Share

4. Ganti rugi

Penulis: KINOSANN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Rin berdiri tepat di depan gerbang kayu kecil yang sudah lapuk dan hampir lepas dari pagar kecil yang mengelilinginya.

Gadis itu kini tengah berada di depan rumah petugas kebersihan penghancur laboratorium dan bersiap untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku sebenarnya itu.

Namun saat melihat kondisi rumah yang mengenaskan, gadis itu pun mulai ragu dan tidak tega menghampiri wanita itu untuk meminta uang ganti rugi atas kecerobohan petugas kebersihan itu.

"Bagaimana aku bisa menagih uang darinya?" gumam Rin frustasi.

"Wanita itu pasti juga tidak punya uang sebanyak itu untuk mengganti rugi peralatan laboratorium," oceh Rin justru merasa tak enak hati, padahal dirinya sudah menjadi pihak yang dirugikan.

Prang!

Tiba-tiba terdengar suara kencang dari dalam rumah dan pintu bangunan kecil itu mendadak terbuka lebar.

Rin langsung berlari kocar-kacir mencari tempat sembunyi dan mengamati rumah itu dari balik semak-semak.

"Kau tidak punya uang, hah? Kalau tidak punya uang, jangan pulang!" cecar seorang pria paruh baya dengan tangan menjambak rambut panjang wanita petugas kebersihan yang dibuntuti oleh Rin.

"Apa-apaan ini? Kekerasan dalam rumah tangga?" jerit Rin terkejut bukan main melihat pemandangan mencengangkan yang disuguhkan di depan matanya.

"Bisakah kau tidak berhutang terus-terusan? Aku sudah tidak punya banyak uang!" sentak wanita itu pada pria paruh baya yang menarik rambut panjangnya.

Plak!

Wanita itu justru dihadiahi tamparan keras di pipi hingga sudut bibir petugas kebersihan itu mengeluarkan darah segar.

"Dasar pria brengsek! Kenapa wanita itu hanya diam saja?! Jambak saja balik!" geram Rin kesal.

Beberapa orang yang berlalu-lalang melewati rumah kecil itu pun nampak tak peduli dengan nasib wanita yang mendapatkan penganiayaan itu.

"Kenapa dengan orang-orang di sini? Apa mereka buta?" gerutu Rin ikut geram melihat para tetangga yang nampak masa bodoh dan tidak berniat membantu wanita malang yang dihajar habis-habisan oleh pria penghuni rumah kecil itu.

Rin pun memberanikan diri mendekat ke arah pria paruh baya itu dan melayangkan bogem mentah tepat ke hidung pria brengsek yang menyiksa wanita itu.

Bugh!

Begitu satu pukulan mendarat di wajah pria tua itu, Rin segera menarik tangan wanita petugas kebersihan itu dan membawanya pergi menjauh dari pria gila yang hampir mengamuk pada mereka.

"Ayo, cepat lari!" ujar Rin seraya menarik tangan wanita bernama Linda itu.

"Kita sembunyi di sana saja!" cetus Rin lagi sembari berlari menuju gang-gang sempit untuk bersembunyi.

"Kau siapa?" tanya Linda di sela-sela pelarian mereka.

"Nanti saja bicaranya! Kau ingin naik taksi atau bus?" tanya Rin panik.

"Memangnya kita akan kemana?"

"Kemana saja yang penting kau harus menjauh dari pria gila itu!" sergah Rin kemudian menghentikan taksi yang kebetulan lewat dan segera menarik masuk tangan Linda ke dalam kendaraan roda empat itu.

"Fiuh!" Rin mengusap keringat yang bercucuran di dahinya dengan nafas lega.

"Kita akan kemana?" tanya Linda masih kebingungan dengan kemunculan Rin secara tiba-tiba.

Gadis itu sudah tak lagi memusingkan masalah ganti rugi peralatan laboratorium. Melihat keadaan Linda yang babak belur, tentu membuat hati nurani Rin terguncang dan tak ingin menambah beban kesulitan Linda.

