Lasmini dan kawan-kawan telah sampai di tembok ketiga. Tembok yang terbuat dari bata itu menjulang setinggi 5 meter. Permukaannya sangat halus. Sarip mengetuk-ngetuk permukaan dinding itu.“Hmm, tampaknya cukup mudah untuk diledakkan,” gumam Sarip.Sarip memandangi ke sekelilingnya, di depannya ada tembok tinggi itu sedangkan di belakangnya ada kolam.“Seharusnya ada pintu yang dapat dimasuki dengan mudah, jika tidak ada pintunya sama sekali, bagaimana mereka dapat memasukkan tahanan ke dalam penjara yang ada di dalam?” tanya Sarip pada Lasmini.“Ada pintu rahasia di masing-masing dinding, tetapi aku lupa tempatnya, karena waktu diajak kesini aku masih kecil,” jawab Lasmini.“Coba kita berjalan keliling, mungkin kita dapat menemukan pintu atau jalan masuknya,” kata Sarip bergerak untuk mengelilingi tembok itu.“Tidak perlu!” kata Lasmini.“Mengapa?” Sarip keheranan.“Kita akan kehabisan waktu, sebentar lagi matahari akan terbit, semakin sulit bagi kita,
Penjara Rungsep. Menjelang subuh. Tujuh orang tampak berdiri di atas dinding bata lapis ketiga penjara Rungsep, mereka adalah Lasmini dan kawan-kawan, yang berniat membebaskan ayah Lasmini yang ditahan di penjara itu. Di depan mereka terbentang jembatan dari tali tambang, yang terbentang dari dinding bata ke dinding baja runcing di depannya. Di bawah mereka sejauh 5 meter terdapat kolam lumpur. Tidak ada yang tahu berapa dalam kolam lumpur itu dan apa yang ada di dalam kolam lumpur itu.Tambang itu terhubung ke seberang terikat kuat di baja runcing. Sedangkan di sisi sebelah tembok hanya diikatkan pada dua buah golok yang ditancapkan Lasmini.“Kuatkah ini?” kata Sarip sambil memegang ikatan tali tambang pada golok yang ditancapkan Lasmini.“Cukup kuat kukira,” kata Lasmini.“Biarkan mereka menyeberang dulu, baru kita,” usul Sarip.“Ya, betul, kita menjaga di sini, sampai semua selamat di seberang!” ka
Penjara Rungsep. Menjelang fajar. Matahari sudah hampir muncul. Sarip, Lasmini, dan kawan-kawan masih menerjang semak belukar untuk mencapai lapis kelima penjara Rungsep. Dinding terakhir terbuat dari baja, yang lurus dan licin, tidak bisa dipanjat atau diledakkan dengan serbuk mesiu.Golok Sarip, Lasmini, dan kawan-kawannya bergerak kesana kemari dengan cepat untuk membabat semak-semak yang menghalangi jalan mereka. Potongan-potongan semak itu menghambur ke udara seperti dilemparkan.“Aah!” salah seorang menjerit kesakitan.“Ada apa?” tanya temannya.“Aku disengat kalajengking!” teriaknya.“Apa?!!”Semua segera melihat ke bawah, di balik semak-semak, ratusan kalajengking siap menyerang dengan sengatnya yang beracun. Hewan kecil berwarna hitam seukuran telapak tangan itu bergerak dari segala penjuru siap menyengat siapapun yang ada di dekatnya.“Ayo loncat, ikuti aku!” teriak
Batavia. Siang hari. Di sebuah kedai dan penginapan tak jauh dari pusat kota Batavia. Rombongan Kyai Rangga singgah untuk istirahat. Banyak orang yang lalu-lalang dan makan di kedai itu. Jampang yang mengalami luka-luka akibat tembakan pasukan VOC kondisinya mulai membaik setelah dirawat dan diobati oleh Kyai Rangga. Jampang memutuskan untuk bergabung dengan rombongan Kyai Rangga.“Ini kalau di tempatku namanya pecel!” kata Sakera pada Suropati sambil menunjuk kemudian mulai memakan makanan yang ada di depannya.“Ya, sama,” jawab Suropati.“Di sini namanya ketoprak!” jawab Jampang.“Lho, ketoprak itu kan sandiwara, tari dan nyi-nyanyi?” kata Sakera.“Ketoprak ya ini, sayur mayur ditambah bumbu kacang!” kata Jampang.“Lho, kalau ini, ya pecel!” Sakera tidak mau kalah.“Terserahlah, yang penting dimakan saja!” kata Suropati menengahi.“Pecel
