Bayu langsung menarik mundur tiga langkah ketika tanah di depannya tiba-tiba meledak. Lalu dari dalam tanah tersebut muncul seseorang bagaikan habis 'Nerus Bumi'.
"Wah, apa dia sudah mendekam lama di dalam tanah!" gumam Bayu."Kau hendak mengikuti sayembara perebutan senjata sakti, kan?" Lelaki berumur tiga puluh tahun yang baru muncul dari dalam tanah langsung bertanya menyelidik dan terkesan menghalangi jalan.Si pemuda tampan sudah bernapas tenang setelah terkejut tadi, tapi dia tidak mengerti pertanyaan lawan bicaranya."Sayembara, sayembara apa?""Jangan pura-pura pilon, ini jalan satu-satunya menuju Istana Sanghyang Dora. Kau pasti hendak ke sana dan mengikuti sayembara!""Aku memang hendak ke sana, tapi aku tidak tahu perihal sayembara!" jawab Bayu, dalam benaknya berpikir barangkali ada informasi yang terlewatkan."Ah, kau memang pura-pura polos. Sudahlah, dari pada bertanding di sana lebih sekarang juga kita tenSekarang bukan karena tidak ingin ada saingan, tetapi dendam atas kekalahannya tadi.Jari-jari si kumis kembali membentuk cakar dan dibungkus api. Ilmu Cakar Iblis digunakan kembali, lalu sekali menjejak tanah sosoknya melesat ke arah Bayu.Bayu merasakan hawa panas menyambar dari belakang. Si tampan ini langsung berbalik. Dia melihat si kumis tipis sudah siap dengan cambuk apinya. Bayu hanya mempunyai sedikit persiapan.Akan tetapi satu jangkauan lagi serangan si kumis tipis datang, tiba-tiba dari arah samping kanan melesat sesuatu begitu cepat sampai sosok si kumis terpental ke samping.Slashhh!Cepp!Brukk!Si kumis tipis menghantam pohon lalu ambruk tak bernyawa lagi. Bayu bergidik setelah melihat apa yang terjadi. Sebuah pedang menusuk tembus dari sebelah kiri ke kanan lehernya. Ada sepercik darah keluar.Mulutnya terbuka hendak berkata, tetapi pedang itu tiba-tiba tercabut sendiri lalu terbang dan berakhir
Bayu melempar senyum sedikit dan sekejap saja, tapi masih tampak menawan bagi mata si gadis. Terlihat ada kegugupan walau tidak kentara. Si gadis mampu menyembunyikan sikapnya."Kau lihat bangunan megah itu. Itulah Istana Sanghyang Dora yang hanya ada satu di bukit ini,""Aku hendak masuk, tapi takut tidak sopan. Tidak ada orang yang menjaga di pintu gerbang,""Ada dua orang di sebelah dalam!""Hah, kenapa aku tidak melihatnya?""Terhalang gapura batu yang besar itu!"Si gadis berpakaian jingga ini jadi tampak malu. Dari penampilannya jelas dia juga dari kalangan persilatan. Bayu juga merasakan ada hawa sakti yang memancar dari tubuh gadis ini walau kecil."Kau hendak mengikuti sayembara?" tanya si gadis yang tubuhnya agak tinggi hampir menyamai tinggi badan Bayu.Lekuk tubuhnya jelas indah terawat. Berarti dia mempedulikan penampilan. Kulit bersih warna khas 'Urang Sunda', tampak mulus dan lembut. Bentuk tubuh
"Mereka mengaku mendapat undangan!" jawab yang satu, sedangkan yang satunya menunjukkan dua gulungan bilah bambu tadi."Undangan?" Jaya Purana jadi ikut heran sambil mengumpulkan ingatannya, barangkali ada sesuatu yang terlewatkan. "Simpan saja!" Si pemuda murid utama Ki Teja Maruta menyerahkan kembali undangan tersebut.Dari pintu istana yang lebar dan megah ini datang lagi seseorang. Kali ini seorang wanita tua yang usianya hampir enam puluh tahun, tetapi langkahnya begitu tegap bagaikan masih muda.Garis kecantikan pada wajahnya masih tampak walau sudah dihiasi kerutan tanda usia tua. Tubuhnya juga masih tampak berisi.Melihat penampilan seperti ini, kesannya dia seorang wanita muda yang memakai topeng wajah tua di mukanya. Kecuali Bayu dan Nindya Saroya, semuanya sudah mengenal wanita ini."Selamat datang, Nini Rumpaka!" sambut Jaya Purana yang masih ada di dekat petugas pencatat peserta."Terima kasih, kalian masih mengenali