"K-kebetulan aku lewat rumahmu tadi. Melihat kau dianiaya seperti itu, mana mungkin aku diam saja?" tukas Rin tak ingin lagi membahas mengenai laboratorium.

Gadis itu sudah ikhlas dan rela dijadikan kambing hitam dengan niat membantu meringankan beban wanita malang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

"Kau tidak tinggal di daerah pemukimanku, kan? Semua orang sudah tahu dengan tabiat ayahku. Hal seperti ini sudah sering terjadi," ujar Linda.

"Maksudmu? Sudah menjadi hal yang wajar jika semua orang mengabaikanmu saat kau dipukuli seperti tadi?" tanya Rin tercengang bukan main.

"Berhenti, Pak!" ucap Linda pada supir taksi yang mengemudikan kendaraan.

"Terima kasih sudah menolongku hari ini. Tapi lain kali kau tidak perlu ikut campur dalam urusan keluargaku. Aku tidak ingin kau ikut terkena masalah karena ayahku," cetus Linda kemudian membayarkan ongkos taksi dan meninggalkan Rin di dalam kendaraan itu.

"Cih, apa-apaan ini? Aku memang sudah terkena getah karena perbuatannya di kampus!" gerutu Rin agak tersinggung karena kebaikan hatinya tak mendapatkan sambutan baik oleh si penerima bantuan.

"Kau tidak tahu saja apa yang sudah kulalui karena ulahmu! Dasar wanita tidak tahu terima kasih!" gerutu Rin mengamuk seorang diri di dalam taksi.

Gadis itu pun turun dari kendaraan roda empat itu dan duduk termenung di sebuah taman yang ramai dengan pengunjung.

Rin menatap dedaunan yang gugur dari pohon dengan pandangan kosong, hingga lamunannya akhirnya buyar karena kedatangan Ren.

"Aku mencarimu kemana-mana, bodoh! Sudah kubilang setelah kelas berakhir kau harus langsung menghubungiku dan menungguku sampai aku datang menjemput! Kenapa kau malah—"

Omelan Ren terhenti seketika begitu ia melihat manik mata adik kesayangannya yang memerah karena membendung air mata.

"Kau kenapa?" tanya Ren sembari mengusap bulir bening yang jatuh membasahi pipi Rin.

Gadis itu menatap nanar ke arah sang kakak dan langsung berhambur ke pelukan Ren dengan tangis sesenggukan.

"Aku sedang sial hari ini! Biarkan aku menangis sebentar," oceh Rin disertai isak tangis.

"Hei, ada apa? Kau mendapat masalah di kampus? Kau tidak terluka, kan?" tanya Ren seraya meraba tubuh sang adik untuk memeriksa luka.

"Bukan tubuhku yang terluka, tapi hatiku!" rengek Rin mendramatisir.

"Kenapa? Kau ditolak pria? Kau pikir ini waktunya untuk berkencan?! Kau seharusnya fokus—"

"Aku akan mengatakannya, tapi kau tidak boleh marah!" potong Rin cepat.

"Kalau begitu tidak perlu dikatakan. Kau simpan saja sendiri! Aku tidak ingin membuang tenagaku untuk memarahi gadis nakal sepertimu!" cibir Ren.

"Aku serius! Kau tidak ingin tahu apa yang terjadi pada adikmu? Masa depanku dipertaruhkan di sini!" sungut Rin.

"Apa yang terjadi? Kau benar-benar mendapat masalah di kampus?" tanya Ren malas menebak-nebak kesialan yang mungkin terjadi pada sang adik.

"Kau harus janji, kau tidak boleh marah!" tukas Rin seraya mengeratkan pelukannya pada sang kakak.

"Katakan dulu—"

"Aku tidak akan melepaskan pelukanku!"

Ren hanya bisa pasrah tanpa ingin melanjutkan perdebatan kecilnya dengan sang adik. "Katakan saja! Aku tidak akan marah! Jika kau tidak juga mengatakannya, aku akan melemparmu ke sungai sekarang juga!" omel Ren.

Rin mengatur nafas perlahan dan mencoba merangkai kata yang pas untuk diucapkan pada sang kakak. Dengan jantung yang berdegup kencang, gadis itu mulai bersuara dengan mata tertutup rapat.

