Home / Romansa / PENJARA HATI MAFIA / 2. Target berat

Share

2. Target berat

Author: KINOSANN
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ren berdiri di sebuah jembatan di malam yang gelap bersama dengan beberapa pria berjas yang menutup wajah dengan topeng.

Salah seorang pria paruh baya menyodorkan foto pada Ren untuk menunjukkan sosok target yang akan menjadi incaran Ren berikutnya.

"Malveron. Putra dari keluarga Malvey. Kau pasti tahu Malvey grup, kan?" ujar pria paruh baya yang memberi Ren perintah.

"Tuan Muda dari keluarga terkenal? Kau ingin tikus sepertiku membunuh ular berbisa?" sinis Ren.

"Buat dia terluka. Aku akan memberimu dua miliar jika kau berhasil melukainya dan membuatnya berbaring di rumah sakit selama satu minggu!" ujar pria bertopeng itu.

"Jika kau bisa membuatnya terluka parah dalam kondisi kritis, aku akan memberimu lima miliar!" bujuk pria itu lagi.

"Tapi, jika kau berhasil menghabisinya ... aku akan memberimu sepuluh miliar. Bagaimana?" sambungnya.

Ren hanya manggut-manggut menatap lembar foto yang ada di genggaman tangannya. Pria itu nampak mempertimbangkan dengan matang sebelum menerima tawaran dari pria kaya yang mau membayarnya hingga miliaran rupiah.

"Aku akan memikirkannya," tukas Ren kemudian.

"Waktumu sampai besok malam! Aku tunggu kau di tempat ini lagi besok sebelum pukul dua belas," pungkas pria bertopeng itu.

Beberapa kendaraan mewah yang mengerubunginya langsung menghilang dari hadapan Ren.

Pria itu termenung sejenak di atas jembatan sembari menatap sungai kecil yang mengalir di bawah jalan aspal yang dipijaknya.

"Malveron? Cih, pria kaya itu pasti akan langsung membunuhku setelah aku mendapatkan uang sepuluh miliar itu!" gumam Ren sudah sering menerima perlakuan tidak menyenangkan dari klien yang menggunakan jasanya.

Banyak klien yang menjanjikan dirinya dengan bayaran besar, namun setelah ia berhasil menjalankan misi dan mendapatkan bayaran, pria itu justru berbalik menjadi incaran kliennya yang ingin mendapatkan uangnya kembali.

Para orang kaya culas itu bahkan tak segan mengatur banyak kecelakaan untuk Ren hanya demi bisa mendapatkan kembali uang yang telah mereka bayarkan pada Ren.

"Halo?"

"Bagaimana Ren? Kau menerima tawarannya?" tanya teman Ren melalui telepon.

"Sedang kupikirkan,"

"Kenapa? Apa misinya sulit? Tidak mungkin mereka mengincar pejabat penting, kan?"

"Sepertinya bukan perjabat, tapi termasuk dalam jajaran orang penting. Kau tahu siapa Malveron Malvey?" tanya Ren pada temannya.

"Malvey? Mereka menyuruhmu menghabisi keluarga Malvey?" tanya teman Ren terkejut bukan main.

"Tidak seharusnya aku mengambilnya, kan? Bukannya mendapat uang, justru nyawaku yang akan melayang," kelakar Ren.

"Berapa yang mereka tawarkan padamu?"

"Sepuluh miliar untuk nyawa Tuan Muda kaya itu. Tapi sebagai gantinya, mungkin nyawaku akan melayang karena mengincar orang yang salah,"

"Sepuluh miliar? Sedikit sekali," cibir teman Ren.

"Aku akan menolaknya. Beri aku pekerjaan mudah saja! Aku takut adikku terkena imbasnya. Beberapa hari ini ada orang yang mengincar adikku," ungkap Ren menceritakan keresahan yang bersarang di hatinya.

"Benarkah? Ada yang mengincar adikmu?"

"Sebelumnya Rin pernah hampir tertabrak mobil di jalanan yang sepi. Mobil itu memang sengaja mengincar Rin. Beberapa hari ini Rin juga diikuti," terang Ren.

"Kau sudah mencoba menghubungi klienmu?"

