Rawabelong. Menjelang subuh. Pitung, Rais, dan Ji’i masih terdiam di tempatnya ketika puluhan centeng mendekat dari belakang mereka, siap menghabisi. Pasukan VOC di depan menghadang dengan senapan siap tembak. Dalam suasana itu muncullah Mayor Isaac st Martin, tuan tanah pemilik rumah besar itu.“Ha.ha. ha. goed werk! Kerja bagus, kalian orang sudah bekerja sangat baik!” kata Mayor Isaac sambil bertepuk tangan, tentu saja ditujukan kepada centeng dan pasukan VOC.Pitung hanya mendengus saja, dia memberi tanda kepada Rais dan Ji’i untuk melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan mereka tidak akan mau ditangkap hidup-hidup. Mereka berdiri saling membelakangi membentuk segitiga, siap menghadapi serangan dari manapun. Tetapi pasukan centeng dan pasukan VOC tidak segera menyerang mereka bergerak perlahan maju mendekat pada Pitung dan kawan-kawannya.Pitung segera menghitung peluangnya untuk lolos, mereka dapat menghadapi pasukan centeng yang bersenjatakan golok. Tetapi menghadapi
Jatibarang. Siang hari. Kedatangan Lasmini di kadipaten sudah diketahui oleh Karta Sentana dan juga oleh pasukan yang masih setia kepada Tumenggung Jatibarang. Setelah ditolong oleh Simo Wongso dan pasukan ularnya, Lasmini dan Sarip segera melarikan diri mencari tempat persembunyian yang aman.“Ayo, ikuti aku!” kata Simo Wongso memandu Sarip dan Lasmini berlari menyusuri jalan-jalan setapak di sekitar kadipaten Jatibarang. Mereka berlari sambil sesekali memandang ke belakang untuk melihat apakah ada pasukan Kerta Sentana yang mengejar mereka. Tetapi tampaknya tidak ada satu pun pasukan Kerta Sentana yang terlihat. Mereka hanya menemukan pandangan heran dari beberap penduduk yang melihat mereka berlarian tanpa tujuan. Setibanya mereka di rumah paling ujung, mendadak ada seorang lelaki tua keluar dari rumah dan langsung menghentikan Langkah mereka.“Berhenti, ayo masuk ke dalam rumah saja!” teriak lelaki tua Bernama Wariman itu.Lasmini memandang ke arah Sarip, Sarip memandang ke arah S
Pagi hari. Di sebuah sungai di tepi hutan tak jauh jauh dari Rawabelong. Rombongan Kyai Rangga sedang beristirahat. Seperti biasa, Badra duduk di atas pohon dan beristirahat di sana ditemani oleh Wanara, kera kecilnya. Wanara tampak asyik mencari kutu di rambut Badra yang panjang. Sedangkan Suropati dan Sakera tampak duduk di tepi sungai.Pitung, Rais, dan Ji’i tampak bersama Kyai Rangga.“Mengapa kalian memutuskan untuk ikut dengan kami ke Batavia,” tanya Kyai Rangga.“Kami merasa keadaan di Rawabelong sudah tidak aman bagi kami, setiap saat nyawa kami terancam,” jawab Pitung.“Sebenarnya apa yang kalian lakukan sehingga bermusuhan dengan pasukan VOC dan para tuan tanah beserta centengnya?” tanya Kyai Rangga menyelidik.“Kami hanya sedih melihat kesenjangan yang terjadi. Banyak rakyat yang sangat miskin sampai tidak ada yang dapat dimakan, sementara para tuan tanah berlaku semene-mena. Kami hanya mengambil sedikit dari harta para tuan tanah untuk kami bagikan kepada masyarakat,” jawa
Rumah Wariman. Jatibarang. Di ruang tamu masih berkumpul Sarip, Lasmini, Wariman, Suta, Mahesa, Siwa, Bima, dan Harsa. Mereka masih memikirkan cara bagaimana membebaskan tumenggung Jatibarang, yang sedang dipenjara di hutan rungsep. Sarip mengusulkan untuk meledakkan penjara itu. Terdengar mudah, tapi sulit dilaksanakan. Pertama, mereka tidak punya bahan peledak. Kedua, penjara itu pasti dijaga dengan sangat ketat oleh pasukan Karta Sentana, untuk mendekat saja pasti cukup sulit.“Darimana kita dapatkan bahan peledak?” tanya Suta.“Aku tidak tahu, mungkin kalian yang lebih tahu,” jawab Sarip.“Hmm, pasukan VOC mungkin punya banyak mesiu di gudangnya,” kata Mahesa.“Gudang, ada yang tahu tempatnya?” tanya Sarip.“Kami semua tahu, tempatnya ada di dekat kadipaten, cukup terbuka dan penjagaan sangat ketat,” jawab Wariman.“Mungkinkah kita mengambil dari gudang itu?” tanya Lasmini.“Agaknya tidak mungkin, cukup berat, tapi tetap harus dicoba, kalau benar-benar mesiu itu sangat kita butuhk
