"Baboo, baboo! Bedebah..! Mengganggu tapa orang saja kalian!" Wessh!!Terdengar seruan memaki dari seorang sepuh diatas pohon randu alas itu, yang diiringi dengan kibasan tangannya kearah Ki Taksaka dan Ki Braja Denta.Hanya sebuah kibasan ringan saja namun menimbulkan gelombang energi yang bukan olah-olah dahsyatnya. Weersh! Kraaghk!! Seth! Seth!Gelombang pukulan menerpa ke dahan cukup besar, yang sedang dipijak oleh Ki Taksaka dan Ki Braja Denta hingga berderak patah saat itu juga.Kedua tokoh itu segera melesat ke arah dahan lain di atas mereka, wajah mereka pucat pasi seketika demi merasakan betapa dahsyatnya selimut energi yang melambari pukulan tadi. "Hahhh! Si-siapakah Eyang sepuh?" seru kaget Ki Taksaka tergetar.Dia melihat seorang pria yang sudah teramat sepuh tengah bersila di dalam sebuah ceruk berlubang pada batang besar pohon randu itu.Dari bentuk alami ceruk itu saja menandakan sosok sepuh itu telah lama sekali berada di dalam sana, sungguh ajaib dan juga mengerikka
"Hupsh!" Byarrskh!Larasati hirup dalam nafasnya seraya ledakkan powernya.Seketika aura kebiruan menyelimuti sosoknya, dengan dua kepalan tangannya pancarkan cahaya putih berkilau.Ya, Larasati tengah menerapkan aji pamungkasnya Pukulan Seribu Bayang. "Hiyaah..!" Slaph! Wessh! Wushh! Swaash..!Dengan berseru keras, Larasati melesat cepat sekali seraya pukulkan tangannya ke segala arah di sekitar telaga itu. Blaargh! Blargks! ... Blarghk!Telaga di bawah air terjun yang cukup besar itu bagai pecah ambyar bergemuruh, oleh hamburan ledakkan puluhan bebatuan besar di sekitar telaga.Batu-batu sebesar kambing dewasa itu luluh lantak berkeping, oleh pukulan-pukulan yang di lepaskan Larasati. Ternyata semua pukulan Larasati terarah tepat pada sasarannya, walau sekilas nampak asal karena saking cepatnya pukulan itu di lontarkan.Sementara Larasati sendiri telah tegak berdiri menjejak di atas permukaan air telaga itu. Luar Biasa! "Hihihii! Bagus Sati! Kini kau sudah menguasai semua ilmu y
Swaashh!! Braalggks!! Dengan sekali tebasan saja, dinding batu bersimbol Naga di Ruang Bumi itu langsung terbelah dan ambyar ke bawah. "Hahh!" seru kaget Jalu, saat melihat sebuah ruang di balik dinding itu.Kini terhampar sebuah ruang yang luasnya sekitar setengah bahu atau 3500 m2. Di tengah-tengah ruangan itu nampak sebuah meja batu dengan sebuah kotak kayu jati ukir di atasnya. "Jalu. Pelajari dan kuasailah jurus pedang dalam kitab Pedang Gerak Jagad yang ada di atas meja batu itu.Setelah kau menguasainya dengan sempurna, kau boleh keluar dari Ruang Bumi itu untuk naik ke Ruang Langit," suara bergema Eyang sepuh Jayasona kembali terdengar di ruangan itu. "Baik Eyang Guru," sahut Jalu patuh, seraya melangkah masuk ke dalam ruangan itu.Atap ruangan itu nampak lebih tinggi daripada atap di ruang magma. Sebuah celah lubang di atas ruangan itu membersitkan cahaya sinar matahari yang masuk dan jatuh tepat di tengah-tengah ruangan. Tempat di mana meja batu berada, bagaikan sebuah l