"Untuk apa aku menghubungi klien? Mereka tentu tidak akan peduli pada nyawaku! Hal yang harus kulakukan sekarang hanyalah hidup seperti mayat yang tersembunyi agar aku tidak tertangkap oleh musuh-musuh klienku dulu," gerutu Ren sebal.

"Kalau kau sudah lelah, berhenti saja! Masih banyak pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang! Kita merampok bank saja bagaimana?"

"Merampok di fasilitas umum terlalu beresiko! Lagipula sebentar lagi aku juga akan berhenti," tukas Ren.

"Benarkah? Kau akan berhenti?"

"Sebentar lagi kuliah Rin selesai. Begitu Rin mendapatkan pekerjaan dan hidup dengan nyaman, aku akan berhenti."

Sesulit apapun kehidupan Ren, pria itu akan tetap mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan sang adik yang begitu dicintainya.

"Kau benar-benar kakak yang baik. Rin sangat beruntung memilikimu,"

***

"Kakak! Cepat bangun! Aku harus pergi ke kampus sekarang! Aku ada kelas pagi jam delapan!" omel Rin pada sang kakak sembari menarik-narik kaki Ren yang terlentang di ranjang kecil kamar kakaknya.

Pria itu masih mendengkur kencang tanpa menghiraukan omelan Rin yang sudah frustasi mencari cara membangunkan sang kakak.

"Lima menit!" gerutu Ren lirih dengan mata masih tertutup rapat.

"Lima menit apanya?! Kau sudah mengatakannya selama sepuluh kali tadi!" sentak Rin seraya menjambak rambut hitam Ren tanpa ampun.

"Rin! Jangan kurang ajar!" omel Ren menggeliat di ranjang dan berusaha menghindar dari tangan Rin yang sengaja menyiksanya.

"Kalau kau tidak bangun, aku berangkat ke kampus sendiri saja!" ujar Rin tak ingin lagi membujuk sang kakak.

Tanpa basa-basi, Ren langsung bangkit dari ranjang dengan semangat meskipun rambut rambutnya masih awut-awutan bak sarang burung dan mulutnya masih menguap lebar dengan mata penuh belek.

"Hari sudah terang. Tidak apa-apa kalau kau masih ingin beristirahat. Aku bisa berangkat sendi—"

"Cepat ambil tasmu! Lamban sekali!" gerutu Ren menggaruk kepalanya seraya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah sekenanya.

"Siapa yang seharusnya kesal di sini?!"

Kakak beradik itu pun berjalan bersama menuju kampus Rin di pagi yang cerah. Selama Ren tidak mendapatkan misi, pria itu menyibukkan diri dengan mengantar jemput sang adik ke kampus dan menemani Rin sepanjang hari untuk menjaga Rin dari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Jangan pulang malam hari ini! Langsung kabari aku setelah kelasmu sudah berakhir!" titah Ren dengan galaknya.

"Hm!" angguk Rin sekenanya.

"Kau ingin makan malam apa nanti?" tanya Ren sebelum berpisah dengan sang adik.

"Apapun kecuali mie instan," jawab Rin malas.

"Baiklah!"

'Cih, baiklah apanya? Nanti malam dia pasti hanya akan memasak telur!' gerutu Rin dalam hati.

"Aku pergi!" pamit Rin pada sang kakak.

"Rin!" panggil Ren sebelum Rin melangkah jauh memasuki area kampus.

Gadis itu menoleh dengan malas dan terlihat tidak berminat mendengar bualan sang kakak.

"Uang sepuluh miliar atau aku! Mana yang akan kau pilih?" tanya Ren tiba-tiba.

"Hanya uang khayalan, kenapa aku harus memilih?" cibir Rin.

"Jawab dulu! Kau lebih memilih uang sepuluh miliar atau aku?" paksa Ren.

"Kenapa? Kau berharap aku lebih memilihmu? Tentu saja aku lebih memilih uang," jawab Rin malas.

"Kalau itu aku ... aku pasti akan memilihmu. Uang ada banyak di dunia ini, tapi adikku hanya akan ada satu di sepanjang hidupku."

Bukannya terharu, Rin justru merasa merinding dan geli mendengar perkataan sang kakak. "Apa otakmu baik-baik saja? Sebaiknya kau mulai mencari pacar yang bisa kau rayu dengan kata-katamu yang payah itu!" pungkas Rin kemudian berbalik meninggalkan sang kakak yang mematung di depan gerbang universitas tempat Rin belajar.

