"Jangan Mas Jalu! Lepaskan bibi..! Ini tidak boleh terjadi! Tsk ... tsk!" seru Ratri terisak dalam dekapan erat Jalu.Bukh! Bukh!Beberapa kali dia coba meronta dan memukul dada Jalu, namun semua itu bagai tak dirasakan oleh pemuda gagah yang sedang hilang kendali itu.Jalu membawa masuk Ratri ke kamarnya dan merebahkan sosok Ratri di atas pembaringannya. Di tatapnya nanar lekuk tubuh Ratri yang memang sesungguhnya indah itu.Sementara Ratri akhirnya mulai berlaku pasrah. Dia teringat Eyang sepuh pernah berkata, siapapun yang minum arak bidadari pasir itu akan menjadi gila dan mengamuk jika hasratnya tak terpenuhi. Dan Ratripun sadar, dengan kemampuannya sekarang Jalu bahkan bisa menghancurkan Istana Pasir Bumi itu hanya dalam sekejap.'Ahh! Baiklah Jalu. Lakukan saja apa yang kau mau pada diriku yang sudah tak perawan ini', desah batin Ratri pasrah.Ya, 30 tahun yang lalu Ratri adalah seorang wanita jelita berusia 19 tahun, saat dia mencoba bunuh diri dengan melompat ke dalam jurang
"Hmm! Kau cari mati ya..!!" seru orang itu dengan nada geram, matanya menatap tajam ke arah Suryo."Aku cuma cari keadilan Paman!' sahut Suryo tegas, tak nampak gentar sama sekali.Karena setelah rumah warisan kedua orangtuanya di sita oleh sekte Elang Harimau dengan semena-mena, dia memang merasa hidupnya telah hancur. Kini dia hanya menumpang tinggal berpindah-pindah di rumah teman-temannya.Pria paruh baya yang berpakaian biasa itu ternyata memiliki simbol yang dikenali oleh Kirana. Sebuah gambar kepala Elang kecil berwarna merah nampak terdapat di ikat kepala yang dikenakannya.'Ahh! Bukankah itu simbol sekte Elang Merah pimpinan Ayahku! Apa hubungan pria itu dengan sekte Ayahku' seru bathin Kirana terkejut. Namun Kirana memilih untuk melihat dulu kelanjutan perkara yang tengah berlangsung di depannya itu."Keadilan bagi orang semacam dirimu adalah kematian! Cepat keluar dari rumah makan ini sebelum selera makanku hilang!" Braghhk! sentak marah pria paruh baya itu, seraya menggebra
"Demi Hyang Widhi Yang Agung! Apa yang harus kulakukan sekarang!" seru Kirana tanpa sadar. Dia sangat terkejut dan bingung, mendapati kini Eyang Gentaloka menjadi Guru Besar di sekte ayahnya."Ada apakah Nona?!" seru Suryo yang ikut terkejut, melihat ekspresi kaget Kirana yang telah menolongnya itu."Ahh! Tak ada apa-apa. Baiklah saya makan pesanan dulu," sahut Kirana seraya duduk kembali dikursinya, untuk menyantap makanan dan minuman yang telah di pesannya.'Sebaiknya aku batalkan saja dulu menemui ibu dan ayahku. Terlalu beresiko bagiku berada di dalam markas sekte Ayahku, karena ada Eyang Gentaloka disana. Lebih baik aku meluaskan pengalamanku dulu mengembara ke wilayah lain', ujar batin Kirana.Sesungguhnya hati Kirana sangat terpukul, marah, dan juga merasa malu. Karena sekte ayahnya menjadi pembicaraan buruk bagi para penduduk di wilayah Larantuka itu.Hal itu pun masih ditambah lagi dengan masuknya Eyang Gentaloka, musuh Eyang Gurunya di dalam sekte ayahnya itu dan menjadi Gur
