Ayu Wulandari terkejut setengah mati bahkan sampai tidak bisa berkata-kata sedikitpun. Bukan karena takut ketinggian, melainkan Jalu yang tanpa memberitahu terlebih dahulu langsung membawanya ke atas pohon. Tapi dari kejadian itu dia juga merasa bersyukur. Dia kini sedang dalam pelukan pemuda yang sudah membuatnya jatuh hati. Jantungnya berdebar kencang bagai deru laju kuda yang dipacu di lintasan. Sssst!Jalu memberi isyarat agar gadis cantik itu diam. Matanya tajam melihat kejauhan. Meski tidak terlalu jelas karena tertutupi dedaunan yang lebat, tapi pemuda tampan itu masih terus menajamkan penglihatannya. "Kenapa?" Ayu Wulandari berbisik pelan. “Ada serombongan orang yang juga ada di tempat ini. Aku tidak ingin mengambil resiko dan harus menjaga keselamatanmu," jawab Jalu pelan.Bibir Ayu Wulandari bergerak-gerak tapi sulit untuk bicara. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Ucapan Jalu barusan bagai es yang menyejukkan isi hatinya. Dalam beberapa tarikan napas, terdengarl
Tak ingin Ayu Wulandari mengalami celaka karena terpatuk ular hijau yang terkenal berbisa cukup tinggi, Jalu pun berpikir untuk membawa tubuh gadis cantik itu ke pohon lain. Dilihatnya sekitar sebelum memutuskan memilih satu pohon yang berjarak kurang lebih sepuluh meter jauhnya."Berpegangan yang erat dan jangan mengendurkannya sedikit pun! Aku tidak akan memegangimu," ucapnya sebelum menarik napas panjang. Ayu Wulandari seketika memeluk tubuh Jalu dengan erat. Meski makna berpegangan dan memeluk itu jauh berbeda, tapi gadis cantik putri pasangan juragan kaya itu tidak memperdulikannya. Saat ini yang terpikir di dalam benaknya malah bukan keselamatan nyawanya, melainkan mungkin tidak akan ada kesempatan kedua bisa bersentuhan fisik dengan begitu dekat dan erat. Jalu merasa sedikit kesulitan bernapas akibat pelukan yang dilakukan Ayu Wulandari kepadanya. Namun dia berpikir jika gadis itu ketakutan sehingga harus memeluknya seerat itu. "Tenang saja. Kupastikan mereka tidak akan bisa
Pegangan Ayu Wulandari semakin erat tatkala tenaga yang dikeluarkan Badra semakin besar. Gadis cantik itu tak henti berteriak memanggil nama Jalu untuk meminta pertolongan. "Teruslah berteriak! Sebentar lagi kau akan jatuh dan aku tinggal membawamu pergi dari sini, hahahaha!" Tawa Badra lantang berderai. "Apa kau yakin bisa membawa dia pergi?" Terdengar suara Jalu yang rupanya sudah selesai menghabisi tiga puluh anggota perguruan Lembah Ular. Tawa Badra seketika terhenti. Dia berbalik arah dan menatap tajam pemuda tampan yang sudah berdiri lima belas langkah darinya. Arah pandang lelaki bertubuh tinggi besar itu lantas tertuju kepada bawahannya yang semuanya sudah terkapar. Sebagian besar sudah tidak bergerak lagi, entah itu pingsan atau mati. Dan sebagian kecil lainnya masih bergerak namun dengan erangan kesakitan yang tiada henti. "Bajingan tengik!" hardiknya keras. "Tidak perlu berteriak, aku tidak tuli." Jalu memukul-mukulkan ranting yang dipegangnya dengan tangan kanan ke te
"Tampaknya memiliki tubuh tinggi besar bukan sebuah hal yang baik untukmu. Buktinya, kulihat napasmu menderu cepat seperti seorang maling yang kabur dikejar penduduk," ujar Jalu yang diakhiri dengan tawa pelan mencibir.Calon tetua di perguruan Lembah Ular tersebut tidak bisa menahan rasa geram akibat ucapan pemuda tampan itu yang menurutnya begitu pedas. Namun selain geram, dia juga terkejut karena lawannya itu bahkan seperti tidak merasa lelah sama sekali. Padahal pertarungan yang mereka lakukan terbilang cukup panjang."Ternyata kekuatiran ketua ada benarnya. Pendekar muda ini memiliki kemampuan yang bahkan tidak bisa aku ukur," ucapnya dalam hati. Normalnya sebagai manusia, Badra memposisikan dirinya saat ini dalam kekuatiran yang tinggi. Modal berani saja nyatanya tidak cukup jika dihadapkan dalam situasi sulit seperti ini. Dia sadar tak akan bisa selamat jika pertarungan kembali berlanjut. Badra bisa menilai sendiri jika pendekar muda yang menjadi lawannya itu dalam pertarunga
