"Grooaarrghk!" seekor babi hutan menguik dan berlari kencang mengejar Kirana. Babi hutan itu muncul dari sisi sebelah kanan semak. "Hahh! Hiyy!" betapa terkejutnya Kirana, saat dia melihat babi hutan yang besar dan mengerikkan itu.Ya, boleh jadi dia adalah perempuan yang tabah, namun tetap saja dirinya gentar jika menghadapi binatang yang besar seperti itu. Seth! Claph! Claph!Kirana melesat ke sebuah batang pohon dan memanjatnya dengan menancapkan kedua pisaunya secara bergantian.Hingga akhirnya dia tiba di sebuah dahan cukup besar di pohon itu. Kirana pun duduk di atas dahan itu, sambil memandangi babi hutan yang masih berada di bawah pokon itu dengan perasaan ngeri. 'Kenapa babi hutan itu ukurannya jauh lebih besar daripada babi hutan lain yang pernah kutemui ya?' batin Kirana terheran. Rasa laparnya mendadak terlupakan seketika akibat kejadian itu. Ya, Kirana sama sekali tak menyadari bahwa saat itu dia telah berada di hutan terlarang. Sebuah hutan penuh mitos dan misteri, y
"Ahh, tentu tidak! Ba-baik Eyang Putri, Kirana akan turun," sahut gugup Kirana. Kirana pun turun dan langsung memberi hormat pada wanita sepuh penyelamatnya itu. "Salam hormat saya Eyang Putri," ucap Kirana seraya menundukkan wajahnya. "Hmm. Cah Ayu, siapa namamu dan kenapa kau bisa berada di hutan terlarang ini?" tanya sang wanita sepuh itu. "Nama saya Kirana Eyang Putri. Kirana tak sengaja tersesat di hutan ini, karena Kirana kabur dari rumah ," sahut Kirana polos. "Hihihii! Sungguh berani kau Kirana, maukah kau tinggal bersama Eyang dan menjadi murid Eyang?" tanya si wanita sepuh setelah terkikik senang. Hatinya langsung merasa suka dengan keterus terangan Kirana dan keberaniannya menghadapi bahaya. Kiranapun langsung berpikir keras mendengar tawaran si wanita sepuh itu. 'Jika aku menolaknya berarti aku harus siap menghadapi bahaya dan binatang-binatang buas di hutan terlarang ini. Lagipula apa salahnya aku menjadi muridnya, daripada aku terlantar seperti anak hilang',
"Baboo, baboo! Bedebah..! Mengganggu tapa orang saja kalian!" Wessh!!Terdengar seruan memaki dari seorang sepuh diatas pohon randu alas itu, yang diiringi dengan kibasan tangannya kearah Ki Taksaka dan Ki Braja Denta.Hanya sebuah kibasan ringan saja namun menimbulkan gelombang energi yang bukan olah-olah dahsyatnya. Weersh! Kraaghk!! Seth! Seth!Gelombang pukulan menerpa ke dahan cukup besar, yang sedang dipijak oleh Ki Taksaka dan Ki Braja Denta hingga berderak patah saat itu juga.Kedua tokoh itu segera melesat ke arah dahan lain di atas mereka, wajah mereka pucat pasi seketika demi merasakan betapa dahsyatnya selimut energi yang melambari pukulan tadi. "Hahhh! Si-siapakah Eyang sepuh?" seru kaget Ki Taksaka tergetar.Dia melihat seorang pria yang sudah teramat sepuh tengah bersila di dalam sebuah ceruk berlubang pada batang besar pohon randu itu.Dari bentuk alami ceruk itu saja menandakan sosok sepuh itu telah lama sekali berada di dalam sana, sungguh ajaib dan juga mengerikka
"Hupsh!" Byarrskh!Larasati hirup dalam nafasnya seraya ledakkan powernya.Seketika aura kebiruan menyelimuti sosoknya, dengan dua kepalan tangannya pancarkan cahaya putih berkilau.Ya, Larasati tengah menerapkan aji pamungkasnya Pukulan Seribu Bayang. "Hiyaah..!" Slaph! Wessh! Wushh! Swaash..!Dengan berseru keras, Larasati melesat cepat sekali seraya pukulkan tangannya ke segala arah di sekitar telaga itu. Blaargh! Blargks! ... Blarghk!Telaga di bawah air terjun yang cukup besar itu bagai pecah ambyar bergemuruh, oleh hamburan ledakkan puluhan bebatuan besar di sekitar telaga.Batu-batu sebesar kambing dewasa itu luluh lantak berkeping, oleh pukulan-pukulan yang di lepaskan Larasati. Ternyata semua pukulan Larasati terarah tepat pada sasarannya, walau sekilas nampak asal karena saking cepatnya pukulan itu di lontarkan.Sementara Larasati sendiri telah tegak berdiri menjejak di atas permukaan air telaga itu. Luar Biasa! "Hihihii! Bagus Sati! Kini kau sudah menguasai semua ilmu y
