"Aneh, padahal aku sudah mengucapkan mantra-mantra tadi. Apa tidak mempan ya?" Suaranya berubah. Mengernyit bingung, Bora langsung berbalik.
"Ah! Maaf mengganggu." Membungkuk, seorang pria tersenyum tipis padanya. Diperhatikan detail, pria tersebut memakai baju olahraga berwarna biru tua senada dengan celana. Sepatu olahraga yang sudah kotor karena lumpur dan tas punggung hitam. Bora memperhatikan kakinya sendiri yang dibalut sepatu jerami butut. Tidak tahu kalau sepatu olahraga sudah ada di masa ini."Kau..." Kalimat Bora menggantung di udara. Dia tahu wajah pria ini biasa-biasa saja tapi dia jelas mendengar kata 'mantra' pada kalimat tadi. Apa mungkin....Belum sempat melanjutkan, pria tersebut bicara lagi. "Maaf mengganggu. Saya pikir Anda temanku. Kalau begitu saya permisi.""Tunggu!" Bora mencegahnya. Dia punya satu pertanyaan penting. "Kau... penyihir?"Pria tersebut kaget luar biasa hingga tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Apa! Ah! Maksudku! B-bagaimana Anda... Bagaimana Anda tahu?!" Gelagapan, pria tersebut menarik Bora ke pinggir. Dia memperhatikan sekitar sambil memelankan nada suaranya. "Apa Anda juga penyihir?"Gelengan kepala terlihat jelas. Pria tersebut mengerutkan keningnya bingung. "Lalu bagaimana Anda...""Itu cerita panjang. Aku punya kenalan yang mirip sepertimu." Bora menjelaskan."Kenalan? Manusia? Berteman dengan penyihir?" Wajah tidak biasa yang mengeras tampak jelas. Seperti mendengar hal langka."Y-ya. Bukankah... itu lumrah?" Bora merasa dia sudah salah besar karena bicara tanpa pikir panjang."Tidak. Aku baru mendengarnya. Kupikir penyihir membenci manusia.""Kenapa?" Terkejut. Tentu saja. Mengingat Jeo kelihatannya memang tidak suka Bora tapi pria itu masih tergolong baik mau menolongnya."Sejarah panjang." Pria tersebut agak menjauhkan badannya. "Aku tidak seharusnya bicara denganmu. Kalau begitu aku permisi.""Tunggu!" Bora lagi-lagi mencegahnya."Ada apa lagi?" Nada suaranya agak dingin. Cemas memandang ke ujung jalan dengan bibir bawah tergigit."Dimana kau beli sepatu itu?" Bora menunjuk sepatunya."Kukira hal penting." Melepas pegangan tangan secara paksa, pria tersebut berjalan setengah berlari ke kerumunan orang. Menuju stasiun kereta. Bersamaan dengan menghilangnya pria tersebut di kelokan penuh orang, Bora menangkap punggung Jeo yang juga berjalan dengan tergesa-gesa dengan Frank di samping kiri. Menuju arah yang sama dimana pria yang baru ditemuinya tadi berjalan. Menyipit, Bora mulai mengikuti dari belakang. Bertanya-tanya lagi apakah Jeo punya waktu bebas sebelum membuka Bar padahal hari sudah hampir sore.Saat masuk stasiun. Suasananya lenggang, hampir sepi, berbeda sekali dengan di luar. Bora berdiri agak jauh dari Jeo dan Frank yang berdiri di depan rel kereta. Sedangkan pria berbaju olahraga tadi berdiri dengan jarak lima meter di samping kanan mereka berdua. Kalau saja dia tidak mengetahui Jeo adalah penyihir dia tidak akan membuang waktu untuk mengekorinya. Bukan maksud ikut campur tapi Bora merasa sihir adalah hal luar biasa setelah robot berjalan."Mau pergi kemana mereka?" gumam Bora heran. Dia tahu ini ilegal tapi rasa penasaran yang tinggi tidak bisa diabaikan begitu saja.Kerumunan anak sekolah datang dari pintu masuk. Terlalu berisik, membuat Bora teralihkan fokus beberapa detik. Saat dirinya menoleh lagi, Jeo, Frank serta pria bersepatu sudah hilang tanpa jejak. Dilihat ke seluruh penjuru stasiun juga tidak ada. Kereta bahkan belum datang."Hah! Kemana.... Ah! harusnya aku tidak lengah." Mengutuk dirinya sendiri, Bora terpaksa pulang dengan perasaan yang masih mengganjal. Ketiganya menghilang tiba-tiba. Pasti mereka pergi ke dunia lain. Hogwarts? Ah! Ini bahkan bukan dunia Harry Potter.Langkah