Antony van Leeuwenhoek mengendarai kereta kuda dengan kecepatan sedang di jalanan Batavia yang mulai ramai. Di belakangnya duduk Ballan dalam posisi duduk dan pandangan ke depan. Antony meminta Ballan untuk tidak berbicara dan selalu menatap ke depan selama perjalanan, seperti orang yang kehilangan ingatan.
Beberapa saat kemudian sampailan mereka di benteng Holandia. Antony segera turun dari kereta kudanya dan memerintahkan prajurit penjaga gerbang untuk memarkirkan kereta kudanya. Sementara dia menyuruh Ballan untuk turun dari kereta.
Ballan masih tetap dengan pandangan ke depan, seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Prajurit penjaga gerbang mengenali Ballan tetapi tidak berani berbuat apa-apa karena Antony yang membawa Ballan. Antony sangat dihormati di benteng Holandia dan di lingkungan prajurit, sebab dia adalah ketua ilmuwan di benteng Holandia.
“Tetap jalan lurus, jangan menoleh dan jangan bicara, apa pun yang terjadi!!” bisik
Batavia. Malam hari. Rumah Pieter Cortenhoeff. Jampang dan kawan-kawan masih menunggu kedatangan atau kabar dari Ballan mulai dari siang hari. Tetapi tidak ada kabar atau tanda-tanda Ballan akan datang.“Hmm, apa mungkin Ballan sudah ditangkap?” ucap Pitung.“Ya, dia kan buronan,” kata Jampang.“Kalau begitu kita dalam bahaya,” kata Pitung.“Ya, benar, kita harus pergi dari sini,” kata Jampang.Sebelum Jampang selesai bicara mendadak di luar terdengar suara-suara derap kaki.“Wah, bahaya,” kata Jampang sambil melompat dan mengintip dari jendela.Benar, di luar rumah, puluhan pasukan VOC sudah datang mengepung dengan senapan.“Kita harus kabur dari sini!” kata Pitung.“Ayo, cepat,” kata Rais sambil menyambar goloknya yang terletak di atas meja.“Tunggu, kita lewat mana?” kata Ji’i.“Lewat belakang, di
Jampang dan kawan-kawan meninggalkan rumah Pieter Cortenhoeff dalam keadaan terbakar. Mereka terus berlari, sampai jauh ke pinggiran kota. Rumah Pieter yang terbakar sudah tidak terlihat lagi. Jampang dan kawan-kawan berhenti untuk istrirahat. Lampu-lampu minyak dari rumah-rumah di sekitar tempat itu membaut mereka masih bisa melihat dalam gelapnya malam. Tanpa mereka sadari sejak tadi, beberapa orang mengikuti mereka dari belakang.“Ah, kita istirahat dulu di sini,” kata Pitung.“Ya, gue juga capek,” kata Rais.“Gue juga,” kata Ji’i.Mereka berhenti di bawah pohon yang rindang.“Nanti aje istirahat di neraka!” terdengar suara keras cukup mengejutkan Jampang dan kawan-kawan.“Ki Sima?” ujar Jampang.“He, he elu emang gak gampang lupa, he.he,” kata Ki Sima sambil memainkan goloknya.“Apa mau elu?” tanya Jampang sambil menyiapkan goloknya.
