"Mereka mengaku mendapat undangan!" jawab yang satu, sedangkan yang satunya menunjukkan dua gulungan bilah bambu tadi.
"Undangan?" Jaya Purana jadi ikut heran sambil mengumpulkan ingatannya, barangkali ada sesuatu yang terlewatkan. "Simpan saja!" Si pemuda murid utama Ki Teja Maruta menyerahkan kembali undangan tersebut.Dari pintu istana yang lebar dan megah ini datang lagi seseorang. Kali ini seorang wanita tua yang usianya hampir enam puluh tahun, tetapi langkahnya begitu tegap bagaikan masih muda.Garis kecantikan pada wajahnya masih tampak walau sudah dihiasi kerutan tanda usia tua. Tubuhnya juga masih tampak berisi.Melihat penampilan seperti ini, kesannya dia seorang wanita muda yang memakai topeng wajah tua di mukanya. Kecuali Bayu dan Nindya Saroya, semuanya sudah mengenal wanita ini."Selamat datang, Nini Rumpaka!" sambut Jaya Purana yang masih ada di dekat petugas pencatat peserta."Terima kasih, kalian masih mengenaliDua tangan Nindya Saroya meraba ke pinggangnya. Tahu-tahu sepasang tangannya sudah menggenggam pedang pendek yang lentur.Bayu cukup terkesiap melihatnya. Ternyata senjata si gadis melingkar di pinggangnya. Pantas saja sekilas pandang dia seperti tidak membawa senjata.Ternyata senjatanya berupa sepasang pedang pendek yang bilahnya lentur bisa melengkung. Si gadis yang dijuluki Mawar Jingga sudah bersiap dengan kuda-kudanya.Sutasoma juga sudah menarik pedang yang tersoren di punggungnya. Setelah melihat senjata dan sikap siap si gadis, dia tidak mau menganggap remeh lawannya."Maaf, aku tidak akan segan lagi!" seru Sutasoma."Baik, aku duluan!"Mawar Jingga balas berseru seraya bergerak lebih dulu menyerang. Dua pedang pendeknya bergerak seperti sedang menyulam. Sekali gerak, beberapa titik menjadi sasaran.Mendapat serangan seperti ini, terpaksa Sutasoma menarik mundur sejenak sambil memutar pedang guna menghalau peda
"Ada pembunuhan!" Salah seorang murid Ki Teja Maruta berteriak ketika menghampiri salah satu kamar tamu.Siapa yang terbunuh?Para tamu dan penghuni istana berhamburan menuju sebuah kamar tempat kejadian pembunuhan. Ternyata itu kamar tempat istirahat Pendekar Tangan Guntur.Pendekar yang berwatak angkuh ini ditemukan tewas di lantai kamar dalam posisi duduk bersila menghadap tempat tidur.Kedua tangannya memegang gagang pedang yang bilahnya menancap ke bagian perut sebelah kiri agak atas. Persis seperti orang yang melakukan bunuh diri.Wajahnya masih tegak lurus dengan kedua mata terbuka menatap ke atas tempat tidur. Air mukanya menyiratkan rasa kaget yang luar biasa, seolah-olah tidak menyangka akan mendapati nasib yang mengerikan ini.Karena tatapan ke arah tempat tidur itulah, semua yang hadir juga pandangannya tertuju ke sana.Ternyata ada sepucuk daun lontar yang telah diguratkan sebuah kalimat."Menebus d
Ketika mereka kembali menemui tamu yang lain, suasana tampak tegang. Bayu terkejut melihat Mawar Jingga sedang dikepung para pendekar."Ada apa ini?" seru Ki Teja Maruta.Salah satu Jangkung Kembar yang merupakan paling tua dan sebagai pemimpin berpaling ke arah Ki Teja Maruta."Aku baru ingat sekarang, gadis ini adalah salah satu anggota kelompok pembunuh bayaran Gagak Setan!""Jadi maksudnya?" tanya Ki Teja Maruta."Dia pembunuhnya!" jawab si kembar."Kalian salah orang, aku tidak tahu menahu soal kelompok pembunuh bayaran itu!" sanggah Nindya Saroya. Sorot matanya jelas menampakkan kepanikan, tapi berusaha diredamnya."Tidak, aku tidak salah lihat!" bantah si kembar yang lain. "Kami memang pernah bentrok dengan kelompok pembunuh Gagak Setan yang semua anggotanya perempuan dan dia adalah salah satunya!""Apakah para pembunuh bayaran itu menampakkan wajahnya?" tanya Bayu karena biasanya pembunuh akan menyembuny