Bora terhenti di depan toko baju. Dia menoleh. Menatap pemilik toko yang menatapnya datar dan kosong. Seolah sedang berdiri di depan rumah hantu, Bora menggosok lengan tangannya yang merinding dan berjalan lagi sambil menunduk.Berhenti lagi. Bora mendongak. Dia menatap pemilik toko yang sekarang sudah berdiri di hadapannya. Hampir saja Bora jatuh karena kaget sekali. Jantungnya untung masih aman.Diam. Mereka saling pandang."Datanglah nanti malam. Mereka pergi lagi nanti malam," ucapnya. Dilihat-lihat wanita di depan umurnya kemungkinan sudah memasuki kepala empat."Mereka?" Satu alis Bora naik. Menduga-duga kalau mereka adalah Jeo, Frank serta pria bersepatu. Tapi bagaimana bisa wanita ini tahu?"Ya, mereka.""Bagaimana Anda ta-""Aku Grestles. Kau cantik sekali." Kalimatnya dipotong. Grestles tersenyum lebar. "Benar-benar cantik," tambahnya."Te-terimakasih." Getir. Bora tidak tahu harus senang atau sedih. Mengingat dia ada di tubuh orang lain. "Salam kenal. Miss Grestles." Bora menjabat tangan itu. Kaget karena rasanya sedingin es."Pulanglah. Kau kelihatan lelah." Melepas jabatan tangan, Miss Grestles membuka jalan supaya Bora bisa pergi. Melambaikan tangan sebagai tanda hati-hati sambil berteriak kencang-kencang. "Jam dua belas malam!"Sesuai apa yang dikatakan Miss Grestles - wanita aneh yang menurutnya bukan manusia. Bora benar-benar datang ke stasiun jam dua belas malam kurang lima belas menit. Demi melihat Jeo yang siapa tahu akan datang lagi dengan teman akrabnya Frank.Dia tidak mengharapkan bertemu orang-orang aneh. Cukup Jeo saja yang aneh. Tapi bertemu dua orang tidak biasa dalam sehari bukanlah hal yang harus terulang lagi nantinya. Dia sampai harus menatap curiga setiap orang yang menatapnya lama. Siapa tahu semua penduduk kota lebih dari lima puluh persennya adalah penyihir. Bergidik, dia harap itu hanya ada dalam kepalanya saja, tidak untuk kenyataan."Sedang apa Anda kemari." Alih-alih bertemu Jeo, Bora malah bertemu pria bersepatu yang kali ini memakai pakaian lebih terang. Berwarna kuning telur dan sepatu yang masih sama, sekarang sudah bersih mengkilap."Aku? Sedang menatap rel. Katanya ada hantu di sini. Aku mau lihat." Bicara asal, Bora tersenyum sendiri karena tidak tahu bisa secepat itu membuat alasan tidak masuk akal. Dia benci hantu padahal."Anda tidak seharusnya di sini." Pria tersebut menatap ke sudut-sudut gelap. Cemas seperti sebelumnya. Seperti ketakutan bakal di grebek polisi."Kenapa? Apa ada hal yang tidak boleh aku tau?""Semacam itu. Pulanglah. Di sini berbahaya bagi para manusia." Pria tersebut kali ini ke pinggir rel lalu berdiri. "Aku Flo kalau kau penasaran," ucapnya pelan. Ia kemudian merogoh saku celananya, mencoba menemukan sesuatu."Mau kemana kau? Apa kereta beroperasi tengah malam begini?""Tentu saja tidak. Anda tidak ada niatan pulang?" Flo kali ini memegang korek api. Dia komat kamit sambil menggesek kayu kecil. Sedetik kemudian muncul api biru. Terang sekali. Bora sampai harus menyipitkan matanya saking silaunya pemandangan di depan. Saat cahaya tersebut meredup, Flo menghilang.Bora menutup mulutnya cepat-cepat saat mendengar langkah kaki. Tidak sempat terkejut atas hilangnya Flo. Dia bersembunyi di balik kayu besar dalam kegelapan. Sekarang Jeo datang bersama Frank. Mereka berdiri di depan rel yang sama."Ah! Sebentar." Jeo bicara. Pria tersebut pergi ke toilet umum. Beberapa menit kemudian kembali. Tapi langkahnya tidak berhenti di depan rel melainkan di tengah jalan. Dekat Bora bersembunyi. Mereka hanya berjarak kurang dari dua meter."Kenapa?" tanya Frank penasaran.Jeo diam, dia melirik dengan ujung mata ke samping kanan. Berjalan lambat hingga membuat gema yang mendebarkan jantung Bora. Tap! Tap! Tap!"Kau