“AaaAaaaaa.” Suara erangan Bora menarik perhatian. Beberapa orang yang lewat menatap aneh. Posisi duduk miring dengan kepala yang bersender pada kayu ulin tua, mata sayu dihiasi kehitaman di bagian bawahnya, rambut acak-acakan serta gaun selutut kumuh dan celana panjang kecokelatan longgar yang dipadu dengan sepatu jerami butut. Bora pasrah, badannya remuk sehabis mengantarkan lima puluh roti ke perumahan sebelah dengan berjalan kaki. Dia mengangkat tangan saja tidak bisa, saking lelahnya. Badannya seperti masuk ke dalam papan kayu yang sebenarnya sudah agak jabuk tersebut.
Ini adalah tahun 1845, dimana kata modern belum ditemukan. Seratus tahun lebih sebelum semua alat canggih terlihat. Tidak ada smartphone, tidak ada internet, tidak ada sandwich dan lebih parah lagi tidak ada es krim!Kim Bora meneguk liurnya sambil mengecap bibir saat melihat cerobong asap yang mirip es krim. Perkiraan suhu hari ini mencapai hampir empat puluh derajat, peluh menetes tanpa henti. Bora mengabaikan, dia menoleh ke samping. Dilihatnya orang-orang yang lalu lalang, berpakaian sangat rapi, memakai payung, berjalan dengan wajah santai tanpa memperdulikan cuaca yang sepanas neraka ini. Hanya Bora yang sudah terbiasa duduk di ruangan dingin merasakan stress luar biasa sampai kepalanya membayangkan hal-hal aneh.Dia bukan datang dari abad ini. Seminggu yang lalu dia adalah gadis modern yang tinggal di apartemen mewah pusat kota Seoul. Bagaimana dia bisa sampai ke sini? Itu juga menjadi misteri karena saat dia membuka mata di malam istimewanya, semua berubah dalam sekejap. Bak mimpi, Bora tiba-tiba sampai di dalam sebuah kamar sempit dengan tubuh yang berbeda.Padahal dia ingat dengan jelas kalau malam itu tidak ada kejadian aneh apapun. Malam dimana dia sibuk membuat video untuk merayakan akun media sosialnya yang telah meraih lima juta followers. Bora menyiapkan banyak sekali hal, mulai dari kue bertingkat dua yang dibuatnya sendiri, merias kamarnya dengan berbagai pernak pernik serta memakai pakaian mahal demi menunjukkannya kepada para pengikutnya.Saat itu, dia terlalu sibuk. Tidak sempat memperhatikan apapun, yang ada di pikirannya adalah dia hanya ingin cepat selesai karena lelah luar biasa. Membuat video pendek bahkan butuh lebih dari lima jam pembuatan. Sehabis menyelesaikan kalimat penutup, Bora jatuh tertidur begitu saja di atas meja dengan kamera yang masih menyala. Entah karena udara dingin yang masuk melalui jendela kamar atau karena AC yang lupa diredupkan sebelum memakai baju tanpa lengan. Matanya berat sekali seolah-olah dia tidak sengaja minum obat tidur.Bora bangkit, dia pergi ke samping rumah dimana suara berisik menganggu telinganya. Phill melirik sebentar saat Bora duduk di atas dipan kayu, lalu memposisikan diri sama seperti tadi. Kepalanya ia biarkan jatuh miring tanpa senderan.“Kau habis menginjak kotoran? Kenapa wajahmu terlipat begitu?” Phill mengelap pelipis di dahi, ia mengambil satu batang besar kayu lagi. Mengerahkan semua tenaga lalu membelahnya dengan kapak. Yang ditanya tidak menjawab, sibuk memperhatikan tanah dengan wajah yang masih tetap sama.“Kau habis membuat masalah?”Bora masih tidak menjawab, mengacuhkan kakak laki-laki dari tubuh barunya. Helaan nafas panjang terdengar. Gadis itu kemudian merebahkan dirinya. Menatap langit biru yang bersih dari awan."Aku seperti bicara dengan hantu." Phill memotong kayu berikutnya dengan sekuat tenaga.Bora menghela nafas lagi. Dia berkedip pelan saat menatap langit. Harusnya hari ini dia pergi ke jalan besar dan menabrakkan diri atau pergi ke danau dekat taman kota dan menceburkan diri. Walau tahu Phill atau ibunya akan mencegahnya melakukan itu untuk yang kesekian