Sejak malam dimana Danu menginvasi hati dan pikiran Nurma tentang cucu yang diinginkan oleh ibu atasannya itu, gadis ini semakin takut saja dekat-dekat dengan lelaki itu. Bahkan Nurma tidak atau belum mengiyakan permintaan aneh atasannya, tapi lelaki itu seolah Nurma sudah setuju saja jadi istrinya. meski perbedaan umur yang cukup jauh tapi Danu pede saja.Perasaan yang Danu rasakan entah semangat apa namanya. Semangat puber kedua atau semangat muda Nurma yang menulari dirinya. Padahal Nurma ini orangnya tidak pecicilan, malah terkesan pendiam dan tenang. Mirip-mirip sifat Kirani, tapi Danu saja yang blingsatan. Ingin buru-buru ada yang menemani tidurnya. Apalagi umur lelaki ini yang sudah mau tiga delapan. Tentu kematangan hormon birahinya sedang berada di puncak-puncaknya.Bila saat bersama Herda Danu merasa lebih tua dari usianya. Bahkan wajahnya pun terlihat tua dari umurnya saat masih menjadi suami istri bersama Herda.“Pak Danu jadi duda, malah tambah muda,” seloroh pak Victor d
Kirani terharu luar biasa, saat dokter Dina memperlihatkan janin dalam perut Kirani. Masih sangat kecil tapi denyut jantungnya sudah kedengaran tadi. “Masya Allah, Mas.” Netra Kirani berembun, luar biasa perasaan haru yang dirasakan. Sekian lama dirinya menanti. Akhirnya merasakan kembali kehamilan yang dulu terenggut. Jika kehamilannya yang dulu tak diketahui mantan suaminya, maka di kehamilan yang kedua ini, sang suami dengan setia menemani dan memperhatikan segala inginnya.Gani yang ikut terharu, menggenggam jemari kanan istrinya dan melihat sama-sama ke layar monitor di atas sana.“Sudah dua bulan ya, bu Kiran. Janin sehat. Cuma ibunya yang HB agak rendah, nanti saya resepkan penambah darah, dan bapak jangan terlalu buat ibu begadang ya. ini masih trimester pertama. Ditahan-tahan dulu, Pak. Boleh berhubungan tapi perhatikan kesiapan dan jam istirahat ibu.Sudah puluhan tahun menjadi dokter kandungan, tentu dokter Dina tahu aktivitas suami istri di trismester pertama harus bagaim
"Saya punya kesalahan di masa lalu yang sangat fatal, Nurma. Dan saya tak mau menyembunyikan dari kamu." Danu menatap piring sate milik Nurma yang masih tersisa banyak. Bahkan lontong di piring putih itu baru dimakan sedikit saja. Padahal tadi, ia juga mengaku lapar pada Danu.Sementara Nurma yang mendengar pengakuan Danu, mendadak merasa kenyang. Ada perasaan deg-degan. Kesalahan apa yang dulu atasannya lakukan ini hingga harus berpisah dengan istri yang nyaris sempurna dalam pandangan Nurma."Apa kamu siap mendengarnya?" Danu bertanya sambil memperhatikan perubahan pada raut wajah Nurma. Perempuan di hadapannya ini terlihat sedikit tegang. Membuat Danu jadi ikut-ikutan tegang.“Saya menerima ajakan, Bapak untuk makan, menerima kedatangan ibu anda ke rumah saya, dan saya harus siap dengan masa lalu, Bapak yang belum saya tahu ataupun yang sudah saya tahu!” ucap Nurma. Jiwa dewasanya sungguh membuat Danu takjub.Tentu banyak hal yang sudah Nurma lewati dalam hidupnya hingga bisa sede
