Pantai Larangan. Sore hari. Puluhan orang turun dari kapal berbendera hitam bergambar tengkorak. Mereka adalah komplotan bajak laut Kertapati. Mereka berjalan menuju ke desa Songsong, dipimpin oleh Kertapati, bajak laut paling ditakuti di wilayah pantai selatan. Mereka berjalan dengan cepat menuju ke desa Songsong.
“Siapa mereka?” tanya Suropati yang melihat dari kejauhan.
“Kalau tidak salah itu gerombolan bajak laut Kertapati!” jawab Dwipangga.
“Wadoo, gawat, kita harus segera ke sana!” kata Sakera.
“Ya, benar, Suzane ada di sana! Ayo kita segera pergi ke sana!” kata Suropati sambil naik ke atas kudanya.
Dwipangga dan Sakera juga segera naik ke atas kudanya dan memacu kuda mereka ke arah desa Songsong.
Tiga orang itu berderap dengan cepat menuju desa Songsong. Dwipangga berada di depan sebagai penunjuk arah, tetapi karena jaraknya sudah dekat dan desa Songsong sudah tampak di depan mata, maka
Suropati berlari ke tengah laut mencoba mengejar kapal bajak laut yang membawa Suzane. Ombak menghantam tubuhnya, Suropati berhenti.“Suzane!!” teriaknya keras dengan nada putus asa.Tetapi kapal berbendera bajak laut itu perlahan-lahan meninggalkan pantai Larangan menuju lautan lepas.Merasa putus asa, Suropati duduk bersimpuh dan memukul dengan keras air laut yang ada di bawahnya. Pukulan Suropati membuat air laut berderai di udara. Suropati terdiam menatap kapal bajak laut yang ada di tengah laut itu. Dia merasa sangat menyesal tidak bisa menyelamatkan Suzane. Tanpa terasa air matanya menetes.“Suro!!” terdenger teriakan Sakera.Suropati menoleh dan dilihatnya Sakera dan Dwipangga sudah naik kapal layar kecil milik nelayan sambil melambaikan tangan mengajak Suropati untuk segera naik kapal nelayan itu. Suropati berbinar, dia segera mengusap air matanya dan berlari menuju kapal itu.“Ayo, cepat naik, gak usah
Sakera mengemudikan kapal layar kecil itu dengan susah payah ditengah ombak yang semakin membesar. Sementara Suropati dan Dwipangga menjaga kesimbangan di kedua sisi kapal sambil terus memperhatikan kapal bajak laut yang ada di depan mereka. Debur air dan ombak dari percikan air laut membuat tubuh mereka basah kuyup. Malam semakin gelap, tetapi mereka sudah dapat menyesuaikan diri dengan gelapnya malam. Sejauh mata memandang hanya kegelapan dan air laut yang mengelilingi mereka. Pedoman mereka hanyalah lentera bajak laut yang ada di depan mereka.Setelah berjam-jam berada dalam deburan ombak dan angin laut yang kencang, seolah tidak akan berakhir Ombak perlahan-lahan mereda, laut menjadi tenang, dengan riak-riak kecil.“Ombak sudah mereda, tampaknya kita akan tiba di sebuah pulau,” kata Sakera.“Benarkah?” tanya Suropati.“Itu ada bayangan hitam besar di depan, sebuah pulau dan ada tanda lampu-lampu suar di sepanjang pantai,&
Malam hari. Di pulau persembunyian bajak laut. Suara tangis bayi masih terdengar dari rumah bajak laut. Tangis bayi yang khas membuat semua perhatian tertuju pada bayi itu. Suropati, Sakera, dan Dwipangga yang bersembunyi di bawah pohon bakau masih bingung bagaimana cara mereka menyelamatkan Suzane. Suropati memandangi rumah asal suara tangis bayi, itu adalah anaknya, buah cintanya dengan Suzane anak Kapten Francois Tack. Kemudian dia memandang ke arah laut tempat kapal bajak laut berlabuh. “Aku ada ide!” kata Suropati tiba-tiba mengejutkan kedua temannya. “Apa?” tanya Dwipangga. “Kita harus mengalihkan perhatian para bajak laut itu,” kata Suropati. “Caranya?” tanya Sakera. “Pertama, kita bakar kapal mereka, saat mereka panik aku akan menyelinap ke rumah itu untuk menyelamatkan Suzane,” Suropati menjelaskan rencananya. “Lha, siapa yang akan bakar kapal itu?” tanya Sakera. “Ya, di antara kalian berdua, siapa yang s
