Ren mengambil wadah berisi senjata api yang disodorkan oleh sang teman dan membuka kotak berwarna gelap itu.
Sebuah pistol Glock 20 lengkap dengan peluru masih terbungkus rapi di dalam wadah tersebut dan siap untuk digunakan untuk melubangi kulit.
"Kau akhirnya mengambil tawaran itu?" tanya teman Ren.
"Aku butuh uang! Membuatnya cedera saja sudah cukup, kan? Jika aku sampai membunuhnya, mungkin nyawaku akan ikut melayang!" ungkap Ren.
"Jika mereka memang tidak terlalu menuntut untuk membunuh, kau buat luka ringan saja. Tidak perlu menggunakan pistol!" saran teman Ren.
"Penggunaan senjata api jauh lebih efektif. Setidaknya mereka tidak akan mempermasalahkan hal ini ke pihak kepolisian karena targetku kebanyakan adalah anggota organisasi illegal. Kalau aku membuat kecelakaan lalu lintas, masyarakat umum bisa terkena dampaknya dan polisi akan ikut campur," tukas Ren.
"Kau memang tidak akan dikejar polisi, tapi kau akan dikejar mafia! Menurutku lebih mudah menghindari polisi daripada harus berurusan dengan mafia,"
"Tenang saja! Aku sudah menyiapkan rute pelarian! Memang aku tidak cukup yakin bisa melarikan diri dari Malveron, tapi aku akan berusaha membuat Rin tidak ikut terlibat," tukas Ren.
"Kau tidak ingin menunggu misi selanjutnya saja? Sepertinya Malveron bukan target yang mudah,"
"Aku sudah mengintainya selama seharian penuh. Pria itu memang bukan pria sembarangan. Tapi aku sudah menemukan celah untuk merobek sedikit kulitnya malam ini. Malveron diundang ke acara relasi bisnisnya dua jam lagi. Acaranya diselenggarakan secara outdoor, jadi aku bisa lebih leluasa menggunakan senjata api di luar ruangan."
"Kau yakin kau bisa menangani Malveron? Sebesar apapun uangnya, lebih baik kau pertimbangkan baik—"
"Adikku membutuhkan uang! Aku harus mendapatkan uang sebelum ujian adikku minggu depan," potong Ren.
"Rin lagi?"
"Hanya uang saja, aku tidak keberatan mencarikan berapapun untuk Rin. Titip adikku selama aku pergi," pamit Ren sembari membawa senjata api yang akan digunakannya untuk melukai target barunya.
Sebelum berangkat menuju tempat Malveron berada, tak lupa Ren menghabiskan waktu sejenak bersama sang adik untuk sekedar bertegur sapa.
"Liburanmu sudah berakhir?" tanya Rin pada sang kakak yang sudah siap dengan pakaian serba hitam.
"Kalau bukan karena pengacau sepertimu, mungkin saat ini aku masih bisa bersantai di ranjang empuk kamarku!" cibir Ren.
"Sebenarnya pekerjaan apa yang kau lakukan? Kenapa kau selalu pergi saat malam hari dan bisa pulang membawa uang banyak?" tanya Rin penuh curiga.
"Kau tidak perlu tahu!"
"Kau tidak mungkin bekerja sebagai seorang ... pria panggilan, kan?" tanya Rin cemas.
"A-apa kau bilang? Pria panggilan apanya? Kau pikir aku pria murahan?!" sungut Ren seraya menjitaki kepala sang adik tanpa ampun.
"Memangnya pekerjaan apalagi yang biasa dilakukan di malam hari dan bisa menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat? Kau tidak mungkin menjadi gigolo nenek tua kaya, kan? Kakak terlalu tampan untuk menjadi pria simpanan!" tukas Rin dengan imajinasi liarnya yang semakin meresahkan telinga Ren.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak! Untuk apa aku menjual diri pada nenek tua?!"
"Kau yakin? Kau tidak perlu malu untuk—"
"Tutup mulutmu!" omel Ren sembari membungkam mulut cerewet sang adik yang terus menuduhkan hal-hal aneh padanya.