Pinggiran kota Batavia. Menjelang tengah malam. Pertarungan sengit masih terjadi antara Jampang dan kawan-kawan melawan Ki Sima dan kawan-kawan. Pertarungan yang seimbang karena mereka menguasai ilmu bela diri di atas rata-rata. Rais dan Ji’i walau dengan kesulitan dapat mengatasi perlawanan anak buah Ki Sima. Kini mereka tinggal menghadapi empat orang dari sepuluh orang. Enam orang telah mereka kalahkan, kini tinggal empat orang yang harus mereka hadapi.Rais tampaknya sudah mengerti kelemahan para penyerangnya. Terbukti dalam waktu singkat dia dapat menyerang dan merobohkan para penyerangnya. Begitu juga dengan Ji’i, musuhnya dapat di atasi dengan mudah, dua orang lawannya dibuat terkapar dengan empat jurus maut Ji’i.Sekarang tinggal pertarungan antara Jampang dengan Ki Sima. Tampaknya Jampang sudah berhasil mendesak Ki Sima dengan serangan yang cepat dan bertubi-tubi. Ki Sima hanya dapat menangkis dan menghindar. Jampang sama sekali tidak me
Sindanglaut. Pagi hari. Rombongan Kyai Rangga sudah menyiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan menuju Tegal, setelah diserang tumbuhan dari dunia lain pada malam harinya. Kyai Rangga memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan akan kembali suatu saat nanti, karena dia yakin tempat itu menyimpan banyak misteri dan rahasia.“Aku akan melanjutkan perjalanan ke Tegal, Badra, Suropati, dan Sakera, apa kalian masih akan ikut aku?” tanya Kyai Rangga.“Aku akan menunggu di sini, karena disinilah rumahku,” kata Badra.“Bagaimana?” tanya Suropati dan Sakera saling memandang.“Tegal bukan rumahku, disini juga bukan,” kata Sakera.“Aku ikut saja ke Tegal,” kata Suropati.“Kalau begitu aku ikut juga,” kata Sakera.“Baiklah, kalau begitu selamat tinggal Badra, terima kasih atas bantuan yang kau berikan selama ini, semoga suatu saat kita akan berjumpa kembali,” ka
Suatu tempat di Brebes. Pagi menjelang siang. Suropati diancam hukuman mati oleh Kapten Francois Tack, yang merasa malu karena anaknya hamil dan punya anak dari Suropati.“Hukum mati? Apa salah saya? Saya memberi cucu pada Anda, dan Anda akan membuat cucu Anda kehilangan ayahnya!” bantah Suropati.Kyai Rangga turun dari kudanya dan mencoba menengahi.“Mohon maaf, bukanya turut campur, tetapi apa yang sebenarnya terjadi? Apa kesalahan Suropati?” tanya Kyai Rangga pada Kapten Francois.Kapten Francois Tack mendengus. “Hmm, begini, kujelaskan mulai dari awal,” kata Kapten Francois.Suropati adalah seorang budak dari hubungan gelap gadis Bali dan serdadu VOC yang tidak dikenal namanya, makanya penampilannya mirip dengan orang Belanda. Ayahnya meninggal dalam perang melawan pasukan pemberontak di Bali. Akhirnya dia diangkat anak oleh seorang pedagang bernama Moor. Nah, disitulah a
Kapten Francois Tack masih terdiam, belum memberikan tanggapan atas pernyataan Kyai Rangga. Walau dia menyadari akan kebenaran kata-kata Kyai Rangga. Akan tetapi harga dirinya dan nama baiknya telah tercemar oleh perbuatan Suropati. Dia telah memperlakukan Suropati dengan baik, tetapi balasannya sungguh sangat menyakitkan hati dan membuat malu keluarganya. Kapten Francois Tack berjalan mondar-mandir sambil berpikir. Bagaimanapun, Suropati adalah ayah dari cucunya, sulit baginya mengambil keputusan. Antara harga diri dan belas kasihan berkumpul jadi satu. Kapten Francois Tack harus memutuskan sesuatu yang sangat penting dan besar dalam perjalanan hidupnya. Jika dia menerima Suropati dan melepaskannya, seluruh harga dirinya, nama keluarganya akan selamanya jadi cemoohan orang. Begitu juga jika dia tetap menghukum Suropati, orang akan menilainya sebagai sosok yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.“Hoe gaat het, meneer Tack? Bagaimana, Tuan Tack?” tanya Kyai Rangga
Kapten Francois Tack dalam keadan tak berdaya. Ujung pedang Suropati menempel ke tenggorokannya. Dia sudah pasrah, menerima apa pun yang akan dilakukan Suropati. Akan tetapi, Suropati dengan perlahan menarik pedangnya, melempar pedang itu ke arah pasukan VOC, dan membantu Kapten Francois berdiri.Kapten Francois agak enggan menerima bantuan Suropati, tetapi diterimanya juga. Setelah berdiri, Kapten Francois membersihkan pakaiannya dari debu, dan berdiri menatap Suropati.“Aku akan menepati janjiku, kamu boleh berkumpul dengan Suzane dan anakmu,” kata Kapten Francois pelan.“Terima kasih, maafkan saya,” kata Suropati sambil membungkuk memberi hormat pada Kapten Francois.“Tetapi, ada dimana Suzane sakarang?” tanya Suropati.“Selama kehamilan sampai kelahirannya, aku telah membawanya dan menaruhnya di sebuah tempat di desa Songsong dekat pantai Larangan,” jelas Kapten Francois.“Aku tahu te
