Mata Sanjaya yang merah melotot ke arah suara yang mencegahnya. Cakarnya yang semula siap digunakan untuk mencabik mangsa di depannya yang sudah terangkat di udara kembali diturunkan. Nafasnya naik turun tidak beraturan, rambutnya yang panjang melambai tertiup angin malam yang kencang. Ekornya yang tebal dan panjang bergerak naik turun.
Kyai Rangga tampak duduk di atas kudanya diiringi oleh puluhan pasukan panah berkuda yang siap melepaskan anak panahnya. Rupanya dialah yang meminta Sanjaya untuk menghentikan serangannya. Kyai Rangga melompat turun dari kudanya dan berjalan mendekati Sanjaya.
Sanjaya memandangi Kyai Rangga yang perlahan mendekatinya. Sanjanya memandang Kyai Rangga dengan matanya yang merah, nafasnya semakin memburu, dan dia menyerang Kyai Rangga dengan cakarnya.
Kyai Rangga tidak menghindari serangan Sanjaya, tetapi dengan tangan kanannya dia menangkap tangan Sanjaya yang terayun ke arahnya. Setelah menangkap tangan Sanjaya, dengan gerakan
Malam hari. Rumah pedagang ikan. Tegal. Kyai Rangga duduk bersila di depan penyerang yang terbaring pingsan. Tangan kanannya memegang lengan penyerang itu. Adijaya memberi isyarat pada semua yang hadir untuk ikut duduk bersila dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Maka hampir serentak semua yang hadir duduk bersila dan diam menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kyai Rangga.Dalam keheningan malam, angin bertiup pelan membawa hawa dingin, membuat semua yang hadir mulai merasakan hawa dingin menusuk tulang mereka.Kyai Rangga memegang lengan penyerang itu dan mulai mencoba memasuki alam bawah sadar orang itu.“Dengarkan kata-kataku, dengarkan dan ikuti semua yang kukatakan, kamu akan merasa nyaman, tenang, tentram, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua aman, tentram, nyaman. Suara sepoi angin malam akan membuatmu tidur semakin dalam, semakin dalam, dan semakin nyenyak. Tetapi kamu masih bisa tersadar dan masih bisa menjab
Malam semakin dingin. Kyai Rangga masih bersila di hadapan Rudrapaksi, mencoba mengorek keterangan lebih jauh.“Darimana kalian tahu rencana penyerangan ke Batavia?” tanya Kyai Rangga pada Rudrapaksi yang masih tenggelam dalam alam bawah sadarnya.“Banyak mata-mata di sebar ke seluruh wilayah kekuasaan Mataram!”Kyai Rangga manggut-manggut.“Berapa orang mata-mata yang ada di Tegal?” tanya Kyai Rangga dengan mimik serius.“Ada dua orang!”“Siapa mereka?”Jleb!!! Sebuah anak panah berukuran sejengkal menembus tenggorokan Rudrapaksi, membuatnya berhenti bernapas selamanya. Kyai Rangga dengan cepat mencari asal anak panah itu. Dilihatnya sekelebat bayangan hitam berlari di atas atap.“Sial!” teriak Kyai Rangga sambil melompat ke atas atap untuk mengejar bayangan hitam itu.Bayangan itu melesat bagai busur anak panah di kegelapan malam. Kyai Rangga denga
Malam hari. Jalan menuju Kendal. Kyai Rangga dan dan sepuluh prajurit pengawalnya masih berhenti di tempat itu. Kyai Rangga menunggu sampai rombongan yang menuju kadipaten benar-benar telah lenyap dari pandangan.“Malam ini cukup gelap, jalanan juga sulit dilihat, kita hanya berpedoman pada bintang di langit,” kata Kyai Rangga.“Kita akan kemana?” tanya Dewangga, kepala pasukan pengawal.“Kita akan menuju ke Kendal, menemui Tumenggung Bahurekso,” jawab Kyai Rangga.“Kendal? Bukankah tadi Kanjeng Tumenggung mengatakan kita akan pergi besok?” tanya Dewangga.“Itu hanya siasat, agar tidak ada yang tahu aku pergi ke Kendal malam ini, banyak mata-mata yang sudah menyusup di Tegal, jadi aku harus hati-hati,” jelas Kyai Rangga.Dewangga mengangguk, memahami penjelasan Kyai Rangga.“Mohon maaf Kanjeng Tumenggung, apakah kuda-kuda kita dapat melakukan perjalanan dalam kegelapan?
