Tok! Tok! Tok! Hening, tidak ada jawaban. Bora menatap jam dinding besar. Baru jam sepuluh malam. Tidak mungkin Jeo sudah tidur. Ah, dia bahkan tidak tau pria itu tidur di sini atau punya tempat tinggal lain.
Tok! Tok! Tok! Bora menunggu setiap beberapa kali ketukan pintu. Lima menit, kalau sudah lima menit, dia berjanji akan pergi dan kembali lagi besok pagi. Bora menurunkan pandangannya kemudian menatap lubang kunci, menoleh ke kanan dan kiri, menunduk, menutup satu mata dan mulai mengintip isi dalam Bar. Gelap, tidak kelihatan apa-apa.Krskk! Krskk! Suara terdengar. Telinganya bergerak, matanya membesar, dia yakin suaranya berasal dari dalam.Krsskk! Krsskk! Terdengar lagi! Bora masih menatap isi dalam Bar yang gelap. Ia meneguk liurnya berat, bersiap kalau-kalau ada kejutan.Hening, suaranya hilang. Bora fokus menatap gelap. Dia pasti bisa menemukan sesuatu malam ini. Satu menit, matanya sudah agak perih. Satu menit setengah, membasahi mata dengan belasan kali kedipan mata secepat cahaya. Bora menggeleng-gelengkan kepalanya, menahan sadar, tidak boleh kehilangan fokus."Kau sedang apa?""Aaaghh!"Bora memegangi dadanya yang berdegup kencang. Jeo sudah berdiri di belakangnya dengan plastik hitam di tangan. Menatap bingung."Kau baru datang?" tanya Bora sambil melihat ke bungkusan."Menurutmu? Sedang apa kau kemari?""Entahlah, menurutmu kenapa?" Bora menatap dengan wajah misterius, menaikkan bahu santai saat Jeo menatapnya dengan tanda tanya besar di kepala."Kau mau mengatakan sesuatu soal George?" Jeo berjalan ke pintu, merogoh celana, mengeluarkan sebuah kunci perak agak besar. Lalu memasukkannya ke dalam lubang."Ini bukan tentang George.""Lalu?" Jeo menoleh sebentar. Tangannya belum memutar kunci."Aku ingat semuanya."Jeo terdiam. Mereka saling tatap selama beberapa detik."Ingat apa?" tanya Jeo memastikan. Tidak ada tanda-tanda kaget di wajah itu. Tangannya bergerak, memutar kunci sebanyak dua kali lalu membuka pintu lebar-lebar."Penyihir," bisik Bora dengan senyum lebar.Barulah wajah yang ditunggu-tunggu Bora muncul. Gadis itu tersenyum lebar, merasa puas. Hanya sebentar, mungkin tidak sampai lima detik.Jeo diam sebentar, dia menutup matanya, sedetik kemudian membuka mata yang sudah berubah dari hitam pekat menjadi biru terang, kilatan mirip petir terpancar sedikit. "Dengar, kita tidak bertemu tadi sore dan kau tidak mendengar apa-apa. Sekarang pulanglah dan tidurlah yang nyenyak." Bora memiringkan kepalanya bingung. Tidak tahu apa yang terjadi. Setelah diperhatikan dengan seksama, sebuah cahaya bening kehijauan bulat besar menyelimuti tubuh Bora secara sempurna."Itu... sihir?" Bora menutup mulutnya rapat-rapat dengan wajah terkejut. Untungnya dia tidak panik berlebihan sekarang."Kau..." Jeo hampir kehilangan kata-kata, matanya kembali normal. Dia yakin sudah mengeluarkan sihirnya, tapi kenapa tidak mempan. Lalu, dia yakin tidak melihat cahaya pelindung tersebut tadi sore.Jeo terdiam, dia kemudian menarik masuk Bora ke dalam Bar. Mengunci pintu rapat-rapat. Demi menjaga keamanan obrolan mereka yang tidak ada habisnya ini.Lampu dinyalakan dengan sekali jentikan. Bora terkesima, dia seperti melihat teknologi masa depan padahal ada di tahun 1845."Apa yang terjadi?" Jeo pikir sihirnya belum sempurna jadi dia membuat kesalahan, tapi saat dia mencoba menghipnotisnya, sihirnya tidak mempan sama sekali."Keajaiban. Anggap saja begitu." Bora menaikkan kedua bahunya, menutup mulut soal pria tua yang baru ditemuinya tadi. Dia berjalan masuk, melihat-lihat isi Bar yang tadi tidak sempat dilirik. Hanya