Sethh!"Hiahh!" Weesh!Panji melesat mengelak, seraya berseru dan hantamkan ajian Kilat Pelebur Jagadnya untuk memapaki pukulan pembokong itu. Cahaya merah juga berkiblat deras menyambut pukulan lawan."Hiyahh!" Wussh!Larasati pun tak berbeda, dia melesat menghindar seraya lepaskan Pukulan Seribu Bayangan miliknya. Cahaya putih berkilau membersit cepat, menghadang pukulan bercahaya merah membara itu.Blaarghks!! Blaargks!!Dua dentuman dahsyat terjadi di pinggiran lembah Arumpaka itu. Gelombang energi memecah kesegala arah.Rerumputan dan bebatuan kerikil melayang bertebaran di sekitar titik pertemuan dua benturan pukulan jarak jauh tersebut. Asap tebal hitam putih menyelubungi area di bekas benturan pukulan terjadi."Ahhkssh!" Taph! Taph!Larasati berseru kaget dan terdorong beberapa langkah, namun Panji segera merangkul dan menahan tubuhnya."Hehehee! Bagus Panji! Kewaspadaanmu makin terasah kini!" seru seorang sepuh terkekeh, sosoknya tiba-tiba saja telah berada di hadapan mereka
"Heii! Ja-Jalu! Apakah dia anak lelaki berusia sekitar 10 tahunan lebih, saat kejadian itu terjadi, Larasati?!" kembali Eyang Shindupalla tersentak kaget.Ya, hari ini Eyang Shindupalla merasa begitu bertubi-tubi mendapatkan kabar yang tak di sangka-sangkanya.Eyang Shindupala juga teringat nama seorang bocah lelaki, yang pernah menjadi rebutan di antara dirinya dan dua sahabatnya di pulau Garuda."Aihh! Be-benar Eyang, adikku Jalu memang masih berusia 10 tahunan lebih, pada masa 8 tahun yang lalu. A-apakah Eyang pernah melihatnya?" Larasati kini yang terkejut.Karena mendengar Eyang Shindupalla bisa menebak dengan tepat usia Jalu, pada saat dirinya terpisah dengan adiknya itu."Ahh! Demi Hyang Widhi Yang Agung! Semua kejadian demi kejadian bagai sudah dirangkai dengan halus oleh-NYA.Larasati, adikmu Jalu terakhir kali Eyang ketahui berhasil di selamatkan oleh Eyang Pandunatha dari Tlatah Ramayana.Dan saat ini Jalu mungkin telah di angkat menjadi muridnya Larasati," sahut Eyang Shin
"Hahahaa! Hebat juga dua muridmu Pandunatha!" terdengar seruan dan tawa terbahak dari seorang lelaki sepuh, yang tiba-tiba saja muncul di dekat air terjun Silihwarna, yang terletak di belakang kediaman Eyang Pandunatha."Hehee. Cakradewa! Sungguh suatu kegembiraan melihat kedatanganmu, masuklah sahabatku!" seru gembira Eyang Pandunatha, membalas seruan sahabatnya itu."Hahahaa! Sungguh terasa makin sejuk dan damai saja tempatmu ini Pandunatha," ucap Eyang Cakradewa, setelah ia masuk ke rumah asri dan sederhana milik Eyang Pandunatha.Perpaduan bambu dan kayu mendominasi kediaman sahabatnya itu, di tambah lagi dengan pepohonan serta tanaman hias di sekeliling halamannya."Biasa saja Cakradewa. Duduklah di atas dipan itu sobat. Apakah kau belum mengangkat murid hingga saat ini Cakradewa?" tanya Eyang Pandunatha tersenyum senang."Muridku Pranata sedang memasuki masa 'hening puncak' selama 30 harinya Pandunatha. Terpaksa kutinggalkan dia di tempat latihannya.Aku datang membawa kabar ya
"Hmm! Kalau hanya sekedar tampan, seekor kera juga bisa lebih tampan jika di dandani..!" seru keras seorang di antara dua pemuda keki itu, dengan tatapan sinis ke arah Jalu.Pemuda itu memakai pakaian yang serupa dengan teman semejanya itu. Nampaknya mereka berdua adalah anggota dari sebuah sekte yang sama.Jalu hanya menatap sekilas ke arah pemuda yang berseru sambil menatap sinis padanya itu. Merasa tak punya urusan dengan mereka, Jalu kembali arahkan pandangannya keluar jendela seraya meneguk tuak wanginya.Sementara dua gadis cantik berusia sekitar 19 tahunan itu menatap sebal kearah pemuda yang baru berseru keras itu. Mereka merasa tindakkan pemuda itu malah menunjukkan ketidak dewasaan prilakunya.Hal yang menyebabkan dua gadis itu makin muak dan enggan menoleh ke arah dua pemuda banyak gaya tersebut.Glek, glek, glek!Jalu menenggak tabung tuaknya, seraya mengenang kembali petualangannya dengan dua kakak beradik Ranti dan Jaya. Dua orang yang sudah di anggap bagaikan adik kandu