"Sial! Padahal aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku. Kenapa adik perempuanku dingin sekali?" gerutu Ren dongkol.

"Ada apa dengan Ren? Akhir-akhir ini dia sering sekali mengoceh hal-hal yang aneh. Biasanya hal seperti ini adalah tanda-tanda orang yang akan mati. Apa Ren sakit parah?" gumam Rin melayangkan imajinasi liarnya mengenai sang kakak.

"Rin!" Lamunan gadis itu pun buyar seketika saat seorang teman menghampiri Rin dan menyeret gadis itu menuju laboratorium milik fakultas lain.

"Susan, apa yang kau lakukan?! Aku ada kelas pagi!" omel Rin pada temannya yang bernama Susan itu.

"Aku harus mengikuti kelas khusus! Hari ini ada kelas khusus yang diisi oleh alumni. Kau tahu Malveron? Dia yang akan mengisi kelas khusus hari ini! Kau mau ikut?" tawar Susan pada Rin dengan antusias.

"Siapa Malveron? Aku tidak kenal!" tolak Rin mentah-mentah.

"Bagus kalau kau tidak berminat! Kalau begitu bantu aku memindahkan beberapa barang dari lab ke ruang BS 01. Aku harus mengurus hal lain untuk persiapan kelas khusus," rengek Susan meminta bantuan pada Rin.

"Aku sebentar lagi ada kelas!" sergah Rin.

"Kelasmu masih jam delapan, kan? Ruanganmu di BS 02, kan? Daripada kau ke sana dengan tangan kosong, lebih baik kau beramal dengan membantuku!" bujuk Susan.

"Kau sengaja memeriksa jadwal kuliahku hari ini?" sindir Rin. Gadis itu tak dapat lagi berkilah untuk menolak permintaan sang teman.

"Temanku ada di dalam lab. Dia yang akan memberitahumu barang apa saja yang harus dibawa. Terima kasih, Rin! Sampai nanti!" pamit Susan tergesa-gesa dan meninggalkan Rin di depan ruang laboratorium kampusnya.

Gadis itu membuka pintu laboratorium dengan santainya hingga ia mendapatkan kejutan tak terduga dari ruangan yang penuh dengan cairan kimia tersebut.

"Sial! Apa-apaan ini?!" umpat Rin terkejut bukan main saat ia mendapati ruangan lab yang porak-poranda bagai terkena angin badai.

Banyak peralatan yang rusak hingga pecah mulai dari peralatan besar yang mahal, hingga alat-alat dari kaca yang berukuran kecil.

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba sekumpulan dosen berjalan melewati laboratorium dan tak sengaja melihat ruangan yang hancur berantakan.

"Apa yang terjadi dengan laboratorium?!" pekik salah seorang dosen sangat terkejut melihat laboratorium universitas yang telah hancur tak berbentuk.

Tatapan tajam langsung mengarah pada Rin dan gadis itu langsung mendapat label sebagai tersangka utama yang tertuduh atas kacaunya fasilitas kampus.

"Kemari!" panggil seorang pria pada Rin, yang tak lain ialah Malveron, pria yang akan menjadi mentor di kelas khusus yang diadakan di kampusnya.

Rin berjalan perlahan menghampiri Ron dengan kepala tertunduk tanpa berani mengucapkan sepatah katapun.

"Aku tidak bermaksud menuduhmu, tapi hanya ada kau seorang di sini saat ini. Sekalipun kau mengelak, orang-orang yang melihatmu di sini akan tetap memaksamu untuk mengaku meskipun bukan kau pelakunya!" bisik Ron pada Rin.

Rin hanya bisa menghela nafas pasrah dan mengomel dalam hati tanpa bisa melayangkan protes langsung pada dosen-dosen kampusnya itu.