ada lemari Beer, meja kursi dan beberapa lukisan kuno yang dipajang di dinding kosong."Sihirmu tidak mempan. Apa mungkin karena aku dari masa depan?" Bora menunjuk dirinya sendiri dengan perasaan senang. Dia duduk di kursi dengan santai. "Bagaimana dengan kesepakatan kita?" lanjutnya sambil tersenyum lebar.Jeo mengusap wajahnya kasar. Dia meletakkan bungkusan yang ternyata berisi dua buah roti dan pergi menuju dapur. Bora gugup, membayangkan Jeo keluar dengan pisau besar di tangan. Senyumnya pudar seketika.Agak lama, Jeo tidak kunjung keluar. Takut, Bora kembali ke pintu, mencoba membukanya. Gagal, dia memilih duduk dengan sopan. Otaknya berputar, harus memikirkan cara supaya bisa membangun kesepakatan dengan Jeo.Sepuluh menit berlalu, Bora merasa ada yang tidak beres. Berpikir, apakah Jeo tiba-tiba sembelit dan harus buang air besar dulu sebelum melanjutkan obrolan penting ini atau pria itu sedang mengasah pisau untuk dijadikan senjata."Dengar, aku tidak pernah membuat kesepakatan dengan siapapun." Jeo keluar, syukurnya kedua tangannya kosong. Entah apa yang dilakukannya di dalam. "Aku juga tidak ada niatan untuk membuat kesepakatan denganmu. Karena itu mengandung tanggung jawab besar dan aku tidak mau punya ikatan dengan siapapun untuk saat ini.""Aku tidak menuntut tanggung jawab besar.""Tapi?""Aku hanya mau memastikan kalau ada jalan keluar supaya aku bisa kembali ke masa depan. Dengan begitu, aku bisa hidup tenang sampai hari itu tiba.""Jadi kau berjanji akan meninggalkanku kalau aku memang bukan solusi dari permasalahanmu?""Tentu saja." Bora menaikkan kedua bahunya. Masih ada banyak cara dan dia tidak mesti nempel pada Jeo."Soal masa depan. Kau benar-benar datang dari sana? Tapi keluargamu bilang kau amnesia."Bora menghela nafas lelah, ia menggeleng. "Aku tidak amnesia. Apa kau pernah melihat orang amnesia langsung?"Jeo menggeleng. "Tentu saja tidak. Itu penyakit langka.""Mereka tidak bertingkah layaknya orang lain. Aku bukan Viola yang kalian kenal, aku Kim Bora, 25 tahun, tinggal di kota Seoul yang ada di tahun 2023. Golongan darahku B. Aku lulusan Seoul National University dan baru lulus tahun kemarin dengan nilai terbaik. Aku tinggal di apartemen yang ada di Hongdae, tinggal sendirian selama kurang lebih delapan tahun. Apa ini terdengar seperti racauan orang amnesia?""Dua ribu dua tiga? Seoul?""Ya, aku dari tahun 2023. Seratus tahun lebih dari sekarang. Aku sedang bicara jujur. Kalau kau mengira aku mengada-ada, tidak mungkin aku melakukannya tanpa maksud apapun."Jeo bersandar pada meja setinggi pinggang "Kau terus menerus bicara soal masa depan. Entah aku harus percaya atau tidak.""Kau harus percaya!" Bora menaikkan suaranya. "Katakan, aku harus menjelaskan apalagi untuk membuatmu percaya?" Berhadapan dengan pria skeptis memang melelahkan jiwa dan raga."Mungkin aku akan berpikir dua kali kalau kau bisa menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi sebelum kau datang ke tahun ini.""Apa kau pernah ditipu sebelumnya?""Apa?" Jeo mengernyit."Kenapa susah sekali percaya padaku? Aku kebal dengan sihirmu saja sudah aneh. Apa menurutmu aku ini tidak spesial?"Jeo terdiam, kejadian tadi memang aneh. Tidak, sejak awal dia sudah merasa aneh saat pertama kali Bora datang ke tempatnya. "Aku hanya mau memastikan supaya pertanyaan di kepalaku ini hilang.""Baiklah, memang harus dijelaskan dulu supaya tahu." Tidak salah, kalau posisinya dibalik mungkin Bora punya lebih banyak pertanyaan untuk dirinya sendiri.Bora akhirnya mulai bercerita. Menjelaskan semuanya secara rinci, mulai dari dirinya yang tertidur saat merekam video serta cerita dari Phill yang menurutnya ada sesuatu di baliknya."Hmm, ceritamu terlalu...""Pal... su?" tanya Bora dengan satu alis naik. Menebak-nebak karena raut wajah Jeo yang tampak ragu."Cukup bisa dipercaya."Bora bernafas lega, akhirnya ocehannya digubris.