"Ahh! Lalu Eyang Guru sendiri butuh waktu berapa lama, untuk bisa masuk ke dalam Ruang Langit itu?" tanya Jalu yang menjadi penasaran. "Hmm. Eyang dulu butuh waktu dua tahun untuk bisa masuk ke dalam Ruang Langit itu Jalu. Dan semua yang berhasil masuk dalam Ruang Langit itu telah terikat sumpah.Kami di sumpah untuk tidak membuka jawaban dari petunjuk tertulis di pintu masuk Ruang Langit itu. Itu pun sampai saat ini hanya 3 orang yang mampu memasuki Ruang Langit itu Jalu," sahut Eyang sepuh Jayasona menjelaskan. "Wah begitu sulitnyakah memecahkan peunjuk itu Eyang Guru? Lalu bagaimana pula dengan Jalu yang masih sangat hijau dalam pemahaman ini Eyang Guru?" Jalu bertanya dengan nada cemas.Ya, Jalu merasa petunjuk yang tertulis di pintu masuk ke Ruang Langit pastilah sangat sulit untuk di pahami. Bahkan Eyang Gurunya saja memerlukan waktu sampai 2 tahun untuk bisa masuk ke Ruang Langit itu. "Jalu. Diluar nalar kita sebagai manusia, ada yang namanya wangsit, wisik, mimpi, dan juga
'Ahhh. Maafkan Eyang, Jalu', bathin Eyang sepuh Jayasona.Ya, sesungguhnya ada sesuatu hal yang diketahui Eyang sepuh Jayasona, namun ia tak bisa mengatakannya pada siapapun juga.Ingin rasanya Eyang sepuh Jayasona mentransfer seluruh power dan kemampuannya pada murid tersayangnya itu, namun 'aturan langit' tidak membolehkannya melakukan itu. 'Hhhh. Baiknya aku mensucikan diri dulu di sendang pulih rogo', bathinnya.Blaph! Sosok Eyang sepuh Jayasona pun lenyap seketika. Usai mandi di Sendang Pulih Rogo, Eyang sepuh Jayasona kembali lenyap dari Istana Pasir Bumi dan tiba-tiba saja sosok sepuh itu telah bersila di ketinggian langit malam itu.Melayang di antara langit dan bumi, dalam rasa penuh berserah pada ketentuan Yang Maha Kuasa. Selimut cahaya kilau keemasan nampak menyelimuti dirinya.Sebuah ibadah yang sungguh tersembunyi dari mata para makhluk di bumi! Keesokkan harinya, tepat saat matahari terbit Jalu telah mendatangi Eyang sepuh Jayasona di gubuknya.Namun Jalu segera berd
"Eyang Guru. Kirana mohon pamit dulu, terimakasih atas kemurahan hati Eyang Guru selama ini telah membimbing Kirana," ucap serak penuh haru sang dara jelita itu. "Hihihii! Kirana cah ayu, harusnya kamu itu senang tak lagi Eyang marahi dan caci maki selama berada di istana kecil ini bersama Eyang," ucap sosok wanita sepuh itu seraya tertawa geli.Namun hal yang aneh adalah matanya yang beriak basah, saat dia tertawa dan berkata-kata. "Tidak Eyang Guru. Kirana tahu, Eyang marah-marah karena ingin Kirana bisa menguasai ilmu ajaran Eyang Guru dengan sempurna.Kirana berhutang budi sama Eyang Guru. Tsk, tskk!" kini Kirana malah terisak, karena dia sudah menganggap Nyi Wedari adalah neneknya sendiri. Wajahnya tetap tertunduk di hadapan sang Gurunya itu. "Hihihii! Kau memang murid dan cucu yang bandel Kirana! Bangkitlah!" Nyi Wedari berseru memaki Kirana, namun sebenarnya dia sangat terharu mendengar jawaban murid tersayangnya itu. Kirana pun bangkit dengan mata basah berlinang, dan beta
"Tenang semuanya..!!" seruan menggelegar yang di lambari power tenaga dalam terdengar dari mulut Ki Taksaka.Seruan yang seketika membuat semua perwakilan sekte yang hadir terdiam. "Kita persilahkan Adipati Sena Tohjaya berbicara lebih dulu!" seru Ki Taksaka lagi. "Terimakasih Ki Taksaka. Saudara-saudara perwakilan seluruh sekte di tlatah Pallawa yang hadir. Sebagai Adipati Larantuka saya ucapkan terimakasih atas kehadiran kalian semuanya.Maksud acara pertemuan ini sebenarnya adalah, saya Adipati Larantuka hendak menawarkan lapangan pekerjaan di wilayah Larantuka ini. Ini berlaku untuk semua anggota sekte yang berada di bawah naungan sekte Elang Harimau!" seru Sena Tohjaya. "Tentunya pihak Kadipaten akan membayar seluruh anggota sekte yang bekerja di wilayah Larantuka itu dengan upah yang pantas dan memuaskan!" seru Sena Tohjaya lagi. "Apakah ada tempat tinggal untuk anggota sekte kami yang ikut bekerja di sini Kanjeng Adipati?!" seru seorang perwakilan bertanya. "Tentu saja ada