Suara irama gamelan menggema di desa Kendalrejo. Tampaknya hampir seluruh penduduk desa berada di depan panggung untuk menyaksikan penari beraksi. Kyai Rangga dan rombongan masih duduk di atas tikar di depan panggung. Berbagai makanan ada di depan mereka, makanan yang lezat dengan tampilan yang menawan. Tetapi Kyai Rangga melarang pasukannya untuk memakan semua hidangan yang ada. Mereka tetap duduk sambil menonton penari yang menari dengan lemah gemulai.“Mengapa kita tidak boleh memakan hidangan ini?” tanya seorang prajurit bernama Joyo kepada Dewangga.“Aku juga tidak tahu. Mungkin Kyai Rangga melihat sesuatu yang mencurigakan, atau merasakan suatu keanehan,” jawab Dewangga.“Padahal dari tampilannya semua makanan ini lezat,” kata Joyo lagi sambil memandangi hidangan di depannya.“Kita ikuti saja perintah Kyai Rangga,” kata Dewangga.Suro datang lagi menemui Kyai Rangga dan rombongannya.“Monggo didahar, silakan dimakan,” kata Suro mempersilakan Kyai Rangga, sambil tersenyum, tetapi
Suasana di desa Kendalrejo berubah menjadi mengerikan, ratusan mayat hidup mengepung Kyai Rangga dan rombongannya.“Ayo kita pergi!” perintah Kyai Rangga sambil mencabut pedangnya dan menebas Suro yang ada di depannya.“Argh!” Suro berteriak keras dan jatuh telentang.Kyai Rangga memimpin pasukannya menyerbu ke arah barisan mayat hidup itu untuk membuka jalan. Tebasan pedang dari Kyai Rangga dan pasukannya membuat gerombolan mayat hidup itu jatuh bergelimpangan. Tetapi begitu menyentuh tanah mereka kembali berdiri, walau dengan kepala, tangan dan kaki telah terpisah dari badan.Beberapa mayat hidup memegang dan menarik seorang prajurit Kyai Rangga. Dengan sigap prajurit itu menebas tangan mayat hidup yang memegangnya, hingga terputus dan terlempar ke udara. Tetapi potongan tangan yang terlempar itu ternyata tepat mengenai kepala seorang prajurit Tegal lainnya. Tangan itu tetap bergerak hendak mencekik prajurit itu.“Hi
Tegal. Tengah malam. Adijaya dan rombongannya segera meninggalkan rumah pedagang ikan untuk kembali ke kadipaten Tegal, setelah membersihkan sisa-sisa pertempuran. Mayat-mayat di letakkan ke dalam pedati, jumlahnya puluhan. Membutuhkan lima pedati untuk mengangkut semua mayat-mayat itu. Rombongan itu berangkat dengan cepat menuju kadipaten.Adijaya, Lembu Sora, Bhre Wiraguna, dan Arya Tejawungu berkuda beriringan di depan rombongan, diikuti oleh lima pedati dan di belakang para prajurit Tegal mengawal barisan.“Apakah mayat-mayat itu akan kita bawa ke kadipaten?” tanya Lembu Sora.“Tidak, kita akan bakar mayat-mayat itu di hutan terdekat!” jawab Adijaya.“Mengapa tidak kita buang ke sungai saja?” tanya Lembu Sora lagi.“Itu akan menimbulkan masalah baru. Mayat-mayat itu akan terapung ribuan kilometer, akan menimbulkan kehebohan di penduduk sekitar sungai. Musuh akan segera tahu bahwa pasukan khususnya telah kita bantai,” jawab Adijaya sambil mengendalikan kudanya.“Masalahnya apa kala
Tegal. Hutan tempat pembakaran mayat. Lewat tengah malam. Asap masih mengepul di tempat pembakaran mayat. Bara api masih menyala di beberapa titik. Mayat-mayat yang dibakar sudah jadi abu. Dari dalam tumpukan abu, tampak cairan hijau lengket di atas tanah. Cairan hijau itu menetes dari bekas mayat yang terbakar dan dari kayu yang terbakar. Ketika jatuh di tanah cairan hijau itu bergerak mencari tempat yang rendah. Tetesan-tetesan cairan hijau semakin banyak dan berkumpul menjadi satu, semakin lama semakin banyak dan menjadi sebuah kubangan cairan hijau lengket. Rupanya seluruh pasukan khusus yang telah menjadi mayat itu telah disuntik dengan serum kehidupan. Akibat terbakar, maka serum kehidupan itu mengalir keluar dari mayat-mayat pasukan khusus itu.Cairan hijau itu bergerak-gerak berkumpul menjadi satu kubangan yang besar. Kubangan itu kemudian bergerak ke atas membentuk sesosok tubuh manusia. Lengkap dengan kepala, tubuh, tangan, dan kaki. Cairan itu membentuk sosok hijau berukura
Tegal. Pagi hari. Dua hari setelah Kyai Rangga menghadap Tumenggung Bahurekso. Persiapan besar-besaran sedang dilakukan di kadipaten Tegal. Ratusan sapi ternak dari berbagai daerah dikumpulkan di alun-alun kadipaten Tegal. Alun-alun itu tampak seperti pasar hewan. Suara riuh sapi dan orang-orang bercampur jadi satu. Sapi-sapi itu disiapkan untuk perbekalan penyerangan ke Batavia. Mereka akan dikirim ke sepanjang jalur penyerangan ke Batavia dan ke pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia. Sapi-sapi itu bersama puluhan juru masak akan segera berangkat naik kapal.Kyai Rangga sendiri yang memimpin pasukan pembawa perbekalan itu. Mereka akan menuju ke pelabuhan Tegal dan akan menaikkan sapi-sapi itu ke dalam kapal yang sudah siap di pelabuhan Tegal. Kyai Rangga akan didampingi oleh Lembu Sora, Bhre Wiraguna, dan Arya Tejawungu. Sementara itu Adijaya ditugaskan untuk menjaga keamanan di kadipaten Tegal selama Kyai Rangga bertugas.Kyai Rangga sudah menaiki kuda putihnya, siap unt