Batavia. Siang hari. Di depan kedai tempat pasukan Kyai Rangga berisitirahat, seorang pemuda berusia kira-kira 21 tahun sedang di kejar-kejar oleh puluhan pasukan VOC. Pemuda bernama Ballan itu memegang pedang di tangannya, darah tampak menetes dari ujung pedangnya. Rupanya dia sudah membunuh beberapa orang pasukan VOC, membuatnya harus ditembaki dan dikejar-kejar oleh pasukan VOC. Ballan berlari menuju kedai tempat pasukan Kyai Rangga berada, dan masuk ke dalam kedai. Tentu saja hal itu menimbulkan kepanikan para pengunjung.“Eh, ada apa ini?” tanya Sakera yang sedang asyik minum dawet.“Tampaknya, pemuda ini dikejar VOC, yuk kita bantu!” kata Suropati.“Ayok!” Sakera menghunus celuritnya dan langsung beraksi, disabetnya pasukan VOC yang sedang mengejar Ballan. Pasukan VOC itu jatuh dengan dada berlumur darah.Melihat temannya diserang oleh orang tak dikenal, pasukan VOC terpecah perhatiannya. Mereka menjadi pani
Pataroeman. Menjelang malam. Rombongan Kyai Rangga berhenti di sebuah tanah lapang dekat dengan sungai, setelah berkuda hampir 6 jam lamanya. Seperti biasa, Badra mencari pohon terdekat dan meloncat ke atasnya di dampingi wanara monyet kesayangannya. Suropati dan Sakera mencari tempat duduk di tepi sungai.“Sebenarnya apa yang kamu lakukan sehingga dikejar-kejar pasukan VOC?” tanya Kyai Rangga pada Ballan.“Hmm, aku bingung mulai dari mana,” kata Ballan sambil memandang ke arah sungai.“Mulai saja dari asal usulmu,” kata Kyai Rangga.Ballan menghela napas panjang, pandanganya menerawang jauh seolah ingin mengenang masa lalunya. Dia mulai bercerita dengan pelan.Aku berasal dari desa Selamon, pulau Lontor, Banda di kepulauan Maluku. Ayahku adalah seorang pedagang rempah-rempah, terutama buah pala. Sebenarnya aku tidak ingin mengingat peristiwa itu, tetapi aku akan menceritakannya agar kalian paham. Waktu itu, dela
Penjara Rungsep. Menjelang pagi. Matahari sudah mulai bersinar ketika Sarip, Lasmini, dan kawan-kawan berhasil menembus lapis kelima penjara Rungsep. Di depan mereka sejauh 500 meter ada sebuah bangunan berbentuk kubah, itulah penjara tempat Tumenggung Jatibarang di tahan. Di sekeliling kubah, ada parit selebar 3 meter. Tidak tampak ada penjaga di sekitarnya. “Mengapa tidak ada penjaganya?” tanya Sarip pada Lasmini. “Aku juga tidak tahu, mungkin penjaga hanya di tempatkankan di luar penjara,” jawab Lasmini agak ragu. “Atau malah mereka berkumpul di dalam penjara itu,” sahut Sarip. “Entahlah, kita menuju kesana saja,” kata Lasmini. Dengan perlahan rombongan Sarip dan Lasmini bergerak menuju bangunan berbentuk kubah itu. Mereka berjalan sambil melihat ke sekeliling, waspada terhadap setiap gerakan yang mengancam. Tapi tidak ada apa-apa. penjara itu seolah dibiarkan kosong tanpa penjagaan. Mereka terus berjalan sampai di tepi
Batavia. Malam hari. Di benteng Hollandia, benteng yang dibangun khusus oleh Jan Pieterzon Coen, sejak dia menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda yang kedua kalinya, Jan Pieterzon Coen tampak berjalan tergesa-gesa didampingi oleh asistennya Van de Saar. Dia berjalan melewati lorong-lorong benteng Hollandia menuju sebuah ruangan yang berpintu baja kokoh. Ruangan itu dijaga oleh dua orang prajurit VOC, yang segera memberi hormat kepada Jan Pieterzon Coen ketika Gubernur Hindia Belanda itu tiba. “Open de deur! Buka pintu!” perintah Jan Pieterzon Coen. Kedua penjaga itu segera membuka pintu gerbang. Jan Pieterzon Coen segera masuk ke ruangan itu. Prajurit VOC menutup kembali pintu ruangan setelah Jan Pieterzon Coen masuk. Ruangan itu ternyata sangat luas, banyak peralatan dan meja-meja yang tertata rapi. Puluhan orang berjubah putih seperti dokter berkeliaran di ruangan itu. Mereka adalah para ilmuwan yang dipekerjakan oleh Jan Pieterzon Coen “Waar is A
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a