"Aku pergi! Jangan keluar rumah! Kunci pintu—"
"Aku tahu! Kau tidak perlu mengulangnya ribuan kali! Aku tidak akan menunggumu! Aku tidak akan peduli lagi jika kau tidak kembali!" sergah Rin.
Ren tersenyum tipis menanggapi ocehan sang adik yang terlihat tak peduli padanya, padahal jauh di lubuk hati Rin, gadis itu selalu mencemaskan sang kakak setiap kali Ren berpamitan untuk pergi bekerja.
Satu kecupan mendarat di kening Rin, kemudian Ren melambaikan tangan pada sang adik. "Jangan cari aku jika aku tidak kembali!"
***
Sebuah venue outdoor dengan dekorasi mewah nampak ramai dipenuhi oleh tamu undangan berbusana mahal.
Dalam kerumunan orang-orang berdompet tebal itu, muncul sosok Ron yang telah hadir dalam acara tersebut dengan menggandeng tunangannya tercinta, Lilian.
Pasangan kekasih itu terlihat serasi dalam balutan jas serta gaun yang anggun dan membuat Ron serta Lilian nampak seperti pangeran dan putri yang sangat serasi.
"Sudah kubilang untuk memakai gaun biasa saja! Aku tidak suka wanitaku diperhatikan oleh banyak pria!" bisik Ron pada Lilian dengan wajah cemberut.
"Mana mungkin aku mengenakan gaun biasa saat aku harus menemani Tuan Malveron? Aku bisa membuatmu malu nanti!" tukas Lilian.
Pasangan kekasih itu tertawa kecil di tengah-tengah acara tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengawasi mereka dari kejauhan dengan membawa senjata api.
"Maaf, aku membutuhkan uang! Aku hanya akan menghadiahkan luka kecil untukmu!" batin Ren sembari menatap Ron dengan intens.
Pria itu bergegas mencari tempat yang pas untuk bersembunyi sebelum membidik Ron. Ren juga terus mengamati situasi dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya.
"Sayang, dasimu—"
Dor!
Suara tembakan kencang mengarah tepat menuju Ron yang tengah berdiri di keramaian, namun sayangnya peluru yang meluncur justru mengenai orang yang salah.Niat hati Ren hanya ingin melukai lengan Ron, namun disaat Ren menarik pelatuk, tiba-tiba Lilian menutupi tubuh Ron untuk membetulkan dasi hingga akhirnya tembakan yang seharusnya mengenai Ron justru menembus kulit Lilian.
Tepat setelah suara tembakan itu menggema di tempat acara yang dihadiri sang kakak, Rin tiba-tiba terbangun mendadak dari tidurnya.
Gadis itu duduk di ruang tamu kecilnya dengan maksud menunggu kepulangan Ren hingga ia tak sadar tertidur dengan posisi duduk di lantai yang dingin.
"Apa aku ketiduran?" racau Rin dengan wajah linglung.
Gadis itu melirik ke arah dinding dan menatap jam bulat yang tertempel di sana. Waktu pun masih menunjukkan pukul sepuluh malam.
Rin mengintip keluar jendela dan memeriksa ponselnya berkali-kali, berharap Ren akan memberikan kabar padanya.
"Kakak bilang tidak perlu menunggu. Lebih baik aku tidur saja," gumam Rin memutuskan untuk beristirahat meskipun sebenarnya hatinya tengah dilanda kegelisahan.
Sementara di luar sana, Ren tengah sibuk melarikan diri dari kejaran orang-orang suruhan Malveron yang langsung memburunya begitu pria itu mendapati calon istri kesayangannya bersimbah darah karena ulah Ren.
"Sial! Kenapa bisa meleset?!" gerutu Ren sebal.
Pria itu terus menggerutu kesal mengingat dirinya tak mungkin mendapatkan uang karena tak berhasil melukai target.
Ren pun sibuk melarikan diri hingga pagi menjelang dan mencari tempat bersembunyi yang jauh dari Rin agar adik kesayangannya itu tak ikut menjadi incaran Malveron.
"Sudah pagi?" racau Rin menggeliat di ranjang dengan mata penuh belek.
Gadis itu segera bangkit dari ranjang dan memeriksa setiap ruangan di rumah kecil yang ditinggalinya, namun ia tak menemukan sosok Ren di sana.