"Kakak, apa kau bisa menjual ginjalku? Apa satu ginjal bisa laku sampai lima ratus juta? Aku butuh uang lima ratus juta secepatnya!" rengek Rin dengan wajah muram.

"Apa? Lima ratus juta? Untuk apa?" tanya Ren dengan dahi berkerut.

Gadis itu melepaskan pelukannya pada Ren perlahan dan kembali duduk di bangku kayu yang terletak tak jauh darinya. Rin menceritakan hal yang terjadi di kampus mengenai dirinya yang dituduh merusak peralatan laboratorium hingga ia berhasil menemukan pelaku sebenarnya, namun, akhirnya Rin memutuskan untuk menanggung semua ganti rugi fasilitas kampus.

"Kalau kau tidak punya uang, untuk apa sok menjadi pahlawan?" cibir Ren.

"Wanita itu babak belur dipukuli ayahnya dan dia juga hanya seorang petugas kebersihan di kampus. Kalau pihak kampus sampai tahu, dia pasti akan kehilangan pekerjaannya dan masih harus mengganti rugi," ujar Rin.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa sanksi yang akan kau dapatkan?"

"Minggu depan sudah ujian semester. Jika aku tidak mengganti rugi peralatan laboratorium ... aku tidak diperbolehkan mengikuti ujian," ungkap Rin.

Ren hanya bisa tertawa kecil tanpa bisa berkata-kata menanggapi cerita sang adik. Pria itu cukup terkesan dengan kebaikan adiknya, namun sayangnya Ren juga harus terkena getah dengan ikut mencarikan dana untuk menyelamatkan pendidikan sang adik.

"Dasar bodoh!" omel Ren seraya menjitak kepala Rin dengan kesal.

"Kakak punya uang?"

"Mana mungkin aku punya uang sebanyak itu?" sanggah Ren dongkol.

"Hanya putus kuliah saja bukan hal yang terlalu berat. Aku masih sangat beruntung karena aku memiliki kakak yang merawatku dengan baik. Aku masih jauh lebih beruntung daripada wanita petugas kebersihan yang selalu disiksa oleh ayahnya itu,"

"Putus kuliah? Setelah aku bersusah payah merawatmu dan memberikan pendidikan yang terbaik untukmu, kau ingin putus kuliah begitu saja?" sungut Ren.

"Aku tidak ingin menyusahkan Kakak lebih jauh lagi! Maaf kalau aku bodoh dan sudah mengecewakanmu!" ucap Rin penuh sesal.

"Jangan berbicara sembarangan! Aku bekerja keras agar kau tidak terus menerus hidup menderita bersamaku! Nasibmu harus jauh lebih baik dariku!" sergah Ren.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan soal uang! Aku akan mencarikannya untukmu!" imbuhnya.

****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fayna Rahma
ren kakak yang bertanggungjawab bgt...
goodnovel comment avatar
Yen Lamour
Suka banget sama sosok ren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • PENJARA HATI MAFIA   5. Gagal

    Ren mengambil wadah berisi senjata api yang disodorkan oleh sang teman dan membuka kotak berwarna gelap itu.Sebuah pistol Glock 20 lengkap dengan peluru masih terbungkus rapi di dalam wadah tersebut dan siap untuk digunakan untuk melubangi kulit."Kau akhirnya mengambil tawaran itu?" tanya teman Ren."Aku butuh uang! Membuatnya cedera saja sudah cukup, kan? Jika aku sampai membunuhnya, mungkin nyawaku akan ikut melayang!" ungkap Ren."Jika mereka memang tidak terlalu menuntut untuk membunuh, kau buat luka ringan saja. Tidak perlu menggunakan pistol!" saran teman Ren."Penggunaan senjata api jauh lebih efektif. Setidaknya mereka tidak akan mempermasalahkan hal ini ke pihak kepolisian karena targetku kebanyakan adalah anggota organisasi illegal. Kalau aku membuat kecelakaan lalu lintas, masyarakat umum bisa terkena dampaknya dan polisi akan ikut campur," tukas Ren."Kau memang tidak akan dikejar polisi, tapi kau akan dikejar mafia! Menurutku lebih mudah menghindari polisi daripada haru