kalinya. Bora seminggu terakhir ini melakukan berbagai cara supaya dia bisa kembali. Bermodalkan serial drama dan film, dia melakukan semua tindakan gila. Bahkan dia sempat mengikat tali tambang pada atap kamar sebelum sempat mencobanya karena Phill datang dan menghujaninya dengan ceramah sampai liur pria itu membasahi lantai.Bora tau bunuh diri bukan cara yang tepat tapi dia juga tidak mau hidup. Jadi dia pikir kalau tubuhnya yang sekarang mati maka dia bisa kembali ke tubuh aslinya di masa depan. Sekilas terpikir mungkin ini yang diidamkan para pejuang hidup, dimana mereka berharap hidup di tubuh orang lain dan lepas pada hidup menyedihkan yang terpaksa dijalani."Kau tidak akan ke danau kan?" tanya Phill sambil terengah-engah. Pria itu tidak memakai baju melainkan hanya memakai celana panjang kehitaman yang mirip seperti kuli. Bora berdehem pendek. Kalau dengan energi sekecil kerikil dia tidak akan pergi kemana-mana. Terlalu melelahkan melakukan semua cara-cara gila."Tapi apa kau ingat soal rumor kota ini?" Phill agak menaikkan nada suaranya saat menunduk, memilih kayu yang enak untuk dipenggal selanjutnya."Tidak ingat." Bora menjawab pendek dengan nada malas-malasan."Sreyxer," ucap Phill.Bora melirik dengan ujung matanya. "Apa itu?" tanyanya setengah tertarik setengah tidak."Aku juga tidak tahu pasti. Itu rumor lama.""Kau gila ya?" Bora kesal mendengar jawaban Phill, bisa-bisanya dia membuat Bora penasaran tapi tidak memiliki jawabannya. Kalau saja ada smartphone, tidak perlu Bora merasa sekesal ini karena tidak tahu tentang sesuatu."Oh! Ho! Jaga bicaramu ya! Apa perlu semarah itu?!""Manusia mana yang bicara setengah-setengah begitu? Apa kau tidak diajari tata krama hah!?" Bora duduk, wajahnya sudah tidak bisa santai."Tata krama? Apa maksudmu bicara begitu!? Lalu sejak kapan kau mau mempertahankan sikap kasarmu itu!" Phill geram, aksi memotong kayunya jadi terhambat."Sampai aku menemukan jalan keluar untuk kembali ke MASA DEPAN!!"Hening. Suara kayuhan sepeda lewat, berdecit nyaring, seperti lama tidak diberi makan oli. Kelamaan didengar malah menyakitkan telinga. Saat hilang di kelokan jalan, suasana kembali hening."Aku sudah bilang untuk berhenti bicara tentang masa depan." Phill bicara dengan nada datar. "Aku tau kau ini amnesia tapi para dokter tidak pernah bilang kalau para pasien bisa bicara yang aneh-aneh.""AKU TIDAK AMNESIA!!!" Bora berteriak sekencang mungkin. Phill bertahan pada kapak pendek sebelum jatuh saking kagetnya. Dia memasang raut paling terkejut, seperti baru pertama kali melihat gajah melahirkan secara langsung. Kedua bola matanya membesar, marah.Kapak di tangan dilempar begitu saja. Phill mendekat dengan tergesa-gesa. Bora mundur, dia yang tengah sibuk mengatur nafas setelah berteriak merasa ketakutan didekati secara tiba-tiba."Kau!" Phill memegang kedua bahu Bora. "Hati-hati kalau bertemu Sreyxer! Dia bahaya! Aku tidak mau kehilanganmu dua kali! Jadi, kumohon. Jadilah seperti adikku! Bertingkahlah seperti adikku! Jangan jadi seperti orang lain!"Pats! Bora melepas pegangan itu kasar. "Hentikan," gumamnya dengan raut jijik. "Kau tau apa yang lebih menyebalkan dari datang ke masa ini?""Bicara apa kau?""Ditakdirkan untuk memiliki kakak sepertimu! Aku sudah muak dengan semuanya! Ditambah kau yang membuatku tambah lelah! AKU TIDAK TAHAN!""VIOLA!" Ibunya datang dari belakang dengan sapu ijuk. Bora menurunkan bahunya sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia berbalik lalu memilih berlari pergi.“Hey! Kuharap ingatanmu kembali! Supaya kau tau bagaimana menghormati KAKAKMU! VIOLA!!!” Phill berteriak sekencang mungkin.