Dua tangan Nindya Saroya meraba ke pinggangnya. Tahu-tahu sepasang tangannya sudah menggenggam pedang pendek yang lentur.Bayu cukup terkesiap melihatnya. Ternyata senjata si gadis melingkar di pinggangnya. Pantas saja sekilas pandang dia seperti tidak membawa senjata.Ternyata senjatanya berupa sepasang pedang pendek yang bilahnya lentur bisa melengkung. Si gadis yang dijuluki Mawar Jingga sudah bersiap dengan kuda-kudanya.Sutasoma juga sudah menarik pedang yang tersoren di punggungnya. Setelah melihat senjata dan sikap siap si gadis, dia tidak mau menganggap remeh lawannya."Maaf, aku tidak akan segan lagi!" seru Sutasoma."Baik, aku duluan!"Mawar Jingga balas berseru seraya bergerak lebih dulu menyerang. Dua pedang pendeknya bergerak seperti sedang menyulam. Sekali gerak, beberapa titik menjadi sasaran.Mendapat serangan seperti ini, terpaksa Sutasoma menarik mundur sejenak sambil memutar pedang guna menghalau peda
"Ada pembunuhan!" Salah seorang murid Ki Teja Maruta berteriak ketika menghampiri salah satu kamar tamu.Siapa yang terbunuh?Para tamu dan penghuni istana berhamburan menuju sebuah kamar tempat kejadian pembunuhan. Ternyata itu kamar tempat istirahat Pendekar Tangan Guntur.Pendekar yang berwatak angkuh ini ditemukan tewas di lantai kamar dalam posisi duduk bersila menghadap tempat tidur.Kedua tangannya memegang gagang pedang yang bilahnya menancap ke bagian perut sebelah kiri agak atas. Persis seperti orang yang melakukan bunuh diri.Wajahnya masih tegak lurus dengan kedua mata terbuka menatap ke atas tempat tidur. Air mukanya menyiratkan rasa kaget yang luar biasa, seolah-olah tidak menyangka akan mendapati nasib yang mengerikan ini.Karena tatapan ke arah tempat tidur itulah, semua yang hadir juga pandangannya tertuju ke sana.Ternyata ada sepucuk daun lontar yang telah diguratkan sebuah kalimat."Menebus d
Ketika mereka kembali menemui tamu yang lain, suasana tampak tegang. Bayu terkejut melihat Mawar Jingga sedang dikepung para pendekar."Ada apa ini?" seru Ki Teja Maruta.Salah satu Jangkung Kembar yang merupakan paling tua dan sebagai pemimpin berpaling ke arah Ki Teja Maruta."Aku baru ingat sekarang, gadis ini adalah salah satu anggota kelompok pembunuh bayaran Gagak Setan!""Jadi maksudnya?" tanya Ki Teja Maruta."Dia pembunuhnya!" jawab si kembar."Kalian salah orang, aku tidak tahu menahu soal kelompok pembunuh bayaran itu!" sanggah Nindya Saroya. Sorot matanya jelas menampakkan kepanikan, tapi berusaha diredamnya."Tidak, aku tidak salah lihat!" bantah si kembar yang lain. "Kami memang pernah bentrok dengan kelompok pembunuh Gagak Setan yang semua anggotanya perempuan dan dia adalah salah satunya!""Apakah para pembunuh bayaran itu menampakkan wajahnya?" tanya Bayu karena biasanya pembunuh akan menyembuny