  • PENJARA HATI MAFIA   6. Tahanan

    Rin membuka mata perlahan saat dirinya merasakan percikan air yang membasahi wajahnya.Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang nampak asing dengan wajah linglung."Gadis ini sudah bangun, Bos!" pekik seorang pria bertubuh kekar hingga membuat Rin tersentak kaget.Seorang pria berjalan mendekat ke arah Rin dan menatap nanar ke arah gadis yang pernah ditemuinya itu.Sama seperti Ron yang masih tak menyangka saat bertemu kembali dengan Rin, gadis itu pun ikut menampakkan wajah bingung sekaligus terkejut saat dirinya bertemu pandang dengan sosok pria yang dijumpainya beberapa hari yang lalu di kampus.Rin mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, namun sayangnya gadis itu sudah terlilit dengan tali yang membuat Rin tak dapat bergerak bebas."Aku melihatmu sebelumnya di kampus! Kau ... Malveron? Bisa kau berikan penjelasan yang masuk akal atas tindakanmu padaku?" ketus Rin sembari melotot ke arah pria berwajah dingin itu."Penjelasan? Kau berani menuntut penjelasan dariku

  • PENJARA HATI MAFIA   7. Kandang singa

    "K-kau benar-benar akan melukai gadis kecil yang tidak bersalah? Aku tidak mengenalmu! Aku tidak tahu apapun tentangmu! Aku tidak ada hubungannya sama sekali!" pekik Rin dengan tangis yang sudah pecah, memenuhi seluruh ruangan tempatnya disekap."Kalau begitu apa salah Lilian? Apa salah calon istriku? Calon istriku juga tidak memiliki kesalahan apapun pada kakakmu! Calon istriku juga tidak mengenal kakakmu! Tapi kenapa kakakmu seenaknya mengarah pistol padanya?!" amuk Ron dengan teriakan kencang yang begitu memekakkan telinga.Ruangan itu kini dipenuhi dengan jeritan serta tangisan antara Rin dan juga Ron. Kedua orang itu sama-sama frustasi menghadapi keadaan yang membuat mereka terjepit dalam situasi membingungkan."Kau hanya butuh objek untuk disalahkan! Iya, kan? Kau hanya butuh pelampiasan, kan? Kau pikir aku mau menjadi pelampiasan kemarahanmu yang tidak jelas?" pekik Rin memberanikan diri meninggikan suara di hadapan Ron."Diam atau aku akan benar-benar mencabik-cabik isi perutm

  • PENJARA HATI MAFIA   8. Neraka dunia

    Cklek!Hari sudah larut. Ron membuka pintu perlahan, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kecil tempat ia mengurung Rin.Tak tega melihat Rin yang terus diikat sepanjang hari, Ron pun berbaik hati melepas ikatan tali yang membelit tangan serta kaki Rin dengan kencang.Pria itu menatap sejenak mata bengkak Rin, kemudian mengusap lembut pipi Rin yang masih basah.Ron mengangkat tubuh mungil Rin dan memindahkan gadis itu menuju salah satu kamar kosong yang berada dalam rumahnya.Rin yang sudah lemas karena kelelahan menangis dan kelaparan, tak terbangun sedetikpun saat dirinya dipindahkan oleh Ron ruangan lain."Kenapa harus kau?" gumam Ron mulai berbelas kasih pada gadis kecil yang sudah menjadi pelampiasan amarahnya itu.Pria itu mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Rin di kampus beberapa hari yang lalu saat terjadi keributan di laboratorium universitas."Kau sudah menyelesaikan masalah laboratorium? Atau kau membiarkan dirimu menjadi kambing hitam?" gumam Ron lag