“Tunggu sebentar.” Jeo pergi ke dapur lagi. Kali ini agak lama, Bora yang mati bosan berjalan sambil memperhatikan lemari penuh Beer dan lukisan-lukisan kuno berbagai ukuran. Mulai dari lukisan dari pelukis terkenal Leonardo da Vinci yang ukurannya hanya sebesar telapak tangan hingga lukisan besar ukuran satu meter lebih yang di dalamnya ada gambar pria dengan mata tertutup, abstrak, tidak jelas betul tapi Bora tau itu potret manusia.Lama menunggu, Bora melirik pintu dapur lalu kembali duduk. Dia sekarang merebahkan kepalanya pada meja. Matanya perlahan tertutup. Mengantuk sekali. Samar terdengar suara derap kaki seperti berlari diiringi suara Jeo yang seperti berteriak. “LARI!!”BOOM!! Bora membuka matanya sedikit, merasakan badannya nyeri seperti habis dibanting, didapatinya dirinya sudah ada dalam pelukan Jeo dengan asap mengepul hebat keluar dari dalam pintu dapur.Jeo bergegas membuka pintu depan. Dia keluar bersama dengan Bora. Mereka berdua terbatuk-batuk. Jeo segera masuk ke dalam lagi. Dia menerobos asap menuju dapur. Bora samar menatap bayangan pria itu, matanya menyipit dengan setengah wajah ditutupi lengan."Oh!" Brukkk! Bora terjatuh ke belakang. Asap hitam tebal berbentuk bola besar keluar dari dalam dapur, gesit melewati Bora yang tadinya masih berdiri di pintu depan. Bola hitamnya sekarang melayang di atas kepala Bora, jaraknya lumayan dekat."One!" Kilatan petir biru menyambar dari dalam. Jeo keluar, pelipisnya berdarah.Pintar sekali menghindar, bola hitam tersebut kali ini membuat lingkaran besar di atas langit. Cepat sekali, dilihat dengan mata pun tidak nampak saking cepatnya. Berputar terus seperti gasing rusak. Halaman depan Bar yang tidak dilapisi aspal membuat debu berterbangan. Jeo mencoba melindungi Bora dengan dekapannya, menghindari siapapun terluka.Sekali lagi. Boom! Ledakan kedua melesat cepat di tempat Jeo dan Bora b
Jeo memandang santai, dia kembali fokus menyusun jenis beer baru yang datang sepuluh menit lalu. Lemari kaca hampir penuh terisi di setiap raknya. Bora bangkit dari duduknya, dia memandang Jeo dari dekat, minta penjelasan. Setengah jam yang lalu gadis itu buru-buru datang setelah mengantar pesanan roti gandum. Tanpa memberitahu ibunya.Memang benar mereka hidup di kelilingi penyihir, bahkan sampai ada makhluk aneh segala. Tapi ledakan yang tidak terdengar? Bora tidak bisa mempercayainya kalau tidak dijelaskan dengan detail."Aku tidak bisa menjelaskannya. Terlalu rumit." Jawab Jeo pendek. Pria itu membawa kotak botol kosong dan membawanya ke dapur. Memandang sisi kiri dapur yang belum diperbaiki. Bora kesal, dia berjalan mengikuti dari belakang. Langkahnya langsung terhenti agak jauh saat melihat Jeo membuat beberapa peralatan tukang seperti palu dan gergaji bergerak sendiri dengan sihirnya. Memperbaiki bagian dapur yang rusak dengan lihai, seolah-olah ada tukang bangunan di sana. Tum