"Kenapa Kakak belum pulang?" gumam Rin cemas.
Gadis itu meraih ponsel miliknya yang sengaja ia matikan dan memikirkan matang-matang sebelum menghidupkan alat komunikasi itu.
"Kakak bilang aku tidak boleh menghidupkan ponsel sebelum Kakak pulang. Kakak pasti akan baik-baik saja, kan?" gumam Rin lekas panik memikirkan nasib Ren yang tak pulang selama semalaman penuh.
"Tidak apa-apa, Rin! Jangan berpikir yang aneh-aneh! Kakak pasti baik-baik saja! Saat kau pulang kuliah nanti, Kakak pasti sudah ada di rumah!" oceh gadis itu mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang bersarang di otaknya.
Rin meninggalkan rumah kecilnya dengan langkah berat tanpa ingin memusingkan kepulangan sang kakak. Gadis itu menjalani hari di kampusnya dengan gelisah tanpa bisa fokus memperhatikan kelas.
Rin terus memeriksa arloji kecil yang melingkar di tangannya dan ingin cepat-cepat kembali ke rumah untuk memeriksa kepulangan sang kakak.
"Ren pasti sudah pulang! Ren pasti sudah pulang! Ren pasti sudah pulang!" gumam Rin dengan mulut terus berkomat-kamit selama perjalanannya menuju rumah yang ia tinggali bersama sang kakak.
Gadis itu membuka pintu dengan antusias, namun sayangnya ia kembali mendapati ruangan yang kosong tanpa sosok Ren di dalamnya.
Rin terduduk lemas di depan pintu rumahnya dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu mengingat kembali perkataan sang kakak yang selalu berpesan pada Rin agar tidak mencarinya jika suatu hari nanti Ren tidak pulang ke rumah.
"Kenapa aku tidak boleh mencarimu? Sudah seharian aku tidak melihat wajahmu! Kau tidak mati, kan? Kau baik-baik saja, kan?" racau Rin dengan tangis sesenggukan.
Hari pun berlalu begitu cepatnya menuju penghujung bulan. Siang dan malam Rin terus menatap nanar ke arah jendela, berharap kakaknya akan segera pulang ke rumah mungil mereka.
Sudah dua hari lamanya Ren tak kunjung kembali dan Rin pun tak tahu harus mencari Ren kemana.
Gadis itu masih menuruti permintaan Ren untuk mematikan ponsel dan tidak mencoba menghubungi Ren dengan cara apapun.
"Aku tidak peduli lagi dengan kuliah. Aku juga tidak masalah jika harus menjual ginjal untuk mengganti rugi peralatan laboratorium. Aku hanya ingin kakak cepat kembali. Aku tidak ingin sendirian di sini," gumam Rin mulai putus asa.
Air mata kembali mengucur deras membasahi pipi Rin di tengah kesendiriannya saat ini. Meskipun baru dua hari sang kakak tidak pulang, namun kesepian yang melanda Rin nampak terasa seperti dua tahun lamanya.
Gadis itu terus menangisi Ren bak anak kecil yang tak ingin ditinggal pergi oleh orangtuanya.
Tok, tok!
Tangisan pilu gadis itu pun terhenti begitu ia mendengar suara ketukan pintu.Rin langsung berlari dengan semangat menuju pintu, berharap suara ketukan pintu itu berasal dari sang kakak yang tengah ia tunggu.
"Kakak!" pekik Rin seraya membuka pintu kayu yang terpasang di dinding rumahnya.
Namun, bukannya mendapati sosok sang kakak, gadis itu justru disambut oleh puluhan preman berwajah seram yang mengenakan pakaian serba hitam.
Hanya dalam hitungan detik, gadis itu pun dapat dilumpuhkan dengan mudah menggunakan obat bius yang dibawa oleh kumpulan preman itu.
"Hanya ada satu gadis di dalam rumah itu, Bos! Sudah dapat dipastikan kalau gadis itu adalah keluarga dari pelaku," ujar seorang pria berbadan kekar memberikan laporan pada bos mereka yang ternyata ialah Malveron!
"Bawa gadis itu!" titah Ron tanpa banyak basa-basi.