Tiga bulan masa penjajakan antara Danu dan Nurma, dirasa sudah cukup bagi keduanya untuk melangkah ke jenjang yang lebih halal. Eh, kenapa lebih halal? Soalnya Danu kerap menyenggol-nyenggol Nurma dengan sengaja.Nurma yang profesional dan begitu pandai menyimpan rasa dan status mereka, kadang membuat Danu gemas sendiri. Bahkan sekadar menatap Danu dengan mesra, pun tak pernah Nurma lakukan, meski rasa rindu juga kerap hadir di kalbu gadis ayu ini.Seperti saat makan siang bersama karyawan lain beberapa waktu lalu, Nurma malah membiarkan Kaila duduk di dekat Danu, dan ikut tersenyum saat yang lain meng-cie-cie-i keduanya. Nurma ikut menahan tawa, sementara Danu menahan geram.Bahkan saat Danu sengaja batuk, agar Nurma peka mengambilkan air minum atau ikut duduk di sampingnya, malah gadis itu membiarkan Kaila sibuk melayani calon suaminya.“Minum dulu, Mas,” tawar Kailan ramah dan sedikit salah tingkah.“Eh, biar Nurma saja, Mbak. jangan repot-repot!” Danu ingin menolak, apa daya gela
Resah gelisah melanda Danu. Niat ingin menghabisi Nurma di malam pertama mereka, malah tertunda sebab tamu bulan yang datang tanpa di undang.“Nur,” Danu misuh-misuh. Ia tak bisa tidur, sebab ada yang terlanjur bangun namun tak bisa berbuat apa-apa.Sebentar-sebentar ia memeluk bantal guling, sebentar-sebentar memeluk Nurma yang juga jadi tak bisa tidur karna gangguan Danu yang sedang gelisah. “Nur!”“Tidur, Mas.” Kemudian Nurma memberanikan diri, ia melingkarkan pergelengannya pada pinggang Danu yang sedang berbaring miring ke arahnya.Jujur saja, sebenarnya Nurma gugup malam ini. ada rasa deg-degan, begitu pun dengan Danu. Bahkan Nurma tadi sangat grogi saat Danu pertama kali menyatukan bibir keduanya.“Nggak bisa tidur,” keluh Danu sambil mencubit pelan pipi dan hidung Nurma, bergantian.Gerimis diluar, juga hawa dingin dari pendingin ruangan menguarkan hawa dingin yang cukup menusuk tulang. Namun Danu yang terlanjur membakar api tadi, tak bisa merasakan dingin itu. tubuhnya gera
“Herda yang dulu, merebut mas Danu dari mbak Kirani, kan? habis itu selingkuh sama pak Willy yang tukang judi, kan?” todong ibu tadi dengan sengaja. Membuat semua yang ada di area itu menoleh menatap ke arah Herda yang tertunduk malu.Beberapa pedagang dan pengunjung terlihat mencibir Herda. Namun tak sedikit yang menyalahkan ibu tadi. Tak ada yang tahu, bahkan Herda pun tak ingat. Ibu yang tubuhnya sedikit berisi ini adalah bu Maisa. Salah seorang istri karyawan senior yang menjadi saksi bagaimana genitnya Herda dulu pada Danu. Juga menjadi saksi bagaimana dulu Kirani menggeret kopernya keluar dari rumah itu setelah keguguran. Suami bu Maisa sudah pensiun. Tak ada siapa pun di rumah besar itu saat Kirani akan pulang ke rumah ibunya. Bu Maisa dan pak Dudi yang akan mampir di rumah Danu ingin menyerahkan dokumen kantor yang Danu perlukan. Tak menyangka bila akan menemukan pemandangan yang sdikit memilukan hati.Wajah pucat Kirani dan juga deraian air mata menyambut keduanya di teras r
Gani mengusap kening Kirani yang berkeringat. Sesekali barisan alis tebal diwajah istrinya itu nampak berkerut, mengernyit menahan sakit. Keduanya sudah ada di rumah sakit. Kamar kelas satu menjadi pilihan Gani untuk perawatan Kirani nanti setelah melahirkan. Beruntung ada BPJS yang mengcover sebagian biaya persalinan istrinya, nanti kelebihan biayanya, akan Gani bayarkan sendiri.Tadi bu Asma dan Sofia serta Firman ikut mengantar Kirani ke rumah sakit. Beruntung juga ada Leli adik sepupu Gani dan Fatma, sudah dua bulan ini Leli ikut membantu mengajar anak-anak yang masih aktif mengaji.Hanya saja sekarang mereka bukan lagi mengaji di rumah Kirani, tapi sudah di pindahkan ke masjid yang pembangunannya baru saja selesai. Fatma dan Kirani yang berbarengan hamilnya, jadi tak bisa lagi membantu anak-anak belajar ngaji. Hanya sesekali mereka datang untuk memantau.Dokter Dina tadi sudah memeriksa keadaan Kirani yang kembali datang, padahal tiga hari yang lalu dia baru saja kontrol.“Ini pa