tidak berharap kayu ini melindungimu kan?""Tentu saja tidak." Bora keluar sambil tersenyum bodoh.Jeo menghela nafas. Dia menatap jam dinding. Kurang lima menit sebelum jaman dua belas malam. "Kenapa kau ada di sini?""Aku hanya mau..." Berdehem agak lama, Bora tidak tahu kenapa otaknya bisa berhenti berpikir saat berhadapan dengan Jeo."Pulanglah. Kita bicara besok.""Kalian mau kemana?""Ke suatu tempat dimana kau tidak boleh ada di sana. Sekarang kuminta kau pulang sebelum aku batalkan janjiku untuk membantumu.""Kau tidak pernah berjanji."Jeo mengerutkan keningnya. "Bukankah sudah kita diskusikan waktu itu?"Bora menaikkan tangannya yang hanya menunjukkan jari kelingking. "Buat janjinya sekarang. Kita belum pernah membuat janji resmi.""Sebagai gantinya kau harus pulang.""Cepatlah!" desak Bora.Ogah-ogahan Jeo menaikkan tangannya. Mereka mengaitkan kelingking, senyum lebar menghiasi wajah Bora. "Boleh aku ikut?"Jeo berdecak sambil menggeleng. "Kau bilang akan pulang.""Aku tidak pernah bilang begitu." Bora menaikkan ba
Jeo meletakkan penanda, kedua matanya menatap serius. "Kenapa kau tiba-tiba bicara soal lubang waktu?""Ah, sebenarnya... aku tidak sengaja melihat buku yang ada di kamarmu saat itu."Kembali ke kejadian pagi tadi, Bora terbangun satu jam sebelum matahari terbit. Dia tanpa sengaja melihat buku di bawah ranjang Jeo yang berjudul 'Rahasia terdalam dari lubang waktu impian'. Bora hanya membaca separuh dari buku karena ia harus segera pergi. Tidak banyak yang ia ingat, hanya ada penjelasan tentang tempat-tempat tersembunyi yang lubang waktunya bisa dibuka oleh para penyihir hebat. Serta mantra-mantra ajaib yang bisa dicoba manusia kalau mau melompati waktu. Memang tertulis kalau bisa saja itu tidak manjur karena harus ada campur tangan penyihir hebat di dalamnya. Tapi ada tulisan yang amat kecil sekali di bagian bawah halaman, tertulis kalau itu bukan hal yang mustahil jika belum dicoba langsung dengan tekad yang kuat, hanya perlu keyakinan penuh kalau lubang pasti terbuka.Bagian dari
"Aku tidak bisa mengatakannya.""Aku tidak bermaksud ikut campur tapi..." Bora berhenti sebentar, dia mengambil nafas lalu melanjutkan. "George mengungkit sesuatu tentang Sreyxes saat Viola menghilang.""George?""Ya, dia bertanya apa aku diculik Sreyxes.""Kau tidak diculik. Pengikut Sreyxes tidak akan mengembalikan manusia yang diculik. Mungkin saja George asal bicara. Dia anak-anak, mudah membayangkan hal-hal aneh.""Apa maksud pengikut adalah..." Bora hampir tak bisa melanjutkan. Matanya juga tak mengejap."Benar. Gruffle dan para monster yang kusebutkan tadi adalah pengikut Syerxes. Kami yakin Sreyxes menyuruh pengikutnya berkeliaran, membuat kehancuran. Kau harus hati-hati."Terbayang cerita Phill, Bora mulai membayangkan hal-hal gila lainnya. "Malam itu Viola datang dengan keadaan lemah. Apa mungkin...""Bukan. Sesuatu yang lain. Yang pasti bukan Sreyxes."Bora terdiam, dia tidak bisa mempercayai kalimat Jeo. Benar-benar yakin kalau pengikut Syerxes ada campur tangan soal kehad
Ada banyak hal yang belum diketahui Bora. Sejatinya penyihir punya banyak kelebihan dan kekurangan yang belum terlihat. Satu dua penyihir muda kadang kala sulit mengontrol kekuatan mereka. Semua bisa membahayakan, seperti membakar gedung, merubah katak menjadi gajah, melayang bak balon dan membuat kegaduhan saat tanpa sengaja menyihir manusia agar beberapa anggota tubuhnya hilang. Seperti superhero yang baru mempunyai kekuatan, mereka tidak bisa mengontrolnya dengan leluasa saat merasa sakit atau terancam.Teriakan keras dari dalam kelas Ferro yang merupakan kelas logam berhasil mengalihkan perhatian Jeo dan Bora pada tanah berumput yang mengering. Jeo tanpa sadar pergi berjalan lebih dulu, susah payah Bora mengikuti. Saat mereka sampai, Flo sudah terbaring lemah di atas tumpukan logam yang menjulang sepuluh meter dari tanah. Air mengalir dari atas, cukup deras.Jeo melompat naik, kaki-kakinya seperti peer. Mudah baginya sampai di bagian atas dalam hitungan detik. Bora menganga lebar,