Kemudian Ki Teja Maruta membawa Bayu ke bagian belakang di luar istana.Istana Sanghyang Dora, kalau dilihat dari atas bentuknya berupa empat bangunan yang mengelilingi lapangan di tengah-tengah di mana tempat terjadinya pembunuhan terhadap Pendekar Tangan Guntur.Wilayah belakang istana adalah puncak bukit di sebelah utara. Sejauh lima tombak dari pagar istana ternyata ada sebuah lamping yang membelah puncak bukit.Kedalaman jurang ini bagaikan tak terhingga karena terhalang berbagai pepohonan. Lebar sampai bibir jurang di seberang sana sekitar lima tombak juga."Ini namanya Jurang Penyedot Nyawa. Panjangnya tidak sampai membelah bukit. Dinamakan demikian karena siapa saja yang melintas di atasnya pasti akan tersedot ke dalam," jelas Ki Teja Maruta.Ki Teja Maruta memberikan contoh dengan melemparkan beberapa helai daun. Tepat ketika berada di tengah-tengah, daun-daun itu langsung tersedot cepat seperti ada yang menarik dari bawah.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ki Teja Maruta melangkah kembali menyeberangi jembatan batang pohon kelapa menuju istana Sanghyang Dora. Bayu menunggu sampai lelaki setengah baya itu sampai di seberang baru menyusulnya. Selanjutnya Bayu ingin menemui Jaya Purana. Ketika memasuki halaman belakang, tak sengaja dia melihat ke arah timur. Di sana ada satu tempat yang kelihatan berbeda. Sementara Ki Teja Maruta sudah tidak kelihatan sosoknya, akhirnya Bayu memutuskan untuk mendekati tempat tersebut. Namun, setelah beberapa langkah dia harus segera sembunyi di balik pohon dekat benteng istana. Pandangannya mengawasi ke arah tempat itu. "Sepertinya itu kuburan saudara-saudaranya Ki Teja Maruta. Tapi, siapa wanita itu?" gumam si pemuda. Inilah alasan dia bersembunyi, ternyata di sana ada seorang wanita yang dari perawakannya tampak masih muda sedang berdiri menghadap salah satu kuburan. Bayu ingat di istana ini semuanya laki-laki. Sedangkan yang mengikuti sayembara hanya ada dua orang yai
Seperti gurunya, tubuh Kupra juga hancur berserakan. Seakan tidak puas, ibu dan anak ini sampai menginjak-injak serpihan tubuh Kupra yang menjadi seperti pasir. Pertempuran berakhir. Dua tokoh golongan hitam paling kuat saat ini telah menemui ajalnya. Sementara itu Bayu dan Asmarini sudah tidak ada di tempatnya. Mereka sudah berjalan meninggalkan wilayah desa Rancawaru. "Sekarang ceritakan, bagaimana kau bisa jadi pawang hujan?" Asmarini mendengkus kesal. "Pawang hujan, pawang hujan!" "Oh, ya, ya! Bidadari Pengendali Air!" Akhirnya Asmarini tersenyum. Kemudian sambil berjalan gadis ini menceritakan pengalamannya. "Setelah kita berpisah waktu itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku gurunya ibuku!" "Nenek Pancasari?" Bayu tahu karena pernah mendengar dari ayahnya. "Benar!" "Lalu?" Nenek Pancasari yang dulu telah mengu
Iblis Petir yang tadinya duduk bersila segera meloncat ke atas ikut berdiri di sebelah Kupra di atas atap. Pasalnya dia merasakan hawa dingin meresap dari tanah. Guru dan murid ini mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki. Tubuh Agnibali mulai dikabari api, sedangkan Iblis Petir melindungi dirinya dengan zirah yang terbuat dari kilatan-kilatan petir. Hawa panas kedua orang ini berusaha menyeruak tindihan hawa dingin dari atas dan bawah. Bahkan akhirnya sosok kedua orang ini ditutupi oleh kobaran api. Tentu saja keduanya tidak merasakan panas karena ini adalah kekuatan dari mereka sendiri. Kobaran api itu untuk melindungi diri dari hawa dingin yang menyerang. Sementara itu wanita berpakaian dan bercadar hitam menarik nafas lega setelah adanya hawa dingin dari bawah dan langit tampak meredup. Dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih banyak lagi seperti sebelumnya. Yang ditunggu-tunggu sepertinya telah tiba.