“Ini apartemen siapa, Mas?” Nurma bertanya heran. Sebab Danu membawanya ke sebuah apartemen yang cukup jauh dari rumah.Ini apartemen yang dulu Danu beli atas nama Kirani. Namun mantan istrinya itu tak berniat sama sekali mengambil apalagi menuntut harta dari Danu dulu. “Punya orang, Dek. Kita pinjam sebentar,” jawab Danu.Ya, lelaki ini memang hanya berniat meminjamnya. Entah bagaimana caranya nanti agar bangunan ini bisa diterima oleh Kirani. Danu pun nanti akan jujur pada Nurma perihal kepemilikan apartemen ini.“Nggak mahal kah, sewanya, Mas?” tanya Nurma lagi sambil meletakkan tas di atas meja depan Tv. Pandangannya menyapu ruangan yang tak begitu besar, tapi cukup rapi dna bersih.“Nggak, Sayang. Buat bulan madu sama kamu, nggak ada yang mahal.” Danu sudah mendekat dan memeluk istrinya sebentar.Nurma yang sudah mengerti maksud suaminya membawa dirinya ke apartemen ini, lalu membalas pelukan itu. Nurma yang dulu sering tak percaya diri, sebab kekurangan yang memeluk hidupnya di
Waktu berjalan begitu pantas dan berlalu tanpa bisa dihentikan. Masa-masa derita, sakit hati, kecewa dan air mata kini berganti tawa bahagia. Meski luka itu tetap meninggalkan bekasnya. Namun duka itu sebisa mungkin tak diingat-ingat lagi oleh Sofia dan Arbi. Pun dengan Kirani yang sudah terlebih dahulu memaafka luka masa lalu yang dulu membuatnya menangis kecewa. “Nenek sudah makan?” Davka yang sudah kelas lima SD menghampiri Kirani yang terlihat sedang menjahit sebuah jaket berwarna coklat tua. “Sudah, tadi ibumu sudah bawakan nenek ubi jalar rebus. Nenek sudah dua hari tak makan nasi, ibumu yang melarang.” “Karna mama bilang, gula darah nenek tinggi lagi!” Davka memperhatikan jaket coklat yang sering digunakan neneknya akhir-akhir ini. Terlihat ada tiga bekas jahitan pada baju hangat itu. “Nenek, kayanya suka sekali dengan jaket kakek ini?” “Ya, suka sekali. Kakekmu itu baik dan sangat sayang pada nenek.” Bukan sekali dua kali Kirani menceritakan tentang Gani pada cucu mere
“Kok, begitu liatnya, Mas?” Kening lebat Sofia berkedut heran, melihat Arbi menatapnya seolah tak berkedip. Baju dinas belum sempat Sofia lepas, bahkan rambut panjangnya hanya dicepol asal. Sofia sedikit terlambat pulang, siang ini. Membuatnya harus terburu mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Ia ingat suaminya pasti belum makan siang. Tinggal di desa seperti ini, tak seperti di kota, bila lapar bisa lari ke warung makan yang bertebaran dimana-dimana. Di sini, belum banyak yang menjual makanan masak. Hanya ada bakso, ayam crispy dan jajanan cilok dan sejenisnya. Penampilan berantakan itu malah membuat Sofia semakin terlihat cantik. Wajahnya terlihat bersinar. Bisa jadi karna efek KB juga. Sofia tak ingin kecolongan. Setelah memastikan dirinya tak hamil, segera saja ia meminta suntik KB satu bulan. Mungkin Kbnya cocok di tubuh Sofia. Ia tak merasa pusing atau keluhan lainnya. Lagian masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya masih takut untuk memberi adik lagi pada Davka. Arbi me