  • PENJARA HATI MAFIA   9. Rencana Pelarian

    Pagi hari, Ron sudah berdiri di depan pintu kamar Rin dengan membawa nampan berisi penuh makanan.Pria itu mematung sejenak di depan kamar, tanpa langsung membuka pintu ruangan yang ditempati oleh tawanannya itu."Kenapa aku harus repot merawat gadis itu?" gerutu Ron sembari menatap sinis piring makanan yang dibawanya.Setelah mengalami perang batin beberapa saat, akhirnya Ron membuka kamar tempat Rin beristirahat. Pandangan mata pria itu langsung tertuju pada tubuh mungil Rin yang terlentang di atas ranjang."Wajahnya pucat sekali," gumam Ron makin tak tega melihat bibir Rin yang sudah pucat pasi."Hei! Bangun!" Ron mencolek bahu Rin dan mencoba mengguncang-guncangkan tubuh gadis kecil itu perlahan untuk membangunkannya.Beberapa kali Ron mencoba mengguncangkan tubuh Rin, namun sayangnya gadis itu tak menunjukkan pergerakan sekecil apapun.Ron terus mengoceh untuk membangunkan gadis berwajah pucat itu, tapi Rin tak memberikan sahutan maupun respon apapun."Hei, kau baik-baik saja, ka

  • PENJARA HATI MAFIA   10. Usulan

    Ron duduk termenung di ruang kerjanya sembari menatap berkas-berkas di mejanya dengan wajah malas. Pria itu masih tak bersemangat melakukan rutinitas, setelah sibuk mengurus pemakaman calon istrinya yang baru saja berlangsung beberapa hari yang lalu.Tok, tok!Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan pria hampir menginjak usia kepala tiga itu.Ron melirik ke arah pintu dengan malas, begitu ia melihat sosok sang asisten dari balik pintu."Bos, hari ini ada—""Tolak!" potong Ron cepat, sebelum asistennya menyelesaikan kalimatnya.Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis Han, asisten dari Ron. Pria itu menghela nafas sejenak, sebelum ia kembali membuka mulut untuk memberikan laporan berikutnya."Proyek dari—""Tolak!"Glek! Han menelan ludah kasar begitu perkataan kembali dipotong oleh sang majikan."Perkebunan dari keluarga—""Bakar saja!" tukas Ron sembari melirik ke arah Han dengan mata melotot yang menyeramkan."Apa salah dan dosaku, Tuhan!" batin Han merinding ketakutan

  • PENJARA HATI MAFIA   11. Beban

    "Ceburkan saja aku!" tantang Rin pada Ron.Ron sontak melotot ke arah Rin dan beradu pandang dengan gadis yang tengah tergantung di tiang jembatan itu."Aku juga sudah bosan hidup! Ceburkan saja aku!" ujar Rin tanpa rasa takut."Kau yakin? Air di bawah sana bisa membuatmu membeku dan kehabisan nafas. Kau ingin mencobanya?" sergah Ron, kemudian mengendurkan tali yang mengikat Rin hingga membuat gadis itu turun beberapa centi dari tempat dirinya digantung."Aakkhh!" Gadis itu sontak memekik kencang saat dirinya hampir terjun bebas ke bawah jembatan."Masih ingin mencobanya?" ledek Ron sembari menampakkan tawa jahatnya di depan Rin."Dasar pengecut! Kau sebut dirimu pria, hah?! Lebih baik kau ganti saja pakaianmu dengan rok sana! Beraninya menindas gadis kecil yang lemah!" gerutu Rin tak merasa takut pada Ron meskipun hidupnya sudah terancam."Pengecut kau bilang?"Ron yang sudah terlahap oleh amarah, tanpa sadar menjatuhkan Rin ke dalam sungai besar di bawah jembatan begitu saja tanpa s