"Aneh, padahal aku sudah mengucapkan mantra-mantra tadi. Apa tidak mempan ya?" Suaranya berubah. Mengernyit bingung, Bora langsung berbalik."Ah! Maaf mengganggu." Membungkuk, seorang pria tersenyum tipis padanya. Diperhatikan detail, pria tersebut memakai baju olahraga berwarna biru tua senada dengan celana. Sepatu olahraga yang sudah kotor karena lumpur dan tas punggung hitam. Bora memperhatikan kakinya sendiri yang dibalut sepatu jerami butut. Tidak tahu kalau sepatu olahraga sudah ada di masa ini."Kau..." Kalimat Bora menggantung di udara. Dia tahu wajah pria ini biasa-biasa saja tapi dia jelas mendengar kata 'mantra' pada kalimat tadi. Apa mungkin....Belum sempat melanjutkan, pria tersebut bicara lagi. "Maaf mengganggu. Saya pikir Anda temanku. Kalau begitu saya permisi.""Tunggu!" Bora mencegahnya. Dia punya satu pertanyaan penting. "Kau... penyihir?"Pria tersebut kaget luar biasa hingga tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Apa! Ah! Maksudku! B-bagaimana Anda... Bagaima
"Tentu saja tidak." Bora keluar sambil tersenyum bodoh.Jeo menghela nafas. Dia menatap jam dinding. Kurang lima menit sebelum jaman dua belas malam. "Kenapa kau ada di sini?""Aku hanya mau..." Berdehem agak lama, Bora tidak tahu kenapa otaknya bisa berhenti berpikir saat berhadapan dengan Jeo."Pulanglah. Kita bicara besok.""Kalian mau kemana?""Ke suatu tempat dimana kau tidak boleh ada di sana. Sekarang kuminta kau pulang sebelum aku batalkan janjiku untuk membantumu.""Kau tidak pernah berjanji."Jeo mengerutkan keningnya. "Bukankah sudah kita diskusikan waktu itu?"Bora menaikkan tangannya yang hanya menunjukkan jari kelingking. "Buat janjinya sekarang. Kita belum pernah membuat janji resmi.""Sebagai gantinya kau harus pulang.""Cepatlah!" desak Bora.Ogah-ogahan Jeo menaikkan tangannya. Mereka mengaitkan kelingking, senyum lebar menghiasi wajah Bora. "Boleh aku ikut?"Jeo berdecak sambil menggeleng. "Kau bilang akan pulang.""Aku tidak pernah bilang begitu." Bora menaikkan ba
Jeo meletakkan penanda, kedua matanya menatap serius. "Kenapa kau tiba-tiba bicara soal lubang waktu?""Ah, sebenarnya... aku tidak sengaja melihat buku yang ada di kamarmu saat itu."Kembali ke kejadian pagi tadi, Bora terbangun satu jam sebelum matahari terbit. Dia tanpa sengaja melihat buku di bawah ranjang Jeo yang berjudul 'Rahasia terdalam dari lubang waktu impian'. Bora hanya membaca separuh dari buku karena ia harus segera pergi. Tidak banyak yang ia ingat, hanya ada penjelasan tentang tempat-tempat tersembunyi yang lubang waktunya bisa dibuka oleh para penyihir hebat. Serta mantra-mantra ajaib yang bisa dicoba manusia kalau mau melompati waktu. Memang tertulis kalau bisa saja itu tidak manjur karena harus ada campur tangan penyihir hebat di dalamnya. Tapi ada tulisan yang amat kecil sekali di bagian bawah halaman, tertulis kalau itu bukan hal yang mustahil jika belum dicoba langsung dengan tekad yang kuat, hanya perlu keyakinan penuh kalau lubang pasti terbuka.Bagian dari
"Aku tidak bisa mengatakannya.""Aku tidak bermaksud ikut campur tapi..." Bora berhenti sebentar, dia mengambil nafas lalu melanjutkan. "George mengungkit sesuatu tentang Sreyxes saat Viola menghilang.""George?""Ya, dia bertanya apa aku diculik Sreyxes.""Kau tidak diculik. Pengikut Sreyxes tidak akan mengembalikan manusia yang diculik. Mungkin saja George asal bicara. Dia anak-anak, mudah membayangkan hal-hal aneh.""Apa maksud pengikut adalah..." Bora hampir tak bisa melanjutkan. Matanya juga tak mengejap."Benar. Gruffle dan para monster yang kusebutkan tadi adalah pengikut Syerxes. Kami yakin Sreyxes menyuruh pengikutnya berkeliaran, membuat kehancuran. Kau harus hati-hati."Terbayang cerita Phill, Bora mulai membayangkan hal-hal gila lainnya. "Malam itu Viola datang dengan keadaan lemah. Apa mungkin...""Bukan. Sesuatu yang lain. Yang pasti bukan Sreyxes."Bora terdiam, dia tidak bisa mempercayai kalimat Jeo. Benar-benar yakin kalau pengikut Syerxes ada campur tangan soal kehad