Kupra berpindah tempat, meloncat ke atas atap. Kedua tangannya diputar-putar. Kepalanya terus mendongak ke langit. Dia mengerahkan kekuatan apinya lebih besar lagi. Seketika di seluruh tempat sampai ke pelosok desa diselimuti hawa panas terik bagai di siang hari di musim kemarau. Bahkan tidak terasa sedikit pun semilir angin yang memberikan kesejukan. Perubahan cuaca ini dirasakan dampaknya pada mereka yang tengah bertempur baik anak buah Kupra sendiri atau pendekar golongan putih. Apalagi warga desa yang merupakan orang biasa tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka merasakan seperti dipanggang. Banyak yang langsung berlari menuju sungai agar tidak kepanasan. Di dalam ruang bawah tanah, Iblis Petir merasakan hawa panas yang disebarkan muridnya itu. "Sepertinya muridku mendapat lawan yang berat. Aku harus membantunya. Kau tetap di sini, kalau kau keluar maka tubuhmu akan seperti dipanggang api sangat panas!"
Hampir semua anak buah yang dibawa Kalacakra akhirnya tewas. Sedangkan yang tersisa tidak kuat lagi menahan gigitan racun dari dalam tubuh sehingga ambruk dengan sendirinya. Termasuk Kalacakra, kini dia terdesak hebat. Tongkat Ki Hanggareksa yang bisa memanjang dan memendek sudah berkali-kali memberikan luka di tubuhnya. Awalnya memang bisa menahan dengan tenaga dalam yang ada, tapi lama-lama tenaganya melemah juga. Apalagi Ki Hanggareksa menghantamkan tongkatnya ke bagian yang berbahaya. Takk! Bukk! Bukk! Senjata cakra yang terbang sudah entah ke mana hilangnya. Senjata yang satunya pun bisa dikatakan tidak berguna lagi. Hanya benda yang digenggam di tangan saja, tapi tak bisa memberikan perlawanan. "Kalian licik!" seru Kalacakra menyadari kalau dia terkena racun, walau tidak tahu siapa dan bagaimana cara racun itu masuk ke tubuhnya. "Ah, baru sekali ini saja. Kalian sendiri melakukan kelicika
Mereka berlima ditambah Lasmini berkumpul di ruang pertemuan. "Sepertinya kelompok aliran putih sudah mulai menyerang," duga Soca Srenggi, ketua perguruan Elang Setan. "Mata-mata melaporkan mereka memang sudah bergerak, tetapi mendadak lenyap begitu saja setelah dekat dengan desa ini," sambung Kalacakra, ketua perguruan Gunung Sindu. Sementara dari tadi Kupra memperhatikan langit yang gelap, tetapi dia tampak tenang saja walau hatinya bertanya-tanya karena hal yang aneh ini. "Saat ini aku hanya menantikan Panji. Apa mungkin dia sudah bisa mengendalikan hujan atau air. Atau mengendalikan angin untuk membawa hujan?" batin Kupra. Lalu datanglah salah satu anggota melaporkan bahwa memang kelompok golongan putih sudah mengepung desa. Ini sungguh mengejutkan karena pergerakan golongan putih tidak terdeteksi ketika sudah dekat ke markas mereka. Akhirnya Agnibali memerintahkan keempat wakilnya untuk me
Parwati menoleh dan langsung kaget. Begitu juga Wirapati yang masih berendam di sungai langsung melesat ke samping Istrinya. Sepasang suami istri ini memang sedang dalam perjalanan menuju desa Rancawaru yang menjadi markas Laskar Raja Api. "Mau apa kau?" sentak Wirapati seraya langsung menyiapkan tenaga sakti. Tentu saja karena sekarang Kupra bukan yang dulu lagi. Sekarang Kupra menjadi pemimpin Laskar Raja Api. "Mau mengambil Parwati!" kata Kupra lantang dengan sorot mata tajam mengancam Wirapati. "Sejak pertama kali melihat dia, aku sudah jatuh hati. Sekarang ada kesempatan untuk membawanya tinggal bersamaku!" "Setan keparat, lancang!" umpat Wirapati. Kupra tertawa lantang sambil melepas hawa sakti panas guna menekan Wirapati. "Sekarang tidak ada lagi yang aku takutkan. Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan. Aku adalah penguasa rimba persilatan. Yang kuat yang berkuasa!"