  • PENJARA HATI MAFIA   12. Malaikat

    Ron berlari secepat mungkin menuju jalan raya dan menarik tubuh Rin untuk menepi."Kau ini sudah gila, ya?" sentak Ron pada gadis kecil yang hampir saja bunuh diri itu."Aku hanya mengabulkan keinginanmu! Ini yang kau mau, kan?" sungut Rin tanpa takut."Tundukkan pandangan matamu! Berani sekali kau melotot padaku! Kau tidak tahu siapa aku?" sentak Ron hampir saja mencolok manik mata bening milik Rin yang menatapnya tanpa berkedip."Memangnya kau siapa?" cibir Rin dengan nada meremehkan."Aku adalah -@$#_@&!"Perkataan Ron menjadi terdengar tidak jelas karena tiba-tiba sebuah truk besar dengan suara bising melintas di dekat mereka."Apa? Aku apa?" tanya Rin lagi."Aku seorang 1?@€"Ucapan Ron kembali terdengar samar-samar karena mendadak sebuah bus besar membunyikan klakson yang bersuara nyaring."Kau ini berbicara apa sebenarnya?" tukas Rin mulai lelah berdebat dengan Ron."Sial! Aku hanya Ingin mengatakan kalau aku &@_?7%√¢!"Kesabaran Ron hampir habis karena ucapannya selalu saja t

Bab terbaru

  • PENJARA HATI MAFIA   64. Kecurigaan yang menumpuk

    "Kami sudah mencari gadis yang ada di foto itu, tapi kami tidak menemukan satu pun gadis yang mirip, Bos!" ujar anak buah kiriman Han pada Han yang tengah menunggu kabar.Pria yang tadinya yakin dapat menculik Rin itu, justru harus dibuat kesal, karena target yang ia kejar ternyata berhasil melarikan diri sebelum ia mulai mengejar. "Apa aku tidak salah dengar? Memangnya ada perubahan jadwal penerbangan? Atau mereka menggunakan maskapai lain?" tanya Han bingung.Han berhasil dibuat kesal karena rencananya yang gagal total. Para anak buahnya nampak sibuk mencari keberadaan Rin, disaat Rin dan Ron telah lama meninggalkan bandara dan menuju ke tempat yang tidak diketahui oleh Han."CARI LAGI SAMPAI KETEMU! Aku yakin mereka ada di dalam pesawat!" titah Han.Pria itu langsung membanting ponsel dan mengamuk di dalam mobil begitu target yang ia kejar ternyata dapat meloloskan diri dengan mudah."Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa Rin dan Ron bisa menghilang?" gumam Han dibuat bingung.Seme

  • PENJARA HATI MAFIA   63. Antisipasi

    “Sudah siap?” tanya Ron pada Rin yang tengah menyeret koper keluar dari kamarnya. Setelah berminggu-minggu tinggal bersama Ron di Roma, Rin mulai terbiasa dan mulai tak rela meninggalkan kota tempatnya berlibur itu.“Aku sudah siap!” cetus Rin dengan wajah lesu.Ron menangkap dengan jelas wajah muram Rin, kemudian mengacak gemas rambut panjang gadis cantik itu. “Aku akan mengajakmu kembali lagi kemari nanti. Aku janji!” hibur Ron pada Rin yang terlihat jelas sekali, tidak rela meninggalkan tempat liburan mereka.“Siapa juga yang ingin kembali kemari bersamamu? Aku bisa kembali ke sini sendiri,” timpal Rin sinis.“Memangnya kau punya uang?” cibir Ron begitu menohok pada gadis miskin yang memang tidak memiliki banyak uang itu.Ron merebut koper yang diseret oleh Rin, dan mengajak gadis itu pergi meninggalkan rumah yang mereka tempati. Bersama dengan taksi yang mereka tumpangi, Ron dan Rin memulai perjalanan mereka untuk pulang ke negara asal. Kedua orang itu pulang dengan wajah tenang,

  • PENJARA HATI MAFIA   62. Bukan beban

    “Tempat apa ini?” gumam Rin begitu ia dan Ron tiba di sebuah taman kecil yang berada di pusat kota. Ron tidak berencana melakukan banyak hal untuk hari terakhir liburannya bersama dengan Rin. Pria itu hanya ingin mengajak Rin menikmati kencan ringan dengan bersepeda dan berolahraga bersama di taman.“Kuburan!” celetuk Ron dongkol mendengar pertanyaan tidak penting dari Rin.“Ah, kau berencana untuk menguburku hidup-hidup di sini?” sergah Rin dengan wajah masam.“Benar! Aku akan menggali makam untukmu!” tukas Ron sembari menyeret Rin untuk berlari bersama dengan dirinya mengelilingi taman kecil itu. Ron mengambil sepeda yang disewakan di taman, sementara Rin harus berlari dengan susah payah mengejar Ron, karena Ron tidak begitu tega menaiki sepeda seorang diri, tanpa mengajaknya.“Ron, aku juga ingin sepeda!” rengek Rin sembari menyeka keringat yang bercucuran di dahiny.“Kejar aku dulu kalau bisa! Kau terlalu kurus dan lembek, Rin! Sebaiknya kau lebih rajin berolahraga!” cibir Ron den

