Tegal. Malam hari. Di depan rumah pedagang ikan. Sanjaya duduk terdiam dikelilingi oleh Adijaya, Bhre Wiraguna, Lembu Sora, dan Arya Tejawungu beserta prajurit kadipaten Tegal.
“Banyak pertanyaan yang harus kamu jawab,” kata Adijaya.
“Sebaiknya ceritakan saja dari awal,” usul Lembu Sora.
“Ya, ceritakan semuanya!” kata Bhre Wiraguna dengan nada mengancam, karena dia adalah korban ikan beracun yang dimasak Sanjaya.
Semua menunggu apa yang akan dikatakan Sanjaya. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Sanjaya mulai bercerita.
Setelah pertempuran dengan pasukan kalian di Sindang Laut, kami melarikan diri ke hutan. Di sanalah kami bertemu dengan pasukan asing di bawah pimpinan Samiri. Pasukan asing itu mempunya senjata dan kekuatan yang luar biasa, tidak akan pernah kalian jumpai sebelumnya di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Mereka mempunyai senjata kecil yang bisa mengeluarkan sinar maut yang mampu melump
Malam hari. Masih di rumah pedagang ikan, Tegal. Sanjaya masih duduk dikeliling para prajurit Tegal. Malam semakin dingin, angin malam bertiup pelan. Waktu yang nikmat untuk istirahat. Tapi Adijaya dan prajurit Tegal lainnya masih mencoba mengorek keterangan dari Sanjaya. Terlalu banyak misteri, terlalu banyak yang tidak mereka ketahui dari cerita Sanjaya. Senjata aneh, Samiri, pulau misterius, makhluk-makhluk aneh, semuanya seolah hanya dongeng saja.“Sebenarnya, apa tugas yang dibebankan padamu?” tanya Adijaya penasaran.“Eeh, sebenarnya aku ditugaskan meracuni seluruh pasukan Mataram yang akan menyerang Batavia,” jawab Sanjaya.“Apa tujuannya?”“Untuk melemahkan pasukan Mataram, sehingga gagal menyerang Batavia!”“Siapa yang sebenarnya merencanakan semua ini?” tanya Adijaya.“Semua berasal dari Samiri, orang yang tahu segalanya itu,” jawab Sanjaya.“Siapa
Adijaya dan kawan-kawannya semakin terdesak oleh serbuan pasukan penyerang. Pasukan penyerang semakin banyak berdatangan menyerbu laksana air bah. Adijaya hanya bisa menangkis dan mundur, tidak dapat menyerang sama sekali. Musuh semakin ganas menyerang, beberapa prajurit Tegal tampak mulai terluka. Darah tampak mengalir dari tubuh mereka. Pasukan musuh semakin gencar menyerang dengan semangat untuk menghabisi perlawanan pasukan Tegal.Adijaya sudah kehabisan ruang untuk menyerang, musuh terlalu banyak dan rapat. Pedangnya lebih sering beradu dengan pedang penyerangnya. Hal yang sama terjadi juga pada Lembu Sora, Bhre Wiraguna dan Arya Tejawungu. Mereka sama sekali sudah tidak bisa menyerang. Tenaga mereka juga sudah terkuras karena menahan gempuran serangan lawan. Pada saat yang kritis itu, terdengar suara auman yang keras, bersamaan dengan itu pasukan penyerang mendadak kocar-kacir tidak karuan.Seekor makhluk mengerikan mengamuk, membabi-buta, menyerang pasukan berpa
Mata Sanjaya yang merah melotot ke arah suara yang mencegahnya. Cakarnya yang semula siap digunakan untuk mencabik mangsa di depannya yang sudah terangkat di udara kembali diturunkan. Nafasnya naik turun tidak beraturan, rambutnya yang panjang melambai tertiup angin malam yang kencang. Ekornya yang tebal dan panjang bergerak naik turun.Kyai Rangga tampak duduk di atas kudanya diiringi oleh puluhan pasukan panah berkuda yang siap melepaskan anak panahnya. Rupanya dialah yang meminta Sanjaya untuk menghentikan serangannya. Kyai Rangga melompat turun dari kudanya dan berjalan mendekati Sanjaya.Sanjaya memandangi Kyai Rangga yang perlahan mendekatinya. Sanjanya memandang Kyai Rangga dengan matanya yang merah, nafasnya semakin memburu, dan dia menyerang Kyai Rangga dengan cakarnya.Kyai Rangga tidak menghindari serangan Sanjaya, tetapi dengan tangan kanannya dia menangkap tangan Sanjaya yang terayun ke arahnya. Setelah menangkap tangan Sanjaya, dengan gerakan