Srraaghhkk.!! Braallgghk..!Lalu tanah di dekat Jalu berpijak pun jebol ambyar, bagai terbongkar oleh suatu power dahsyat dari dalam bumi.Wenngzzt..!Sebuah pedang berselimutkan cahaya merah membara melesat keluar dari dalam bumi menuju angkasa."Haahhh..!! Gilaa!!""Gempaa..!!""Arkkhsshk!"Brugh! Brugh! Brukk!Seruan terkejut dan panik bergema, dari para anggota senior sekte Naga Terbang yang mengepung Jalu.Banyak pula di antara mereka yang terjungkal bertumbangan, akibat guncangan bumi yang terjadi. Hal yang mengakibatkan mereka semua tak berani menyerang Jalu.Taph!Jalu langsung menggenggam gagang pedang berbentuk kepala Naga Bumi tersebut. Sosoknya langsung ikut melesat tinggi ke angkasa, sebelum akhirnya dia menukik dan mendarat ringan di hadapan Ki Arga Bayu."Pe-pedang Bumi!" seru gugup Ki Arga Bayu gentar. Saat melihat cahaya merah membara yang menyelimuti seluruh tubuh pedang di tangan Jalu.Sementara sosok Jalu sendiri juga kini telah berselimutkan cahaya putih kemilau.
"Ayo..! Pasang semua umbul dan panji yang masih belum terpasang..! Sebelum para tamu undangan berdatangan siang nanti!Jangan sampai kita di anggap tak siap merayakan hari berdirinya sekte Rajawali Emas yang keenam ini..!" seru Panji mengingatkan para anggota sekte Rajawali Emas, yang bertugas memasang umbul-umbul serta panji-panji sekte Rajawali Emas di sekitar markas.Umbul serta panji sekte Rajawali Emas itu bahkan dipasang hingga sepanjang pohon-pohon di tepi jalan, yang merupakan akses menuju ke markas sekte Rajawali Emas.Hingga saat tiba waktu menjelang siang. Para tamu undangan dari berbagai sekte, para pendekar non sekte, perwakilan ataupun pihak kerajaan dari tiga tlatah, bahkan hingga para tokoh sepuh dunia persilatan, telah mulai berdatangan memasuki markas sekte Rajawali Emas.Ya, siapa yang tak mengenal dan tak mendengar kebesaran nama serta sepak terjang para anggota sekte Rajawali Emas. Sekte yang menyandang nama harum di dunia persilatan, maupun di hati para penduduk
BLAPH..!Seketika kilau cahaya putih cemerlang yang menyilaukan di atas area Padang Khayangan yang tak bertepi itu pun lenyap.Kini hanya ada warna keemasan pekat di area Padang Khayangan itu. Sunyi ... angin pun bagai tak berhembus saking tenangnya.Jalu ambil posisi bersila dengan sikap teratai, perlahan dia pejamkan kedua matanya. Tak lama Jalu pun tenggelam di alam keheningan yang tercipta. Pasrah ... Mandah ... dan Berserah.*** Dan kehebohan pun terjadi di Tlatah Klikamuka.Ya, semua orang di sana ribut dan panik mencari sosok Jalu, yang bagai hilang ditelan bumi. Mereka semua yakin Jalu bisa mengatasi dan melenyapkan Arya. Karena Arya sendiri tak pernah muncul kembali, setelah duelnya melawan Jalu.Selama 7(tujuh) hari lebih seluruh orang di Tlatah Klikamuka mencari keberadaan Jalu. Mereka menyusuri dengan kapal-kapal laut hingga jauh ke laut lepas, namun tetap saja sosok Jalu tak mereka lihat dan temukan.Pada akhirnya mereka semua menyimpulkan, bahwa Jalu telah mati sampyuh
