“Jangan! Ini aku yang membuatnya!” Langkah Bora terhenti saat mendengar suara anak kecil yang dikenal. Itu George. Anak yatim piatu yang tinggal dekat rumahnya. Sebuah boneka kayu terlempar setelah jadi rebutan setengah jam lamanya. Hancur begitu saja. Kaki dan tangan boneka terlepas. Suasana langsung hening.
Tap! Tap! Tap! Bora mendekat. Ia mengambil boneka kayu, membersihkannya dari debu lalu menyerahkannya pada George."Hey kau!" Bora menunjuk anak berambut ikal yang bertengkar dengan George. Kedua tangan berpangku pada pinggang. Posisinya mirip ibu-ibu komplek yang siap membela anaknya yang tengah dibully. "Apa ibumu yang melajarimu untuk mencuri hah??"Anak berambut ikal diam. Bora mendekat kemudian menjewer telinga kanan anak tersebut. "Dasar anak nakal! Dua hari yang lalu kau juga mengganggu kucing-kucing dekat rumahku kan!! Aku sudah tahan-tahan supaya tidak menghukummu tahu! Rasakan ini!" Bora menaikkan tangannya. Anak tersebut berteriak kesakitan, satu dua pejalan kaki yang lewat memilih berhenti untuk melihat.Bora sadar dengan apa yang dilakukannya, dia tidak berniat melampiaskan kekesalannya pada siapapun tapi dia juga tidak tahan melihat anak kecil diperlakukan tidak adil oleh anak sebayanya."Hentikan!" Seorang pria yang baru pertama kali terlihat muncul dari Bar. Perawakannya mirip artis terkenal. Dadanya bidang, kulitnya putih, pakaiannya tampak menawan di mata Bora. Celana hitam polos, kemeja abu-abu yang membentuk tubuh serta celemek terikat dari pinggang. Menutupi sebagian pahanya.“Jeo!” George berteriak duluan, tapi wajah sedihnya tidak bisa disembunyikan.Bora melepaskan tangannya setelah dipegang erat oleh pria yang bernama Jeo. Mereka saling tatap selama beberapa menit. "Si- siapa kau?" Entah kenapa Bora jadi gugup, sebenarnya ia heran karena baru melihat laki-laki setampan itu. Beberapa hari di kota, ia belum pernah melihatnya."Kau tidak berhak menghukumnya, biar ibunya yang menghukumnya." Suara jernih, berat-berat basah terdengar. Bora terdiam beberapa detik karena merasa telinganya telah disembuhkan walau tidak sakit."Be-benar. Tapi dia anak nakal! Kau tidak lihat dia mencoba merebut mainan George?" Bora hampir kehilangan sadar. Ia dari dulu benci anak nakal. "Maksudku.. dia berhak dihukum siapapun!""Siapapun?""Ya, tentu saja! Si- siapapun. Maksudku kau tidak gerah saat melihat anak nakal? Kalo aku sih gerah." Bora mengipasi dirinya sendiri dengan tangan, malu karena meracau tidak jelas."Setiap anak tidak terlahir nakal, dia begitu karena salah meniru yang tidak baik." Lagi-lagi Bora mematung. Kalimat lebih panjang. Bora ingin mendengar lebih banyak lagi. Gadis itu menggeleng, menyadarkan diri."Kau benar. Ya, kau benar. Tapi aku merasa tidak salah karena telah menjewernya. Dia berhak mendapatkannya." Bora mengangguk setuju dengan kalimatnya sendiri. Matanya menatap ke tempat lain, mencoba menghindari tatapan Jeo yang memicing."Minta maaf pada anak ini."Bora kaget bukan main. "Minta maaf? Maksudku.. memang harus sampai minta maaf?""Ya, cepat minta maaf.""Tidak mau." Bora menolak, dia melipat kedua tangannya di dada."Tidak mau? Kalau aku panggil ibunya maka semua masalah akan tambah rumit.""Panggil saja." Bora tidak merasa keberatan. Dia tetap kekeh tidak mau minta maaf."Sudahlah," potong George. "Biarkan saja dia pergi. Aku tidak papa.""Kau yakin?" tanya Jeo. Suaranya berubah lembut. Yang ditanya mengangguk mantap. Bora menurunkan tangannya ke bawah. Anak yang tadi dijewer sudah pergi duluan. Hilang di balik gang, mungkin memilih pulang dan mengadu pada ibunya.