Pintu perlahan terbuka, Jaya menoleh, terlihat laki-laki muda berbadan kekar menggendong, Hamdan, sedang menatap heran kearah, Jaya."Siapa?" tanya laki-laki muda itu, sambil menatap lurus kearah Jaya.Jaya menatap lekat, sorot marah terpancar jelas di matanya."Lu yang siapa! Kenapa ada dirumah istri saya?" lantang suara laki-laki berusia 65 tahun itu. Nafasnya tersenggal, aliran darah mulai terasa menggolak-golak.Aissh, Kakek tua ini. Masih mengenal cemburu rupanya."Is-tri?" pemuda tampan itu menautkan alis, menatap tak percaya."Iya. Istri. Kenapa kok kaget?" Jaya petantrang-petentreng."Hella ... Hella!! Keluar kamu!!" teriak, Jaya dengan nafas memburu. Dipandangnya laki-laki dihadapannya dengan bengis."Oh, ya ampun. Mas sudah pulang?" Hella keluar dengan langkah tergesa menghampiri pintu."Siapa dia, hah! Kau selingkuh?" cecar Jaya dengan mata melotot.Hella menatap laki-laki tampan disampingnya, mengedipkan sebelah mata, lalu menoleh kearah Jaya dengan wajah riang dan senyum
"Awas kau tua bangka. Akan aku permalukan kau didepan teman-temanmu!" geram Hanum dengan wajah penuh dendam.***OfdJalan raya di pagi hari terlihat begitu padat. Kendaraan roda dua dan empat saling menyalip, untuk maju lebih dulu. Hanum sangat gusar, berkali berdecak kesal saat mendapati kemacetan yang membuat perjalannya menjadi lambat.Sepanjang perjalanan, otak Hanum terus berkerja, memikirkan cara mempermalukan suaminya."Awas kau tua bangka!!" geram Hanum.Perasaan begitu jengkel, berkali-kali menghubungi nomer Jaya, namun tidak aktiv sejak dari semalam.Pecundang itu, pasti saja takut. Tidak mau mendengar ocehan pahit dari Hanum.Hanum langsung menerobos masuk kedalam Pabrik setelah membayar ongkos ojek onlinenya. Vira berlari kecil, mengikuti langkah Ibunya yang sudah masuk ke dalam gerbang dengan langkah tergesa-gesa."Huhhh! Bikin malu saja sih!" gerutu Vira dengan wajah jengkel."Tidak masuk?" Hanum terlonjak saat mendengar ucapan, Markus."Iya, sepertinya begitu, Buk. Ini
Rissa mengikuti sorot, Bik Narti. Mata Rissa terbelalak melihat sosok yang berdiri tidak jauh dari hadapannya."Bapak ..." lirih Rissa dengan tatapan tak percaya."Tuh kan, Dedek Hamdan." seru Dila kegirangan."Sssuutttttt!" Rissa menempelkan telunjuk dibibir. "Sebentar, sayang. Jangan teriak dulu ya, bisa?" Rissa menatap lekat manik, Dila, sambil memegang erat tangan kecilnya.Dila mengangguk lemas. "Iya, Mah."Satu troli belanjaan penuh oleh barang-barang dan sembako, Jaya dan Hella terlihat begitu akrab, layaknya keluarga bahagia. Rissa masih tertegun, otak mencerna apa yang sudah terjadi."Apa, Ibu menampung, Hella?" gumam Rissa dengan wajah kebingungan."Tapi aku tidak melihat, Ibu?" Rissa mengedarkan pandangan."Itu, Hella kan, Neng?" Bik Narti bersuara."Hem." balas Rissa, masih mengamati keadaan."Bibik lihat, Neneknya Dila?" tanya Rissa."Tidak lihat, dari tadi Bibik perhatikan cuma Hella sama Hamdan saja. Buk Hanum tidak kelihatan." jawab Bik Narti."Ah, mana mungkin ..." li
Hati Bagas makin berkedut, saat melihat pemandangan Indah, dari pantulan kaca sepionnya."Tankz, Mam. Sering-sering, ajak aku ke Mall." teriak Bagas dalam hati."Sudah?" tanya Bagas."Sudah, Bang. Eh ..." Rissa mendadak kikuk.Bagas tersenyum malu dibalik kaca helmnya. Pelan, dia menghembuskan nafas melalui mulut. Menghalau rasa grogi."Panggil, Abang saja, tidak masalah. Aku suka kok," ujar Bagas pelan."Eh, apa?" tanya Rissa."Bukan apa-apa," jawab Bagas sambil mengeratkan bibir, menahan tawa.Perlahan, kendaraan melaju, Bagas sengaja membawa motor sesantai mungkin. Demi bisa berlama-lamaan dengan, Rissa.Dasar kadal kamu, Gas. Bisa saja mencari kesempatan!"Ehm!" Bagas melonggarkan tenggorokan, membuka kaca helmnya. "Itu, tadi siapa?" tanya Bagas, memecahkan kesunyian."Yang mana?""Yang tadi kamu foto-foto." jawab Bagas. "Aku kok kaya pernah lihat, Mbah-Mbah itu yah." ujar Bagas berusaha mengingat-ingat."Oh, itu. Bukan siapa-siapa." balas Rissa dengan senyum tipis. Bagas yang mel
