Kemudian Ki Teja Maruta membawa Bayu ke bagian belakang di luar istana.
Istana Sanghyang Dora, kalau dilihat dari atas bentuknya berupa empat bangunan yang mengelilingi lapangan di tengah-tengah di mana tempat terjadinya pembunuhan terhadap Pendekar Tangan Guntur.Wilayah belakang istana adalah puncak bukit di sebelah utara. Sejauh lima tombak dari pagar istana ternyata ada sebuah lamping yang membelah puncak bukit.Kedalaman jurang ini bagaikan tak terhingga karena terhalang berbagai pepohonan. Lebar sampai bibir jurang di seberang sana sekitar lima tombak juga."Ini namanya Jurang Penyedot Nyawa. Panjangnya tidak sampai membelah bukit. Dinamakan demikian karena siapa saja yang melintas di atasnya pasti akan tersedot ke dalam," jelas Ki Teja Maruta.Ki Teja Maruta memberikan contoh dengan melemparkan beberapa helai daun. Tepat ketika berada di tengah-tengah, daun-daun itu langsung tersedot cepat seperti ada yang menarik dari bawah.<Tanpa menunggu jawaban lagi, Ki Teja Maruta melangkah kembali menyeberangi jembatan batang pohon kelapa menuju istana Sanghyang Dora. Bayu menunggu sampai lelaki setengah baya itu sampai di seberang baru menyusulnya. Selanjutnya Bayu ingin menemui Jaya Purana. Ketika memasuki halaman belakang, tak sengaja dia melihat ke arah timur. Di sana ada satu tempat yang kelihatan berbeda. Sementara Ki Teja Maruta sudah tidak kelihatan sosoknya, akhirnya Bayu memutuskan untuk mendekati tempat tersebut. Namun, setelah beberapa langkah dia harus segera sembunyi di balik pohon dekat benteng istana. Pandangannya mengawasi ke arah tempat itu. "Sepertinya itu kuburan saudara-saudaranya Ki Teja Maruta. Tapi, siapa wanita itu?" gumam si pemuda. Inilah alasan dia bersembunyi, ternyata di sana ada seorang wanita yang dari perawakannya tampak masih muda sedang berdiri menghadap salah satu kuburan. Bayu ingat di istana ini semuanya laki-laki. Sedangkan yang mengikuti sayembara hanya ada dua orang yai
"Apa? Hilang? Tadi di sini, Guru!" Si murid menunjuk ke tanah di mana dia menemukan Jaya Purana tewas. "Ada apa ini, sepagi ini kau sudah berani membual!" hardik Ki Teja Maruta. "Sungguh, Guru, aku tidak berbohong!" Si murid ini kembali bersimpuh dengan berlinang air mata. Inilah ketakutannya, dianggap telah membuat cerita dusta. "Hari ini aku bertugas mengumpulkan bahan makanan, tetapi sampai di sini aku dikagetkan dengan mayat Kang Jaya yang tertancap pedang, tapi mengapa sekarang menghilang?" Ki Teja Maruta menghela napas panjang. Dia menduga muridnya ini mengalami halusinasi. "Apa kau kurang tidur semalam?" "Tidak, Guru. Aku tidak bohong. Mataku jelas melihat Kang Jaya tergeletak di sini!" Si murid tertunduk, keringatnya bercucuran. Tiba-tiba dari arah benteng istana terdengar suara teriakan. Seorang murid lain tampak ketakutan seperti murid yang sedang bersimpuh ini. "Celaka, celaka!" Akhirnya semuanya kembali menyeberangi jembatan batang pohon kelapa. Waktu yang diburu-
Begitu menghantam lantai, gelombang angin ini terpecah mengarah ke kaki para pendekar bagaikan ular yang mengejar mangsanya. Pada saat itu Ki Teja Maruta sudah melompat setengah tombak. Para pendekar yang tengah menyerang langsung urungkan serangan masing-masing lalu melompat juga guna menyelamatkan diri dari serangan gelombang tenaga angin dan petir ini. Maka terbukalah jarak yang lebih lebar dari sebelumnya. Kejap berikutnya Bayu mendarat bersamaan dengan Ki Teja Maruta. Begitu juga pendekar lainnya. "Angin petir!" seru Ki Raga Alit sepertinya mengetahui tenaga sakti yang dikeluarkan Bayu Bentar. Sutasoma merasakan ilmu ini begitu dahsyat. Dia merasa bergidik. Pendekar muda yang baru dikenalnya ini ternyata tidak bisa dianggap remeh. "Kenapa kau malah membela dia?" sentak Nini Rumpaka. "Saya harap kita saling menghormati!" ujar Bayu. "Saya sudah berjanji akan menemukan pelaku pembunuhan dalam