Ada banyak hal yang belum diketahui Bora. Sejatinya penyihir punya banyak kelebihan dan kekurangan yang belum terlihat. Satu dua penyihir muda kadang kala sulit mengontrol kekuatan mereka. Semua bisa membahayakan, seperti membakar gedung, merubah katak menjadi gajah, melayang bak balon dan membuat kegaduhan saat tanpa sengaja menyihir manusia agar beberapa anggota tubuhnya hilang. Seperti superhero yang baru mempunyai kekuatan, mereka tidak bisa mengontrolnya dengan leluasa saat merasa sakit atau terancam.Teriakan keras dari dalam kelas Ferro yang merupakan kelas logam berhasil mengalihkan perhatian Jeo dan Bora pada tanah berumput yang mengering. Jeo tanpa sadar pergi berjalan lebih dulu, susah payah Bora mengikuti. Saat mereka sampai, Flo sudah terbaring lemah di atas tumpukan logam yang menjulang sepuluh meter dari tanah. Air mengalir dari atas, cukup deras.Jeo melompat naik, kaki-kakinya seperti peer. Mudah baginya sampai di bagian atas dalam hitungan detik. Bora menganga lebar,
Langkah kaki perlahan menjauh, Jeo menjauhkan telinganya dari pintu. Dia merenung sejenak. Sejak dua hari yang lalu jarang berpapasan dengan Mister Vrey karena Zyro yang satu itu sibuk. Tidak terpikir juga kalau akan didatangi langsung ke tempat rahasianya ini. Apa yang diinginkan Vrey? Apa ini soal Bora?Bulan semakin lama semakin turun, berganti menjadi matahari yang sudah menunggu-nunggu waktu keluar. Jeo keluar dari rumahnya lebih cepat dari biasanya. Dia berjalan menuju Bar dengan isi kepala yang tidak bisa tenang. Masih memikirkan tentang kedatangan Vrey di depan tempat rahasianya. Mereka bisa dikatakan tidak dekat dan tidak bermusuhan juga. Tapi satu hal yang Jeo tahu betul kalau Vrey membenci manusia. Saat melihat manusia memasuki Trevisia, Vrey akan langsung bertindak, mengusir paksa manusia tersebut atau yang lebih parah menyiksanya. Vrey tidak suka karena para manusia mudah sekali mendefinisikan penyihir sebagai manusia terkutuk.Zyro tersebut tidak pernah berpikir jauh, ka
Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Bora duduk di kursi paling ujung, kedua matanya sibuk memindai seisi ruangan. Ruang rapat yang ia kira akan terlihat lebar dan luas ternyata hanya diisi tujuh kursi. Tiga di kanan dan tiga di kiri serta satu kursi besar di bagian tengah, semua kursi itu mengelilingi meja panjang seukuran 3x1 meter. Kemungkinan total Zyro hanya berjumlah enam. Lima yang ia tahu dan satu lagi bernama Ezra yang kata Jeo merupakan rekan Zed. Kursi paling besar dibiarkan kosong. Bora bisa menebak kalau itu kursi Master Qerrell. Ada papan tulis kapur yang kelihatan berumur dekat pintu dan peta besar yang diberi tanda merah di beberapa tempat.Fiz menatap lamat Bora sejak ia dipaksa masuk karena sudah terlanjur mendengar percakapan dari luar. "Apa dia yang Zed ceritakan?" tanya Fiz setelah ruangan senyap selama hampir seperempat jam. Tangan dengan pena bulu menunjuk ke arah Bora.Frank menjawab. "Benar, dia teman Jeo. Namanya Viola. Mereka teman dekat.""Aku Fiz. Salam kenal." Senyum lebar mewarnai wajah itu