Malam hari. Rumah pedagang ikan. Tegal. Kyai Rangga duduk bersila di depan penyerang yang terbaring pingsan. Tangan kanannya memegang lengan penyerang itu. Adijaya memberi isyarat pada semua yang hadir untuk ikut duduk bersila dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Maka hampir serentak semua yang hadir duduk bersila dan diam menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kyai Rangga.Dalam keheningan malam, angin bertiup pelan membawa hawa dingin, membuat semua yang hadir mulai merasakan hawa dingin menusuk tulang mereka.Kyai Rangga memegang lengan penyerang itu dan mulai mencoba memasuki alam bawah sadar orang itu.“Dengarkan kata-kataku, dengarkan dan ikuti semua yang kukatakan, kamu akan merasa nyaman, tenang, tentram, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak ada yang perlu ditakutkan. Semua aman, tentram, nyaman. Suara sepoi angin malam akan membuatmu tidur semakin dalam, semakin dalam, dan semakin nyenyak. Tetapi kamu masih bisa tersadar dan masih bisa menjab
Malam semakin dingin. Kyai Rangga masih bersila di hadapan Rudrapaksi, mencoba mengorek keterangan lebih jauh.“Darimana kalian tahu rencana penyerangan ke Batavia?” tanya Kyai Rangga pada Rudrapaksi yang masih tenggelam dalam alam bawah sadarnya.“Banyak mata-mata di sebar ke seluruh wilayah kekuasaan Mataram!”Kyai Rangga manggut-manggut.“Berapa orang mata-mata yang ada di Tegal?” tanya Kyai Rangga dengan mimik serius.“Ada dua orang!”“Siapa mereka?”Jleb!!! Sebuah anak panah berukuran sejengkal menembus tenggorokan Rudrapaksi, membuatnya berhenti bernapas selamanya. Kyai Rangga dengan cepat mencari asal anak panah itu. Dilihatnya sekelebat bayangan hitam berlari di atas atap.“Sial!” teriak Kyai Rangga sambil melompat ke atas atap untuk mengejar bayangan hitam itu.Bayangan itu melesat bagai busur anak panah di kegelapan malam. Kyai Rangga denga
Malam hari. Jalan menuju Kendal. Kyai Rangga dan dan sepuluh prajurit pengawalnya masih berhenti di tempat itu. Kyai Rangga menunggu sampai rombongan yang menuju kadipaten benar-benar telah lenyap dari pandangan.“Malam ini cukup gelap, jalanan juga sulit dilihat, kita hanya berpedoman pada bintang di langit,” kata Kyai Rangga.“Kita akan kemana?” tanya Dewangga, kepala pasukan pengawal.“Kita akan menuju ke Kendal, menemui Tumenggung Bahurekso,” jawab Kyai Rangga.“Kendal? Bukankah tadi Kanjeng Tumenggung mengatakan kita akan pergi besok?” tanya Dewangga.“Itu hanya siasat, agar tidak ada yang tahu aku pergi ke Kendal malam ini, banyak mata-mata yang sudah menyusup di Tegal, jadi aku harus hati-hati,” jelas Kyai Rangga.Dewangga mengangguk, memahami penjelasan Kyai Rangga.“Mohon maaf Kanjeng Tumenggung, apakah kuda-kuda kita dapat melakukan perjalanan dalam kegelapan?
Suara irama gamelan menggema di desa Kendalrejo. Tampaknya hampir seluruh penduduk desa berada di depan panggung untuk menyaksikan penari beraksi. Kyai Rangga dan rombongan masih duduk di atas tikar di depan panggung. Berbagai makanan ada di depan mereka, makanan yang lezat dengan tampilan yang menawan. Tetapi Kyai Rangga melarang pasukannya untuk memakan semua hidangan yang ada. Mereka tetap duduk sambil menonton penari yang menari dengan lemah gemulai.“Mengapa kita tidak boleh memakan hidangan ini?” tanya seorang prajurit bernama Joyo kepada Dewangga.“Aku juga tidak tahu. Mungkin Kyai Rangga melihat sesuatu yang mencurigakan, atau merasakan suatu keanehan,” jawab Dewangga.“Padahal dari tampilannya semua makanan ini lezat,” kata Joyo lagi sambil memandangi hidangan di depannya.“Kita ikuti saja perintah Kyai Rangga,” kata Dewangga.Suro datang lagi menemui Kyai Rangga dan rombongannya.“Monggo didahar, silakan dimakan,” kata Suro mempersilakan Kyai Rangga, sambil tersenyum, tetapi
Suasana di desa Kendalrejo berubah menjadi mengerikan, ratusan mayat hidup mengepung Kyai Rangga dan rombongannya.“Ayo kita pergi!” perintah Kyai Rangga sambil mencabut pedangnya dan menebas Suro yang ada di depannya.“Argh!” Suro berteriak keras dan jatuh telentang.Kyai Rangga memimpin pasukannya menyerbu ke arah barisan mayat hidup itu untuk membuka jalan. Tebasan pedang dari Kyai Rangga dan pasukannya membuat gerombolan mayat hidup itu jatuh bergelimpangan. Tetapi begitu menyentuh tanah mereka kembali berdiri, walau dengan kepala, tangan dan kaki telah terpisah dari badan.Beberapa mayat hidup memegang dan menarik seorang prajurit Kyai Rangga. Dengan sigap prajurit itu menebas tangan mayat hidup yang memegangnya, hingga terputus dan terlempar ke udara. Tetapi potongan tangan yang terlempar itu ternyata tepat mengenai kepala seorang prajurit Tegal lainnya. Tangan itu tetap bergerak hendak mencekik prajurit itu.“Hi