"Hah! Yang benar kau Prul?! Baru saja dua malam lalu pemilik Rumah Kembang di sudut jalan kadipaten ini kemalingan.Masa sudah ada korban lagi di kota ini?!" seru si Tonggos kaget dan seolah tak percaya, atas kabar yang di katakan si Semprul temannya itu. "Huhh! Kamu ini di kasih kabar benar malah ngeyel! Tapi yang aku herankan, setelah pemilik Rumah Kembang itu kemalingan malam hari itu.Maka pada pagi harinya, warga miskin di sekitar pesisir pantai Semanding banyak yang mendapat rejeki nomplok Tong!" seru kesal si Semprul, seraya melanjutkan ceritanya. "Iya Prul. Aku juga mendengar kabar tentang warga pesisir pantai Semanding itu. Banyak penduduk di pesisir pantai Semanding yang mendapati sekantung uang, di pintu gubuk mereka pada pagi harinya.Bahkan anak-anak terlantar di kota juga mendapatkan beberapa kantung uang, entah siapa orang yang membagi-bagikan uang itu," ucap si Tonggos menimpali. "Aku berpikir, jangan-jangan maling itu adalah orang yang memberikan kantung-kantung ua
'Huhh! Ternyata hanya pemuda tukang gombal!' maki batin Larasati, yang mendadak jadi sebal pada pemuda sederhana itu. Tak lama kemudian Niken di ikuti Panji beranjak dari meja mereka. Setelah membayar semua pesanan, mereka pun keluar dari rumah makan itu.Ada hal aneh yang menyebabkan Larasati bertambah sebal pada pemuda sederhana itu, karena sempat-sempatnya Panji melemparkan senyum ramah disertai anggukkannya pada Larasati. "Huhh!" karuan Larasati langsung melengoskan wajah kearah lain mendapati hal tersebut.'Dasar pria gombal murahan! Pasti dia ada maunya mendekati wanita dari kadipaten itu!' maki batin Sati, dia bertambah muak pada pemuda sederhana bernama Panji itu. Usai makan, Larasati meneruskan acaranya berjalan-jalan mengelilingi kota kadipaten hingga senja menjelang malam.Larasati akhirnya memutuskan untuk beristirahat di atas sebuah pohon cukup rindang dan besar, yang kebetulan terletak tak jauh dari istana kadipaten Larantuka. Setelah memilih dahan pohon yang cukup n
"Hihihiii! Tak kau perlu kau jelaskan juga aku sudah mengerti Panji. Maksudmu baik tapi caramu salah Panji," Larasati berkata seraya tertawa geli.Larasati sangat geli, melihat betapa kikuknya Panji karena tuduhan yang di lontarkannya tadi. "Salah bagaimana?! Aku hanya mengambil harta keluargaku yang di rampas oleh Adipati tamak dan keji itu!Itupun belum termasuk nyawanya dan keluarganya yang masih berhutang padaku!" seru kesal Panji, yang wajahnya mendadak menjadi merah padam menahan murka.Dia teringat kembali peristiwa 6 tahun yang lalu, sebuah peristiwa yang membuatnya menjadi yatim piatu dan melarat dalam sekejap. "Ehh! Kenapa kau jadi marah dan serius begitu Panji?!" seru Larasati, dia merasa heran sekaligus tersinggung dengan seruan keras Panji. "Bagaimana aku tidak marah?! Adipati Sena Tohjaya dan orang-orangnyalah yang telah membunuh semua keluargaku, menyita harta dan tanah milik keluargaku.Dan dia juga telah membuat hidupku nelangsa bagaikan orang gila selama setahun l
Sungguh ketampanan, kharisma, dan kegagahan yang membuat Jalu tak sulit, untuk menggetarkan wanita mana pun yang menatapnya.Ditambah lagi dengan kemampuan tak umum yang di miliki pemuda seumurnya. Power Jalu kini telah sampai pada level Ksatria Langit tingkat lanjut, suatu power yang setara dengan Eyang sepuh Pandunatha, Shindupalla dan Cakradewa dari tiga tlatah. Jalu juga masih menyimpan 'wadah energi' warisan dari 29 poro sepuh sekte Rajawali Emas dalam dirinya. Sebuah power dahsyat yang masih tersimpan rapih, menanti saat yang tepat untuk berselaras dengan powernya.Entah kapan 'power' warisan itu pecah dan menyatu dengan power dasar Jalu. Namun hal itu pasti akan terjadi cepat atau lambat! Banyak sudah ajian serta jurus yang telah dikuasai Jalu, selama dia berada di Ruang Bumi itu. Diantara jurus dan ajian itu adalah : - Jurus Naga Bumi.Merupakan jurus dasar gerak dan serangan yang aneh dan mematikan bagi lawan. Banyak terdapat kembangan-kembangan gerakkan tak terduga di dal