Sosok Eyang Sokatantra ambyar berkeping, terlabrak pukulan inti 'Poros Bumi Langit' milik Eyang Bardasena.Ya, bola emas berpusar milik Eyang Bardasena itu berhasil menerobos titik benturan pukulan dahsyatnya dengan pukulan milik Eyang Sokatantra.Akibatnya, dengan telak sekali bola emas yang berputar dahsyat itu menghantam dada Eyang Sokatantra. Sungguh dahsyat tak tertahankan memang power Eyang Bardasena saat itu. Kendati sesungguhnya power Eyang Sokatantra berada di atas tingkatan Eyang Barnawa dulu.Ya, keajaiban olah Pernafasan Bathara Bayu yang diperdalam Eyang Bardasena di bawah arahan Jalu, memang telah membuat peningkatan pesat pada powernya.Bahkan bisa dikatakan Eyang Bardasena kini telah memasuki ranah awal di tingkat Ksatria Semesta tingkat tak terbatas, ranah yang sama seperti halnya Jalu. Namun tentu saja power dan daya bathin Eyang Bardasena masih berada beberapa tingkat di bawah Jalu."Hukghs..!" sosok Eyang Bardasena terhuyung ke belakang, namun cepat dia kembali teg
Wuunnggtzz..!!! Weerrsskh..!!Dengung membahana suara cakra emas yang memancarkan cahaya cemerlang terdengar. Cakra emas itu berputar menggila bukan main cepatnya.Seluruh badai angin yang berada di sekitar lokasi pertarungan itu, seketika ikut terhisap masuk dan menyatu dengan pusaran badai raksasa cakra tersebut. BADAS..!Sementara badai halilintar emas tak henti menghujani lokasi pertarungan Arya dan Jalu tersebut. Tengah laut, lokasi pertarungan dua tokoh muda tersakti di jamannya itu, seketika bagai berubah menjadi sebuah wilayah yang terkutuk. Mengerikkan..!Dan yang terdahsyat adalah terbentuknya pusaran laut mega raksasa, yang berpusat di bawah sosok Jalu melayang. Pusaran laut raksasa itu mencakup radius yang sangat luas, hingga menelan pusaran raksasa yang berada di bawah sosok Arya! Inilah kegilaan yang super gila..!"Ca-cakra Semesta..?! Ini Gila..!! Keparat kau Jalu..!!" Arya tersentak kaget dan gentar bukan main. Dia seketika teringat ucapan Maha Gurunya sang Penguasa Ke
"HUAAAHHH..HH..!!!"Teriakkan bergemuruh dari pasukkan perang tiga tlatah membahana badai di pantai Parican saat itu. Dan permukaan air laut di pantai Parican yang biasanya berwarna hijau kebiruan itu, kini telah berubah total menjadi merah darah..!Patih Karna bisa mengerti siasat panglima Indrakila, dengan tidak melabuhkan kapal di pelabuhan pantai Parican. Karena rawan untuk dipakai para pasukkan tlatah Bhineka, yang hendak melarikan diri nantinya.Sungguh siasat yang cukup mematikan langkah pihak musuh. Sebuah siasat yang hanya berarti dua pilihan untuk pihak musuh, tetap menyerang dan melawan, atau mati di negeri orang..!Sungguh sebuah kesalahan fatal dari siasat dan pemikiran Panglima Besar pasukkan Bhineka, Arya.Arya tak memperhitungkan, bahwa persatuan dan persahabatan tlatah Pallawa, Klikamuka, serta Ramayana semakin bertambah solid, setelah perang besar yang terjadi 5(lima) tahun yang lalu.Arya benar-benar kurang memperhitungkan hal yang sebenarnya sangat fatal itu.***
"Bedebah kau Bardasena..! Bisakah sopan sedikit saat berbicara denganku! Simpan arakmu brengsek..!" seru marah Eyang Sokatantra.Ya, Eyang Sokatantra sangat keki dan merasa diremehkan oleh sikap Bardasena, yang berbicara dengannya sambil minum arak."Hmm. Sokatantra kita sudah sama sepuh, dan kita sudah sama tahu apa itu arti basa basi dan sikap munafik. Apa bedanya sikapku yang minum arak, dengan kata-kata makian kasarmu itu padaku! Hahahaa!" seru Eyang Bardasena tergelak, membalikkan teguran Eyang Sokatantra dengan sindirannya."Hmm. Baik Bardasena! Kita mulai saja pertarungan kita sekarang!" karuan Eyang Sokatantra bertambah keki, mendengar ucapan Eyang Bardasena yang dengan telak membalikkan teguran dengan sindiran tajamnya.Glk, glk, glk!"Baik Sokatantra! Sebaiknya kita juga bertarung agak ke tengah laut sana! Kasihan jika ada prajurit yang tewas karena pukulan kita yang meleset," ucap tegas Eyang Bardasena, menyambut tantangan Eyang Sokatantra.Slaph..!! Slaphh..!!Dua tokoh se