Kemudian Ki Teja Maruta membawa Bayu ke bagian belakang di luar istana.Istana Sanghyang Dora, kalau dilihat dari atas bentuknya berupa empat bangunan yang mengelilingi lapangan di tengah-tengah di mana tempat terjadinya pembunuhan terhadap Pendekar Tangan Guntur.Wilayah belakang istana adalah puncak bukit di sebelah utara. Sejauh lima tombak dari pagar istana ternyata ada sebuah lamping yang membelah puncak bukit.Kedalaman jurang ini bagaikan tak terhingga karena terhalang berbagai pepohonan. Lebar sampai bibir jurang di seberang sana sekitar lima tombak juga."Ini namanya Jurang Penyedot Nyawa. Panjangnya tidak sampai membelah bukit. Dinamakan demikian karena siapa saja yang melintas di atasnya pasti akan tersedot ke dalam," jelas Ki Teja Maruta.Ki Teja Maruta memberikan contoh dengan melemparkan beberapa helai daun. Tepat ketika berada di tengah-tengah, daun-daun itu langsung tersedot cepat seperti ada yang menarik dari bawah.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ki Teja Maruta melangkah kembali menyeberangi jembatan batang pohon kelapa menuju istana Sanghyang Dora. Bayu menunggu sampai lelaki setengah baya itu sampai di seberang baru menyusulnya. Selanjutnya Bayu ingin menemui Jaya Purana. Ketika memasuki halaman belakang, tak sengaja dia melihat ke arah timur. Di sana ada satu tempat yang kelihatan berbeda. Sementara Ki Teja Maruta sudah tidak kelihatan sosoknya, akhirnya Bayu memutuskan untuk mendekati tempat tersebut. Namun, setelah beberapa langkah dia harus segera sembunyi di balik pohon dekat benteng istana. Pandangannya mengawasi ke arah tempat itu. "Sepertinya itu kuburan saudara-saudaranya Ki Teja Maruta. Tapi, siapa wanita itu?" gumam si pemuda. Inilah alasan dia bersembunyi, ternyata di sana ada seorang wanita yang dari perawakannya tampak masih muda sedang berdiri menghadap salah satu kuburan. Bayu ingat di istana ini semuanya laki-laki. Sedangkan yang mengikuti sayembara hanya ada dua orang yai
"Apa? Hilang? Tadi di sini, Guru!" Si murid menunjuk ke tanah di mana dia menemukan Jaya Purana tewas. "Ada apa ini, sepagi ini kau sudah berani membual!" hardik Ki Teja Maruta. "Sungguh, Guru, aku tidak berbohong!" Si murid ini kembali bersimpuh dengan berlinang air mata. Inilah ketakutannya, dianggap telah membuat cerita dusta. "Hari ini aku bertugas mengumpulkan bahan makanan, tetapi sampai di sini aku dikagetkan dengan mayat Kang Jaya yang tertancap pedang, tapi mengapa sekarang menghilang?" Ki Teja Maruta menghela napas panjang. Dia menduga muridnya ini mengalami halusinasi. "Apa kau kurang tidur semalam?" "Tidak, Guru. Aku tidak bohong. Mataku jelas melihat Kang Jaya tergeletak di sini!" Si murid tertunduk, keringatnya bercucuran. Tiba-tiba dari arah benteng istana terdengar suara teriakan. Seorang murid lain tampak ketakutan seperti murid yang sedang bersimpuh ini. "Celaka, celaka!" Akhirnya semuanya kembali menyeberangi jembatan batang pohon kelapa. Waktu yang diburu-