"HUUAARGGGHHH..!!!"Teriakkan Jalu pun lantang bergema menggetarkan Istana Pasir Bumi, suara teriakkan yang bagaikan raungan seekor naga yang terluka, dan menahan rasa sakit yang luar biasa. "Mas Jalu..! Akhs!" Brukh!Ratri tersentak dari rasa kesedihannya, mendengar teriakkan Jalu yang lantang bergaung itu. Dadanya bagai terpukul dan bergetar sesak, hingga akhirnya Ratri pun jatuh tak sadarkan diri. Jalu terdiam beberapa saat di tempatnya, terasa ada sebagian dari semangat hidupnya yang pergi melayang seiring kematian Eyang Gurunya itu. Ya, selama Jalu berada di Istana Pasir Bumi, memang hanya Eyang Gurunya itulah tempat dia bertanya dan mengadu.Jalu selalu mendapatkan jawaban yang memuaskan dan menenangkan dari setiap hal yang ditanyakannya. Kini Jalu merasa dunianya sepi, gairah untuk masuk ke Ruang Langit pun menjadi surut karenanya. Karena sesungguhnya di hati Jalu tak berambisi sedikitpun, untuk menjadi pendekar nomor satu ataupun yang terhebat.Baginya cukup dia bisa menun
"Jangan Mas Jalu! Lepaskan bibi..! Ini tidak boleh terjadi! Tsk ... tsk!" seru Ratri terisak dalam dekapan erat Jalu.Bukh! Bukh!Beberapa kali dia coba meronta dan memukul dada Jalu, namun semua itu bagai tak dirasakan oleh pemuda gagah yang sedang hilang kendali itu.Jalu membawa masuk Ratri ke kamarnya dan merebahkan sosok Ratri di atas pembaringannya. Di tatapnya nanar lekuk tubuh Ratri yang memang sesungguhnya indah itu.Sementara Ratri akhirnya mulai berlaku pasrah. Dia teringat Eyang sepuh pernah berkata, siapapun yang minum arak bidadari pasir itu akan menjadi gila dan mengamuk jika hasratnya tak terpenuhi. Dan Ratripun sadar, dengan kemampuannya sekarang Jalu bahkan bisa menghancurkan Istana Pasir Bumi itu hanya dalam sekejap.'Ahh! Baiklah Jalu. Lakukan saja apa yang kau mau pada diriku yang sudah tak perawan ini', desah batin Ratri pasrah.Ya, 30 tahun yang lalu Ratri adalah seorang wanita jelita berusia 19 tahun, saat dia mencoba bunuh diri dengan melompat ke dalam jurang
"Hmm! Kau cari mati ya..!!" seru orang itu dengan nada geram, matanya menatap tajam ke arah Suryo."Aku cuma cari keadilan Paman!' sahut Suryo tegas, tak nampak gentar sama sekali.Karena setelah rumah warisan kedua orangtuanya di sita oleh sekte Elang Harimau dengan semena-mena, dia memang merasa hidupnya telah hancur. Kini dia hanya menumpang tinggal berpindah-pindah di rumah teman-temannya.Pria paruh baya yang berpakaian biasa itu ternyata memiliki simbol yang dikenali oleh Kirana. Sebuah gambar kepala Elang kecil berwarna merah nampak terdapat di ikat kepala yang dikenakannya.'Ahh! Bukankah itu simbol sekte Elang Merah pimpinan Ayahku! Apa hubungan pria itu dengan sekte Ayahku' seru bathin Kirana terkejut. Namun Kirana memilih untuk melihat dulu kelanjutan perkara yang tengah berlangsung di depannya itu."Keadilan bagi orang semacam dirimu adalah kematian! Cepat keluar dari rumah makan ini sebelum selera makanku hilang!" Braghhk! sentak marah pria paruh baya itu, seraya menggebra
"Demi Hyang Widhi Yang Agung! Apa yang harus kulakukan sekarang!" seru Kirana tanpa sadar. Dia sangat terkejut dan bingung, mendapati kini Eyang Gentaloka menjadi Guru Besar di sekte ayahnya."Ada apakah Nona?!" seru Suryo yang ikut terkejut, melihat ekspresi kaget Kirana yang telah menolongnya itu."Ahh! Tak ada apa-apa. Baiklah saya makan pesanan dulu," sahut Kirana seraya duduk kembali dikursinya, untuk menyantap makanan dan minuman yang telah di pesannya.'Sebaiknya aku batalkan saja dulu menemui ibu dan ayahku. Terlalu beresiko bagiku berada di dalam markas sekte Ayahku, karena ada Eyang Gentaloka disana. Lebih baik aku meluaskan pengalamanku dulu mengembara ke wilayah lain', ujar batin Kirana.Sesungguhnya hati Kirana sangat terpukul, marah, dan juga merasa malu. Karena sekte ayahnya menjadi pembicaraan buruk bagi para penduduk di wilayah Larantuka itu.Hal itu pun masih ditambah lagi dengan masuknya Eyang Gentaloka, musuh Eyang Gurunya di dalam sekte ayahnya itu dan menjadi Gur