“Jangan! Ini aku yang membuatnya!” Langkah Bora terhenti saat mendengar suara anak kecil yang dikenal. Itu George. Anak yatim piatu yang tinggal dekat rumahnya. Sebuah boneka kayu terlempar setelah jadi rebutan setengah jam lamanya. Hancur begitu saja. Kaki dan tangan boneka terlepas. Suasana langsung hening.Tap! Tap! Tap! Bora mendekat. Ia mengambil boneka kayu, membersihkannya dari debu lalu menyerahkannya pada George."Hey kau!" Bora menunjuk anak berambut ikal yang bertengkar dengan George. Kedua tangan berpangku pada pinggang. Posisinya mirip ibu-ibu komplek yang siap membela anaknya yang tengah dibully. "Apa ibumu yang melajarimu untuk mencuri hah??"Anak berambut ikal diam. Bora mendekat kemudian menjewer telinga kanan anak tersebut. "Dasar anak nakal! Dua hari yang lalu kau juga mengganggu kucing-kucing dekat rumahku kan!! Aku sudah tahan-tahan supaya tidak menghukummu tahu! Rasakan ini!" Bora menaikkan tangannya. Anak tersebut berteriak kesakitan, satu dua pejalan kaki yang
Perlahan cahaya api kebiruan hilang dari telapak tangan Jeo. Lampu kembali dinyalakan. Bora masih mematung, ia bahkan tidak bergerak sejak tadi."Aku tidak menduga kau sekaget itu," celetuk Jeo. Pria itu berjalan mendekat, berniat membantu berdiri."Jangan mendekat!" Teriakan Bora memenuhi seisi ruangan. Langkah kaki Jeo terhenti jarak dua meter.Nafas Bora memburu, keringatnya menetes terus menerus. Dia perlahan bangkit sendiri lalu berjalan ke pintu dengan kaki bergetar. Mencoba membuka pintu yang ternyata sengaja dikunci."Kau tidak bisa keluar." Jeo menjelaskan."B-bukakan pintunya!"Jeo menggeleng tenang. "Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkanmu kabur begitu saja.""K-kau akan membunuhku?""Eyy, tentu saja tidak. Apa wajahku mirip penjahat?" Jeo tertawa kecil. Tapi tidak bertahan lama, dia kembali berwajah datar setelah melihat keseriusan nampak di wajah takut Bora.Jeo mulai berjalan mendekat. Bora menempel pada pintu, jantungnya berdetak tak karuan. Memikirkan banyak kemungkina
Tok! Tok! Tok! Hening, tidak ada jawaban. Bora menatap jam dinding besar. Baru jam sepuluh malam. Tidak mungkin Jeo sudah tidur. Ah, dia bahkan tidak tau pria itu tidur di sini atau punya tempat tinggal lain.Tok! Tok! Tok! Bora menunggu setiap beberapa kali ketukan pintu. Lima menit, kalau sudah lima menit, dia berjanji akan pergi dan kembali lagi besok pagi. Bora menurunkan pandangannya kemudian menatap lubang kunci, menoleh ke kanan dan kiri, menunduk, menutup satu mata dan mulai mengintip isi dalam Bar. Gelap, tidak kelihatan apa-apa.Krskk! Krskk! Suara terdengar. Telinganya bergerak, matanya membesar, dia yakin suaranya berasal dari dalam.Krsskk! Krsskk! Terdengar lagi! Bora masih menatap isi dalam Bar yang gelap. Ia meneguk liurnya berat, bersiap kalau-kalau ada kejutan.Hening, suaranya hilang. Bora fokus menatap gelap. Dia pasti bisa menemukan sesuatu malam ini. Satu menit, matanya sudah agak perih. Satu menit setengah, membasahi mata dengan belasan kali kedipan mata secepat
Jeo bergegas membuka pintu depan. Dia keluar bersama dengan Bora. Mereka berdua terbatuk-batuk. Jeo segera masuk ke dalam lagi. Dia menerobos asap menuju dapur. Bora samar menatap bayangan pria itu, matanya menyipit dengan setengah wajah ditutupi lengan."Oh!" Brukkk! Bora terjatuh ke belakang. Asap hitam tebal berbentuk bola besar keluar dari dalam dapur, gesit melewati Bora yang tadinya masih berdiri di pintu depan. Bola hitamnya sekarang melayang di atas kepala Bora, jaraknya lumayan dekat."One!" Kilatan petir biru menyambar dari dalam. Jeo keluar, pelipisnya berdarah.Pintar sekali menghindar, bola hitam tersebut kali ini membuat lingkaran besar di atas langit. Cepat sekali, dilihat dengan mata pun tidak nampak saking cepatnya. Berputar terus seperti gasing rusak. Halaman depan Bar yang tidak dilapisi aspal membuat debu berterbangan. Jeo mencoba melindungi Bora dengan dekapannya, menghindari siapapun terluka.Sekali lagi. Boom! Ledakan kedua melesat cepat di tempat Jeo dan Bora b