"Ahh! Lalu Eyang Guru sendiri butuh waktu berapa lama, untuk bisa masuk ke dalam Ruang Langit itu?" tanya Jalu yang menjadi penasaran. "Hmm. Eyang dulu butuh waktu dua tahun untuk bisa masuk ke dalam Ruang Langit itu Jalu. Dan semua yang berhasil masuk dalam Ruang Langit itu telah terikat sumpah.Kami di sumpah untuk tidak membuka jawaban dari petunjuk tertulis di pintu masuk Ruang Langit itu. Itu pun sampai saat ini hanya 3 orang yang mampu memasuki Ruang Langit itu Jalu," sahut Eyang sepuh Jayasona menjelaskan. "Wah begitu sulitnyakah memecahkan peunjuk itu Eyang Guru? Lalu bagaimana pula dengan Jalu yang masih sangat hijau dalam pemahaman ini Eyang Guru?" Jalu bertanya dengan nada cemas.Ya, Jalu merasa petunjuk yang tertulis di pintu masuk ke Ruang Langit pastilah sangat sulit untuk di pahami. Bahkan Eyang Gurunya saja memerlukan waktu sampai 2 tahun untuk bisa masuk ke Ruang Langit itu. "Jalu. Diluar nalar kita sebagai manusia, ada yang namanya wangsit, wisik, mimpi, dan juga
"Ayo..! Pasang semua umbul dan panji yang masih belum terpasang..! Sebelum para tamu undangan berdatangan siang nanti!Jangan sampai kita di anggap tak siap merayakan hari berdirinya sekte Rajawali Emas yang keenam ini..!" seru Panji mengingatkan para anggota sekte Rajawali Emas, yang bertugas memasang umbul-umbul serta panji-panji sekte Rajawali Emas di sekitar markas.Umbul serta panji sekte Rajawali Emas itu bahkan dipasang hingga sepanjang pohon-pohon di tepi jalan, yang merupakan akses menuju ke markas sekte Rajawali Emas.Hingga saat tiba waktu menjelang siang. Para tamu undangan dari berbagai sekte, para pendekar non sekte, perwakilan ataupun pihak kerajaan dari tiga tlatah, bahkan hingga para tokoh sepuh dunia persilatan, telah mulai berdatangan memasuki markas sekte Rajawali Emas.Ya, siapa yang tak mengenal dan tak mendengar kebesaran nama serta sepak terjang para anggota sekte Rajawali Emas. Sekte yang menyandang nama harum di dunia persilatan, maupun di hati para penduduk
BLAPH..!Seketika kilau cahaya putih cemerlang yang menyilaukan di atas area Padang Khayangan yang tak bertepi itu pun lenyap.Kini hanya ada warna keemasan pekat di area Padang Khayangan itu. Sunyi ... angin pun bagai tak berhembus saking tenangnya.Jalu ambil posisi bersila dengan sikap teratai, perlahan dia pejamkan kedua matanya. Tak lama Jalu pun tenggelam di alam keheningan yang tercipta. Pasrah ... Mandah ... dan Berserah.*** Dan kehebohan pun terjadi di Tlatah Klikamuka.Ya, semua orang di sana ribut dan panik mencari sosok Jalu, yang bagai hilang ditelan bumi. Mereka semua yakin Jalu bisa mengatasi dan melenyapkan Arya. Karena Arya sendiri tak pernah muncul kembali, setelah duelnya melawan Jalu.Selama 7(tujuh) hari lebih seluruh orang di Tlatah Klikamuka mencari keberadaan Jalu. Mereka menyusuri dengan kapal-kapal laut hingga jauh ke laut lepas, namun tetap saja sosok Jalu tak mereka lihat dan temukan.Pada akhirnya mereka semua menyimpulkan, bahwa Jalu telah mati sampyuh