Amoksa langsung berkelebat dan berdiri di samping Lasmini. Gadis ini baru saja mengeringkan badan beserta pakaiannya menggunakan hawa saktinya. "Memangnya siapa dia sampai-sampai kau seperti melindunginya?" "Dia Lasmini putrinya Ki Rembong!" Belasan laki-laki itu langsung berubah sikap. Mereka membuang hasratnya yang tadi ingin menikmati tubuh Lasmini. Tentu saja karena tidak ingin kena semprot wakil ketua yaitu Ki Rembong. Mereka langsung memberi jalan ketika Amoksa hendak membawa Lasmini ke markas. Tiba di markas Amoksa menyuruh salah seorang untuk melaporkan bahwa Lasmini telah ditemukan. Tentu saja Ki Rembong sangat gembira mendengar kedatangan putrinya. Lasmini langsung disambut dan dibawa ke ruang utama bertemu dengan Ketua Agnibali. Pada saat itulah Kupra terbelalak matanya begitu melihat keanggunan Lasmini. Si gadis mencoba bersikap santun sebagaimana layaknya menghadap s
Ki Abiasa menarik napas sebelum berkata. "Kalau Eyang Resi sudah memerintahkan, apa lagi yang saya cemaskan. Saya sangat yakin dengan keputusan Eyang. Baiklah, saya akan membawa mereka segera bertindak." Hawa sakti berputar-putar di dalam ruangan menghasilkan tiupan udara lembut, lalu perlahan menghilang pertanda seseorang yang dipanggil Eyang tadi juga sudah pergi. Ki Abiasa menghembuskan napas lega. "Akhirnya Eyang Resi Kuncung Putih datang juga!" Tidak menunggu lama lagi, segera Ki Abiasa mengumpulkan empat murid Resi Kuncung Putih dan para pendekar lain yang sudah berkumpul di padepokan. ***000*** Malam hari sebelum Lasmini berangkat. Sepasang kekasih ini sudah diberikan kamar khusus untuk mereka. Walaupun belum terikat pernikahan, tetapi hubungan mereka sudah terlalu dalam. Sebelum Radika pulang dan sebelum Lasmini datang ke sini saja, mereka sudah sangat intim bag
Ada empat perguruan aliran hitam yang sudah bergabung dengan Laskar Raja Api yang diketuai oleh Kupra alias Agnibali. Selain perguruan Cengkar Wulung dan Oray Hideung ditambah perguruan Gunung Sindu yang dipimpin Kalacakra dan perguruan Elang Setan yang diketuai oleh Soca Srenggi. Laskar Raja Api menduduki sebuah desa yang akan dijadikan markas. Desa Rancawaru jadi sasaran karena tempatnya yang strategis, jauh dari desa-desa di sekitarnya dan juga subur. Ki Kuwu beserta perangkat desa sampai sesepuh dibunuh tanpa ampun. Balai desa dijadikan pusat markas. Penduduk desa juga menjadi sasaran kesemena-menaan mereka. Yang laki-laki dipaksa menjadi budak yang harus bekerja melayani segala keperluan mereka. Para wanita yang masih layak sudah pasti dijadikan pemuas nafsu. Sedangkan anak-anak dan orang yang sudah tua renta dihabisi karena tenaga mereka dianggap tidak berguna. Situasi yang mengerikan di