Lalu Bayu melihat dua orang murid yang sedang berjalan membawa bakul yang sudah kosong. Mereka habis mengantarkan makanan kepada para tamu di kamar masing-masing. Ketika melewati Bayu, mereka berhenti seraya menjura. "Makanan sudah kami antarkan ke kamar!" kata salah satunya memberi tahu. "Terima kasih!" "Baik, kami permisi!" "Eh, maaf tunggu. Boleh saya bertanya?" "Silakan, Tuan!" "Apa mereka semua ada di kamarnya?" "Tidak semuanya, Ki Raga Alit dan Nini Rumpaka sedang tidak ada di kamar!" "Oh, terima kasih!" "Sama-sama, mari!" Sekali lagi mereka menjura lalu pergi. Ini suatu kebetulan buat Bayu. Segera saja dia pergi menuju halaman belakang istana. Firasatnya tidak mungkin siang-siang begini salah satunya ada di halaman tengah. Ketika sampai di tempat yang sepi, Bayu melesat ke atas atap. Sesekali dia me
Kembali Nini Rumpaka tertawa lantang. "Itu artinya kau menantangku bocah kemarin sore!" "Benar, tapi sebelum itu saya ingin bertanya dulu, Paman!" "Silakan!" "Kuburan siapa ini?" Bayu menunjuk pada makam yang terdapat daun lontarnya. "Kakak seperguruanku, Sadewa!" "Tidak salah lagi. Kemarin saya lupa menanyakan, jadi saya tanya pada Jaya Purana tentang bagaimana kematian Paman Sadewa ini. Saya menduga wanita yang kemarin saya lihat adalah kekasih Paman Sadewa dan dia datang ke sini bermaksud membalas dendam," Semua orang kembali menatap Nini Rumpaka. Ki Teja Maruta yang tampak berpikir keras seperti sedang mencoba menembus apa yang ada di balik wajah wanita yang tampak tua itu. "Saya yakin, semua yang terbunuh ini terlibat dalam tewasnya Paman Sadewa, sasaran selanjutnya mungkin Paman sendiri. Saya juga ingat Ki Raga Alit dan Pendekar Tangan Guntur datang ke sini karena undangan,
Rimasuri langsung menyerang Ki Teja Maruta yang berada di depannya dengan pukulan tenaga dalam yang tinggi. Akan tetapi Ki Teja Maruta sudah waspada dari awal. Tangannya yang sudah dilapisi tenaga dalam dan sebuah ilmu pukulan langsung bergerak menahan serangan. Desss! Tinju Nini Rumpaka terbentur telapak tangan Ki Teja Maruta yang menyala putih. Dua tenaga dalam beradu, tetapi yang satu lebih kuat dari yang lainnya. Rimasuri seperti memukul sebuah tebing batu besar. Celakanya dia kerahkan seluruh kekuatan. Tindakannya bagaikan burung kecil yang menghantamkan kepalanya sendiri ke tebing batu Brukk! Rimasuri alias Nini Rumpaka terpental keras sampai membentur dinding benteng istana. Dari mulutnya menyembur darah segar, lalu tubuhnya ambruk ke tanah. Beberapa saat dia menggelepar kemudian diam tak berkutik lagi. Nyawanya lepas begitu saja. Ilmu yang dikerahkan Ki Teja Maruta ternya
Menurut keterangan Ki Teja Maruta, orang yang sedang dicarinya yaitu Arya Soma berada di suatu tempat dan tidak pernah keluar sejak ditetapkan sebagai buronan kerajaan. Hal ini tentunya menjadi aneh apabila dihubungkan dengan kejadian yang menimpa desanya. Sedangkan perkataan Ki Teja Maruta tidak mungkin dusta. Karena dia sudah bicara sejujur-jujurnya. Hal ini juga membuat Bayu mempunyai dugaan lain. Dia akan mencoba menguraikan dan mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi. Yang paling penting dia harus segera menemui Arya Soma dalam situasi apapun. Kalaupun harus bertarung karena terseret oleh kabar ini, dia sudah siap. Setidaknya jangan sampai tewas. Hari ini Bayu menuju bukit di atas air terjun Cilutung yang jaraknya cukup jauh dari bukit Gajah Depa tempat istana Sanghyang Dora. Butuh waktu tiga hari berjalan kaki ke sana. Bayu menempuh perjalanan dengan tidak terburu-buru. Dia sengaja melakukannya.