Batavia. Menjelang siang rombongan Kyai Rangga sudah tiba. Mereka berkuda dengan pelan menuju pusat kota ke tempat Gubernur Batavia Jan Pieterzoncoen berada. Kyai Rangga berkuda paling depan didampingi oleh Bhre Wiraguna, diikuti oleh prajurit pengawalnya. Di belakang barisan ada Untung Suropati dan Sakera. Paling belakang adalah Badra dengan Jalak, kuda putihnya, serta tak lupa wanara, kera kecil, yang setia ada di Pundak Badra.Ketika memasuki perkampungan penduduk, mendadak rombongan itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Dua orang berpakaian hitam-hitam sedang berhadap-hadapan dengan golok masing-masing.“Gue udah sering ingetin elu untuk nyerah aje, tapi lu bebal, sekarang udah gak ada kesempetan lagi,” kata seorang berpakaian hitam yang mengenakan ikat kepala abu-abu, dia adalah Ki Sima.Ki Sima adalah jawara yang terkenal dengan kemampuan bela dirinya, dan menjadi antek VOC.“Gue kagak peduli, selama elu masih jadi antek VOC, elu pasti berhadapan dengan gue,” kata yang berkumis
Jatibarang. Pagi hari di rumah Wariman. Sarip dan Lasmini sedang memasukkan serbuk-serbuk mesiu ke dalam wadah-wadah kecil, yang nanti akan digunakan untuk menyerbu penjara hutan Rungsep. Sementara di luar tampak orang-orang membicarakan kejadian kebakaran di gudang senjata, yang menewaskan penjaga dan menghancurkan semua senjata yang ada di sana. Sementara itu, rekan-rekan Wariman mempersiapkan senjata yang akan digunakan untuk menyerang penjara rungsep.“Bagaimana persiapan persenjataan?” tanya Lasmini kepada Wariman.“Sejauh ini semuanya sudah siap, tinggal melengkapi hal-hal kecil saja,” jawab Wariman.“Apakah ada tambahan pasukan?” tanya Lasmini lagi.“Suta masih mencari sisa pasukan yang setia kepada kanjeng tumenggung Jatibarang,” jawab Wariman.“Kukira sudah tidak perlu pasukan tambahan lagi,” mendadak Simo Wongso muncul.“Hah, dari mana saja kau? Tiba-tiba pergi tanpa pemberitahuan dan datang juga tiba-tiba,” kata Sarip.“Maaf, aku terbiasa tinggal di hutan, tidak bercampur m
Jatibarang. Rumah Wariman. Tengah malam. Persiapan pasukan untuk menyerang penjara Rungsep telah lengkap. Sarip tampak menyisipkan sebuah golok di ikat pinggangnya. Sedangkan dipunggungnya terdapat bubuk mesiu yang sudah di masukkan kedalam wadah. Lasmini sibuk mengatur pasukan. Sementara Simo Wongso hanya memandang semua itu sambil duduk bersila di teras rumah.“Saatnya kita berangkat, ayo bergerak!” kata Lasmini memberi aba-aba, setelah waktu tengah malam sudah lewat.Serentak semua pasukan bergerak, keluar dari rumah Wariman menuju hutan rungsep. Mereka sengaja tidak naik kuda, untuk menghindari suara ribut akibat suara derap kaki kuda. Rombongan bergerak dalam kelompok lima-lima, berjalan tanpa suara menuju ke arah hutan Rungsep, sekitar 10 kilometer dari rumah Wariman.Simo Wongso tidak ikut dalam kelompok, dia berjalan sendiri paling belakang. Kadang dia sedikit berlari, agar bisa menyusul rombongan di depannya, tetapi dia tetap menjaga jarak a
Penjara Rungsep. Menjelang subuh. Dihadapan Sarip, Lasmini, dan pasukannya, menjulang tembok dari batu gunung setinggi 5-meter dengan duri-duri dari baja di seluruh permukaannya. Duri-duri dari baja itu berdiameter sekitar 3 cm dan panjang 10 cm, membuat dinding itu sulit dipanjat.Sarip dan Lasmini saling memandang. Saling bertanya-tanya bagaimana cara masuk ke dalamnya.“Apakah ini kita ledakkan juga?” tanya Sarip.“Ya, kita coba saja,” kata Lasmini.“Sebenarnya ada pintu masuk rahasia, tapi sebelah mana dan tandanya apa, aku lupa,” lanjut Lasmini.“Hmm, baiklah, kita coba ledakkan di sini,” kata Sarip sambil menyiapkan serbuk mesiu.Setelah selesai memasang serbuk mesiu dan menyalakan sumbunya, Sarip meminta Lasmini dan lainnya untuk menjauh.“Blaaar!!” terdengar ledakan yang keras, menimbulkan bekas lubang yang cukup besar di dinding. Tetapi tidak cukup besar untuk dapat dimasuki manusia.“Wah lubangnya kurang besar, kita belum bisa masuk!” kata Sarip.Tanpa dikomando lagi pasukan
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a