'Terima saja nasib sial ini, Rin! Mungkin hari ini memang hari yang buruk untukmu!' gerutu Rin dalam hati.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Riana Kristina
Jadi ngarep punya kakak cowok
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • PENJARA HATI MAFIA   3. Kambing hitam

    Rin duduk dengan wajah lesu di taman kampus sembari menatap air mancur kecil yang terpampang jelas di depan matanya.Pikiran gadis itu mulai melayang, mengingat kembali omelan-omelan dosen yang terus terngiang di otaknya.Cacian, makian hingga hinaan harus ia telan mentah-mentah tanpa bisa membantah. Apapun yang diucapkan oleh Rin hanya dianggap angin lalu, terlebih lagi gadis itu tak dapat membuktikan apapun mengenai hancurnya ruangan laboratorium akibat orang tidak bertanggungjawab.Gadis itu semakin sial karena CCTV pun tak dapat memberinya dukungan apapun. Akibat memori penuh, kamera pengintai yang terpasang di sekitar laboratorium tak dapat lagi menyimpan rekaman apapun selama beberapa hari terakhir."Huh, bagaimana lagi aku harus menjelaskan pada dosen-dosen tua itu kalau aku tidak melakukan apapun?!" gerutu Rin sebal."Kalau aku pelakunya, tentu aku sudah melarikan diri dan tidak membuka pintu lebar-lebar saat aku memasuki laboratorium! Apa logika para orang tua itu sudah tidak

  • PENJARA HATI MAFIA   4. Ganti rugi

    Rin berdiri tepat di depan gerbang kayu kecil yang sudah lapuk dan hampir lepas dari pagar kecil yang mengelilinginya.Gadis itu kini tengah berada di depan rumah petugas kebersihan penghancur laboratorium dan bersiap untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku sebenarnya itu.Namun saat melihat kondisi rumah yang mengenaskan, gadis itu pun mulai ragu dan tidak tega menghampiri wanita itu untuk meminta uang ganti rugi atas kecerobohan petugas kebersihan itu."Bagaimana aku bisa menagih uang darinya?" gumam Rin frustasi."Wanita itu pasti juga tidak punya uang sebanyak itu untuk mengganti rugi peralatan laboratorium," oceh Rin justru merasa tak enak hati, padahal dirinya sudah menjadi pihak yang dirugikan.Prang!Tiba-tiba terdengar suara kencang dari dalam rumah dan pintu bangunan kecil itu mendadak terbuka lebar.Rin langsung berlari kocar-kacir mencari tempat sembunyi dan mengamati rumah itu dari balik semak-semak."Kau tidak punya uang, hah? Kalau tidak punya uang, jangan pulang!"

  • PENJARA HATI MAFIA   5. Gagal

    Ren mengambil wadah berisi senjata api yang disodorkan oleh sang teman dan membuka kotak berwarna gelap itu.Sebuah pistol Glock 20 lengkap dengan peluru masih terbungkus rapi di dalam wadah tersebut dan siap untuk digunakan untuk melubangi kulit."Kau akhirnya mengambil tawaran itu?" tanya teman Ren."Aku butuh uang! Membuatnya cedera saja sudah cukup, kan? Jika aku sampai membunuhnya, mungkin nyawaku akan ikut melayang!" ungkap Ren."Jika mereka memang tidak terlalu menuntut untuk membunuh, kau buat luka ringan saja. Tidak perlu menggunakan pistol!" saran teman Ren."Penggunaan senjata api jauh lebih efektif. Setidaknya mereka tidak akan mempermasalahkan hal ini ke pihak kepolisian karena targetku kebanyakan adalah anggota organisasi illegal. Kalau aku membuat kecelakaan lalu lintas, masyarakat umum bisa terkena dampaknya dan polisi akan ikut campur," tukas Ren."Kau memang tidak akan dikejar polisi, tapi kau akan dikejar mafia! Menurutku lebih mudah menghindari polisi daripada haru

  • PENJARA HATI MAFIA   6. Tahanan

    Rin membuka mata perlahan saat dirinya merasakan percikan air yang membasahi wajahnya.Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang nampak asing dengan wajah linglung."Gadis ini sudah bangun, Bos!" pekik seorang pria bertubuh kekar hingga membuat Rin tersentak kaget.Seorang pria berjalan mendekat ke arah Rin dan menatap nanar ke arah gadis yang pernah ditemuinya itu.Sama seperti Ron yang masih tak menyangka saat bertemu kembali dengan Rin, gadis itu pun ikut menampakkan wajah bingung sekaligus terkejut saat dirinya bertemu pandang dengan sosok pria yang dijumpainya beberapa hari yang lalu di kampus.Rin mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, namun sayangnya gadis itu sudah terlilit dengan tali yang membuat Rin tak dapat bergerak bebas."Aku melihatmu sebelumnya di kampus! Kau ... Malveron? Bisa kau berikan penjelasan yang masuk akal atas tindakanmu padaku?" ketus Rin sembari melotot ke arah pria berwajah dingin itu."Penjelasan? Kau berani menuntut penjelasan dariku