"Bangsaku sangat menjunjung tinggi sifat kesatria!" ujar si orang asing, "aku tidak kenal dia, tidak juga mendompleng agar bisa menemukan persembunyianmu. Aku punya kemampuan sendiri!" Bayu menarik napas lega walau masih ada rasa khawatir, sepertinya Arya Soma keras kepala. Tidak akan mudah percaya. "Sudah jelas, Paman?" tanya Bayu sedikit menaikkan sebelah alisnya. Namun, Arya Soma tampak acuh. Sepertinya tidak mempedulikan pemuda ini. Padahal nama keduanya sudah menggegerkan belakangan ini dan tidak menutup kemungkinan Arya Soma juga ingin tahu lebih banyak tentang Bayu. Mantan senapati ini malah saling menatap tajam dengan orang asing yang datang belakangan. "Yamato, kau masih belum puas?" tanya Arya Soma. Orang asing yang ternyata bernama Yamato mendengkus keras. "Aku mencarimu untuk membalas dendam atas kematian guruku. Kalian guru dan murid telah mencurangi g
Seperti gurunya, tubuh Kupra juga hancur berserakan. Seakan tidak puas, ibu dan anak ini sampai menginjak-injak serpihan tubuh Kupra yang menjadi seperti pasir. Pertempuran berakhir. Dua tokoh golongan hitam paling kuat saat ini telah menemui ajalnya. Sementara itu Bayu dan Asmarini sudah tidak ada di tempatnya. Mereka sudah berjalan meninggalkan wilayah desa Rancawaru. "Sekarang ceritakan, bagaimana kau bisa jadi pawang hujan?" Asmarini mendengkus kesal. "Pawang hujan, pawang hujan!" "Oh, ya, ya! Bidadari Pengendali Air!" Akhirnya Asmarini tersenyum. Kemudian sambil berjalan gadis ini menceritakan pengalamannya. "Setelah kita berpisah waktu itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku gurunya ibuku!" "Nenek Pancasari?" Bayu tahu karena pernah mendengar dari ayahnya. "Benar!" "Lalu?" Nenek Pancasari yang dulu telah mengu
Iblis Petir yang tadinya duduk bersila segera meloncat ke atas ikut berdiri di sebelah Kupra di atas atap. Pasalnya dia merasakan hawa dingin meresap dari tanah. Guru dan murid ini mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki. Tubuh Agnibali mulai dikabari api, sedangkan Iblis Petir melindungi dirinya dengan zirah yang terbuat dari kilatan-kilatan petir. Hawa panas kedua orang ini berusaha menyeruak tindihan hawa dingin dari atas dan bawah. Bahkan akhirnya sosok kedua orang ini ditutupi oleh kobaran api. Tentu saja keduanya tidak merasakan panas karena ini adalah kekuatan dari mereka sendiri. Kobaran api itu untuk melindungi diri dari hawa dingin yang menyerang. Sementara itu wanita berpakaian dan bercadar hitam menarik nafas lega setelah adanya hawa dingin dari bawah dan langit tampak meredup. Dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih banyak lagi seperti sebelumnya. Yang ditunggu-tunggu sepertinya telah tiba.