Jeo memandang santai, dia kembali fokus menyusun jenis beer baru yang datang sepuluh menit lalu. Lemari kaca hampir penuh terisi di setiap raknya. Bora bangkit dari duduknya, dia memandang Jeo dari dekat, minta penjelasan. Setengah jam yang lalu gadis itu buru-buru datang setelah mengantar pesanan roti gandum. Tanpa memberitahu ibunya.Memang benar mereka hidup di kelilingi penyihir, bahkan sampai ada makhluk aneh segala. Tapi ledakan yang tidak terdengar? Bora tidak bisa mempercayainya kalau tidak dijelaskan dengan detail."Aku tidak bisa menjelaskannya. Terlalu rumit." Jawab Jeo pendek. Pria itu membawa kotak botol kosong dan membawanya ke dapur. Memandang sisi kiri dapur yang belum diperbaiki. Bora kesal, dia berjalan mengikuti dari belakang. Langkahnya langsung terhenti agak jauh saat melihat Jeo membuat beberapa peralatan tukang seperti palu dan gergaji bergerak sendiri dengan sihirnya. Memperbaiki bagian dapur yang rusak dengan lihai, seolah-olah ada tukang bangunan di sana. Tum
"Aneh, padahal aku sudah mengucapkan mantra-mantra tadi. Apa tidak mempan ya?" Suaranya berubah. Mengernyit bingung, Bora langsung berbalik."Ah! Maaf mengganggu." Membungkuk, seorang pria tersenyum tipis padanya. Diperhatikan detail, pria tersebut memakai baju olahraga berwarna biru tua senada dengan celana. Sepatu olahraga yang sudah kotor karena lumpur dan tas punggung hitam. Bora memperhatikan kakinya sendiri yang dibalut sepatu jerami butut. Tidak tahu kalau sepatu olahraga sudah ada di masa ini."Kau..." Kalimat Bora menggantung di udara. Dia tahu wajah pria ini biasa-biasa saja tapi dia jelas mendengar kata 'mantra' pada kalimat tadi. Apa mungkin....Belum sempat melanjutkan, pria tersebut bicara lagi. "Maaf mengganggu. Saya pikir Anda temanku. Kalau begitu saya permisi.""Tunggu!" Bora mencegahnya. Dia punya satu pertanyaan penting. "Kau... penyihir?"Pria tersebut kaget luar biasa hingga tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Apa! Ah! Maksudku! B-bagaimana Anda... Bagaima
"Tentu saja tidak." Bora keluar sambil tersenyum bodoh.Jeo menghela nafas. Dia menatap jam dinding. Kurang lima menit sebelum jaman dua belas malam. "Kenapa kau ada di sini?""Aku hanya mau..." Berdehem agak lama, Bora tidak tahu kenapa otaknya bisa berhenti berpikir saat berhadapan dengan Jeo."Pulanglah. Kita bicara besok.""Kalian mau kemana?""Ke suatu tempat dimana kau tidak boleh ada di sana. Sekarang kuminta kau pulang sebelum aku batalkan janjiku untuk membantumu.""Kau tidak pernah berjanji."Jeo mengerutkan keningnya. "Bukankah sudah kita diskusikan waktu itu?"Bora menaikkan tangannya yang hanya menunjukkan jari kelingking. "Buat janjinya sekarang. Kita belum pernah membuat janji resmi.""Sebagai gantinya kau harus pulang.""Cepatlah!" desak Bora.Ogah-ogahan Jeo menaikkan tangannya. Mereka mengaitkan kelingking, senyum lebar menghiasi wajah Bora. "Boleh aku ikut?"Jeo berdecak sambil menggeleng. "Kau bilang akan pulang.""Aku tidak pernah bilang begitu." Bora menaikkan ba