Jeo memperhatikan seisi ruangan. Tidak ada. Keberadaan Bora tidak ada di sini. Segera dia memasang sepatu cepat, takut kalau hal-hal buruk terjadi, mengingat kaki gadis itu masih terluka."Jeo! Baru bangun? Mau makan bersa-"Zed mengatupkan mulutnya rapat saat Jeo bahkan tidak memandang dirinya dan langsung berlari menuju pintu. Dia mengusap wajahnya yang kusam dan berbalik.Jeo membuka pintu di atap. Kosong. Dia segera menuju kamar Frank. Belum benar-benar sampai yang ingin ditemui sudah membuka pintu lebih dulu. Bersama dengan pakaian rapi dan wajah segar. Entah jam berapa sahabatnya itu bangun hingga punya banyak waktu membersihkan diri."Kau lihat Bora?" tanya Jeo segera."Bora? Aku baru keluar, Jeo. Kau sudah memeriksa seluruh gedung? Siapa tau dia ada di toilet atau sedang mencari udara segar. Oh! Dia ada di sana." Frank menunjuk sudut halaman dengan dagunya. Jeo mendekat, dia menurunkan bahu lega.Frank tertawa kecil. "Dia bukan anak-anak. Sebenarnya apa yang kau cemaskan.""Me
"Tidak biasanya kau panik." Jeo sudah biasa tidak pulang ke rumah saat hal seperti ini terjadi. Hanya Bora yang kaget, dia tidak bisa pulang malam ini."Supaya dramatis." Frank mengangkat bahunya santai lalu mendekat.Kotak kaca rusak parah. Harus dibetulkan dulu oleh Zed tapi butuh waktu lama. Satu kotak kaca butuh kurang lebih dua jam pembetulan. Merekatkan potongan demi potongan kaca menjadi satu dinding panjang adalah pekerjaan melelahkan. Apalagi Zed adalah satu-satunya penyihir yang bisa melakukan mantra rekat di antara sekian penyihir. Memang ada satu lagi, tapi keberadaan rekannya itu sedang bepergian jauh. Selalu tidak ada saat dibutuhkan. Untungnya kekuatan kaca pada kelas-kelas adalah paling tebal, setidaknya dia tidak perlu membetulkan seluruh kelas, hanya pintunya saja.Zed menggerutu sepanjang malam, menyalahkan Jeo karena ide memasang kaca bukan kayu jati atau ulin. Fiz yang setia membantu hanya bisa menanggapi sambil terkantuk-kantuk, dia membantu mengumpulkan potongan
Jeo menyipitkan matanya sedangkan Frank mengambil teropong saat melihat ada benda hitam yang bergerak-gerak. Satu monster dari ranting kecil tajam yang menyatu dan dibentuk menyerupai manusia gempal mini meringsek masuk melalui pagar pembatas besi setelah dirobek paksa. Awalnya hanya satu, kemudian dalam hitungan detik bertambah menjadi puluhan hingga ratusan.Jeo segera berlari, diikuti Frank, mereka langsung turun ke lantai bawah. Beberapa Zyro sudah sampai duluan di halaman depan. Semua kelas sudah dikunci rapat-rapat. Kalau situasi genting seperti ini, para penyihir yang belum berpengalaman tidak diijinkan ikut.Bersama kaki pendeknya, para monster terus berjalan lamban tanpa henti melewati halaman luas di bawah guyuran hujan hitam pekat. Kepala tanpa mata dan mulut tampak mengerikan dilihat, bentuknya tidak sampai satu meter. Pendek dan lambat. Tidak hanya itu, ada beberapa makhluk yang membawa alat-alat berbahaya seperti tongkat pemukul, kapak, pisau serta pedang panjang.Bora i
Dua jam Bora menjelaskan tentang semua hal yang disembunyikannya hingga rela tidak tidur, tapi nyatanya Phill hanya diam, tidak menjawab barang sepatah kata pun. Memang ada perubahan, tapi ini bukan yang diinginkan Bora, kakak Viola tersebut tidak merespon walau dia panggil, tidak mengajaknya bicara seperti biasa dan hanya diam sepanjang hari."Lalu?" tanya Jeo sambil menaiki tangga, memimpin di depan selagi Bora bicara tanpa henti. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mereka berjalan menuju atap, datang lebih awal ke Trevisia."Aku bilang dia boleh ikut kelas sihir. Itu adalah cara membawa Viola kembali. Dia harus bisa sihir. Bagaimana kalau aku sudah berhasil kembali tapi Viola belum? Bisa saja tubuh ini tidak punya jiwa, lalu mati. Itu lebih buruk kan?"Jeo tidak setuju, itu bukan yang ia harapkan. "Kau harusnya beritahu aku dulu soal itu, kami tidak bisa menambah murid tanpa alasan yang jelas.""Ah, benar. Jadi tidak bisa? Apa tidak ada cara lain agar Phill masuk kelas s