"MEREKA DI BELAKANG KITA..! BERSIAPLAH..!" seru lantang sang Mahapatih Suryalaga.Dia memimpin pasukkan penjaga di pantai Parican untuk mundur, agar pasukkan musuh terpancing untuk maju mengejar mereka, yang disangka gentar oleh pasukkan musuh.Cepat sekali ke 9 ribu pasukkan yang dipimpin sang patih Suryalaga tersebut membentuk barisan di sisi kiri dan kanan depan pasukkan sang Maharaja, yang telah berbaris di depan perbatasan kotaraja. Hingga Pasukkan Tlatah Klikamuka dan sekutunya kini membentuk formasi huruf 'U'.Srraakh.! Spyaarrsshk..!Sang Maharaja lolos keris pusaka 'Ki Nogo Suryo' dan acungkan keris pusaka itu ke arah langit. Seketika selarik kilatan terang melesat dari keris pusaka itu menembus awan, langit pun nampak semakin terang, walaupun matahari belum lagi menyorotkan sinar terangnya di pagi hari itu."ESA HILANG DUA TERBILANG..! PARA KSATRIA KLIKAMUKA..!! SERAANNGG..!!" seru lantang sang Maharaja, seraya acungkan 'Ki Nogo Suryo' ke arah depan dan membedal maju kudanya
HUUOOONNKKHH...!!!Suara gaung terompet/sangkha bergema membahana dari tepian batas laut di pantai Parican. Suara gaungnya mengoyak kesunyian pagi, dan menembus hingga ke dinding perbatasan kotaraja Klikamuka.Ya, itulah gaung terompet/sangkha dari pihak armada perang Tlatah Bhineka, hal yang menandakan armada pasukkan Bhineka akan bergerak menyerang ke wilayah Klikamuka!"PASUKKAN BHINEKA..! MAJUU..!!" seru lantang panglima besar mereka Arya. Sebuah seruan yang dilambari power tenaga dalamnya, hingga menembus gendang telinga segenap pasukkan kapal armada tlatah Bhineka itu."MAJUU..!!""SERANNGG..!!"Seruan Arya segera di ikuti oleh seruan komando para pimpinan kapal pasukkan armadanya. Serentak seluruh armada kapal perang tlatah Bhineka meluruk maju dengan cepat, melesat menuju tepi pantai Parican untuk mendaratkan 25 ribu lebih pasukkannya.Sementara jauh di belakang armada perang Bhineka itu."ARMADA RAMAYANA..!! KEJAR DAN SERANGG MEREKA..!!" seru lantang sang Patih Karna Ekatama
"Heeii..! Utusan Arya keparat..! Lekas ambil surat dari Tuanmu itu, dan berikan kembali pada junjunganmu si Arya itu!" seru keras sang Maharaja Klikamuka."Ba-baik paduka..!" seru gugup sang utusan yang merasa gentar, karena dia merasa sedang berada di sarang harimau. Segera di ambil dan dilipatnya kembali surat maklumat dari junjungannya, yang kini penuh dengan ludah itu."Katakan pada junjunganmu si Arya itu! Surat maklumatnya hanyalah sampah di mata rakyat Tlatah Klikamuka ini! Cepat keluar..!" seru sang Maharaja Klikamuka murka."Ba-baik Paduka!" dengan menyahut gugup, sang utusan itu segera keluar dari istana Klikamuka. Nampak wajahnya pucat pasi, dia sadar perang tak bisa terhindarkan lagi kini.Sepanjang jalan menuju kembali ke pantai, dia mengamati kekuatan pasukkan dan perlengkapan perang Tlatah Klikamuka itu. Dan hatinya menjadi bergetar ngeri, karena ternyata jumlah pasukkan Tlatah Klikamuka setara dengan jumlah pasukkan kerajaan Bhineka!Hal yang meleset dari perkiraan jun