“Hey, jangan bersedih. Kita bisa memperbaiki ini, mau ikut masuk?” ucap Jeo dan dibalas anggukan George. Jeo tersenyum, merangkul bahu kecil anak itu dan membawanya masuk ke dalam Bar.Bora ditinggal sendirian, dia kemudian kembali berjalan dengan langkah lemah ke jembatan gantung yang berjarak cukup jauh dari rumah. Sepatu jeraminya yang hampir putus membuat penampilannya tampak menyedihkan. Bora menghela nafas lagi dan terus berjalan."Viola!" George datang. Mereka bertemu di perempatan. Anak itu menyunggingkan senyum lebar."George?""Untunglah belum jauh.""Kenapa? Kau mau mengatakan sesuatu?" tanya Bora."Aku hanya ingin berterimakasih karena kau telah menolongku. Tapi apa terjadi sesuatu?""Tidak ada." Bora menggeleng pelan sambil mencoba tersenyum."Aku hanya heran karena kau biasanya menemaniku bicara. Kenapa kau tidak datang akhir-akhir ini?"Kedua bahu Bora turun, raut wajah kesalnya hilang. Dia lupa, tidak, lebih tepatnya dia tidak bisa mengimbangi sifat Viola yang kata Phill punya hati sebersih kanvas. Menyapa warga kota setiap pagi, menemani George serta anak-anak yang ditemuinya bermain serta menolong siapapun yang butuh bantuan. Viola diberi julukan malaikat. Menjadi wanita yang disenangi setiap orang. Viola, gadis ceria yang lebih mirip karakter fiksi."Tidak perlu dijawab kalau kau tidak mau mengatakannya. Tapi apa kau tau Sreyxer? Semua orang banyak membicarakannya. Padahal kupikir ceritanya sudah terkubur dalam-dalam." George bicara, memecah lamunan Bora."Apa itu?" Kali ini Bora tampak tertarik, tadinya memang tidak. Tapi karena disebut dua kali, jadi dia mulai merasa kalau itu memang perlu diketahui.Sreyxer, legenda yang banyak dipercayai warga kota dimana para wanita dilarang keluar rumah setelah jam 12 malam. Mereka percaya kalau Sreyxer yang tergambar pada buku sejarah kuno akan menculik para wanita dan menjadikannya ramuan keabadian."Siapa yang memberitahumu itu?" tanya Bora dengan wajah serius."Jeo. Dia yang bilang.""Jeo?""Ya. Ngomong-ngomong, apa kau saat itu diculik Sreyxer? Tapi bagaimana caranya kau kembali?""Aku?""Kau... tidak tau?" George bertanya hati-hati. Gelengan kepala Bora yang amat pelan dengan wajah bingung membuat George menyesal telah bicara. Dia menutup mulut rapat-rapat. Seruan paman Rore terdengar dari jauh, George pamit pergi dan berlari dengan tangan penuh koran.Yang Bora ingat dari cerita Phill saat pertama kali bangun dari pingsan adalah dirinya yang saat itu hilang selama tiga hari dua malam. Ibunya, para kerabat dekat dan petugas polisi sekalipun sudah mencoba mencari ke seluruh sudut kota hingga naik ke gunung dekat hutan yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Mereka tidak dapat menemukan Viola, bahkan keberadaan jasad gadis itupun tidak ditemukan -kalau memang terjadi kasus pembunuhan.Sampai pada malam ketiga saat hujan turun dengan begitu deras, ditambah petir menyambar nyaring. Viola tiba-tiba muncul begitu saja dengan tubuh lemah dan wajah pucat pasi. Phill yang diamanatkan menjaga rumah untuk berjaga-jaga siapa tau adiknya kembali, kaget bukan kepalang, dia segera merengkuh tubuh lemah Viola yang langsung terjatuh tepat di pelukan. Keesokannya Bora hadir sebagai pengganti jiwa Viola yang sekarang hilang entah kemana.Bora tersadar dari lamunan saat mendengar suara dentang jam dinding besar di tengah kota. Dia bergegas pergi ke tempat dimana Jeo berada. Kata hatinya berkata kalau ada sesuatu yang pria tampan tersebut ketahui tentang kehadirannya di masa ini.Tok! Tok! Tok! Bora mengentuk pintu Jeo Bar tidak sabaran. Kepalanya celingukan. Tanda tutup yang terpasang pada pintu membuatnya tidak bisa membuka