Langkah kaki perlahan menjauh, Jeo menjauhkan telinganya dari pintu. Dia merenung sejenak. Sejak dua hari yang lalu jarang berpapasan dengan Mister Vrey karena Zyro yang satu itu sibuk. Tidak terpikir juga kalau akan didatangi langsung ke tempat rahasianya ini. Apa yang diinginkan Vrey? Apa ini soal Bora?Bulan semakin lama semakin turun, berganti menjadi matahari yang sudah menunggu-nunggu waktu keluar. Jeo keluar dari rumahnya lebih cepat dari biasanya. Dia berjalan menuju Bar dengan isi kepala yang tidak bisa tenang. Masih memikirkan tentang kedatangan Vrey di depan tempat rahasianya. Mereka bisa dikatakan tidak dekat dan tidak bermusuhan juga. Tapi satu hal yang Jeo tahu betul kalau Vrey membenci manusia. Saat melihat manusia memasuki Trevisia, Vrey akan langsung bertindak, mengusir paksa manusia tersebut atau yang lebih parah menyiksanya. Vrey tidak suka karena para manusia mudah sekali mendefinisikan penyihir sebagai manusia terkutuk.Zyro tersebut tidak pernah berpikir jauh, ka
Jeo segera mendongak, dia menggeleng. "Tidak, jangan menyerah. Kau baru memulai.""Kalau baru mulai saja sudah seperti ini, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa nanti. Pokoknya aku tidak bisa." Bora kewalahan, pasti orang yang mengirimnya kemari merasa kecewa karena telah memilih orang yang salah. Dia harus minta maaf pada Frank.Terdiam agak lama. Jeo mengangguk paham, dia tidak punya pilihan lain, dia yang akan menyerah. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kita tetap pergi ke Trevisia dan aku akan melakukan apapun demi mencegahmu bertemu Vrey. Aku akan melindungimu. Jadi, jangan menyerah pada sihir." Bora tidak mengerti, satu pertanyaan mengganjal pikirannya. "Kenapa?"Jeo mengerutkan keningnya. "Jangan bertanya kenapa. Aku melakukan ini demi dirimu.""Bukannya kau lebih suka aku menyerah? Dengan begitu, kau bisa bebas dariku lebih cepat."Jeo menggeleng. "Aku tidak pernah berharap begitu. Aku hanya tidak suka mendengar kata menyerah dari orang yang sejak awal punya tekad be
"Kenapa kau tega merebut tubuhnya! Kau telah merenggut kebahagiaan aslinya!" Nafas Bora tertahan, dia tidak pernah merasa setakut ini. Tapi kepalanya tidak bisa ia alihkan pada cermin, sekarang ia melihat sesuatu di balik pantulan di depan. Di belakang tubuhnya berdiri sosok yang mirip wajahnya tapi tersenyum bagai iblis. "Kembalikan!!!" Teriakan memekakkan telinga terdengar. "AAAA-"Brukkk! Bora jatuh terduduk. Dia melepas pandangan yang membuat suara-suara itu ikut hilang."Bora! Kau dengar aku? Sadarlah! Kau tidak papa?" Mrs Grestles panik, dia memegang kedua bahu Bora erat.Tahu kalau tidak akan dapat jawaban, Mrs Grestles memilih memberikan pelukan erat, menepuk-nepuk punggung Bora lembut. "Tidak papa. Kau tidak papa sekarang."Cermin besar ditutup sempurna dengan kain hitam panjang. Mrs Grestles memperhatikan Bora yang sekarang tengah menatap kosong meja. Pikiran gadis itu tidak bisa diam. Hatinya sibuk bertanya-tanya siapa gerangan yang begitu jahil mengganggunya, merebut? Haru