Pria itu melirik sekilas ke arah gadis yang dibopong oleh bawahannya dan merasa nampak familiar dengan wajah Rin. "Tunggu dulu!" cegah Ron sembari melangkah mendekat untuk melihat wajah Rin dengan seksama.
"Bukankah ini gadis penghancur laboratorium yang kutemui di kampus beberapa hari yang lalu?" batin Ron cukup terkejut saat melihat sosok gadis yang diculiknya merupakan gadis yang ia kenal tanpa sengaja beberapa hari lalu di kampus yang ia datangi.
****
Rin membuka mata perlahan saat dirinya merasakan percikan air yang membasahi wajahnya.Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang nampak asing dengan wajah linglung."Gadis ini sudah bangun, Bos!" pekik seorang pria bertubuh kekar hingga membuat Rin tersentak kaget.Seorang pria berjalan mendekat ke arah Rin dan menatap nanar ke arah gadis yang pernah ditemuinya itu.Sama seperti Ron yang masih tak menyangka saat bertemu kembali dengan Rin, gadis itu pun ikut menampakkan wajah bingung sekaligus terkejut saat dirinya bertemu pandang dengan sosok pria yang dijumpainya beberapa hari yang lalu di kampus.Rin mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, namun sayangnya gadis itu sudah terlilit dengan tali yang membuat Rin tak dapat bergerak bebas."Aku melihatmu sebelumnya di kampus! Kau ... Malveron? Bisa kau berikan penjelasan yang masuk akal atas tindakanmu padaku?" ketus Rin sembari melotot ke arah pria berwajah dingin itu."Penjelasan? Kau berani menuntut penjelasan dariku
"K-kau benar-benar akan melukai gadis kecil yang tidak bersalah? Aku tidak mengenalmu! Aku tidak tahu apapun tentangmu! Aku tidak ada hubungannya sama sekali!" pekik Rin dengan tangis yang sudah pecah, memenuhi seluruh ruangan tempatnya disekap."Kalau begitu apa salah Lilian? Apa salah calon istriku? Calon istriku juga tidak memiliki kesalahan apapun pada kakakmu! Calon istriku juga tidak mengenal kakakmu! Tapi kenapa kakakmu seenaknya mengarah pistol padanya?!" amuk Ron dengan teriakan kencang yang begitu memekakkan telinga.Ruangan itu kini dipenuhi dengan jeritan serta tangisan antara Rin dan juga Ron. Kedua orang itu sama-sama frustasi menghadapi keadaan yang membuat mereka terjepit dalam situasi membingungkan."Kau hanya butuh objek untuk disalahkan! Iya, kan? Kau hanya butuh pelampiasan, kan? Kau pikir aku mau menjadi pelampiasan kemarahanmu yang tidak jelas?" pekik Rin memberanikan diri meninggikan suara di hadapan Ron."Diam atau aku akan benar-benar mencabik-cabik isi perutm
Cklek!Hari sudah larut. Ron membuka pintu perlahan, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kecil tempat ia mengurung Rin.Tak tega melihat Rin yang terus diikat sepanjang hari, Ron pun berbaik hati melepas ikatan tali yang membelit tangan serta kaki Rin dengan kencang.Pria itu menatap sejenak mata bengkak Rin, kemudian mengusap lembut pipi Rin yang masih basah.Ron mengangkat tubuh mungil Rin dan memindahkan gadis itu menuju salah satu kamar kosong yang berada dalam rumahnya.Rin yang sudah lemas karena kelelahan menangis dan kelaparan, tak terbangun sedetikpun saat dirinya dipindahkan oleh Ron ruangan lain."Kenapa harus kau?" gumam Ron mulai berbelas kasih pada gadis kecil yang sudah menjadi pelampiasan amarahnya itu.Pria itu mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Rin di kampus beberapa hari yang lalu saat terjadi keributan di laboratorium universitas."Kau sudah menyelesaikan masalah laboratorium? Atau kau membiarkan dirimu menjadi kambing hitam?" gumam Ron lag