tanpa permisi.Ceklek! Pintu terbuka. Menampilkan sosok Jeo dengan satu tangan memegang beer."Kau! Apa kau yang mengirimku kemari?" tanya Bora tidak sabaran."Aku dengar kau kehilangan ingatan. Rupanya itu benar." Mengabaikan, Jeo tidak menyangka akan bertemu gadis yang jarang bicara dengannya sebanyak dua kali dalam sehari."Sreyxer. Makhluk itu. Aku dengar George tahu darimu."Jeo mengangguk pendek. "Lalu?"Bora memicing. Memperhatikan wajah Jeo yang tidak tampak seperti orang jahat. Tapi berdasarkan reset dari serial drama, wajah-wajah meragukan adalah dalang di balik semuanya. Apalagi Jeo punya aura tidak biasa."Kau tidak berpikir yang macam-macam kan?" tanya Jeo yang merasa diperhatikan terlalu dalam."Tidak, aku hanya...""Aku tahu apa yang kau pikirkan tapi bukan aku kaki tangannya. Apa menurutmu kaki tangan monster sibuk berbisnis? Bukankah mereka harusnya fokus melayani Sreyxer?" Tawa kecil tersemat pada akhir kalimat. Jeo mengangkat bahunya santai. "Ini sudah seratus kalinya aku mengatakan hal yang sama. Yah, aku tahu aku yang membuat cerita itu tapi aku ini hanya manusia biasa. Jadi, berhenti mencurigaiku seperti penjahat.""Kau manusia biasa? Jadi bukan kau yang mengirimku kemari?""Mengirim? Maksudmu mengirim apa? Aku tidak mengerti kau bicara apa." Jeo mengernyit, memikirkan kesalahan apa yang telah dia perbuat akhir-akhir ini hingga harus melayani gadis amnesia sore-sore begini."Aneh sekali, aku merasakan hal yang lain darimu."Jeo mengangkat bahunya. "Mungkin hanya firasatmu saja.""Apa kau yakin kau bukan kaki tangannya?""Bukan. Kalau kau mau mendengarku berkata bukan terus menerus apa perlu aku ambil rekaman dulu?""Jawab dengan jujur. Kau bukan manusia biasa kan?" tanya Bora dengan mata penuh selidik. Hening, Jeo diam selama beberapa detik. Pria itu tidak menggeleng atau mengangguk. Melainkan menghela nafas pendek."Kalau memang bukan?"Deg! Kedua bola mata Bora membesar. "Bu-bukan?""Apa yang akan kau lakukan kalau aku memang bukan manusia? Itu kan yang mau kau dengar?""Jangan main-main!""Kembalilah. Ibumu pasti khawatir." Jeo berniat menutup pintu, tapi Bora menghalanginya dengan memegang sisi pintu sekuat tenaga."Katakan. Kau ini apa?" Kali ini tatapannya memicing."Itu rahasia. Aku tidak bisa mengatakannya." Mendengar kalimat yang tidak seharusnya terucap, Bora langsung berlutut sedangkan Jeo yang menyesal telah membuka mulutnya hanya bisa menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.Bora menyatukan kedua tangannya. "Aku tahu kau menganggapku tidak waras tapi aku tidak punya jalan keluar lagi. Kumohon bantu aku. Makhluk apapun itu. Kau pasti punya kekuatan yang bisa mengembalikanku ke masa depan. Kumohon, bantu aku." Matanya berkaca-kaca, memohon belas kasih."Berdirilah." Jeo memperhatikan sekitar. Takut disangka aneh-aneh karena aksi Bora yang tiba-tiba.Bora masih pada posisi yang sama. Gadis itu sekarang malah semakin mendekatkan diri ke kedua kaki Jeo."Yang benar saja." Berdecak, Jeo menarik tubuh Bora masuk ke dalam Bar. Pintu ditutup rapat-rapat."Oh?" Gelap, tidak keliatan apa-apa. Kedua tangan Bora meraba-raba udara."Wizard." Sebuah cahaya kebiruan mirip api yang membara keluar dari telapak tangan Jeo. Bora terduduk tanpa sadar ke lantai. Mulutnya menganga lebar-lebar."Pe-penyihir?"Perlahan cahaya api kebiruan hilang dari telapak tangan Jeo. Lampu kembali dinyalakan. Bora masih mematung, ia bahkan tidak bergerak sejak tadi."Aku tidak menduga kau sekaget itu," celetuk Jeo. Pria itu berjalan mendekat, berniat membantu berdiri."Jangan mendekat!" Teriakan Bora memenuhi seisi ruangan. Langkah kaki Jeo