  • PENJARA HATI MAFIA   7. Kandang singa

    "K-kau benar-benar akan melukai gadis kecil yang tidak bersalah? Aku tidak mengenalmu! Aku tidak tahu apapun tentangmu! Aku tidak ada hubungannya sama sekali!" pekik Rin dengan tangis yang sudah pecah, memenuhi seluruh ruangan tempatnya disekap."Kalau begitu apa salah Lilian? Apa salah calon istriku? Calon istriku juga tidak memiliki kesalahan apapun pada kakakmu! Calon istriku juga tidak mengenal kakakmu! Tapi kenapa kakakmu seenaknya mengarah pistol padanya?!" amuk Ron dengan teriakan kencang yang begitu memekakkan telinga.Ruangan itu kini dipenuhi dengan jeritan serta tangisan antara Rin dan juga Ron. Kedua orang itu sama-sama frustasi menghadapi keadaan yang membuat mereka terjepit dalam situasi membingungkan."Kau hanya butuh objek untuk disalahkan! Iya, kan? Kau hanya butuh pelampiasan, kan? Kau pikir aku mau menjadi pelampiasan kemarahanmu yang tidak jelas?" pekik Rin memberanikan diri meninggikan suara di hadapan Ron."Diam atau aku akan benar-benar mencabik-cabik isi perutm

  • PENJARA HATI MAFIA   8. Neraka dunia

    Cklek!Hari sudah larut. Ron membuka pintu perlahan, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kecil tempat ia mengurung Rin.Tak tega melihat Rin yang terus diikat sepanjang hari, Ron pun berbaik hati melepas ikatan tali yang membelit tangan serta kaki Rin dengan kencang.Pria itu menatap sejenak mata bengkak Rin, kemudian mengusap lembut pipi Rin yang masih basah.Ron mengangkat tubuh mungil Rin dan memindahkan gadis itu menuju salah satu kamar kosong yang berada dalam rumahnya.Rin yang sudah lemas karena kelelahan menangis dan kelaparan, tak terbangun sedetikpun saat dirinya dipindahkan oleh Ron ruangan lain."Kenapa harus kau?" gumam Ron mulai berbelas kasih pada gadis kecil yang sudah menjadi pelampiasan amarahnya itu.Pria itu mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Rin di kampus beberapa hari yang lalu saat terjadi keributan di laboratorium universitas."Kau sudah menyelesaikan masalah laboratorium? Atau kau membiarkan dirimu menjadi kambing hitam?" gumam Ron lag

  • PENJARA HATI MAFIA   9. Rencana Pelarian

    Pagi hari, Ron sudah berdiri di depan pintu kamar Rin dengan membawa nampan berisi penuh makanan.Pria itu mematung sejenak di depan kamar, tanpa langsung membuka pintu ruangan yang ditempati oleh tawanannya itu."Kenapa aku harus repot merawat gadis itu?" gerutu Ron sembari menatap sinis piring makanan yang dibawanya.Setelah mengalami perang batin beberapa saat, akhirnya Ron membuka kamar tempat Rin beristirahat. Pandangan mata pria itu langsung tertuju pada tubuh mungil Rin yang terlentang di atas ranjang."Wajahnya pucat sekali," gumam Ron makin tak tega melihat bibir Rin yang sudah pucat pasi."Hei! Bangun!" Ron mencolek bahu Rin dan mencoba mengguncang-guncangkan tubuh gadis kecil itu perlahan untuk membangunkannya.Beberapa kali Ron mencoba mengguncangkan tubuh Rin, namun sayangnya gadis itu tak menunjukkan pergerakan sekecil apapun.Ron terus mengoceh untuk membangunkan gadis berwajah pucat itu, tapi Rin tak memberikan sahutan maupun respon apapun."Hei, kau baik-baik saja, ka