Begitu menghantam lantai, gelombang angin ini terpecah mengarah ke kaki para pendekar bagaikan ular yang mengejar mangsanya. Pada saat itu Ki Teja Maruta sudah melompat setengah tombak. Para pendekar yang tengah menyerang langsung urungkan serangan masing-masing lalu melompat juga guna menyelamatkan diri dari serangan gelombang tenaga angin dan petir ini. Maka terbukalah jarak yang lebih lebar dari sebelumnya. Kejap berikutnya Bayu mendarat bersamaan dengan Ki Teja Maruta. Begitu juga pendekar lainnya. "Angin petir!" seru Ki Raga Alit sepertinya mengetahui tenaga sakti yang dikeluarkan Bayu Bentar. Sutasoma merasakan ilmu ini begitu dahsyat. Dia merasa bergidik. Pendekar muda yang baru dikenalnya ini ternyata tidak bisa dianggap remeh. "Kenapa kau malah membela dia?" sentak Nini Rumpaka. "Saya harap kita saling menghormati!" ujar Bayu. "Saya sudah berjanji akan menemukan pelaku pembunuhan dalam
Lalu Bayu melihat dua orang murid yang sedang berjalan membawa bakul yang sudah kosong. Mereka habis mengantarkan makanan kepada para tamu di kamar masing-masing. Ketika melewati Bayu, mereka berhenti seraya menjura. "Makanan sudah kami antarkan ke kamar!" kata salah satunya memberi tahu. "Terima kasih!" "Baik, kami permisi!" "Eh, maaf tunggu. Boleh saya bertanya?" "Silakan, Tuan!" "Apa mereka semua ada di kamarnya?" "Tidak semuanya, Ki Raga Alit dan Nini Rumpaka sedang tidak ada di kamar!" "Oh, terima kasih!" "Sama-sama, mari!" Sekali lagi mereka menjura lalu pergi. Ini suatu kebetulan buat Bayu. Segera saja dia pergi menuju halaman belakang istana. Firasatnya tidak mungkin siang-siang begini salah satunya ada di halaman tengah. Ketika sampai di tempat yang sepi, Bayu melesat ke atas atap. Sesekali dia me
"Keluarkan kemampuanmu Anak sialan, aku tidak takut sekalipun menghadapi bapakmu!" teriak Rukmini bermaksud memancing emosi. "Aku tidak menyangka, di balik kecantikan dan kemolekan tubuh bibi ternyata menyimpan hati yang busuk!" Bayu malah balas memancing kemarahan bibinya. "Bocah laknat, mampus kau!" Rukmini memutar pedang di atas kepala dua kali. Rupanya dia sedang menambah kekuatan. Karena pada putaran ketiga angin yang menyertai pedang tersebut mendadak lebih kuat. Hawa sakti yang keluar dari tubuh Rukmini juga semakin besar tekanannya. Namun, Bayu tetap bergeming di tempatnya. Terpaan angin kuat itu tidak membuatnya tersurut mundur. Sekarang bukan waktunya pura-pura lemah lagi. Sementara serangan Rukmini menjadi semakin berbahaya. Tidak diduga sama sekali, ternyata wanita ini masih menyimpan kekuatan lain. Wajah wanita ini berubah menjadi garang, terkesan menyeramkan seperti
Semua yang ada di sana terkejut kecuali Bayu. Belum hilang rasa terkejutnya dari balik pagar rumah yang mirip benteng melompat masuk sebelas orang dengan pakaian prajurit dan senjata lengkap. "Kau...!" Telunjuk senapati Hanggara bergetar menunjuk ke wajah orang yang berdiri tegap di depannya. Sementara Rukmini langsung pucat pasi melihat siapa yang baru datang ini. Bahkan sampai tersurut dua langkah saking kagetnya. "Ya, aku yang merencanakan semua ini agar menemukan siapa dalang yang telah merusak nama baikku. Setelah pemuda itu menyebut namamu..." Sosok yang tak lain adalah Arya Soma menunjuk ke Rukmini. "Aku langsung curiga ini pasti ulah kau Hanggara!" lanjut Arya Soma. Bagaimana Arya Soma bersama sebelas prajurit pengikutnya bisa sampai di sini? Karena dimulai ketika berangkat dari perguruan Kembang Sari, Bayu diam-diam mengirimkan informasi lewat burung merpati pengantar surat.