Kupra berpindah tempat, meloncat ke atas atap. Kedua tangannya diputar-putar. Kepalanya terus mendongak ke langit. Dia mengerahkan kekuatan apinya lebih besar lagi. Seketika di seluruh tempat sampai ke pelosok desa diselimuti hawa panas terik bagai di siang hari di musim kemarau. Bahkan tidak terasa sedikit pun semilir angin yang memberikan kesejukan. Perubahan cuaca ini dirasakan dampaknya pada mereka yang tengah bertempur baik anak buah Kupra sendiri atau pendekar golongan putih. Apalagi warga desa yang merupakan orang biasa tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka merasakan seperti dipanggang. Banyak yang langsung berlari menuju sungai agar tidak kepanasan. Di dalam ruang bawah tanah, Iblis Petir merasakan hawa panas yang disebarkan muridnya itu. "Sepertinya muridku mendapat lawan yang berat. Aku harus membantunya. Kau tetap di sini, kalau kau keluar maka tubuhmu akan seperti dipanggang api sangat panas!"
Hampir semua anak buah yang dibawa Kalacakra akhirnya tewas. Sedangkan yang tersisa tidak kuat lagi menahan gigitan racun dari dalam tubuh sehingga ambruk dengan sendirinya. Termasuk Kalacakra, kini dia terdesak hebat. Tongkat Ki Hanggareksa yang bisa memanjang dan memendek sudah berkali-kali memberikan luka di tubuhnya. Awalnya memang bisa menahan dengan tenaga dalam yang ada, tapi lama-lama tenaganya melemah juga. Apalagi Ki Hanggareksa menghantamkan tongkatnya ke bagian yang berbahaya. Takk! Bukk! Bukk! Senjata cakra yang terbang sudah entah ke mana hilangnya. Senjata yang satunya pun bisa dikatakan tidak berguna lagi. Hanya benda yang digenggam di tangan saja, tapi tak bisa memberikan perlawanan. "Kalian licik!" seru Kalacakra menyadari kalau dia terkena racun, walau tidak tahu siapa dan bagaimana cara racun itu masuk ke tubuhnya. "Ah, baru sekali ini saja. Kalian sendiri melakukan kelicika
Mereka berlima ditambah Lasmini berkumpul di ruang pertemuan. "Sepertinya kelompok aliran putih sudah mulai menyerang," duga Soca Srenggi, ketua perguruan Elang Setan. "Mata-mata melaporkan mereka memang sudah bergerak, tetapi mendadak lenyap begitu saja setelah dekat dengan desa ini," sambung Kalacakra, ketua perguruan Gunung Sindu. Sementara dari tadi Kupra memperhatikan langit yang gelap, tetapi dia tampak tenang saja walau hatinya bertanya-tanya karena hal yang aneh ini. "Saat ini aku hanya menantikan Panji. Apa mungkin dia sudah bisa mengendalikan hujan atau air. Atau mengendalikan angin untuk membawa hujan?" batin Kupra. Lalu datanglah salah satu anggota melaporkan bahwa memang kelompok golongan putih sudah mengepung desa. Ini sungguh mengejutkan karena pergerakan golongan putih tidak terdeteksi ketika sudah dekat ke markas mereka. Akhirnya Agnibali memerintahkan keempat wakilnya untuk me
Parwati menoleh dan langsung kaget. Begitu juga Wirapati yang masih berendam di sungai langsung melesat ke samping Istrinya. Sepasang suami istri ini memang sedang dalam perjalanan menuju desa Rancawaru yang menjadi markas Laskar Raja Api. "Mau apa kau?" sentak Wirapati seraya langsung menyiapkan tenaga sakti. Tentu saja karena sekarang Kupra bukan yang dulu lagi. Sekarang Kupra menjadi pemimpin Laskar Raja Api. "Mau mengambil Parwati!" kata Kupra lantang dengan sorot mata tajam mengancam Wirapati. "Sejak pertama kali melihat dia, aku sudah jatuh hati. Sekarang ada kesempatan untuk membawanya tinggal bersamaku!" "Setan keparat, lancang!" umpat Wirapati. Kupra tertawa lantang sambil melepas hawa sakti panas guna menekan Wirapati. "Sekarang tidak ada lagi yang aku takutkan. Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan. Aku adalah penguasa rimba persilatan. Yang kuat yang berkuasa!"