“Fia,”“Y-ya, Mas!”Rasanya begitu gugup. Bukan hanya Sofia, tapi juga Arbi. Benar-benar canggung. Bahkan debaran itu semakin menggila saat Arbi melihat lagi rambut sebahu istrinya yang begitu indah. Bertahun-tahun baru ia melihat mahkota legam itu lagi. Ditambah dengan Sofia yang masih menggunakan baju mandi saja, membuat Arbi semakin, ah ...Tak jadi masuk, Arbi malah keluar lagi, mengganti lampu di ruang TV dengan yang lebih redup.“Huf! Selamat,” batin Sofia.Namun ...“Lho kok dimatiin lampunya, Mas?”Arbi masuk lagi, mematikan lampu kamar. Namun pintu kamar ia buka sedikit agar tetap bisa mengawasi Davka yang sedang tertidur di depan. Ingin tidur di kamar ini juga tak bisa, sebab kasurnya hanya muat untuk dua orang. Memang malam ini mereka harus tidur bertiga di depan tv. Namun, Arbi ada keinginan sendiri yang tak bisa ditunda. Melihat penampilan Sofia tadi membuatnya seketika on fire.“Mas kangen banget sama, kamu!”Arbi mendekat, bahkan langsung memeluk. Mendekap tubuh itu d
Sofia tergugu dalam isak tangisnya. Ini bukan tangis kesedihan lagi. Namun ini tangis keikhlasan. Keikhlasan yang membawanya kembali pada jodoh pertamanya.Ingin sekali rasanya Arbi memeluk tubuh terguncang itu, tapi disini ada bunda Kiran, dan tentu Sofia tak ingin disentuh terlalu jauh, sebab keduanya belum menjadi muhrim lagi.Antara bahagia dan sedih, juga rasa khawatir menyatu, mengepung benak perempuan tiga puluh tiga tahun ini. “Mama, maukah mama maafkan papa, biar papa bisa bobo sama kita disini?”Davka berdiri dengan sebuah kotak cincin sederhana di belakang Sofia yang sedang mengusap air mata yang tak ingin berhenti.Pertanyaan yang sudah diajarkan Arbi berulang kali tadi pada sang putra sebelum mereka masuk ke dapur menemui Sofia yang sedang menghapus air matanya yang tak ingin berhenti.Pernyataan Arbi tadi bila akan menikah, membuat hatinya nelangsa dan semakin hilang separuh rasanya.“Eh, Avka. Apa itu, Nak? Kembalikan sama papa.” Jujur hati Sofia sedikit tercubit, meli
Arbi yang dulu selingkuh, Arbi pula yang merasa kecewa. Keputusan Sofia yang belum ingin membuka hatinya kembali, cukup membuat Arbi merasa kecewa, sekaligus takut. Mengapa kecewa?Sebab Arbi merasa Sofia bukan hanya sedang menghukum dirinya, tapi juga sedang menghukum Davka yang begitu ingin melihat mama papanya tinggal serumah.“Kamu nggak, kasihan sama Davka, kah?”“Nanti pasti akan mengerti, Mas.”Sofia selalu yakin bila suatu hari Davka akan mengerti tentang kondisi orang tuanya yang tak sudah tak bersama. Kelak pun akan diceritakannya pada putranya itu bila, papa mamanya sudah berpisah sebelum dirinya dilahirkan.“Kok, papa nggak pernah bobo sama kita, Ma?” Pertanyaan polos seperti itu bukan satu dua kali meluncur dari bocah tampan berhidung mangir mirip ayahnya. Namun Sofia menguatkan hati, selalu mencari jawaban yang tepat, agar sang putra tak merasa sedih.“Papa kan, kerja, Nak. Jadi tidak bisa tinggal disini.”“Papanya Nanda juga kerja, tapi selalu diantar ngaji sama papa m
Masa sudah berlalu. Siang dan malam berkejaran laksana busur panah yang tak bisa dihentikan. Musim penghujan pun berganti dengan kemarau yang cukup panjang. Violetta menatap jauh kebawah sana. Pemadangan hijau nan asri begitu menyejukkan mata. Ia berdiri di balkon villa milik ibunya. Membelakangi Adam yang tampak begitu berharap padanya.“Mengapa menutup diri terlalu kuat, Vio. Apa tak ada cinta sedikit pun di hatimu untuk aku?”“Rasa mungkin bisa dipupuk kembali, Mas. tapi restu yang utama, kan? aku ini janda dan punya masa lalu yang cukup buruk. Menikah tanpa restu sudah pernah kurasakan. Dan akhirnya begitu sakit.”Violetta tersenyum kecut. Perasaannya untuk Arbi belum hilang sepenuhnya. Bukan hanya perasaan cinta, tapi juga ada dendam yang masih belum tuntas. Violetta cukup terharu, melihat kesungguhan di mata Adam. Namun Violetta juga tahu, jalannya bersama lelaki ini tidak akan semudah keinginan pria bermata tajam ini. Violetta mendekat mengelus cambang kasar yang tumbuh di s