"Apa dia tahu rencana kita?" "Tidak mungkin, dia terlihat biasa saja. Tidak menandakan kalau dia curiga kepada kita!" "Lalu, kenapa tiba-tiba dia menawarkan diri untuk memasak?" "Mungkin bentuk terima kasih karena kau telah memberi tumpangan," "Tapi aku merasa ada yang aneh!" "Sudahlah, kita tunggu saja. Bayu pasti mengantuk juga!" Namun, setelah menunggu lama, Bayu terlihat masih kuat. Bahkan suaranya sampai terdengar ke dalam. Si kusir juga sampai terbawa hanyut dalam obrolan. Sementara rasa kantuk pada dua wanita yang gelisah karena lama tidak merasakan pelukan lelaki ini semakin berat. Akhirnya dua wanita itu terkulai karena tak kuat ingin tidur dan langsung terlelap. Pengaruh ngantuk pada Rukmini dan Pinasih cukup kuat, maka dua wanita ini bangun kesiangan. Pinasih tampak kesal rencananya gagal. Dia tidak mungkin meminta Rukmini menginap satu ma
"Nanti aku ceritakan, apa kau tidak mau menyuguhi kami minum dulu?" "Oh, iya. Mari masuk!" Ternyata Pinasih adalah seorang selir salah satu pejabat di istana Sumedang Larang yang berteman baik dengan kerabat Rukmini yang menjadi senapati di sana. Sampai saat ini Bayu belum tahu siapa nama senapati itu. Sementara dia tidak ingin menanyakan langsung kepada bibinya. Dia ingin mendengarnya tanpa harus bertanya. Pinasih belum memiliki anak. Sang suami akan mengunjunginya setiap satu purnama dan akan berdiam di rumah ini antara tiga sampai tujuh hari lamanya. Kebetulan saat ini Pinasih belum mendapat jatah kedatangan suami. Katanya sekitar sepuluh hari lagi suaminya akan datang. Jadi selama tidak ada suami, Pinasih hanya ditemani seorang pembantu yang sudah tua. Ketika sang tuan rumah menjamu mereka dengan menyuguhkan berbagai makanan dan minuman, Rukmini belum juga memberi tahukan tentang maksudnya
Sosok Bayu berputar mendatar, melayang di udara di antara sabetan dua pedang. Sekejap kemudian lawan di sebelah kanan menarik tangannya guna menghindari serangan tapak yang datang begitu cepat. Disusul lawan sebelah kiri juga menarik mundur diri karena mendapati kaki kanan Bayu meliuk bebas melewati sisi kosong sabetan pedang. Bayu melakukan hal ini karena ingin mendapat pengalaman bertarung dengan cara tidak selalu mengandalkan tenaga saktinya yang luar biasa. Sesuai anjuran ayahnya dalam mimpi. Sejurus kemudian ketika Bayu sudah berdiri sempurna di atas tanah, dua lawannya sudah menyerang lagi dengan jurus khas dari negeri seberang itu. Untungnya si pemuda sudah paham inti sari jurus serupa sewaktu melihat pertarungan antara Arya Soma dan Yamato. Setelah lewat beberapa jurus, kini Bayu ingat jurus yang digunakan lawan sama persis dengan jurus si topeng dulu. Memiliki gerakan inti membunuh law
Lagi-lagi senjata mereka kandas di tengah-tengah, berjatuhan ke sungai karena tertahan oleh angin yang dikendalikan Bayu tanpa terlihat oleh orang lain. Pada saat itu, tahu-tahu Bayu sudah melesat ke arah pemimpin mereka yang tidak ikut melompat. Si pemimpin terkejut bukan main. Dia tidak sempat selamatkan diri. Tangan kanan Bayu sudah mencengkram lehernya. Setelah berhasil mendarat di atas perahu sambil mencekik leher si pemimpin, Bayu jejakkan lagi kedua kakinya ke lantai perahu. Si pemuda melesat kembali ke atas perahu sambil membawa si pemimpin bagaikan menjinjing seekor kucing saja. Kini si pemimpin berada dalam tawanan Bayu. Semua anak buahnya yang telah kembali mendarat di perahu masing-masing tampak kebingungan. Sementara Bayu sudah memberikan beberapa totokan agar tawanannya tidak bisa bergerak. "Menyerahlah!" seru Bayu. Para penumpang lain dibuat kagum dengan ulah si pe