Sosok Eyang Sokatantra ambyar berkeping, terlabrak pukulan inti 'Poros Bumi Langit' milik Eyang Bardasena.Ya, bola emas berpusar milik Eyang Bardasena itu berhasil menerobos titik benturan pukulan dahsyatnya dengan pukulan milik Eyang Sokatantra.Akibatnya, dengan telak sekali bola emas yang berputar dahsyat itu menghantam dada Eyang Sokatantra. Sungguh dahsyat tak tertahankan memang power Eyang Bardasena saat itu. Kendati sesungguhnya power Eyang Sokatantra berada di atas tingkatan Eyang Barnawa dulu.Ya, keajaiban olah Pernafasan Bathara Bayu yang diperdalam Eyang Bardasena di bawah arahan Jalu, memang telah membuat peningkatan pesat pada powernya.Bahkan bisa dikatakan Eyang Bardasena kini telah memasuki ranah awal di tingkat Ksatria Semesta tingkat tak terbatas, ranah yang sama seperti halnya Jalu. Namun tentu saja power dan daya bathin Eyang Bardasena masih berada beberapa tingkat di bawah Jalu."Hukghs..!" sosok Eyang Bardasena terhuyung ke belakang, namun cepat dia kembali teg
Wuunnggtzz..!!! Weerrsskh..!!Dengung membahana suara cakra emas yang memancarkan cahaya cemerlang terdengar. Cakra emas itu berputar menggila bukan main cepatnya.Seluruh badai angin yang berada di sekitar lokasi pertarungan itu, seketika ikut terhisap masuk dan menyatu dengan pusaran badai raksasa cakra tersebut. BADAS..!Sementara badai halilintar emas tak henti menghujani lokasi pertarungan Arya dan Jalu tersebut. Tengah laut, lokasi pertarungan dua tokoh muda tersakti di jamannya itu, seketika bagai berubah menjadi sebuah wilayah yang terkutuk. Mengerikkan..!Dan yang terdahsyat adalah terbentuknya pusaran laut mega raksasa, yang berpusat di bawah sosok Jalu melayang. Pusaran laut raksasa itu mencakup radius yang sangat luas, hingga menelan pusaran raksasa yang berada di bawah sosok Arya! Inilah kegilaan yang super gila..!"Ca-cakra Semesta..?! Ini Gila..!! Keparat kau Jalu..!!" Arya tersentak kaget dan gentar bukan main. Dia seketika teringat ucapan Maha Gurunya sang Penguasa Ke
"HUAAAHHH..HH..!!!"Teriakkan bergemuruh dari pasukkan perang tiga tlatah membahana badai di pantai Parican saat itu. Dan permukaan air laut di pantai Parican yang biasanya berwarna hijau kebiruan itu, kini telah berubah total menjadi merah darah..!Patih Karna bisa mengerti siasat panglima Indrakila, dengan tidak melabuhkan kapal di pelabuhan pantai Parican. Karena rawan untuk dipakai para pasukkan tlatah Bhineka, yang hendak melarikan diri nantinya.Sungguh siasat yang cukup mematikan langkah pihak musuh. Sebuah siasat yang hanya berarti dua pilihan untuk pihak musuh, tetap menyerang dan melawan, atau mati di negeri orang..!Sungguh sebuah kesalahan fatal dari siasat dan pemikiran Panglima Besar pasukkan Bhineka, Arya.Arya tak memperhitungkan, bahwa persatuan dan persahabatan tlatah Pallawa, Klikamuka, serta Ramayana semakin bertambah solid, setelah perang besar yang terjadi 5(lima) tahun yang lalu.Arya benar-benar kurang memperhitungkan hal yang sebenarnya sangat fatal itu.***
"Bedebah kau Bardasena..! Bisakah sopan sedikit saat berbicara denganku! Simpan arakmu brengsek..!" seru marah Eyang Sokatantra.Ya, Eyang Sokatantra sangat keki dan merasa diremehkan oleh sikap Bardasena, yang berbicara dengannya sambil minum arak."Hmm. Sokatantra kita sudah sama sepuh, dan kita sudah sama tahu apa itu arti basa basi dan sikap munafik. Apa bedanya sikapku yang minum arak, dengan kata-kata makian kasarmu itu padaku! Hahahaa!" seru Eyang Bardasena tergelak, membalikkan teguran Eyang Sokatantra dengan sindirannya."Hmm. Baik Bardasena! Kita mulai saja pertarungan kita sekarang!" karuan Eyang Sokatantra bertambah keki, mendengar ucapan Eyang Bardasena yang dengan telak membalikkan teguran dengan sindiran tajamnya.Glk, glk, glk!"Baik Sokatantra! Sebaiknya kita juga bertarung agak ke tengah laut sana! Kasihan jika ada prajurit yang tewas karena pukulan kita yang meleset," ucap tegas Eyang Bardasena, menyambut tantangan Eyang Sokatantra.Slaph..!! Slaphh..!!Dua tokoh se