Amoksa langsung berkelebat dan berdiri di samping Lasmini. Gadis ini baru saja mengeringkan badan beserta pakaiannya menggunakan hawa saktinya. "Memangnya siapa dia sampai-sampai kau seperti melindunginya?" "Dia Lasmini putrinya Ki Rembong!" Belasan laki-laki itu langsung berubah sikap. Mereka membuang hasratnya yang tadi ingin menikmati tubuh Lasmini. Tentu saja karena tidak ingin kena semprot wakil ketua yaitu Ki Rembong. Mereka langsung memberi jalan ketika Amoksa hendak membawa Lasmini ke markas. Tiba di markas Amoksa menyuruh salah seorang untuk melaporkan bahwa Lasmini telah ditemukan. Tentu saja Ki Rembong sangat gembira mendengar kedatangan putrinya. Lasmini langsung disambut dan dibawa ke ruang utama bertemu dengan Ketua Agnibali. Pada saat itulah Kupra terbelalak matanya begitu melihat keanggunan Lasmini. Si gadis mencoba bersikap santun sebagaimana layaknya menghadap s
Ki Abiasa menarik napas sebelum berkata. "Kalau Eyang Resi sudah memerintahkan, apa lagi yang saya cemaskan. Saya sangat yakin dengan keputusan Eyang. Baiklah, saya akan membawa mereka segera bertindak." Hawa sakti berputar-putar di dalam ruangan menghasilkan tiupan udara lembut, lalu perlahan menghilang pertanda seseorang yang dipanggil Eyang tadi juga sudah pergi. Ki Abiasa menghembuskan napas lega. "Akhirnya Eyang Resi Kuncung Putih datang juga!" Tidak menunggu lama lagi, segera Ki Abiasa mengumpulkan empat murid Resi Kuncung Putih dan para pendekar lain yang sudah berkumpul di padepokan. ***000*** Malam hari sebelum Lasmini berangkat. Sepasang kekasih ini sudah diberikan kamar khusus untuk mereka. Walaupun belum terikat pernikahan, tetapi hubungan mereka sudah terlalu dalam. Sebelum Radika pulang dan sebelum Lasmini datang ke sini saja, mereka sudah sangat intim bag
Ada empat perguruan aliran hitam yang sudah bergabung dengan Laskar Raja Api yang diketuai oleh Kupra alias Agnibali. Selain perguruan Cengkar Wulung dan Oray Hideung ditambah perguruan Gunung Sindu yang dipimpin Kalacakra dan perguruan Elang Setan yang diketuai oleh Soca Srenggi. Laskar Raja Api menduduki sebuah desa yang akan dijadikan markas. Desa Rancawaru jadi sasaran karena tempatnya yang strategis, jauh dari desa-desa di sekitarnya dan juga subur. Ki Kuwu beserta perangkat desa sampai sesepuh dibunuh tanpa ampun. Balai desa dijadikan pusat markas. Penduduk desa juga menjadi sasaran kesemena-menaan mereka. Yang laki-laki dipaksa menjadi budak yang harus bekerja melayani segala keperluan mereka. Para wanita yang masih layak sudah pasti dijadikan pemuas nafsu. Sedangkan anak-anak dan orang yang sudah tua renta dihabisi karena tenaga mereka dianggap tidak berguna. Situasi yang mengerikan di