Pagi hari. Di sebuah sungai di tepi hutan tak jauh jauh dari Rawabelong. Rombongan Kyai Rangga sedang beristirahat. Seperti biasa, Badra duduk di atas pohon dan beristirahat di sana ditemani oleh Wanara, kera kecilnya. Wanara tampak asyik mencari kutu di rambut Badra yang panjang. Sedangkan Suropati dan Sakera tampak duduk di tepi sungai.Pitung, Rais, dan Ji’i tampak bersama Kyai Rangga.“Mengapa kalian memutuskan untuk ikut dengan kami ke Batavia,” tanya Kyai Rangga.“Kami merasa keadaan di Rawabelong sudah tidak aman bagi kami, setiap saat nyawa kami terancam,” jawab Pitung.“Sebenarnya apa yang kalian lakukan sehingga bermusuhan dengan pasukan VOC dan para tuan tanah beserta centengnya?” tanya Kyai Rangga menyelidik.“Kami hanya sedih melihat kesenjangan yang terjadi. Banyak rakyat yang sangat miskin sampai tidak ada yang dapat dimakan, sementara para tuan tanah berlaku semene-mena. Kami hanya mengambil sedikit dari harta para tuan tanah untuk kami bagikan kepada masyarakat,” jawa
Rumah Wariman. Jatibarang. Di ruang tamu masih berkumpul Sarip, Lasmini, Wariman, Suta, Mahesa, Siwa, Bima, dan Harsa. Mereka masih memikirkan cara bagaimana membebaskan tumenggung Jatibarang, yang sedang dipenjara di hutan rungsep. Sarip mengusulkan untuk meledakkan penjara itu. Terdengar mudah, tapi sulit dilaksanakan. Pertama, mereka tidak punya bahan peledak. Kedua, penjara itu pasti dijaga dengan sangat ketat oleh pasukan Karta Sentana, untuk mendekat saja pasti cukup sulit.“Darimana kita dapatkan bahan peledak?” tanya Suta.“Aku tidak tahu, mungkin kalian yang lebih tahu,” jawab Sarip.“Hmm, pasukan VOC mungkin punya banyak mesiu di gudangnya,” kata Mahesa.“Gudang, ada yang tahu tempatnya?” tanya Sarip.“Kami semua tahu, tempatnya ada di dekat kadipaten, cukup terbuka dan penjagaan sangat ketat,” jawab Wariman.“Mungkinkah kita mengambil dari gudang itu?” tanya Lasmini.“Agaknya tidak mungkin, cukup berat, tapi tetap harus dicoba, kalau benar-benar mesiu itu sangat kita butuhk
Batavia. Menjelang siang rombongan Kyai Rangga sudah tiba. Mereka berkuda dengan pelan menuju pusat kota ke tempat Gubernur Batavia Jan Pieterzoncoen berada. Kyai Rangga berkuda paling depan didampingi oleh Bhre Wiraguna, diikuti oleh prajurit pengawalnya. Di belakang barisan ada Untung Suropati dan Sakera. Paling belakang adalah Badra dengan Jalak, kuda putihnya, serta tak lupa wanara, kera kecil, yang setia ada di Pundak Badra.Ketika memasuki perkampungan penduduk, mendadak rombongan itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Dua orang berpakaian hitam-hitam sedang berhadap-hadapan dengan golok masing-masing.“Gue udah sering ingetin elu untuk nyerah aje, tapi lu bebal, sekarang udah gak ada kesempetan lagi,” kata seorang berpakaian hitam yang mengenakan ikat kepala abu-abu, dia adalah Ki Sima.Ki Sima adalah jawara yang terkenal dengan kemampuan bela dirinya, dan menjadi antek VOC.“Gue kagak peduli, selama elu masih jadi antek VOC, elu pasti berhadapan dengan gue,” kata yang berkumis
Jatibarang. Pagi hari di rumah Wariman. Sarip dan Lasmini sedang memasukkan serbuk-serbuk mesiu ke dalam wadah-wadah kecil, yang nanti akan digunakan untuk menyerbu penjara hutan Rungsep. Sementara di luar tampak orang-orang membicarakan kejadian kebakaran di gudang senjata, yang menewaskan penjaga dan menghancurkan semua senjata yang ada di sana. Sementara itu, rekan-rekan Wariman mempersiapkan senjata yang akan digunakan untuk menyerang penjara rungsep.“Bagaimana persiapan persenjataan?” tanya Lasmini kepada Wariman.“Sejauh ini semuanya sudah siap, tinggal melengkapi hal-hal kecil saja,” jawab Wariman.“Apakah ada tambahan pasukan?” tanya Lasmini lagi.“Suta masih mencari sisa pasukan yang setia kepada kanjeng tumenggung Jatibarang,” jawab Wariman.“Kukira sudah tidak perlu pasukan tambahan lagi,” mendadak Simo Wongso muncul.“Hah, dari mana saja kau? Tiba-tiba pergi tanpa pemberitahuan dan datang juga tiba-tiba,” kata Sarip.“Maaf, aku terbiasa tinggal di hutan, tidak bercampur m