“Ya Allah, ya Allah!”Habis sudah bangunan dan isi ruko tempat Arbi menjalankan usahanya sehari-hari selama ini. usaha yang awalnya dirintis oleh ayahnya, setelah rujuk kembali bersama ibunya. Kini ludes terbakar. Semen, cat tembok, pipa dan bahan bangunan lainnya ikut terbakar. Mungkin paku dan bahan lainnya yang terbuat dari besi atau aluminium, tidak ikut terbakar tapi tentu sudah tak bisa di jual lagi.Dua buah mobil pemadam kebaran datang membantu berusaha memadamkan api. Sebab api yang makin besar, membuat warga yang tadi ikut membantu memdamkan api, sekarang tak berani mendekat.Arbi menangis! netranya memerah. Perasaannya semakin kacau. Entah. Apa ini hari pembalasan untuk Arbi mulai dari pagi tadi, rasanya tak ada satupun urusannya yang beres.Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain memandangi api yang melalap habis bangunan di depan matanya.Kehebohan bukan hanya terjadi di sini. Tapi juga tadi di rumah papa Gani. Sebab kabar kebakaran itu diterima Arbi saat ia duduk seba
Pov. Author__Arbi begitu susah payah menelan makanan enak yang ada diatas piringnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Laksana ada duri yang tumbuh pada batang lehernya. Bahkan beberapa kali dia harus menelan air mineral yang tersedia di depannya. Bahkan Davka yang duduk di pangkuannya dan menanyakan banyak hal, tak terlalu digubrisnya. Fokusnya lebih banyak pada Sofia yang nampak begitu cantik hari ini. gamis biru muda dengan potongan brokat di bagian dada dan lengan berpadu dengan jilbab warna senada dan make up tipis di wajahnya. Semakin mempertegas kecantikan mantan istrinya.Di depan sana, Sofia nampak duduk di samping seorang gadis berhijab yang mengenakan kebaya brokat warna kuning gading. Di samping gadis itu ada Keenan yang menggunakan kemeja batik dan celana kain warna hitam.Sofia dan Keenan, meski lahir dari ibu yang berbeda, namun garis wajah keduanya cukup mirip. Sama-sama beralis tebal dan berhidung bangir.Rasanya separuh sukma Arbi hilang tadi, saat remaja ya
Pov Arbi__Sengaja kudatangi penjara tempat Adam ditahan. Dari awal aku memang sedikit tak percaya saat mendengar pengakuan dirinya bila ia sudah mengintai dan merencanakan untuk mencelakai Sofia.Jika dibandingkan dengan Adam, mungkin aku jauh lebih pengecut dan brengsek dibanding dirinya. Lihatlah, bagaimana ia berusaha melindungi Violetta saat perempuan itu masih menjadi istriku.Peristiwa kecelakaan yang menimpa Sofia, menyadarkan diriku bila semua itu terjadi sebab kesalahan yang kubuat. Tak kusangka, walau aku dan Sofia sudah berpisah, tapi rupanya Violetta tak terima, saat kutuntut cerai dari dirinya.Dan kembali perempuan tersabar yang pernah kumiliki dalam hidupku yang menjadi korbannya.Satu kesalahan terbesar dalam hidupku saat mencoba bermain api bersama putri dari bos besar tempatku mencari nafkah.“Mas Arbi dewasa sekali. Aku nyaman sam mas Arbi.”Aku begitu terbuai saat mendengar kata-kata perempuan muda itu. sukses kedua orang tuanya ternyata membuat Violetta justru t