Wikrama meringis menahan tulang pundaknya yang serasa linu berat. Walau terkesan biasa saja, tapi remasan tangan Jalu yang disertai pengerahan tenaga dalam membuatnya kesakitan. Tampaknya dia salah karena menganggap pemuda tampan itu bakal mundur dan pergi dari hutan tersebut. "Kau boleh diam dan tidak menjawab jika ingin satu persatu tulangmu remuk," lanjut Jalu, kemudian menambahkan sedikit tenaga dalamnya hingga tulang bahu Wikrama berbunyi gemeretak. "Tolong hentikan, Pendekar, rasanya sakit sekali. Baiklah, aku akan mengatakannya." Jalu mengulum senyum sebelum melepaskan tangannya dari bahu Wikrama."Katakan!" Diraihnya ranting kayu yang tergeletak di dekatnya dan dipatahkannya kecil-kecil menjadi lebih dari sepuluh bagian, tepat sesuai jumlah anggota perguruan lembah ular yang masih hidup. "Perguruan Lembah Ular ada di balik bukit Lawang Songo, Pendekar. Tapi ..." Wikrama menghentikan ucapannya karena melihat pemuda tampan itu melesatkan satu potongan ranting kayu kepada sa
Ayu Wulandari tersenyum lega. Rasa kekuatiran jika Jalu akan kembali dan mendatangi perguruan Lembah Ular berangsur menghilang. Gadis cantik itu lantas masuk ke dalam kereta kuda dan menutup pintunya kembali. "Ayo kita berangkat, Paman!" perintahnya kepada Darmono. Sebelum memacu kuda yang tali kekangnya sudah terpegang di kedua tangannya, Darmono menoleh ke arah Jalu. Setelah itu dia mengangguk kecil dengan senyum terkembang di bibir. "Berangkatlah, Paman. Aku ikuti dari belakang," ujar Jalu. Perlahan kereta kuda itu bergerak menyusuri jalanan tanah yang sedikit berbatu. Jalu mengiringi kepergian kereta kuda itu dengan tatapan matanya hingga berjarak lima puluh meter. Senyum pemuda tampan itu terurai seraya berkata dalam hati, "Aku harus melanjutkan tugas yang diberikan kakek." Dengan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir memasuki taraf sempurna, Jalu melesat kembali masuk ke dalam hutan. Ratusan pepohonan yang seolah berdiri menghadang tidak menjadi masalah berart
Rasa terkejut yang mereka rasakan hanya sesaat. Setelahnya berganti tawa yang saling bersahutan. "Bocah gila! Apa kau sudah bosan hidup hingga berani menghadang kami?" ejek seorang lelaki yang memiliki kulit hitam, rambut keriting dan berbadan kekar. Jalu hanya tersenyum tipis sebelum menoleh ke belakang. Dilihatnya lelaki yang dikejar belasan anggota tadi sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. "Kau tunggu di situ, aku ada perlu denganmu setelah menghabisi mereka!" ujarnya sebelum kembali mengarahkan pandangannya kepada belasan lelaki yang ada di depannya. "Hahahaha! Ternyata bocah ingusan ini benar-benar sudah gila. Dia tidak tahu jika sedang berhadapan dengan anggota perguruan Lembah Ular." Kembali lelaki berkulit hitam itu mengejek Jalu. Tanpa berpikir panjang, Jalu melesat menyerang setelah lelaki berkulit hitam itu menyelesaikan ucapannya. Dan Sambaran cakarnya langsung membuat lelaki yang telah mengejeknya itu terkoyak lebar. Lelaki berkulit hitam itu memegangi
Terdorong oleh rasa penasarannya, Sapta Aji pun berinisiatif untuk bertanya tentang berita yang sedang berkembang di perguruan Lembah Ular. "Maaf jika aku lancang. Saat ini sudah tersiar luas kabar mengenai hancurnya tiga perguruan oleh seorang pendekar. Apakah pendekar yang dimaksud itu kau?" Jalu sedikit menautkan kedua alisnya. Ternyata benar jika namanya sudah cukup meluas setelah hancurnya tiga perguruan di tangannya. Tercetak guratan senyum yang penuh misteri di bibirnya, dan itu membuat Sapta Aji mulai yakin jika pendekar muda di depannya tersebut adalah sosok yang sedang menjadi buah bibir di dunia persilatan. "Sekarang antarkan aku ke sana. Nanti Kakang tunggu saja di pintu gua," kata Jalu. Sapta mengangguk. "Baiklah, sambil jalan aku akan menjelaskan situasinya. Mari kita berangkat sekarang," ucapnya lalu berjalan terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan yang kontur tanahnya terus menaik, Sapta Aji menjelaskan situasi di sekitar Lembah Ular. Tak lupa bagian dalam perguruan