Pantai Larangan. Sore hari. Puluhan orang turun dari kapal berbendera hitam bergambar tengkorak. Mereka adalah komplotan bajak laut Kertapati. Mereka berjalan menuju ke desa Songsong, dipimpin oleh Kertapati, bajak laut paling ditakuti di wilayah pantai selatan. Mereka berjalan dengan cepat menuju ke desa Songsong.“Siapa mereka?” tanya Suropati yang melihat dari kejauhan.“Kalau tidak salah itu gerombolan bajak laut Kertapati!” jawab Dwipangga.“Wadoo, gawat, kita harus segera ke sana!” kata Sakera.“Ya, benar, Suzane ada di sana! Ayo kita segera pergi ke sana!” kata Suropati sambil naik ke atas kudanya.Dwipangga dan Sakera juga segera naik ke atas kudanya dan memacu kuda mereka ke arah desa Songsong.Tiga orang itu berderap dengan cepat menuju desa Songsong. Dwipangga berada di depan sebagai penunjuk arah, tetapi karena jaraknya sudah dekat dan desa Songsong sudah tampak di depan mata, maka
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Kyai Rangga melihat gudang perbekalan yang sudah tidak berbentuk lagi, porak-poranda, semua sapi yang dibawa mati dalam keadaan mengenaskan. Ada yang terbakar, ada yang terbunuh, dan ada yang tercebur ke laut. Semua perbekalan sudah tidak berbentuk lagi. Kesedihan tampak di wajah Kyai Rangga, walau dia sangat senang dengan kedatangan Suropati dan kawan-kawan. Tetapi kesedihan tidak dapat disembunyikan dari wajahnya.Sakera yang hendak mengajak Kyai Rangga bergurau mengurungkan niatnya ketika melihat raut wajah Kyai Rangga. Dia ikut memandang reruntuhan benteng darurat di pelabuhan.“Tidak ada harapan lagi, pasukan Mataram tidak akan mendapat perbekalan yang dibutuhkan,” kata Kyai Rangga pada dirinya sendiri.“Bukankah kita dapat mendatangkan lagi?” tanya Arya Tejawungu.“Tidak ada waktu lagi,” jawab Kyai Rangga pendek.Mendadak dari kejauhan Lembu Sora dan Bhre Wiraguna berkuda dengan cepat menghampiri Kyai Rangg
Panasnya tornado api membuat kapal raksasa yang terbuat dari baja memerah dan mulai meleleh. Semua sudah membayangkan penumpang kapal raksasa itu sudah tewas karena kepanasan. Tetapi dugaan itu meleset, karena baja di kapal itu hanya lapisan luarnya. Saat lapisan bajanya meleleh, tampaklah lapisan berwarna putih di dalamnya, bahan yang tahan api dan sangat kuat. Semua yang memandang dengan takjub, benar-benar kapal yang luar biasa.Sementara itu Bayu, Agni, Anila, dan Lindhu sudah mulai kehabisan tenaga. Tornado api perlahan mulai mengecil dan lenyap. Air laut kembali normal. Bayu jatuh terduduk, begitu juga Agni, Anila, dan Lindhu. Tenaga mereka benar-benar terkuras.“Bagaimana ini, kapal itu tidak dapat dihancurkan!” kata Arya Tejawungu.“Kita bertempur sampai titik darah penghabisan!” kata Kyai Rangga sambil berdiri, tenaganya sudah pulih kembali.Semua mata memandang ke arah kapal raksasa di laut, menunggu apa yang selanjutnya
Pelabuhan Sunda Kelapa. Menjelang tengah hari. Pasukan asing berpakaian hitam-hitam datang menyerbu ke dermaga. Pasukan Mataram tidak sanggup menghadapinya, senjata pasukan asing itu begitu mematikan. Kyai Rangga yang masih memulihkan tenaganya hanya dapat memandang pasukan asing itu menyerbu.“Gawat! Apa yang harus kami lakukan?” tanya Arya Tejawungu pada Kyai Rangga.“Biar kami saja yang menghadapi mereka!” kata Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka didampingi oleh Lindhu, Agni, dan Anila.Kyai Rangga tampak tersenyum senang melihat kedatangan empat saudara seperguruan itu. Kini dia merasa tenang dan melanjutkan memulihkan tenaganya, karena yakin empat orang itu akan sanggup mengatasi pasukan asing itu.Keempat penguasa kekuatan alam itu segera menyerbu pasukan asing. Agni mengeluarkan api yang dibantu oleh Anila sehingga menimbulkan tornado api yang segera menyambar pasukan asing.Tornado api itu berputar dengan cepat dan membakar semua pasukan asing yang mendekat. Pasukan a