Semua penyihir berseru heboh, satu dua memegangi kepalanya, seperti baru mendapat berita paling eksklusif. Jeo memandang Bora, seperti berkata 'lihat? Ini yang akan terjadi kalau kau ikut.'"Wahh, kenapa baru bilang kalau sudah punya istri?" Penyihir muda dengan rambut kucir kuda menatap Jeo kecewa."Istri? Astaga." Jeo mengetuk meja beberapa kali, kelas langsung hening. "Dia kenalanku, bukan kekasih atau istri. Kami tidak ada apa-apanya. Berhenti memikirkan hal-hal aneh."Bora yang masih diam di tempat mengangguk setuju. Tapi tidak ada yang berbeda, seolah-olah apa yang dikatakan Jeo tidak berarti. Semua orang kembali sibuk bicara satu sama lain. Pria muda dengan jubah hitam berdiri. "Mister, aku tidak setuju Anda punya kekasih. Jad-""Fred. Dia bukan kekasihku. Kami ha-""Aku tidak percaya." Penyihir dengan rambut kucir kuda melipat tangan di dada. Kelas hening, sekarang semua memandang Jeo, minta penjelasan jujur. Bora masih diam di tempat, tidak punya ide harus bagaimana."Dan kau
Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu
Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me
"Tidak biasanya kau panik." Jeo sudah biasa tidak pulang ke rumah saat hal seperti ini terjadi. Hanya Bora yang kaget, dia tidak bisa pulang malam ini."Supaya dramatis." Frank mengangkat bahunya santai lalu mendekat.Kotak kaca rusak parah. Harus dibetulkan dulu oleh Zed tapi butuh waktu lama. Satu kotak kaca butuh kurang lebih dua jam pembetulan. Merekatkan potongan demi potongan kaca menjadi satu dinding panjang adalah pekerjaan melelahkan. Apalagi Zed adalah satu-satunya penyihir yang bisa melakukan mantra rekat di antara sekian penyihir. Memang ada satu lagi, tapi keberadaan rekannya itu sedang bepergian jauh. Selalu tidak ada saat dibutuhkan. Untungnya kekuatan kaca pada kelas-kelas adalah paling tebal, setidaknya dia tidak perlu membetulkan seluruh kelas, hanya pintunya saja.Zed menggerutu sepanjang malam, menyalahkan Jeo karena ide memasang kaca bukan kayu jati atau ulin. Fiz yang setia membantu hanya bisa menanggapi sambil terkantuk-kantuk, dia membantu mengumpulkan potongan
Jeo menyipitkan matanya sedangkan Frank mengambil teropong saat melihat ada benda hitam yang bergerak-gerak. Satu monster dari ranting kecil tajam yang menyatu dan dibentuk menyerupai manusia gempal mini meringsek masuk melalui pagar pembatas besi setelah dirobek paksa. Awalnya hanya satu, kemudian dalam hitungan detik bertambah menjadi puluhan hingga ratusan.Jeo segera berlari, diikuti Frank, mereka langsung turun ke lantai bawah. Beberapa Zyro sudah sampai duluan di halaman depan. Semua kelas sudah dikunci rapat-rapat. Kalau situasi genting seperti ini, para penyihir yang belum berpengalaman tidak diijinkan ikut.Bersama kaki pendeknya, para monster terus berjalan lamban tanpa henti melewati halaman luas di bawah guyuran hujan hitam pekat. Kepala tanpa mata dan mulut tampak mengerikan dilihat, bentuknya tidak sampai satu meter. Pendek dan lambat. Tidak hanya itu, ada beberapa makhluk yang membawa alat-alat berbahaya seperti tongkat pemukul, kapak, pisau serta pedang panjang.Bora i
Dua jam Bora menjelaskan tentang semua hal yang disembunyikannya hingga rela tidak tidur, tapi nyatanya Phill hanya diam, tidak menjawab barang sepatah kata pun. Memang ada perubahan, tapi ini bukan yang diinginkan Bora, kakak Viola tersebut tidak merespon walau dia panggil, tidak mengajaknya bicara seperti biasa dan hanya diam sepanjang hari."Lalu?" tanya Jeo sambil menaiki tangga, memimpin di depan selagi Bora bicara tanpa henti. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mereka berjalan menuju atap, datang lebih awal ke Trevisia."Aku bilang dia boleh ikut kelas sihir. Itu adalah cara membawa Viola kembali. Dia harus bisa sihir. Bagaimana kalau aku sudah berhasil kembali tapi Viola belum? Bisa saja tubuh ini tidak punya jiwa, lalu mati. Itu lebih buruk kan?"Jeo tidak setuju, itu bukan yang ia harapkan. "Kau harusnya beritahu aku dulu soal itu, kami tidak bisa menambah murid tanpa alasan yang jelas.""Ah, benar. Jadi tidak bisa? Apa tidak ada cara lain agar Phill masuk kelas s