Salah satu dari empat tetua di perguruan Lembah Ular itu mendengus geram sebelum kemudian berdiri dan menatap dua tetua lainnya. "Jika kalian mau membantuku menghabisi dia, maka akan kuberikan hadiah besar untuk kalian berdua."Kedua tetua lainnya saling berpandangan sebelum kemudian tersenyum lebar."Kami pasti akan membantumu, Gandara. Terpenting kau bisa menyediakan gadis perawan untuk memuaskan hasrat kami berdua. Kau tahu sendiri jika hanya kau dan Singgih yang bebas bepergian keluar dari perguruan ini, sedangkan kami setiap hari hanya berkutat melatih anggota." ujar tetua yang bertubuh pendek kekar dan berkepala plontos. Di wajahnya terdapat bekas luka memanjang di bagian pipi kanan."Kalau hanya itu permintaan kalian, aku akan bisa menyediakan berapapun gadis perawan yang kalian mau," jawab Gandara penuh dengan senyum kemenangan.Selain ingin menyingkirkan Singgih yang merupakan tetua pertama, dia juga ingin menyingkirkan Ny
Selang beberapa saat lamanya menyegarkan tubuh dengan segarnya air sumur yang ditampung dalam bak mandi, Jalu pun kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tubuhnya sudah kembali segar dan pancaran aura di wajahnya juga begitu bersinar.Dengan langkah tegap, pemuda yang memiliki wajah tampan di atas rata-rata itu beranjak menuju ruang keluarga. Aji, Nyi Sundari dan Ayu Wulandari menatap takjub kehadiran Jalu yang berjalan mendekat. Meski berpakaian sederhana, tapi tetap saja aura yang dimunculkan pemuda tampan itu layaknya seorang bangsawan. "Duduklah!" kata Aji mempersilahkan. Jalu mengangguk dengan senyum terkembang di bibir. Dipandangnya sekilas Ayu Wulandari yang menatapnya tanpa berkedip sama sekali. Nyi Sundari menyenggol bahu suaminya. Senyum simpulnya tercetak seraya melirik ke arah putri mereka yang memperlihatkan rasa sukanya kepada Jalu. Aji turut mengulum senyum seraya mengangkat kedua alisnya. Dia juga mengetahui respon yang ditunjukkan Ayu Wulandari terhadap kedat
Ayu Wulandari terkejut setengah mati bahkan sampai tidak bisa berkata-kata sedikitpun. Bukan karena takut ketinggian, melainkan Jalu yang tanpa memberitahu terlebih dahulu langsung membawanya ke atas pohon. Tapi dari kejadian itu dia juga merasa bersyukur. Dia kini sedang dalam pelukan pemuda yang sudah membuatnya jatuh hati. Jantungnya berdebar kencang bagai deru laju kuda yang dipacu di lintasan. Sssst!Jalu memberi isyarat agar gadis cantik itu diam. Matanya tajam melihat kejauhan. Meski tidak terlalu jelas karena tertutupi dedaunan yang lebat, tapi pemuda tampan itu masih terus menajamkan penglihatannya. "Kenapa?" Ayu Wulandari berbisik pelan. “Ada serombongan orang yang juga ada di tempat ini. Aku tidak ingin mengambil resiko dan harus menjaga keselamatanmu," jawab Jalu pelan.Bibir Ayu Wulandari bergerak-gerak tapi sulit untuk bicara. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Ucapan Jalu barusan bagai es yang menyejukkan isi hatinya. Dalam beberapa tarikan napas, terdengarl
Tak ingin Ayu Wulandari mengalami celaka karena terpatuk ular hijau yang terkenal berbisa cukup tinggi, Jalu pun berpikir untuk membawa tubuh gadis cantik itu ke pohon lain. Dilihatnya sekitar sebelum memutuskan memilih satu pohon yang berjarak kurang lebih sepuluh meter jauhnya."Berpegangan yang erat dan jangan mengendurkannya sedikit pun! Aku tidak akan memegangimu," ucapnya sebelum menarik napas panjang. Ayu Wulandari seketika memeluk tubuh Jalu dengan erat. Meski makna berpegangan dan memeluk itu jauh berbeda, tapi gadis cantik putri pasangan juragan kaya itu tidak memperdulikannya. Saat ini yang terpikir di dalam benaknya malah bukan keselamatan nyawanya, melainkan mungkin tidak akan ada kesempatan kedua bisa bersentuhan fisik dengan begitu dekat dan erat. Jalu merasa sedikit kesulitan bernapas akibat pelukan yang dilakukan Ayu Wulandari kepadanya. Namun dia berpikir jika gadis itu ketakutan sehingga harus memeluknya seerat itu. "Tenang saja. Kupastikan mereka tidak akan bisa
