku, dan aku yakin dalam beberapa tahun dia akan lebih ting
Emma. Aku menari dengan Merrisa, membiarkan musik menenggelamkanku. Aku merasakan sedikit rasa sakit di punggungku, tapi masa bodoh, sebab aku merasa sangat bahagia. Gaunku berayun mengikuti irama tubuhku sembari kami meneriakkan lirik lagu Cruel Summer milik Taylor Swift sekuat tenaga. Ava, yang hamil besar bergabung dengan kami. Aku tertawa sebab dia berpikir bahwa dia sedang menari, tapi tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya. Aku bisa menghitung saat-saat terbahagiaku dengan jari. Satu adalah ketika aku lolos ujian pengacara. Kedua, ketika Guntur memanggilku Ibu untuk pertama kali setelah bertahun-tahun lamanya, dan yang ketiga adalah hari ini, di hari pernikahanku.Kalian tidak salah dengar. Aku baru saja menikah, dan aku tidak pernah sebahagia ini. Ingat pengacara tampan yang kuberi tahu Ava saat ulang tahun James? Ya, dia tidak mau menyerah, tidak peduli berapa kali aku menolaknya. Dia terus bertanya hampir setiap hari. Aku lelah ditanyai hal yang sama setiap har
Jadi, kalian sudah sampai pada akhir dari Penyesalan Mantan Suami dan cerita sampingannya. Aku hanya mau berterima kasih pada kalian semua atas cinta dan dukungan kalian akan buku ini. Ini adalah buku terpanjang yang pernah kutulis, dan sejauh ini adalah yang paling sukses. Buku ini tidak akan sesukses ini kalau bukan karena dukungan kalian. Maka dari itu, terima kasih banyak. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan buku ini dari awal sampai akhir. Hal ini sungguh berarti bagiku. Sekarang, aku mau mengumumkan bahwa buku Noah akan diunggah selanjutnya. Judulnya ‘Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan’. Aku masih mengerjakan plotnya, tapi akan kuunggah pada pertengahan Oktober, nantikan saja! Kita akan ada cerita sampingan soal Guntur dan mungkin satu lagi soal Lilly. Inilah sedikit intipan dari Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan. Di bawah ini hanyalah cuplikan kasarnya. ***Shella. Aku berjalan ke arah altar. Jantungku berdegup, dan langkahku lambat. Bunga mawa
Tiga tahun kemudian.Emma.“Serius, Emma, kapan kamu akan mulai berkencan?” tanya Ava sambil duduk di sampingku.Aku memandang ke arah halaman belakang, dan aku tak bisa menahan senyum yang muncul di bibirku. Hari ini adalah ulang tahun anak laki-laki Travis dan Ruby. James, dinamai dari ayah kami, yang berusia satu tahun hari ini.Ruby dan Travis menikah sekitar dua tahun yang lalu. Travis langsung melamarnya setelah aku sadar dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku. Kalian mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi pada pengemudi itu. Dia saat ini sedang menjalani hukuman lima tahun penjara karena mengemudi sembarangan. Aku berharap dia belajar dari kesalahannya.Kembali ke Travis dan Ruby. Kurasa melihatku di rumah sakit membuatnya menyadari betapa singkatnya hidup manusia. Dia melamarnya, dan Ruby setuju. Mereka menikah saat musim semi. Sebagai hasil dari perbaikan hubunganku dengan Ava, aku dibawa masuk ke pertemanan mereka. Calista dan Reaper menikah dalam sebuah pernikahan k
“Tidak! Aku harus mengejan!” seruku sambil menggenggam baju Gabriel. Aku merasa seperti sudah gila. Seolah aku sudah kehilangan akal sehatku. Rasa sakit ini sungguh sudah membuatku gila. Untungnya, kami sampai di kamar sebelum aku melahirkan di koridor rumah sakit sialan ini. Aku menghela nafas lega saat memasuki ruangan, dan mereka mulai mempersiapkanku. Ava sudah di dalam. Aku bersyukur memiliki seseorang yang mengerti rasanya kemaluan terbelah dua agar manusia cilik itu bisa terlahir ke dunia. “Aku tidak bisa menahannya lagi,” ujarku sebelum mengejan sekuat tenaga. Aku bersumpah bisa merasakan belahan pantatku seolah terbelah, yang menambah rasa sakitku.“Ini semua salahmu!” seruku pada Gabriel sambil mencengkeram erat tangannya. Aku menatap tajam padanya dengan nafas yang menderu. Batang hidungku kembang-kempis untuk berusaha meraup sebanyak-banyaknya oksigen ke paru-paruku. “Ayo, Hana, ejanlah!” ujar Ava sambil menyeka keringat dari dahiku. “Jangan pedulikan Gabriel.”“Jaha
“Tidak apa-apa, sayangku. Ibu hanya akan melahirkan. Ingatkah yang Ibu katakan padamu apa yang akan terjadi ketika sudah waktunya?”Dia menganggukkan kepalanya. “Iya. Ibu bilang akan merasa kesakitan, tapi aku tidak seharusnya takut, sebab itu bagian dari melahirkan bayi ke dunia.”“Bagus,” ujarku sambil meringis saat sakit kontraksi kembali menghampiri. “Itulah yang terjadi sekarang, jadi janganlah takut.”Gabriel menggenggam tanganku dan membantuku keluar dari kamar. Aku bernafas melalui hidung dan mulutku, tapi jujur saja. Ini sama sekali tidak membantu, ‘kan?“Aku hanya tidak paham. Kenapa Ibu harus kesakitan? Kenapa bayinya tidak langsung lahir saja tanpa menyakiti Ibu?”Hal terakhir yang kuinginkan adalah menorehkan trauma pada putriku dengan menjelaskan padanya bahwa rasa sakit memang lumrah untuk mengeluarkan bayi dari diriku. Dia pasti akan ingin tahu mengapa bayi harus dikeluarkan dengan mengejan, dan aku harus menjelaskan bahwa bayi itu besar, dan jalan keluarnya lebih kecil