Jeo meletakkan penanda, kedua matanya menatap serius. "Kenapa kau tiba-tiba bicara soal lubang waktu?""Ah, sebenarnya... aku tidak sengaja melihat buku yang ada di kamarmu saat itu."Kembali ke kejadian pagi tadi, Bora terbangun satu jam sebelum matahari terbit. Dia tanpa sengaja melihat buku di bawah ranjang Jeo yang berjudul 'Rahasia terdalam dari lubang waktu impian'. Bora hanya membaca separuh dari buku karena ia harus segera pergi. Tidak banyak yang ia ingat, hanya ada penjelasan tentang tempat-tempat tersembunyi yang lubang waktunya bisa dibuka oleh para penyihir hebat. Serta mantra-mantra ajaib yang bisa dicoba manusia kalau mau melompati waktu. Memang tertulis kalau bisa saja itu tidak manjur karena harus ada campur tangan penyihir hebat di dalamnya. Tapi ada tulisan yang amat kecil sekali di bagian bawah halaman, tertulis kalau itu bukan hal yang mustahil jika belum dicoba langsung dengan tekad yang kuat, hanya perlu keyakinan penuh kalau lubang pasti terbuka.Bagian dari
Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu
Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me
"Tidak biasanya kau panik." Jeo sudah biasa tidak pulang ke rumah saat hal seperti ini terjadi. Hanya Bora yang kaget, dia tidak bisa pulang malam ini."Supaya dramatis." Frank mengangkat bahunya santai lalu mendekat.Kotak kaca rusak parah. Harus dibetulkan dulu oleh Zed tapi butuh waktu lama. Satu kotak kaca butuh kurang lebih dua jam pembetulan. Merekatkan potongan demi potongan kaca menjadi satu dinding panjang adalah pekerjaan melelahkan. Apalagi Zed adalah satu-satunya penyihir yang bisa melakukan mantra rekat di antara sekian penyihir. Memang ada satu lagi, tapi keberadaan rekannya itu sedang bepergian jauh. Selalu tidak ada saat dibutuhkan. Untungnya kekuatan kaca pada kelas-kelas adalah paling tebal, setidaknya dia tidak perlu membetulkan seluruh kelas, hanya pintunya saja.Zed menggerutu sepanjang malam, menyalahkan Jeo karena ide memasang kaca bukan kayu jati atau ulin. Fiz yang setia membantu hanya bisa menanggapi sambil terkantuk-kantuk, dia membantu mengumpulkan potongan
Jeo menyipitkan matanya sedangkan Frank mengambil teropong saat melihat ada benda hitam yang bergerak-gerak. Satu monster dari ranting kecil tajam yang menyatu dan dibentuk menyerupai manusia gempal mini meringsek masuk melalui pagar pembatas besi setelah dirobek paksa. Awalnya hanya satu, kemudian dalam hitungan detik bertambah menjadi puluhan hingga ratusan.Jeo segera berlari, diikuti Frank, mereka langsung turun ke lantai bawah. Beberapa Zyro sudah sampai duluan di halaman depan. Semua kelas sudah dikunci rapat-rapat. Kalau situasi genting seperti ini, para penyihir yang belum berpengalaman tidak diijinkan ikut.Bersama kaki pendeknya, para monster terus berjalan lamban tanpa henti melewati halaman luas di bawah guyuran hujan hitam pekat. Kepala tanpa mata dan mulut tampak mengerikan dilihat, bentuknya tidak sampai satu meter. Pendek dan lambat. Tidak hanya itu, ada beberapa makhluk yang membawa alat-alat berbahaya seperti tongkat pemukul, kapak, pisau serta pedang panjang.Bora i
Dua jam Bora menjelaskan tentang semua hal yang disembunyikannya hingga rela tidak tidur, tapi nyatanya Phill hanya diam, tidak menjawab barang sepatah kata pun. Memang ada perubahan, tapi ini bukan yang diinginkan Bora, kakak Viola tersebut tidak merespon walau dia panggil, tidak mengajaknya bicara seperti biasa dan hanya diam sepanjang hari."Lalu?" tanya Jeo sambil menaiki tangga, memimpin di depan selagi Bora bicara tanpa henti. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mereka berjalan menuju atap, datang lebih awal ke Trevisia."Aku bilang dia boleh ikut kelas sihir. Itu adalah cara membawa Viola kembali. Dia harus bisa sihir. Bagaimana kalau aku sudah berhasil kembali tapi Viola belum? Bisa saja tubuh ini tidak punya jiwa, lalu mati. Itu lebih buruk kan?"Jeo tidak setuju, itu bukan yang ia harapkan. "Kau harusnya beritahu aku dulu soal itu, kami tidak bisa menambah murid tanpa alasan yang jelas.""Ah, benar. Jadi tidak bisa? Apa tidak ada cara lain agar Phill masuk kelas s