Pagi hari, Ron sudah berdiri di depan pintu kamar Rin dengan membawa nampan berisi penuh makanan.Pria itu mematung sejenak di depan kamar, tanpa langsung membuka pintu ruangan yang ditempati oleh tawanannya itu."Kenapa aku harus repot merawat gadis itu?" gerutu Ron sembari menatap sinis piring makanan yang dibawanya.Setelah mengalami perang batin beberapa saat, akhirnya Ron membuka kamar tempat Rin beristirahat. Pandangan mata pria itu langsung tertuju pada tubuh mungil Rin yang terlentang di atas ranjang."Wajahnya pucat sekali," gumam Ron makin tak tega melihat bibir Rin yang sudah pucat pasi."Hei! Bangun!" Ron mencolek bahu Rin dan mencoba mengguncang-guncangkan tubuh gadis kecil itu perlahan untuk membangunkannya.Beberapa kali Ron mencoba mengguncangkan tubuh Rin, namun sayangnya gadis itu tak menunjukkan pergerakan sekecil apapun.Ron terus mengoceh untuk membangunkan gadis berwajah pucat itu, tapi Rin tak memberikan sahutan maupun respon apapun."Hei, kau baik-baik saja, ka
Ron duduk termenung di ruang kerjanya sembari menatap berkas-berkas di mejanya dengan wajah malas. Pria itu masih tak bersemangat melakukan rutinitas, setelah sibuk mengurus pemakaman calon istrinya yang baru saja berlangsung beberapa hari yang lalu.Tok, tok!Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan pria hampir menginjak usia kepala tiga itu.Ron melirik ke arah pintu dengan malas, begitu ia melihat sosok sang asisten dari balik pintu."Bos, hari ini ada—""Tolak!" potong Ron cepat, sebelum asistennya menyelesaikan kalimatnya.Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis Han, asisten dari Ron. Pria itu menghela nafas sejenak, sebelum ia kembali membuka mulut untuk memberikan laporan berikutnya."Proyek dari—""Tolak!"Glek! Han menelan ludah kasar begitu perkataan kembali dipotong oleh sang majikan."Perkebunan dari keluarga—""Bakar saja!" tukas Ron sembari melirik ke arah Han dengan mata melotot yang menyeramkan."Apa salah dan dosaku, Tuhan!" batin Han merinding ketakutan
"Ceburkan saja aku!" tantang Rin pada Ron.Ron sontak melotot ke arah Rin dan beradu pandang dengan gadis yang tengah tergantung di tiang jembatan itu."Aku juga sudah bosan hidup! Ceburkan saja aku!" ujar Rin tanpa rasa takut."Kau yakin? Air di bawah sana bisa membuatmu membeku dan kehabisan nafas. Kau ingin mencobanya?" sergah Ron, kemudian mengendurkan tali yang mengikat Rin hingga membuat gadis itu turun beberapa centi dari tempat dirinya digantung."Aakkhh!" Gadis itu sontak memekik kencang saat dirinya hampir terjun bebas ke bawah jembatan."Masih ingin mencobanya?" ledek Ron sembari menampakkan tawa jahatnya di depan Rin."Dasar pengecut! Kau sebut dirimu pria, hah?! Lebih baik kau ganti saja pakaianmu dengan rok sana! Beraninya menindas gadis kecil yang lemah!" gerutu Rin tak merasa takut pada Ron meskipun hidupnya sudah terancam."Pengecut kau bilang?"Ron yang sudah terlahap oleh amarah, tanpa sadar menjatuhkan Rin ke dalam sungai besar di bawah jembatan begitu saja tanpa s
Ron berlari secepat mungkin menuju jalan raya dan menarik tubuh Rin untuk menepi."Kau ini sudah gila, ya?" sentak Ron pada gadis kecil yang hampir saja bunuh diri itu."Aku hanya mengabulkan keinginanmu! Ini yang kau mau, kan?" sungut Rin tanpa takut."Tundukkan pandangan matamu! Berani sekali kau melotot padaku! Kau tidak tahu siapa aku?" sentak Ron hampir saja mencolok manik mata bening milik Rin yang menatapnya tanpa berkedip."Memangnya kau siapa?" cibir Rin dengan nada meremehkan."Aku adalah -@$#_@&!"Perkataan Ron menjadi terdengar tidak jelas karena tiba-tiba sebuah truk besar dengan suara bising melintas di dekat mereka."Apa? Aku apa?" tanya Rin lagi."Aku seorang 1?@€"Ucapan Ron kembali terdengar samar-samar karena mendadak sebuah bus besar membunyikan klakson yang bersuara nyaring."Kau ini berbicara apa sebenarnya?" tukas Rin mulai lelah berdebat dengan Ron."Sial! Aku hanya Ingin mengatakan kalau aku &@_?7%√¢!"Kesabaran Ron hampir habis karena ucapannya selalu saja t