"Anak Mamah, cantik sekali." puji Rissa, setelah selesai merias wajah anaknya.Di pandangnya dari atas kebawah, depan ke belakang. Gadis manis dengan gaun berwarna biru panjang itu tersenyum malu-malu dengan pipi merah merona."Iya dong, anak siapa dulu." balas Dila dengan senyum manja."Anak, Mamah." balas Rissa dengan senyum lembut, mencium pipi Dila dengan gemas."Mah ....""Ehm?" Rissa menatap lekat mata bulat dihadapannya."Ayah datang kan, hari ini?" Dila menatap lugu, pancaran matanya menatap penuh harap.Rissa tertegun, tak mampu mengeluarkan suara."Ayah, dia datang kan, Mah?" Dila kembali bertanya. Rissa segera menghapus air bening yang menetes tanpa permisi, menghirup nafas panjang, lalu menatap Dila dengan lembut."Dila sabar ya. Kerja Ayah sangat jauh. Jadi susah, untuk pulang." jawab Rissa dengan suara pelan."Yahhh ..." Dila merunduk kecewa.Rissa berdebar perih, sekuat tenaga berusaha tegar. Walau bagaimana pun, pertanyaan ini akan selalu terlontar dari bibir mungil an
"Ibu ...?" lirih Rudi dengan hati gamang. Terlihat Hanum sedang duduk dibalik dinding kaca menunggu kedatangannya. Rudi tertegun ditempat, perasaan mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."Buk," sapa Rudi sambil menarik kursi yang ada dihadapan, Hanum."Rud ..." mata Hanum sudah berkaca-kaca, raut lelah tergambar jelas diwajahnya.Rudi terdiam, bingung hendak berkata apa. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, dia merasa gagal melindungi keluarga."Ibu ingin melaporkan, Bapakmu ..." lirih Hanum disertai isak tangis. Rudi tertegun, nafas panjang keluar dari mulutnya."Kenapa?" tanya Rudi lemas."Ibu tidak Ridho, uang ruko di pakai Bapakmu untuk bersenang-senang dengan gundiknya!" geram Hanum dengan suara penuh amarah.Rudi tertunduk, rasa bersalah semakin dalam dia rasakan."Bapakmu tidak kasihan sama, Ibu, Rud. Sudah selingkuh, uang ruko di ambil juga. Huhu ..." adu Hanum sambil sesegukan.Rudi biarkan, Ibunya menangis. Hati ikut menjerit, melihat Hanum yang begitu menyedihkan."Ibu kes
Jaya menggeram kesal, hati mengutuk keras perbuatan, Hanum yang sangat mempermalukan harga dirinya."Awas kamu, Num!!" geram Jaya dengan gigi bergelutuk.Didalam mobil, Jaya mengeluarkan gawai. Membuka blokiran Hanum, dan menghubunginya.Namun sialnya, Hanum tidak merespon. Membiarkan panggilan, tanpa ingin menjawab penggilan dari Jaya."Ah, sial! Maunya apa sih." gerutu Jaya dengan hati memanas. "Sudah gila si, Hanum. Bener-bener brengsek!" geram Jaya penuh amarah.Sesampainya di kantor, Jaya langsung digiring menuju ruangan introgasi. Hati sudah mulai gelisah, membayangkan akan kembali menginap di penjara."Kurang ajar si, Hanum!" rutuk Jaya, kesal."Bapak tidak bisa main tangkap saja dong. Kalau tidak ada bukti, mana bisa saya di tahan!" gerutu Jaya, saat Polisi masuk kedalam ruangan."Apa Hanum ada bukti nyata, kalau saya mengambil uang disana? Kok main tangkap saja. Ini sih, namanya pencemaran nama baik!" tukas Jaya tak habis pikir."Bisa-bisanya Polisi ceroboh hendak menangkap o
"Eling, Pak." Wisnu menegakkan badan, menyentak kasar kerah bajunya. "Saya juga pernah selingkuh, tapi tidak mencuri uang istri apalagi buat foya-foya sama Gundik!" sambung Wisnu dengan tatapan sinis dan senyum mengejek.Bisa Wisnu lihat rahang, Jaya mengeras, mata melotot marah dengan suara gemeletuk gigi yang terdengar keras. Jaya meradang, tangan terkepalnya melayang cepat diudara.Bugh bugh!!Dua bogem mentah mendarat sempurna diwajah tampan, Wisnu. Jaya begitu terbakar, darah rasanya mendidih diejek menantunya sendiri.Wisnu hanya meringis menahan sakit, tidak melawan sama sekali."Kurang ajar lu ya. Sialan!!" maki Jaya begitu marah. Saat ingin kembali melayangkan pukulan, tubuhnya ditahan oleh dua petugas. Jaya semakin memberontak, saat melihat Wisnu yang tersenyum sinis sambil menyeka sudut bibir yang mengeluarkan setitik darah."Kasihan ..." desis Wisnu disertai dengkusan kecil, lalu pergi menyusul Hanum."Jangan pergi kau sett--an!!"Jaya berteriak garang, memaki istri dan me
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.