  • PENJARA HATI MAFIA   61. Musuh dalam selimut

    Ren nampak tengah berguling-guling di ranjang hotel dengan santainya tanpa melakukan banyak hal. Pria itu masih diperlakukan seperti raja untuk sementara waktu, sampai Ren tidak akan lagi berguna. Ren masih belum memikirkan rencana lain untuk ke depannya. Pikiran pria itu masih dipenuhi dengan kecemasan mengenai Rin yang kini masih berada di luar negeri bersama Ron.“Apa sebaiknya aku menghubungi Rin saja? Mereka masih akan menargetkan Rin atau tidak, ya?” gumam Ren tenggelam dalam pikiranya sendiri dan membuat pria itu tak dapat tidur nyenyak.Akhirnya, Ren pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel sejenak sembari mengirup udara segar. “Rin pasti juga sedang menginap di hotel mewah sekarang, kan? Bukan aku saja yang tengah menikmati ranjang empuk di sini, kan?” oceh Ren sedikit merasa bersalah pada adiknya yang entah sekarang dapat beristirahat dengan nyenyak atau tidak.Pria itu berjalan di lorong hotel dengan langkah gontai dan tanpa sengaja berpapasan dengan salah seora

  • PENJARA HATI MAFIA   60. Kelemahan

    "Sebelum kita pulang ... bagaimana kalau kita pergi berlibur bersama? Berkeliling kota untuk yang terakhir mungkin?" ajak Ron ragu-ragu pada Rin.Ron sudah membulatkan tekad akan pulang ke negara asal bersama dengan Rin. Pria itu sudah tak ingin lagi melarikan diri dari teror, dan akan berusaha menangkap dalang dari peneroran yang dialaminya selama ini."Berlibur?" tanya Rin dengan dahi berkerut."Em, anggap saja ini sebagai ... kenang-kenangan perjalanan pertama kita. Kita tidak bisa mengunjungi banyak tempat karena kau masih diganggu oleh peneror itu, kan?" cetus Ron. "Sekarang kau sudah tidak lagi diganggu oleh orang itu. Kau bisa menikmati waktu liburan kita sejenak dengan nyaman."Setidaknya Ron ingin memberikan kenangan yang berkesan bagi Rin di liburan pertama gadis itu di luar negeri. Ron juga ingin menjadi bagian dari ingatan yang menyenangkan bagi Rin selama mereka bisa menghabiskan waktu untuk bersama."Kapan kita akan pulang?" tanya Rin mengalihkan pembicaraan."Lusa mungk

  • PENJARA HATI MAFIA   59. Kecurigaan

    "Akhir-akhir ini kau terus melamun," tegur Ron pada Rin yang tengah duduk termenung seorang diri di bangku halaman rumah.Rin sontak menyadarkan diri dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Ron yang tengah memegang dua kaleng soda. "Minumlah! Kau sepertinya perlu menyegarkan pikiran," cetus Ron.Rin mengulas senyum tipis, kemudian menyambut minuman dingin yang diberikan oleh Ron. "Terima kasih!" ucap Rin."Apalagi yang kau cemaskan? Ada yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Ron menemani Rin berbincang di malam yang dingin itu.Rin meneguk minuman kaleng soda itu, kemudian mulai membuka suara. "Aku hanya merasa aneh saja. Pria itu tidak lagi menghubungiku. Dia tidak lagi membahas mengenai mengenai Ren dan informasi yang dia inginkan darimu. Aku takut ... terjadi sesuatu pada Ren," terang Rin dengan perasaan kalut."Ren sudah menghubungimu kemarin, kan? Dia baik-baik saja, kan?" tukas Ron."Memang benar kalau Ren baik-baik saja," ujar Rin. "Tapi tetap saja ... aku takut ada sesuatu yang t