"MEREKA DI BELAKANG KITA..! BERSIAPLAH..!" seru lantang sang Mahapatih Suryalaga.Dia memimpin pasukkan penjaga di pantai Parican untuk mundur, agar pasukkan musuh terpancing untuk maju mengejar mereka, yang disangka gentar oleh pasukkan musuh.Cepat sekali ke 9 ribu pasukkan yang dipimpin sang patih Suryalaga tersebut membentuk barisan di sisi kiri dan kanan depan pasukkan sang Maharaja, yang telah berbaris di depan perbatasan kotaraja. Hingga Pasukkan Tlatah Klikamuka dan sekutunya kini membentuk formasi huruf 'U'.Srraakh.! Spyaarrsshk..!Sang Maharaja lolos keris pusaka 'Ki Nogo Suryo' dan acungkan keris pusaka itu ke arah langit. Seketika selarik kilatan terang melesat dari keris pusaka itu menembus awan, langit pun nampak semakin terang, walaupun matahari belum lagi menyorotkan sinar terangnya di pagi hari itu."ESA HILANG DUA TERBILANG..! PARA KSATRIA KLIKAMUKA..!! SERAANNGG..!!" seru lantang sang Maharaja, seraya acungkan 'Ki Nogo Suryo' ke arah depan dan membedal maju kudanya
HUUOOONNKKHH...!!!Suara gaung terompet/sangkha bergema membahana dari tepian batas laut di pantai Parican. Suara gaungnya mengoyak kesunyian pagi, dan menembus hingga ke dinding perbatasan kotaraja Klikamuka.Ya, itulah gaung terompet/sangkha dari pihak armada perang Tlatah Bhineka, hal yang menandakan armada pasukkan Bhineka akan bergerak menyerang ke wilayah Klikamuka!"PASUKKAN BHINEKA..! MAJUU..!!" seru lantang panglima besar mereka Arya. Sebuah seruan yang dilambari power tenaga dalamnya, hingga menembus gendang telinga segenap pasukkan kapal armada tlatah Bhineka itu."MAJUU..!!""SERANNGG..!!"Seruan Arya segera di ikuti oleh seruan komando para pimpinan kapal pasukkan armadanya. Serentak seluruh armada kapal perang tlatah Bhineka meluruk maju dengan cepat, melesat menuju tepi pantai Parican untuk mendaratkan 25 ribu lebih pasukkannya.Sementara jauh di belakang armada perang Bhineka itu."ARMADA RAMAYANA..!! KEJAR DAN SERANGG MEREKA..!!" seru lantang sang Patih Karna Ekatama
"Heeii..! Utusan Arya keparat..! Lekas ambil surat dari Tuanmu itu, dan berikan kembali pada junjunganmu si Arya itu!" seru keras sang Maharaja Klikamuka."Ba-baik paduka..!" seru gugup sang utusan yang merasa gentar, karena dia merasa sedang berada di sarang harimau. Segera di ambil dan dilipatnya kembali surat maklumat dari junjungannya, yang kini penuh dengan ludah itu."Katakan pada junjunganmu si Arya itu! Surat maklumatnya hanyalah sampah di mata rakyat Tlatah Klikamuka ini! Cepat keluar..!" seru sang Maharaja Klikamuka murka."Ba-baik Paduka!" dengan menyahut gugup, sang utusan itu segera keluar dari istana Klikamuka. Nampak wajahnya pucat pasi, dia sadar perang tak bisa terhindarkan lagi kini.Sepanjang jalan menuju kembali ke pantai, dia mengamati kekuatan pasukkan dan perlengkapan perang Tlatah Klikamuka itu. Dan hatinya menjadi bergetar ngeri, karena ternyata jumlah pasukkan Tlatah Klikamuka setara dengan jumlah pasukkan kerajaan Bhineka!Hal yang meleset dari perkiraan jun