terhenti jarak dua meter.Nafas Bora memburu, keringatnya menetes terus menerus. Dia perlahan bangkit sendiri lalu berjalan ke pintu dengan kaki bergetar. Mencoba membuka pintu yang ternyata sengaja dikunci."Kau tidak bisa keluar." Jeo menjelaskan."B-bukakan pintunya!"Jeo menggeleng tenang. "Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkanmu kabur begitu saja.""K-kau akan membunuhku?""Eyy, tentu saja tidak. Apa wajahku mirip penjahat?" Jeo tertawa kecil. Tapi tidak bertahan lama, dia kembali berwajah datar setelah melihat keseriusan nampak di wajah takut Bora.Jeo mulai berjalan mendekat. Bora menempel pada pintu, jantungnya berdetak tak karuan. Memikirkan banyak kemungkina
Tok! Tok! Tok! Hening, tidak ada jawaban. Bora menatap jam dinding besar. Baru jam sepuluh malam. Tidak mungkin Jeo sudah tidur. Ah, dia bahkan tidak tau pria itu tidur di sini atau punya tempat tinggal lain.Tok! Tok! Tok! Bora menunggu setiap beberapa kali ketukan pintu. Lima menit, kalau sudah lima menit, dia berjanji akan pergi dan kembali lagi besok pagi. Bora menurunkan pandangannya kemudian menatap lubang kunci, menoleh ke kanan dan kiri, menunduk, menutup satu mata dan mulai mengintip isi dalam Bar. Gelap, tidak kelihatan apa-apa.Krskk! Krskk! Suara terdengar. Telinganya bergerak, matanya membesar, dia yakin suaranya berasal dari dalam.Krsskk! Krsskk! Terdengar lagi! Bora masih menatap isi dalam Bar yang gelap. Ia meneguk liurnya berat, bersiap kalau-kalau ada kejutan.Hening, suaranya hilang. Bora fokus menatap gelap. Dia pasti bisa menemukan sesuatu malam ini. Satu menit, matanya sudah agak perih. Satu menit setengah, membasahi mata dengan belasan kali kedipan mata secepat
Jeo bergegas membuka pintu depan. Dia keluar bersama dengan Bora. Mereka berdua terbatuk-batuk. Jeo segera masuk ke dalam lagi. Dia menerobos asap menuju dapur. Bora samar menatap bayangan pria itu, matanya menyipit dengan setengah wajah ditutupi lengan."Oh!" Brukkk! Bora terjatuh ke belakang. Asap hitam tebal berbentuk bola besar keluar dari dalam dapur, gesit melewati Bora yang tadinya masih berdiri di pintu depan. Bola hitamnya sekarang melayang di atas kepala Bora, jaraknya lumayan dekat."One!" Kilatan petir biru menyambar dari dalam. Jeo keluar, pelipisnya berdarah.Pintar sekali menghindar, bola hitam tersebut kali ini membuat lingkaran besar di atas langit. Cepat sekali, dilihat dengan mata pun tidak nampak saking cepatnya. Berputar terus seperti gasing rusak. Halaman depan Bar yang tidak dilapisi aspal membuat debu berterbangan. Jeo mencoba melindungi Bora dengan dekapannya, menghindari siapapun terluka.Sekali lagi. Boom! Ledakan kedua melesat cepat di tempat Jeo dan Bora b
Jeo memandang santai, dia kembali fokus menyusun jenis beer baru yang datang sepuluh menit lalu. Lemari kaca hampir penuh terisi di setiap raknya. Bora bangkit dari duduknya, dia memandang Jeo dari dekat, minta penjelasan. Setengah jam yang lalu gadis itu buru-buru datang setelah mengantar pesanan roti gandum. Tanpa memberitahu ibunya.Memang benar mereka hidup di kelilingi penyihir, bahkan sampai ada makhluk aneh segala. Tapi ledakan yang tidak terdengar? Bora tidak bisa mempercayainya kalau tidak dijelaskan dengan detail."Aku tidak bisa menjelaskannya. Terlalu rumit." Jawab Jeo pendek. Pria itu membawa kotak botol kosong dan membawanya ke dapur. Memandang sisi kiri dapur yang belum diperbaiki. Bora kesal, dia berjalan mengikuti dari belakang. Langkahnya langsung terhenti agak jauh saat melihat Jeo membuat beberapa peralatan tukang seperti palu dan gergaji bergerak sendiri dengan sihirnya. Memperbaiki bagian dapur yang rusak dengan lihai, seolah-olah ada tukang bangunan di sana. Tum