Swaashh!! Braalggks!! Dengan sekali tebasan saja, dinding batu bersimbol Naga di Ruang Bumi itu langsung terbelah dan ambyar ke bawah. "Hahh!" seru kaget Jalu, saat melihat sebuah ruang di balik dinding itu.Kini terhampar sebuah ruang yang luasnya sekitar setengah bahu atau 3500 m2. Di tengah-tengah ruangan itu nampak sebuah meja batu dengan sebuah kotak kayu jati ukir di atasnya. "Jalu. Pelajari dan kuasailah jurus pedang dalam kitab Pedang Gerak Jagad yang ada di atas meja batu itu.Setelah kau menguasainya dengan sempurna, kau boleh keluar dari Ruang Bumi itu untuk naik ke Ruang Langit," suara bergema Eyang sepuh Jayasona kembali terdengar di ruangan itu. "Baik Eyang Guru," sahut Jalu patuh, seraya melangkah masuk ke dalam ruangan itu.Atap ruangan itu nampak lebih tinggi daripada atap di ruang magma. Sebuah celah lubang di atas ruangan itu membersitkan cahaya sinar matahari yang masuk dan jatuh tepat di tengah-tengah ruangan. Tempat di mana meja batu berada, bagaikan sebuah l
"Hah! Yang benar kau Prul?! Baru saja dua malam lalu pemilik Rumah Kembang di sudut jalan kadipaten ini kemalingan.Masa sudah ada korban lagi di kota ini?!" seru si Tonggos kaget dan seolah tak percaya, atas kabar yang di katakan si Semprul temannya itu. "Huhh! Kamu ini di kasih kabar benar malah ngeyel! Tapi yang aku herankan, setelah pemilik Rumah Kembang itu kemalingan malam hari itu.Maka pada pagi harinya, warga miskin di sekitar pesisir pantai Semanding banyak yang mendapat rejeki nomplok Tong!" seru kesal si Semprul, seraya melanjutkan ceritanya. "Iya Prul. Aku juga mendengar kabar tentang warga pesisir pantai Semanding itu. Banyak penduduk di pesisir pantai Semanding yang mendapati sekantung uang, di pintu gubuk mereka pada pagi harinya.Bahkan anak-anak terlantar di kota juga mendapatkan beberapa kantung uang, entah siapa orang yang membagi-bagikan uang itu," ucap si Tonggos menimpali. "Aku berpikir, jangan-jangan maling itu adalah orang yang memberikan kantung-kantung ua
'Huhh! Ternyata hanya pemuda tukang gombal!' maki batin Larasati, yang mendadak jadi sebal pada pemuda sederhana itu. Tak lama kemudian Niken di ikuti Panji beranjak dari meja mereka. Setelah membayar semua pesanan, mereka pun keluar dari rumah makan itu.Ada hal aneh yang menyebabkan Larasati bertambah sebal pada pemuda sederhana itu, karena sempat-sempatnya Panji melemparkan senyum ramah disertai anggukkannya pada Larasati. "Huhh!" karuan Larasati langsung melengoskan wajah kearah lain mendapati hal tersebut.'Dasar pria gombal murahan! Pasti dia ada maunya mendekati wanita dari kadipaten itu!' maki batin Sati, dia bertambah muak pada pemuda sederhana bernama Panji itu. Usai makan, Larasati meneruskan acaranya berjalan-jalan mengelilingi kota kadipaten hingga senja menjelang malam.Larasati akhirnya memutuskan untuk beristirahat di atas sebuah pohon cukup rindang dan besar, yang kebetulan terletak tak jauh dari istana kadipaten Larantuka. Setelah memilih dahan pohon yang cukup n
"Hihihiii! Tak kau perlu kau jelaskan juga aku sudah mengerti Panji. Maksudmu baik tapi caramu salah Panji," Larasati berkata seraya tertawa geli.Larasati sangat geli, melihat betapa kikuknya Panji karena tuduhan yang di lontarkannya tadi. "Salah bagaimana?! Aku hanya mengambil harta keluargaku yang di rampas oleh Adipati tamak dan keji itu!Itupun belum termasuk nyawanya dan keluarganya yang masih berhutang padaku!" seru kesal Panji, yang wajahnya mendadak menjadi merah padam menahan murka.Dia teringat kembali peristiwa 6 tahun yang lalu, sebuah peristiwa yang membuatnya menjadi yatim piatu dan melarat dalam sekejap. "Ehh! Kenapa kau jadi marah dan serius begitu Panji?!" seru Larasati, dia merasa heran sekaligus tersinggung dengan seruan keras Panji. "Bagaimana aku tidak marah?! Adipati Sena Tohjaya dan orang-orangnyalah yang telah membunuh semua keluargaku, menyita harta dan tanah milik keluargaku.Dan dia juga telah membuat hidupku nelangsa bagaikan orang gila selama setahun l