  • PENJARA HATI MAFIA   58. Ganti target

    Di sebuah kamar hotel mewah, nampak seorang pria dengan kaos polos tengah duduk di ranjang besar sembari menatap sendu sebuah foto yang terpampang di layar ponsel.Pria itu mengusap lembut layar ponselnya, menatap sesosok gadis cantik yang tersenyum manis, yang tak lain ialah Rin.Ya, pria itu adalah Ren, kakak dari Rin. Sesuai dengan dugaan Ron, Ren yang tadinya seorang tawanan dan tinggal di sebuah gudang, kini beralih mendapatkan perhatian istimewa dari pria misterius yang menawan dirinya.Selaras dengan perkiraan Ron, Ren memang menyimpan banyak rahasia besar dari klien-klien berbahaya yang menggunakan jasanya sebelumnya.Tok, tok! Waktu bersantai pria itu pun tak berlangsung lama, karena gangguan yang tiba-tiba muncul. Seorang pria bertopeng masuk ke dalam kamar Ren dan menyapa pria itu dengan sopan."Kau menyukai kamar barumu? Setelah tidur di gudang, tentu tidurmu bisa kembali nyenyak di sini, kan?" cetus seorang pria bertopeng yang menawan Ren.Tak lagi tidur di gudang, kini p

  • PENJARA HATI MAFIA   57. Gundah

    "Sial! Aku tidak bisa mendengar apa pun!" gerutu Ron yang kini tengah berdiri di depan pintu kamar Rin, sembari menempelkan telinganya ke pintu untuk mencuri dengar pembicaraan Rin dengan sang kakak.Pria yang masih berselimutkan handuk itu tengah berusaha keras "menguping" dengan konsentrasi penuh, tapi sayangnya Ron tak dapat mendengar informasi apa pun dari pembicaraan Rin di telepon."Awas saja kalau kau merencanakan hal yang tidak-tidak dengan pria brengsek itu!" oceh Ron sembari meremas handuk yang melilit tubuhnya.Cklek! Tiba-tiba Rin membuka kunci pintu kamar disaat Ron masih berdiri di depan kamar Rin. Pria itu langsung kalang kabut melarikan diri sebelum Rin membuka pintu kamar dan melihat dirinya."Dari mana Ren tahu kalau aku dan Ron cukup dekat? Pria itu juga tahu kalau aku dan Ron memiliki sesuatu," gumam Rin bingung. "Apa mereka mengawasiku dan Ron dari jauh? Atau ada orang dalam yang menjadi mata-mata dan memberikan informasi pada pria itu?" oceh Rin.Rin berjalan men

  • PENJARA HATI MAFIA   56. Telepon rindu

    Tring! Hari damai Rin pun kembali terusik oleh panggilan telepon dari pria yang mengancamnya. Usai memberikan informasi mengenai Ron padanya, Rin langsung dihubungi oleh pria misterius yang mencoba memperalat dirinya menggunakan Ren sebagai tawanan."Nomor tidak dikenal. Pasti ini dari orang itu," gumam Rin kemudian berlari mencari Ron sebelum mengangkat panggilan telepon."Ron? Kau di dalam? Boleh aku masuk?" Rin menggedor-gedor pintu kamar Ron, tapi sayangnya tak ada jawaban terdengar dari kamar Ron."Apa Ron tidak ada di kamar? Atau dia sedang tidur?" gumam Rin menerka-nerka.Rin menarik gagang pintu kamar Ron, dan memaksa masuk ke dalam ruangan pribadi pria dingin itu. "Ron? Kau di dalam?" Terdengar suara gemericik air yang menandakan kalau Ron tengah berada di kamar mandi. Rin pun segera melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintu kamar kecil itu."Ron, kau di dalam, kan? Ada telepon penting yang masuk! Aku membutuhkanmu!" pekik Rin di luar kamar mandi.Ron mengusap wajahnya

DMCA.com Protection Status