Gambaran akan mendapatkan uang yang cukup besar sudah tergambar di dalam benak kelima perampok tersebut. Mereka terus bercanda hingga tiba di depan rumah yang sangatlah besar untuk ukuran di desa. Kalau di Kotaraja mungkin tidaklah heran, tapi di sebuah desa tentu sebuah kemustahilan yang sulit untuk dipercaya ada. Di depan pintu gerbang, beberapa lelaki yang ditugaskan untuk menjaga, menatap heran dengan adanya lima orang yang membawa gerobak. “Kang, apa benar ini rumah Nyi Sundari?” tanya salah satu perampok yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang dari kening sampai dagu.“Iya, benar. Kalian siapa dan mau apa datang kemari?” salah satu penjaga balik bertanya.“Kami dari desa sebelah hendak menjual hasil panen, Kang.” Perampok tersebut menjawab dengan ekspresi meyakinkan. “Ikut aku!” Penjaga yang tubuhnya paling kekar membuka pintu gerbang, kemudian masuk ke dalam. Lima orang perampok membawa masuk gerobak yang mereka bawa hingga di halaman.“Tunggu di sini. Kupanggilkan dulu
Jalu masih sedikit kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Ayu Wulandari. Arah pandangnya lantas tertuju kepada Nyi Sundari dan bertanya kenapa dengan membuka mulut tapi tanpa bersuara.“Ayu tadi menangis histeris ketika melihat darah yang terkumpul di baskom itu, Jalu,” kata Nyi Sundari. Ayu Wulandari langsung menoleh kepada ibunya dan membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya langsung merah merona oleh rasa malu. “Oh, darah ini?” Jalu menunjuk baskom kuningan di depannya. “Begini Bi, dalam pertarungan terakhir sebelum berhasil menyelamatkan Ayu, aku mengalami luka dalam karena terkena pukulan. Tadi aku bermeditasi untuk untuk menyembuhkan luka dalam yang kualami. Sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan,” sambungnya tanpa sekalipun menyebut kata racun. Dia tidak ingin membuat ibu dan anak itu kuatir atas kondisinya. Dalam meditasinya tadi, kelima panca indera Jalu benar-benar tidak berfungsi, sehingga diirinya tidak sadar jika keluarga Nyi Sundari sudah
Ayu Wulandari beserta ayah dan ibunya tampak terpukul mendengar penuturan Ki Puguh. Berita yang mereka dapat mengenai kondisi Jalu tentu tidak sesuai yang diharapkan. Ketiganya semula berharap jika Jalu hanya kelelahan atau mungkin mengalami luka biasa, tapi tidak tahunya ternyata terkena racun tingkat tinggi. Belum percaya dengan hasil analisa pertamanya, Ki Puguh pun kembali memeriksa darah Jalu. Kali ini darah berwarna hitam dan berbau busuk di dalam baskom yang dia periksa. Tabib tua itu menggeleng pelan. Sungguh dia masih belum bisa percaya jika pemuda berparas tampan itu mampu bertahan hidup dalam kondisi racun yang sudah menjalar di tubuhnya. "Bagaimana, Ki?" tanya Aji. "Pemuda ini memang terkena racun. Aku tidak tahu jenis racun apa yang berada di dalam tubuhnya, tapi aku yakin pasti racun tingkat tinggi." Kali ini Ayu Wulandari tidak bisa menahan suara tangisannya yang akhirnya pecah. Di sisi lain, Nyi Sundari yang mencoba bertahan agar tidak sampai terbawa suasana, akhi