"Sudah berapa hari kau bekerja di sini? Bisakah kau bawa aku keluar dari sini? Bisa kau beritahu aku pintu keluar yang biasa digunakan pelayan?" cecar Rin.Mungkin dengan adanya Linda, Rin bisa kabur dengan mudah dari cengkeraman Ron. Terlebih lagi, saat ini Rin sudah tidak dikurung dan dapat berkeliaran dengan bebas di area rumah Ron."Pintu keluar ada di belakang, di dekat dapur. Pelayan biasa keluar masuk lewat pintu itu," tukas Linda santai."Terima kasih!"Rin langsung berlari menuju dapur yang dimaksud oleh Linda. Senyum gadis itu mulai mengembang begitu Rin berhasil menemukan dapur yang memiliki pintu kecil menuju halaman belakang kediaman Ron.Rin membuka pintu kecil itu dengan penuh suka cita tanpa menduga ada seorang pria yang berdiri tepat di gerbang halaman belakang dan melambaikan tangan dengan ekspresi wajah mengejek pada Rin.Siapa lagi pria yang berdiri di depan pintu gerbang itu jika bukan sang pemilik rumah, Malveron.'Sial! Kenapa pria itu ada di sana?' jerit Rin da
"Kami sudah mencari gadis yang ada di foto itu, tapi kami tidak menemukan satu pun gadis yang mirip, Bos!" ujar anak buah kiriman Han pada Han yang tengah menunggu kabar.Pria yang tadinya yakin dapat menculik Rin itu, justru harus dibuat kesal, karena target yang ia kejar ternyata berhasil melarikan diri sebelum ia mulai mengejar. "Apa aku tidak salah dengar? Memangnya ada perubahan jadwal penerbangan? Atau mereka menggunakan maskapai lain?" tanya Han bingung.Han berhasil dibuat kesal karena rencananya yang gagal total. Para anak buahnya nampak sibuk mencari keberadaan Rin, disaat Rin dan Ron telah lama meninggalkan bandara dan menuju ke tempat yang tidak diketahui oleh Han."CARI LAGI SAMPAI KETEMU! Aku yakin mereka ada di dalam pesawat!" titah Han.Pria itu langsung membanting ponsel dan mengamuk di dalam mobil begitu target yang ia kejar ternyata dapat meloloskan diri dengan mudah."Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa Rin dan Ron bisa menghilang?" gumam Han dibuat bingung.Seme
“Sudah siap?” tanya Ron pada Rin yang tengah menyeret koper keluar dari kamarnya. Setelah berminggu-minggu tinggal bersama Ron di Roma, Rin mulai terbiasa dan mulai tak rela meninggalkan kota tempatnya berlibur itu.“Aku sudah siap!” cetus Rin dengan wajah lesu.Ron menangkap dengan jelas wajah muram Rin, kemudian mengacak gemas rambut panjang gadis cantik itu. “Aku akan mengajakmu kembali lagi kemari nanti. Aku janji!” hibur Ron pada Rin yang terlihat jelas sekali, tidak rela meninggalkan tempat liburan mereka.“Siapa juga yang ingin kembali kemari bersamamu? Aku bisa kembali ke sini sendiri,” timpal Rin sinis.“Memangnya kau punya uang?” cibir Ron begitu menohok pada gadis miskin yang memang tidak memiliki banyak uang itu.Ron merebut koper yang diseret oleh Rin, dan mengajak gadis itu pergi meninggalkan rumah yang mereka tempati. Bersama dengan taksi yang mereka tumpangi, Ron dan Rin memulai perjalanan mereka untuk pulang ke negara asal. Kedua orang itu pulang dengan wajah tenang,