  • PENJARA HATI MAFIA   10. Usulan

    Ron duduk termenung di ruang kerjanya sembari menatap berkas-berkas di mejanya dengan wajah malas. Pria itu masih tak bersemangat melakukan rutinitas, setelah sibuk mengurus pemakaman calon istrinya yang baru saja berlangsung beberapa hari yang lalu.Tok, tok!Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan pria hampir menginjak usia kepala tiga itu.Ron melirik ke arah pintu dengan malas, begitu ia melihat sosok sang asisten dari balik pintu."Bos, hari ini ada—""Tolak!" potong Ron cepat, sebelum asistennya menyelesaikan kalimatnya.Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis Han, asisten dari Ron. Pria itu menghela nafas sejenak, sebelum ia kembali membuka mulut untuk memberikan laporan berikutnya."Proyek dari—""Tolak!"Glek! Han menelan ludah kasar begitu perkataan kembali dipotong oleh sang majikan."Perkebunan dari keluarga—""Bakar saja!" tukas Ron sembari melirik ke arah Han dengan mata melotot yang menyeramkan."Apa salah dan dosaku, Tuhan!" batin Han merinding ketakutan

Latest chapter

  • PENJARA HATI MAFIA   64. Kecurigaan yang menumpuk

    "Kami sudah mencari gadis yang ada di foto itu, tapi kami tidak menemukan satu pun gadis yang mirip, Bos!" ujar anak buah kiriman Han pada Han yang tengah menunggu kabar.Pria yang tadinya yakin dapat menculik Rin itu, justru harus dibuat kesal, karena target yang ia kejar ternyata berhasil melarikan diri sebelum ia mulai mengejar. "Apa aku tidak salah dengar? Memangnya ada perubahan jadwal penerbangan? Atau mereka menggunakan maskapai lain?" tanya Han bingung.Han berhasil dibuat kesal karena rencananya yang gagal total. Para anak buahnya nampak sibuk mencari keberadaan Rin, disaat Rin dan Ron telah lama meninggalkan bandara dan menuju ke tempat yang tidak diketahui oleh Han."CARI LAGI SAMPAI KETEMU! Aku yakin mereka ada di dalam pesawat!" titah Han.Pria itu langsung membanting ponsel dan mengamuk di dalam mobil begitu target yang ia kejar ternyata dapat meloloskan diri dengan mudah."Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa Rin dan Ron bisa menghilang?" gumam Han dibuat bingung.Seme

  • PENJARA HATI MAFIA   63. Antisipasi

    “Sudah siap?” tanya Ron pada Rin yang tengah menyeret koper keluar dari kamarnya. Setelah berminggu-minggu tinggal bersama Ron di Roma, Rin mulai terbiasa dan mulai tak rela meninggalkan kota tempatnya berlibur itu.“Aku sudah siap!” cetus Rin dengan wajah lesu.Ron menangkap dengan jelas wajah muram Rin, kemudian mengacak gemas rambut panjang gadis cantik itu. “Aku akan mengajakmu kembali lagi kemari nanti. Aku janji!” hibur Ron pada Rin yang terlihat jelas sekali, tidak rela meninggalkan tempat liburan mereka.“Siapa juga yang ingin kembali kemari bersamamu? Aku bisa kembali ke sini sendiri,” timpal Rin sinis.“Memangnya kau punya uang?” cibir Ron begitu menohok pada gadis miskin yang memang tidak memiliki banyak uang itu.Ron merebut koper yang diseret oleh Rin, dan mengajak gadis itu pergi meninggalkan rumah yang mereka tempati. Bersama dengan taksi yang mereka tumpangi, Ron dan Rin memulai perjalanan mereka untuk pulang ke negara asal. Kedua orang itu pulang dengan wajah tenang,