"Aneh, padahal aku sudah mengucapkan mantra-mantra tadi. Apa tidak mempan ya?" Suaranya berubah. Mengernyit bingung, Bora langsung berbalik."Ah! Maaf mengganggu." Membungkuk, seorang pria tersenyum tipis padanya. Diperhatikan detail, pria tersebut memakai baju olahraga berwarna biru tua senada dengan celana. Sepatu olahraga yang sudah kotor karena lumpur dan tas punggung hitam. Bora memperhatikan kakinya sendiri yang dibalut sepatu jerami butut. Tidak tahu kalau sepatu olahraga sudah ada di masa ini."Kau..." Kalimat Bora menggantung di udara. Dia tahu wajah pria ini biasa-biasa saja tapi dia jelas mendengar kata 'mantra' pada kalimat tadi. Apa mungkin....Belum sempat melanjutkan, pria tersebut bicara lagi. "Maaf mengganggu. Saya pikir Anda temanku. Kalau begitu saya permisi.""Tunggu!" Bora mencegahnya. Dia punya satu pertanyaan penting. "Kau... penyihir?"Pria tersebut kaget luar biasa hingga tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Apa! Ah! Maksudku! B-bagaimana Anda... Bagaima
"Tentu saja tidak." Bora keluar sambil tersenyum bodoh.Jeo menghela nafas. Dia menatap jam dinding. Kurang lima menit sebelum jaman dua belas malam. "Kenapa kau ada di sini?""Aku hanya mau..." Berdehem agak lama, Bora tidak tahu kenapa otaknya bisa berhenti berpikir saat berhadapan dengan Jeo."Pulanglah. Kita bicara besok.""Kalian mau kemana?""Ke suatu tempat dimana kau tidak boleh ada di sana. Sekarang kuminta kau pulang sebelum aku batalkan janjiku untuk membantumu.""Kau tidak pernah berjanji."Jeo mengerutkan keningnya. "Bukankah sudah kita diskusikan waktu itu?"Bora menaikkan tangannya yang hanya menunjukkan jari kelingking. "Buat janjinya sekarang. Kita belum pernah membuat janji resmi.""Sebagai gantinya kau harus pulang.""Cepatlah!" desak Bora.Ogah-ogahan Jeo menaikkan tangannya. Mereka mengaitkan kelingking, senyum lebar menghiasi wajah Bora. "Boleh aku ikut?"Jeo berdecak sambil menggeleng. "Kau bilang akan pulang.""Aku tidak pernah bilang begitu." Bora menaikkan ba
Jeo meletakkan penanda, kedua matanya menatap serius. "Kenapa kau tiba-tiba bicara soal lubang waktu?""Ah, sebenarnya... aku tidak sengaja melihat buku yang ada di kamarmu saat itu."Kembali ke kejadian pagi tadi, Bora terbangun satu jam sebelum matahari terbit. Dia tanpa sengaja melihat buku di bawah ranjang Jeo yang berjudul 'Rahasia terdalam dari lubang waktu impian'. Bora hanya membaca separuh dari buku karena ia harus segera pergi. Tidak banyak yang ia ingat, hanya ada penjelasan tentang tempat-tempat tersembunyi yang lubang waktunya bisa dibuka oleh para penyihir hebat. Serta mantra-mantra ajaib yang bisa dicoba manusia kalau mau melompati waktu. Memang tertulis kalau bisa saja itu tidak manjur karena harus ada campur tangan penyihir hebat di dalamnya. Tapi ada tulisan yang amat kecil sekali di bagian bawah halaman, tertulis kalau itu bukan hal yang mustahil jika belum dicoba langsung dengan tekad yang kuat, hanya perlu keyakinan penuh kalau lubang pasti terbuka.Bagian dari
"Aku tidak bisa mengatakannya.""Aku tidak bermaksud ikut campur tapi..." Bora berhenti sebentar, dia mengambil nafas lalu melanjutkan. "George mengungkit sesuatu tentang Sreyxes saat Viola menghilang.""George?""Ya, dia bertanya apa aku diculik Sreyxes.""Kau tidak diculik. Pengikut Sreyxes tidak akan mengembalikan manusia yang diculik. Mungkin saja George asal bicara. Dia anak-anak, mudah membayangkan hal-hal aneh.""Apa maksud pengikut adalah..." Bora hampir tak bisa melanjutkan. Matanya juga tak mengejap."Benar. Gruffle dan para monster yang kusebutkan tadi adalah pengikut Syerxes. Kami yakin Sreyxes menyuruh pengikutnya berkeliaran, membuat kehancuran. Kau harus hati-hati."Terbayang cerita Phill, Bora mulai membayangkan hal-hal gila lainnya. "Malam itu Viola datang dengan keadaan lemah. Apa mungkin...""Bukan. Sesuatu yang lain. Yang pasti bukan Sreyxes."Bora terdiam, dia tidak bisa mempercayai kalimat Jeo. Benar-benar yakin kalau pengikut Syerxes ada campur tangan soal kehad
Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu
Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me
"Tidak biasanya kau panik." Jeo sudah biasa tidak pulang ke rumah saat hal seperti ini terjadi. Hanya Bora yang kaget, dia tidak bisa pulang malam ini."Supaya dramatis." Frank mengangkat bahunya santai lalu mendekat.Kotak kaca rusak parah. Harus dibetulkan dulu oleh Zed tapi butuh waktu lama. Satu kotak kaca butuh kurang lebih dua jam pembetulan. Merekatkan potongan demi potongan kaca menjadi satu dinding panjang adalah pekerjaan melelahkan. Apalagi Zed adalah satu-satunya penyihir yang bisa melakukan mantra rekat di antara sekian penyihir. Memang ada satu lagi, tapi keberadaan rekannya itu sedang bepergian jauh. Selalu tidak ada saat dibutuhkan. Untungnya kekuatan kaca pada kelas-kelas adalah paling tebal, setidaknya dia tidak perlu membetulkan seluruh kelas, hanya pintunya saja.Zed menggerutu sepanjang malam, menyalahkan Jeo karena ide memasang kaca bukan kayu jati atau ulin. Fiz yang setia membantu hanya bisa menanggapi sambil terkantuk-kantuk, dia membantu mengumpulkan potongan
Jeo menyipitkan matanya sedangkan Frank mengambil teropong saat melihat ada benda hitam yang bergerak-gerak. Satu monster dari ranting kecil tajam yang menyatu dan dibentuk menyerupai manusia gempal mini meringsek masuk melalui pagar pembatas besi setelah dirobek paksa. Awalnya hanya satu, kemudian dalam hitungan detik bertambah menjadi puluhan hingga ratusan.Jeo segera berlari, diikuti Frank, mereka langsung turun ke lantai bawah. Beberapa Zyro sudah sampai duluan di halaman depan. Semua kelas sudah dikunci rapat-rapat. Kalau situasi genting seperti ini, para penyihir yang belum berpengalaman tidak diijinkan ikut.Bersama kaki pendeknya, para monster terus berjalan lamban tanpa henti melewati halaman luas di bawah guyuran hujan hitam pekat. Kepala tanpa mata dan mulut tampak mengerikan dilihat, bentuknya tidak sampai satu meter. Pendek dan lambat. Tidak hanya itu, ada beberapa makhluk yang membawa alat-alat berbahaya seperti tongkat pemukul, kapak, pisau serta pedang panjang.Bora i
Dua jam Bora menjelaskan tentang semua hal yang disembunyikannya hingga rela tidak tidur, tapi nyatanya Phill hanya diam, tidak menjawab barang sepatah kata pun. Memang ada perubahan, tapi ini bukan yang diinginkan Bora, kakak Viola tersebut tidak merespon walau dia panggil, tidak mengajaknya bicara seperti biasa dan hanya diam sepanjang hari."Lalu?" tanya Jeo sambil menaiki tangga, memimpin di depan selagi Bora bicara tanpa henti. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mereka berjalan menuju atap, datang lebih awal ke Trevisia."Aku bilang dia boleh ikut kelas sihir. Itu adalah cara membawa Viola kembali. Dia harus bisa sihir. Bagaimana kalau aku sudah berhasil kembali tapi Viola belum? Bisa saja tubuh ini tidak punya jiwa, lalu mati. Itu lebih buruk kan?"Jeo tidak setuju, itu bukan yang ia harapkan. "Kau harusnya beritahu aku dulu soal itu, kami tidak bisa menambah murid tanpa alasan yang jelas.""Ah, benar. Jadi tidak bisa? Apa tidak ada cara lain agar Phill masuk kelas s