“Tempat apa ini?” gumam Rin begitu ia dan Ron tiba di sebuah taman kecil yang berada di pusat kota. Ron tidak berencana melakukan banyak hal untuk hari terakhir liburannya bersama dengan Rin. Pria itu hanya ingin mengajak Rin menikmati kencan ringan dengan bersepeda dan berolahraga bersama di taman.“Kuburan!” celetuk Ron dongkol mendengar pertanyaan tidak penting dari Rin.“Ah, kau berencana untuk menguburku hidup-hidup di sini?” sergah Rin dengan wajah masam.“Benar! Aku akan menggali makam untukmu!” tukas Ron sembari menyeret Rin untuk berlari bersama dengan dirinya mengelilingi taman kecil itu. Ron mengambil sepeda yang disewakan di taman, sementara Rin harus berlari dengan susah payah mengejar Ron, karena Ron tidak begitu tega menaiki sepeda seorang diri, tanpa mengajaknya.“Ron, aku juga ingin sepeda!” rengek Rin sembari menyeka keringat yang bercucuran di dahiny.“Kejar aku dulu kalau bisa! Kau terlalu kurus dan lembek, Rin! Sebaiknya kau lebih rajin berolahraga!” cibir Ron den
Ren nampak tengah berguling-guling di ranjang hotel dengan santainya tanpa melakukan banyak hal. Pria itu masih diperlakukan seperti raja untuk sementara waktu, sampai Ren tidak akan lagi berguna. Ren masih belum memikirkan rencana lain untuk ke depannya. Pikiran pria itu masih dipenuhi dengan kecemasan mengenai Rin yang kini masih berada di luar negeri bersama Ron.“Apa sebaiknya aku menghubungi Rin saja? Mereka masih akan menargetkan Rin atau tidak, ya?” gumam Ren tenggelam dalam pikiranya sendiri dan membuat pria itu tak dapat tidur nyenyak.Akhirnya, Ren pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel sejenak sembari mengirup udara segar. “Rin pasti juga sedang menginap di hotel mewah sekarang, kan? Bukan aku saja yang tengah menikmati ranjang empuk di sini, kan?” oceh Ren sedikit merasa bersalah pada adiknya yang entah sekarang dapat beristirahat dengan nyenyak atau tidak.Pria itu berjalan di lorong hotel dengan langkah gontai dan tanpa sengaja berpapasan dengan salah seora
"Sebelum kita pulang ... bagaimana kalau kita pergi berlibur bersama? Berkeliling kota untuk yang terakhir mungkin?" ajak Ron ragu-ragu pada Rin.Ron sudah membulatkan tekad akan pulang ke negara asal bersama dengan Rin. Pria itu sudah tak ingin lagi melarikan diri dari teror, dan akan berusaha menangkap dalang dari peneroran yang dialaminya selama ini."Berlibur?" tanya Rin dengan dahi berkerut."Em, anggap saja ini sebagai ... kenang-kenangan perjalanan pertama kita. Kita tidak bisa mengunjungi banyak tempat karena kau masih diganggu oleh peneror itu, kan?" cetus Ron. "Sekarang kau sudah tidak lagi diganggu oleh orang itu. Kau bisa menikmati waktu liburan kita sejenak dengan nyaman."Setidaknya Ron ingin memberikan kenangan yang berkesan bagi Rin di liburan pertama gadis itu di luar negeri. Ron juga ingin menjadi bagian dari ingatan yang menyenangkan bagi Rin selama mereka bisa menghabiskan waktu untuk bersama."Kapan kita akan pulang?" tanya Rin mengalihkan pembicaraan."Lusa mungk
"Akhir-akhir ini kau terus melamun," tegur Ron pada Rin yang tengah duduk termenung seorang diri di bangku halaman rumah.Rin sontak menyadarkan diri dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Ron yang tengah memegang dua kaleng soda. "Minumlah! Kau sepertinya perlu menyegarkan pikiran," cetus Ron.Rin mengulas senyum tipis, kemudian menyambut minuman dingin yang diberikan oleh Ron. "Terima kasih!" ucap Rin."Apalagi yang kau cemaskan? Ada yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Ron menemani Rin berbincang di malam yang dingin itu.Rin meneguk minuman kaleng soda itu, kemudian mulai membuka suara. "Aku hanya merasa aneh saja. Pria itu tidak lagi menghubungiku. Dia tidak lagi membahas mengenai mengenai Ren dan informasi yang dia inginkan darimu. Aku takut ... terjadi sesuatu pada Ren," terang Rin dengan perasaan kalut."Ren sudah menghubungimu kemarin, kan? Dia baik-baik saja, kan?" tukas Ron."Memang benar kalau Ren baik-baik saja," ujar Rin. "Tapi tetap saja ... aku takut ada sesuatu yang t