Bayu keluar dari kereta kuda untuk melihat-lihat isi kapal yang lebarnya sampai tiga perempat lebar sungai yang besar. Rasanya seperti di atas lautan, tapi masih terlihat dua tepian sungai di kedua sisi. Sambil berjalan keliling kapal, Bayu diam-diam memperhatikan beberapa orang yang selalu menguntitnya dan pura-pura menjadi penumpang kapal. Juga mendalami rencana yang sudah terpikirkan. Si pemuda hanya berharap rencana yang telah disusun bersama Arya Soma berjalan dengan lancar. Semoga saja bibinya masih percaya bahwa kepala Arya Soma adalah asli. Semakin lama kapal semaki penuh. Penumpang berdatangan dari berbagai arah. Ketika senja tiba kapal jung ini mulai bergerak ke arah selatan. Perjalanan yang cukup berat karena melawan arus, tapi sudah memiliki cara agar kapal tetap melaju. Rombongan Bayu berencana turun di dermaga Nunuk untuk kemudian melakukan perjalanan darat lagi ke arah barat. Sedangkan kapal ini akan berakhir
"Tinggalkan bayaran terakhir anak buahmu di rumah itu dan juga pesan agar mereka mencari jalan hidup masing-masing. Gagak Setan telah musnah dari dunia!" Begitulah pesan Arya Soma kepada Permani. Rencananya malam nanti mereka sekeluarga akan meninggalkan rumah yang telah lama di tempati ini. Para pembantu yang sudah setia bekerja di sana, diberi upah yang layak dan diperbolehkan mencari pekerjaan yang lain. Mereka tidak diberi tahu kemana sang majikan akan pergi. Sementara Bayu pun pamit untuk kembali ke Perguruan Kembang Sari melanjutkan penyelidikan yang semakin rumit ini. Pemuda ini sudah jauh melangkah meninggalkan kediaman Arya Soma. Namun, sepanjang jalan dia merasa ada yang mengikuti langkahnya. Awalnya dia mengira orang yang biasa selalu menguntitnya, tetapi setelah dirasakan lebih lama, ternyata bukan. Setelah ditunggu lama pun tidak ada pergerakan lagi selain membuntuti langkahnya dal
Apalagi Bayu sudah tahu kau kemana lawan bergerak sehingga selalu menemui jalan buntu. Wanita bertopeng mulai berpikir bagaimana cara untuk kabur. Sementara Arya Soma tampak sudah melangkah mendekat, ingin tahu lebih jelas lagi apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan Bayu kini mengubah sikap, dari bertahan ke menyerang. Tidak memberi ruang sedikit pun pada si topeng yang hendak kabur. Beberapa saat Arya Soma melihat jalannya pertarungan. Dari sini dia bisa membaca kalau Bayu akan mampu mengatasi lawannya. Kemudian sang tuan rumah ini memilih masuk ke bangunan tua yang sudah banyak kerusakan pada dindingnya itu. Betapa terkejutnya ketika sampai di dalam. Keadaan di dalam tampak bersih seperti ada yang mengurusnya. Dia juga menemukan kamar yang berisi kotak-kotak daun lontar. "Apa ini, seperti kumpulan nama-nama orang. Siapa yang menggunakan tempat ini secara diam-diam, kenapa aku sampai lengah. I