Jatibarang. Rumah Wariman. Tengah malam. Persiapan pasukan untuk menyerang penjara Rungsep telah lengkap. Sarip tampak menyisipkan sebuah golok di ikat pinggangnya. Sedangkan dipunggungnya terdapat bubuk mesiu yang sudah di masukkan kedalam wadah. Lasmini sibuk mengatur pasukan. Sementara Simo Wongso hanya memandang semua itu sambil duduk bersila di teras rumah.“Saatnya kita berangkat, ayo bergerak!” kata Lasmini memberi aba-aba, setelah waktu tengah malam sudah lewat.Serentak semua pasukan bergerak, keluar dari rumah Wariman menuju hutan rungsep. Mereka sengaja tidak naik kuda, untuk menghindari suara ribut akibat suara derap kaki kuda. Rombongan bergerak dalam kelompok lima-lima, berjalan tanpa suara menuju ke arah hutan Rungsep, sekitar 10 kilometer dari rumah Wariman.Simo Wongso tidak ikut dalam kelompok, dia berjalan sendiri paling belakang. Kadang dia sedikit berlari, agar bisa menyusul rombongan di depannya, tetapi dia tetap menjaga jarak a
Penjara Rungsep. Menjelang subuh. Dihadapan Sarip, Lasmini, dan pasukannya, menjulang tembok dari batu gunung setinggi 5-meter dengan duri-duri dari baja di seluruh permukaannya. Duri-duri dari baja itu berdiameter sekitar 3 cm dan panjang 10 cm, membuat dinding itu sulit dipanjat.Sarip dan Lasmini saling memandang. Saling bertanya-tanya bagaimana cara masuk ke dalamnya.“Apakah ini kita ledakkan juga?” tanya Sarip.“Ya, kita coba saja,” kata Lasmini.“Sebenarnya ada pintu masuk rahasia, tapi sebelah mana dan tandanya apa, aku lupa,” lanjut Lasmini.“Hmm, baiklah, kita coba ledakkan di sini,” kata Sarip sambil menyiapkan serbuk mesiu.Setelah selesai memasang serbuk mesiu dan menyalakan sumbunya, Sarip meminta Lasmini dan lainnya untuk menjauh.“Blaaar!!” terdengar ledakan yang keras, menimbulkan bekas lubang yang cukup besar di dinding. Tetapi tidak cukup besar untuk dapat dimasuki manusia.“Wah lubangnya kurang besar, kita belum bisa masuk!” kata Sarip.Tanpa dikomando lagi pasukan
Lasmini dan kawan-kawan telah sampai di tembok ketiga. Tembok yang terbuat dari bata itu menjulang setinggi 5 meter. Permukaannya sangat halus. Sarip mengetuk-ngetuk permukaan dinding itu.“Hmm, tampaknya cukup mudah untuk diledakkan,” gumam Sarip.Sarip memandangi ke sekelilingnya, di depannya ada tembok tinggi itu sedangkan di belakangnya ada kolam.“Seharusnya ada pintu yang dapat dimasuki dengan mudah, jika tidak ada pintunya sama sekali, bagaimana mereka dapat memasukkan tahanan ke dalam penjara yang ada di dalam?” tanya Sarip pada Lasmini.“Ada pintu rahasia di masing-masing dinding, tetapi aku lupa tempatnya, karena waktu diajak kesini aku masih kecil,” jawab Lasmini.“Coba kita berjalan keliling, mungkin kita dapat menemukan pintu atau jalan masuknya,” kata Sarip bergerak untuk mengelilingi tembok itu.“Tidak perlu!” kata Lasmini.“Mengapa?” Sarip keheranan.“Kita akan kehabisan waktu, sebentar lagi matahari akan terbit, semakin sulit bagi kita,
Penjara Rungsep. Menjelang subuh. Tujuh orang tampak berdiri di atas dinding bata lapis ketiga penjara Rungsep, mereka adalah Lasmini dan kawan-kawan, yang berniat membebaskan ayah Lasmini yang ditahan di penjara itu. Di depan mereka terbentang jembatan dari tali tambang, yang terbentang dari dinding bata ke dinding baja runcing di depannya. Di bawah mereka sejauh 5 meter terdapat kolam lumpur. Tidak ada yang tahu berapa dalam kolam lumpur itu dan apa yang ada di dalam kolam lumpur itu.Tambang itu terhubung ke seberang terikat kuat di baja runcing. Sedangkan di sisi sebelah tembok hanya diikatkan pada dua buah golok yang ditancapkan Lasmini.“Kuatkah ini?” kata Sarip sambil memegang ikatan tali tambang pada golok yang ditancapkan Lasmini.“Cukup kuat kukira,” kata Lasmini.“Biarkan mereka menyeberang dulu, baru kita,” usul Sarip.“Ya, betul, kita menjaga di sini, sampai semua selamat di seberang!” ka