Di sebuah kamar hotel mewah, nampak seorang pria dengan kaos polos tengah duduk di ranjang besar sembari menatap sendu sebuah foto yang terpampang di layar ponsel.Pria itu mengusap lembut layar ponselnya, menatap sesosok gadis cantik yang tersenyum manis, yang tak lain ialah Rin.Ya, pria itu adalah Ren, kakak dari Rin. Sesuai dengan dugaan Ron, Ren yang tadinya seorang tawanan dan tinggal di sebuah gudang, kini beralih mendapatkan perhatian istimewa dari pria misterius yang menawan dirinya.Selaras dengan perkiraan Ron, Ren memang menyimpan banyak rahasia besar dari klien-klien berbahaya yang menggunakan jasanya sebelumnya.Tok, tok! Waktu bersantai pria itu pun tak berlangsung lama, karena gangguan yang tiba-tiba muncul. Seorang pria bertopeng masuk ke dalam kamar Ren dan menyapa pria itu dengan sopan."Kau menyukai kamar barumu? Setelah tidur di gudang, tentu tidurmu bisa kembali nyenyak di sini, kan?" cetus seorang pria bertopeng yang menawan Ren.Tak lagi tidur di gudang, kini p
"Sial! Aku tidak bisa mendengar apa pun!" gerutu Ron yang kini tengah berdiri di depan pintu kamar Rin, sembari menempelkan telinganya ke pintu untuk mencuri dengar pembicaraan Rin dengan sang kakak.Pria yang masih berselimutkan handuk itu tengah berusaha keras "menguping" dengan konsentrasi penuh, tapi sayangnya Ron tak dapat mendengar informasi apa pun dari pembicaraan Rin di telepon."Awas saja kalau kau merencanakan hal yang tidak-tidak dengan pria brengsek itu!" oceh Ron sembari meremas handuk yang melilit tubuhnya.Cklek! Tiba-tiba Rin membuka kunci pintu kamar disaat Ron masih berdiri di depan kamar Rin. Pria itu langsung kalang kabut melarikan diri sebelum Rin membuka pintu kamar dan melihat dirinya."Dari mana Ren tahu kalau aku dan Ron cukup dekat? Pria itu juga tahu kalau aku dan Ron memiliki sesuatu," gumam Rin bingung. "Apa mereka mengawasiku dan Ron dari jauh? Atau ada orang dalam yang menjadi mata-mata dan memberikan informasi pada pria itu?" oceh Rin.Rin berjalan men
Tring! Hari damai Rin pun kembali terusik oleh panggilan telepon dari pria yang mengancamnya. Usai memberikan informasi mengenai Ron padanya, Rin langsung dihubungi oleh pria misterius yang mencoba memperalat dirinya menggunakan Ren sebagai tawanan."Nomor tidak dikenal. Pasti ini dari orang itu," gumam Rin kemudian berlari mencari Ron sebelum mengangkat panggilan telepon."Ron? Kau di dalam? Boleh aku masuk?" Rin menggedor-gedor pintu kamar Ron, tapi sayangnya tak ada jawaban terdengar dari kamar Ron."Apa Ron tidak ada di kamar? Atau dia sedang tidur?" gumam Rin menerka-nerka.Rin menarik gagang pintu kamar Ron, dan memaksa masuk ke dalam ruangan pribadi pria dingin itu. "Ron? Kau di dalam?" Terdengar suara gemericik air yang menandakan kalau Ron tengah berada di kamar mandi. Rin pun segera melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintu kamar kecil itu."Ron, kau di dalam, kan? Ada telepon penting yang masuk! Aku membutuhkanmu!" pekik Rin di luar kamar mandi.Ron mengusap wajahnya