  • PENJARA HATI MAFIA   62. Bukan beban

    “Tempat apa ini?” gumam Rin begitu ia dan Ron tiba di sebuah taman kecil yang berada di pusat kota. Ron tidak berencana melakukan banyak hal untuk hari terakhir liburannya bersama dengan Rin. Pria itu hanya ingin mengajak Rin menikmati kencan ringan dengan bersepeda dan berolahraga bersama di taman.“Kuburan!” celetuk Ron dongkol mendengar pertanyaan tidak penting dari Rin.“Ah, kau berencana untuk menguburku hidup-hidup di sini?” sergah Rin dengan wajah masam.“Benar! Aku akan menggali makam untukmu!” tukas Ron sembari menyeret Rin untuk berlari bersama dengan dirinya mengelilingi taman kecil itu. Ron mengambil sepeda yang disewakan di taman, sementara Rin harus berlari dengan susah payah mengejar Ron, karena Ron tidak begitu tega menaiki sepeda seorang diri, tanpa mengajaknya.“Ron, aku juga ingin sepeda!” rengek Rin sembari menyeka keringat yang bercucuran di dahiny.“Kejar aku dulu kalau bisa! Kau terlalu kurus dan lembek, Rin! Sebaiknya kau lebih rajin berolahraga!” cibir Ron den

  • PENJARA HATI MAFIA   61. Musuh dalam selimut

    Ren nampak tengah berguling-guling di ranjang hotel dengan santainya tanpa melakukan banyak hal. Pria itu masih diperlakukan seperti raja untuk sementara waktu, sampai Ren tidak akan lagi berguna. Ren masih belum memikirkan rencana lain untuk ke depannya. Pikiran pria itu masih dipenuhi dengan kecemasan mengenai Rin yang kini masih berada di luar negeri bersama Ron.“Apa sebaiknya aku menghubungi Rin saja? Mereka masih akan menargetkan Rin atau tidak, ya?” gumam Ren tenggelam dalam pikiranya sendiri dan membuat pria itu tak dapat tidur nyenyak.Akhirnya, Ren pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel sejenak sembari mengirup udara segar. “Rin pasti juga sedang menginap di hotel mewah sekarang, kan? Bukan aku saja yang tengah menikmati ranjang empuk di sini, kan?” oceh Ren sedikit merasa bersalah pada adiknya yang entah sekarang dapat beristirahat dengan nyenyak atau tidak.Pria itu berjalan di lorong hotel dengan langkah gontai dan tanpa sengaja berpapasan dengan salah seora

  • PENJARA HATI MAFIA   60. Kelemahan

    "Sebelum kita pulang ... bagaimana kalau kita pergi berlibur bersama? Berkeliling kota untuk yang terakhir mungkin?" ajak Ron ragu-ragu pada Rin.Ron sudah membulatkan tekad akan pulang ke negara asal bersama dengan Rin. Pria itu sudah tak ingin lagi melarikan diri dari teror, dan akan berusaha menangkap dalang dari peneroran yang dialaminya selama ini."Berlibur?" tanya Rin dengan dahi berkerut."Em, anggap saja ini sebagai ... kenang-kenangan perjalanan pertama kita. Kita tidak bisa mengunjungi banyak tempat karena kau masih diganggu oleh peneror itu, kan?" cetus Ron. "Sekarang kau sudah tidak lagi diganggu oleh orang itu. Kau bisa menikmati waktu liburan kita sejenak dengan nyaman."Setidaknya Ron ingin memberikan kenangan yang berkesan bagi Rin di liburan pertama gadis itu di luar negeri. Ron juga ingin menjadi bagian dari ingatan yang menyenangkan bagi Rin selama mereka bisa menghabiskan waktu untuk bersama."Kapan kita akan pulang?" tanya Rin mengalihkan pembicaraan."Lusa mungk

  • PENJARA HATI MAFIA   59. Kecurigaan

    "Akhir-akhir ini kau terus melamun," tegur Ron pada Rin yang tengah duduk termenung seorang diri di bangku halaman rumah.Rin sontak menyadarkan diri dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Ron yang tengah memegang dua kaleng soda. "Minumlah! Kau sepertinya perlu menyegarkan pikiran," cetus Ron.Rin mengulas senyum tipis, kemudian menyambut minuman dingin yang diberikan oleh Ron. "Terima kasih!" ucap Rin."Apalagi yang kau cemaskan? Ada yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Ron menemani Rin berbincang di malam yang dingin itu.Rin meneguk minuman kaleng soda itu, kemudian mulai membuka suara. "Aku hanya merasa aneh saja. Pria itu tidak lagi menghubungiku. Dia tidak lagi membahas mengenai mengenai Ren dan informasi yang dia inginkan darimu. Aku takut ... terjadi sesuatu pada Ren," terang Rin dengan perasaan kalut."Ren sudah menghubungimu kemarin, kan? Dia baik-baik saja, kan?" tukas Ron."Memang benar kalau Ren baik-baik saja," ujar Rin. "Tapi tetap saja ... aku takut ada sesuatu yang t