Angin laut bertiup semakin kencang. Malam semakin dingin di pulau persembunyian bajak laut. Sakera sedang menyiapkan kapal layar ketika dilihatnya Suropati dan Suzane sedang berlari ke arahnya.“Ayo, cepat, kesini!” kata Sakera sambil melambaikan tangan.Suropati dan Suzane yang menggendong anaknya segera menghampiri Sakera.“Ayo, naik!” kata Sakera.Suropati membantu Suzane menaiki kapal. Setelah Suzane naik ke kapal dengan aman, Suropati mendorong kapal nelayan itu ke tengah laut. Setelah kapal menuju ke laut, Suropati naik ke kapal itu. Sementara itu Dwipangga tampak berenang menuju kapal itu.“Ayo, sini,” kata Sakera sambil melambaikan tangan.Dwipangga segera mempercepat renangnya untuk mencapai kapal dan segera naik ke atasnya.Kapal bajak laut terbakar hebat, puluhan bajak laut sibuk memadamkan api, tetapi tampaknya sia-sia, api sudah terlanjut membesar.Sakera mengarahkan kapal menuju
Malam hari. Di tengah laut yang luas. Kapal nelayan yang dinaiki Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane, dan Roberth, melaju di tengah lautan yang luas. Hanya Sakera dan Dwipangga yang terjaga, lainnya tertidur lelap. Sakera yang berpedoman bintang di langit, mencoba untuk mengarahkan kapal itu menuju ke pantai terdekat. Tetapi angin sangat kencang, membuat Sakera harus bekerja keras mengarahkan kapal agar sesuai dengan tujuan.“Cak, tarik tali layar ini!” teriak Sakera pada Dwipangga.Dwipangga segera menuruti perkataan Sakera.“Ini, sudah?”“Kurang kencang, tarik lagi!” kata SakeraDwipangga menarik tali itu sekuat tenaga.Arah kapal sekarang bergeser, sesuai yang dikehendaki Sakera.“Berapa lama lagi kita sampai di daratan?” tanya Dwipangga.“Tidak tahu, mungkin tiga jam atau empat jam, atau nanti setelah matahari terbit,” jawab Sakera.“Wah, masih lama ju
Siang hari. Di tengah lautan luas. Tidak ada angin. Tidak ada ombak. Kapal nelayan yang dinaiki oleh Suropati dan kawan-kawan diam tak bergerak sedikitpun. Matahari bersinar terik di atas kepala mereka. Roberth terus menerus minta di susui, karena kehausan. Suropati menutupi Suzane dan Robeth dengan kain layar kapal agar tidak kepanasan dan kekurangan cairan. Tidak ada kapal yang lewat, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan ikan-ikan yang tadi berkeliaran mendadak tidak tampak lagi.“Ada apa ini, cuaca kok berubah menjadi aneh sekali?” tanya Dwipangga.“Ya, aneh sekali bahkan air laut ini berhenti bergerak,” kata Sakera sambil memasukkan tanggannya ke dalam air.Air laut terlihat seperti kaca tidak ada gerakan apapun di permukaannya, seperti permukaan air dalam gelas.“Apa kamu pernah menemui kejadian seperti ini?” tanya Suropati pada Sakera.“Belum pernah, baru sekali ini aku menemui keadaan cuaca sepert
Suropati memeluk Suzane dan Robeth, mencoba menenangkan. Sakera melihat ke sekeliling. Dwipangga mencoba melihat ke dasar laut, melihat ikan-ikan yang diceritakan Suropati. Mendadak udara menjadi dingin. Angin mulai bertiup dengan pelan. Air laut kembali bergelombang dengan perlahan semakin lama semakin cepat. Langit yang semula terang benderang mendadak redup. Awah hitam datang dengan cepat bergelombang menutupi matahari.“Ada apa ini?” tanya Suropati cemas dan memeluk Suzane lebih erat.“Sepertinya akan ada badai, bersiaplah,” kata Sakera sambil mencari-cari sesuatu di kotak perlengkapan.“Kamu cari apa?” tanya Dwipangga.Sakera mengambil tali-tali dari kotak perlengkapan.“Ini ikatkan diri kalian pada kapal, jika ada badai kalian tidak akan terlempar dari kapal!” kata Sakera sambil memberikan tali-tali yang diambilnya dari kotak perlengkapan.Sementara, angin semakin kencang bertiup, langit
Para penumpang kapal nelayan berada dalam batas antara hidup dan mati. Kapal yang mereka tumpangi dengan cepat terseret arus pusaran air raksasa, berputar menuju pusat pusaran raksasa.Suropati memegang erat Suzane dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berpegangan erat pada badan kapal.“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Dwipangga di tengah gemuruh air laut, angin yang kencang, dan hujan yang semakin deras.“Sepertinya tidak ada, kita hanya dapat menunggu,” jawab Suropati pasrah.“Menunggu? Menunggu apa?” teriak Sakera.“Menungguk takdir menjemput kita!” teriak Suropati lebih keras.’“Kita harus berusaha dulu!” kata Sakera sambil mencari-cari sesuatu di kotak perlengkapan.“Berusaha bagaimana, mau terjun ke air? Atau terbang?” tanya Suropati.“Terbang?” Sakera menatap Suropati, kemudian dia lebih semangat membongkar kotak peral