Pegangan Ayu Wulandari semakin erat tatkala tenaga yang dikeluarkan Badra semakin besar. Gadis cantik itu tak henti berteriak memanggil nama Jalu untuk meminta pertolongan. "Teruslah berteriak! Sebentar lagi kau akan jatuh dan aku tinggal membawamu pergi dari sini, hahahaha!" Tawa Badra lantang berderai. "Apa kau yakin bisa membawa dia pergi?" Terdengar suara Jalu yang rupanya sudah selesai menghabisi tiga puluh anggota perguruan Lembah Ular. Tawa Badra seketika terhenti. Dia berbalik arah dan menatap tajam pemuda tampan yang sudah berdiri lima belas langkah darinya. Arah pandang lelaki bertubuh tinggi besar itu lantas tertuju kepada bawahannya yang semuanya sudah terkapar. Sebagian besar sudah tidak bergerak lagi, entah itu pingsan atau mati. Dan sebagian kecil lainnya masih bergerak namun dengan erangan kesakitan yang tiada henti. "Bajingan tengik!" hardiknya keras. "Tidak perlu berteriak, aku tidak tuli." Jalu memukul-mukulkan ranting yang dipegangnya dengan tangan kanan ke te
"Tampaknya memiliki tubuh tinggi besar bukan sebuah hal yang baik untukmu. Buktinya, kulihat napasmu menderu cepat seperti seorang maling yang kabur dikejar penduduk," ujar Jalu yang diakhiri dengan tawa pelan mencibir.Calon tetua di perguruan Lembah Ular tersebut tidak bisa menahan rasa geram akibat ucapan pemuda tampan itu yang menurutnya begitu pedas. Namun selain geram, dia juga terkejut karena lawannya itu bahkan seperti tidak merasa lelah sama sekali. Padahal pertarungan yang mereka lakukan terbilang cukup panjang."Ternyata kekuatiran ketua ada benarnya. Pendekar muda ini memiliki kemampuan yang bahkan tidak bisa aku ukur," ucapnya dalam hati. Normalnya sebagai manusia, Badra memposisikan dirinya saat ini dalam kekuatiran yang tinggi. Modal berani saja nyatanya tidak cukup jika dihadapkan dalam situasi sulit seperti ini. Dia sadar tak akan bisa selamat jika pertarungan kembali berlanjut. Badra bisa menilai sendiri jika pendekar muda yang menjadi lawannya itu dalam pertarunga
Wikrama meringis menahan tulang pundaknya yang serasa linu berat. Walau terkesan biasa saja, tapi remasan tangan Jalu yang disertai pengerahan tenaga dalam membuatnya kesakitan. Tampaknya dia salah karena menganggap pemuda tampan itu bakal mundur dan pergi dari hutan tersebut. "Kau boleh diam dan tidak menjawab jika ingin satu persatu tulangmu remuk," lanjut Jalu, kemudian menambahkan sedikit tenaga dalamnya hingga tulang bahu Wikrama berbunyi gemeretak. "Tolong hentikan, Pendekar, rasanya sakit sekali. Baiklah, aku akan mengatakannya." Jalu mengulum senyum sebelum melepaskan tangannya dari bahu Wikrama."Katakan!" Diraihnya ranting kayu yang tergeletak di dekatnya dan dipatahkannya kecil-kecil menjadi lebih dari sepuluh bagian, tepat sesuai jumlah anggota perguruan lembah ular yang masih hidup. "Perguruan Lembah Ular ada di balik bukit Lawang Songo, Pendekar. Tapi ..." Wikrama menghentikan ucapannya karena melihat pemuda tampan itu melesatkan satu potongan ranting kayu kepada sa
Ayu Wulandari tersenyum lega. Rasa kekuatiran jika Jalu akan kembali dan mendatangi perguruan Lembah Ular berangsur menghilang. Gadis cantik itu lantas masuk ke dalam kereta kuda dan menutup pintunya kembali. "Ayo kita berangkat, Paman!" perintahnya kepada Darmono. Sebelum memacu kuda yang tali kekangnya sudah terpegang di kedua tangannya, Darmono menoleh ke arah Jalu. Setelah itu dia mengangguk kecil dengan senyum terkembang di bibir. "Berangkatlah, Paman. Aku ikuti dari belakang," ujar Jalu. Perlahan kereta kuda itu bergerak menyusuri jalanan tanah yang sedikit berbatu. Jalu mengiringi kepergian kereta kuda itu dengan tatapan matanya hingga berjarak lima puluh meter. Senyum pemuda tampan itu terurai seraya berkata dalam hati, "Aku harus melanjutkan tugas yang diberikan kakek." Dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir memasuki taraf sempurna, Jalu melesat kembali masuk ke dalam hutan. Ratusan pepohonan yang seolah berdiri menghadang tidak menjadi masalah berart