  • PENJARA HATI MAFIA   58. Ganti target

    Di sebuah kamar hotel mewah, nampak seorang pria dengan kaos polos tengah duduk di ranjang besar sembari menatap sendu sebuah foto yang terpampang di layar ponsel.Pria itu mengusap lembut layar ponselnya, menatap sesosok gadis cantik yang tersenyum manis, yang tak lain ialah Rin.Ya, pria itu adalah Ren, kakak dari Rin. Sesuai dengan dugaan Ron, Ren yang tadinya seorang tawanan dan tinggal di sebuah gudang, kini beralih mendapatkan perhatian istimewa dari pria misterius yang menawan dirinya.Selaras dengan perkiraan Ron, Ren memang menyimpan banyak rahasia besar dari klien-klien berbahaya yang menggunakan jasanya sebelumnya.Tok, tok! Waktu bersantai pria itu pun tak berlangsung lama, karena gangguan yang tiba-tiba muncul. Seorang pria bertopeng masuk ke dalam kamar Ren dan menyapa pria itu dengan sopan."Kau menyukai kamar barumu? Setelah tidur di gudang, tentu tidurmu bisa kembali nyenyak di sini, kan?" cetus seorang pria bertopeng yang menawan Ren.Tak lagi tidur di gudang, kini p

  • PENJARA HATI MAFIA   57. Gundah

    "Sial! Aku tidak bisa mendengar apa pun!" gerutu Ron yang kini tengah berdiri di depan pintu kamar Rin, sembari menempelkan telinganya ke pintu untuk mencuri dengar pembicaraan Rin dengan sang kakak.Pria yang masih berselimutkan handuk itu tengah berusaha keras "menguping" dengan konsentrasi penuh, tapi sayangnya Ron tak dapat mendengar informasi apa pun dari pembicaraan Rin di telepon."Awas saja kalau kau merencanakan hal yang tidak-tidak dengan pria brengsek itu!" oceh Ron sembari meremas handuk yang melilit tubuhnya.Cklek! Tiba-tiba Rin membuka kunci pintu kamar disaat Ron masih berdiri di depan kamar Rin. Pria itu langsung kalang kabut melarikan diri sebelum Rin membuka pintu kamar dan melihat dirinya."Dari mana Ren tahu kalau aku dan Ron cukup dekat? Pria itu juga tahu kalau aku dan Ron memiliki sesuatu," gumam Rin bingung. "Apa mereka mengawasiku dan Ron dari jauh? Atau ada orang dalam yang menjadi mata-mata dan memberikan informasi pada pria itu?" oceh Rin.Rin berjalan men

  • PENJARA HATI MAFIA   56. Telepon rindu

    Tring! Hari damai Rin pun kembali terusik oleh panggilan telepon dari pria yang mengancamnya. Usai memberikan informasi mengenai Ron padanya, Rin langsung dihubungi oleh pria misterius yang mencoba memperalat dirinya menggunakan Ren sebagai tawanan."Nomor tidak dikenal. Pasti ini dari orang itu," gumam Rin kemudian berlari mencari Ron sebelum mengangkat panggilan telepon."Ron? Kau di dalam? Boleh aku masuk?" Rin menggedor-gedor pintu kamar Ron, tapi sayangnya tak ada jawaban terdengar dari kamar Ron."Apa Ron tidak ada di kamar? Atau dia sedang tidur?" gumam Rin menerka-nerka.Rin menarik gagang pintu kamar Ron, dan memaksa masuk ke dalam ruangan pribadi pria dingin itu. "Ron? Kau di dalam?" Terdengar suara gemericik air yang menandakan kalau Ron tengah berada di kamar mandi. Rin pun segera melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintu kamar kecil itu."Ron, kau di dalam, kan? Ada telepon penting yang masuk! Aku membutuhkanmu!" pekik Rin di luar kamar mandi.Ron mengusap wajahnya

DMCA.com Protection Status