Raut wajah gadis cantik itu begitu tegang, takut terjadi sesuatu pada Jalu, Ayu Wulandari pun bergegas keluar untuk mencari ayah dan ibunya yang sedang berada di teras rumah. Namun karena kedua orang tuanya sibuk memberi penjelasan kepada anak buahnya yang bertugas menjual barang dagangan, gadis cantik itupun tidak berani menganggu. Ayu Wulandari hanya bisa menunggu dengan perasaan cemas. Sikapnya menunjukkan kegelisahan yang teramat kuat. “Kau kenapa, Putriku?” tanya Nyi Sundari ketika melihat putrinya mondar-mandir di dekatnya. “Jalu, Bu …” “Kenapa dengan Jalu? Bukankah dia masih di kamarnya?” potong Nyi Sundari. Ayu Wulandari mengangguk, kemudian diraihnya tangan ibunya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Ikut aku, Bu. Sepertinya sedang terjadi masalah pada Jalu, aku takut Bu!” ucapnya. Raut wajah Nyi Sundari langsung berubah. Ayunan langkahnya dipercepat agar segera sampai di kamar Jalu. Ibu dan anak itupun masuk ke dalam kamar. Sementara Jalu masih tetap dalam meditasiny
Tanpa perlu diarahkan, puluhan anggota Ageng Pamuju itu membuat 8 tim yang masing-masing berisikan minimal 5 orang. Setiap tim nantinya akan bergerak sesuai arah mata angin yang juga berjumlah 8. “Jika nanti ada dari kalian yang berhasil menemukan penyusup itu, segera cari aku di tempat ini,” kata Ageng Pamuju. “Maaf, ketua, tapi bukankah ketua tadi bilang hendak mencari tempat lain untuk mendirikan perguruan?” tanya seorang anggota. “Itu nanti setelah aku berhasil membunuh penyusup yang sudah memporak-porandakan perguruan kita. Aku beri kalian waktu dua minggu dari sekarang, jika kalian tidak berhasil menemukannya, aku akan menghilang dari dunia persilatan entah untuk berapa lama.” Lebih dari 40 anggota perguruan Gunung Setan itu menatap tak percaya akan ucapan pemimpinnya. Sebagian besar dari mereka tidak punya keluarga, juga tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari terik matahari dan air hujan. Selain itu, mereka tidak pernah bekerja secara halal dan selama ini hanya
Ketua perguruan aliran hitam yang berdiri di puncak Gunung Setan itu berjalan meninggalkan bekas perguruannya yang sudah hampir rata dengan tanah. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dilihatnya puluhan orang yang berkumpul di dekat sebuah pohon besar. Bola matanya menyipit untuk memastikan bahwa seragam yang dikenakan sekumpulan orang-orang itu adalah murid-muridnya. Ageng Pamuju pun berjalan mendekat begitu memastikan penglihatannya tidak salah. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Sontak orang-orang yang sedang berbicara satu sama lain itu menoleh ke belakang. Begitu mengetahui jika sosok yang baru menegur mereka itu adalah Ageng Pamuju, puluhan murid perguruan Gunung Setan tersebut langsung memberi sikap hormat. “Maaf, Ketua. Kami berkumpul di tempat ini karena bingung tidak tahu harus kemana. Mau kembali ke perguruan, tapi takut jika pendekar itu kembali lagi dan menghabisi kami semua,” balas seorang anggota yang paling senior di antara lainnya. “Sebenarnya kalian
Beberapa saat lamanya beristirahat, rasa lelah yang mendera tubuh Jalu pun berangsur menghilang. Pemuda berparas tampan itupun bangkit berdiri dan diikuti Ayu Wulandari yang juga berdiri setelahnya. “Ayo kita pulang. Ibumu saat ini pasti sangat cemas,” ajak Jalu. Memang benar apa yang dikatakan pemuda itu, Nyi Sundari dalam beberapa hari terakhir kebingungan menunggu kedatangan Jalu dan putrinya yang belum juga kembali. Rasa cemasnya begitu besar akan keselamatan mereka berdua. Bahkan dalam dua hari terakhir dia tidak tidur sama sekali, sehingga Aji sampai memanggil tabib untuk menjaga kesehatan istrinya. Dua hari berikutnya, sudah empat hari Nyi Sundari tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Tidak hanya itu, bahkan dia pun tidak berhasrat untuk mengisi perutnya. Tubuhnya terduduk lemas di kursi dalam rangkulan suaminya.“Kalaupun mereka ada masalah di perjalanan, aku yakin Jalu pasti akan bisa mengatasinya,” kata Aji menenangkan istrinya. Nyi Sundari hanya diam seribu bahasa.
“Bedebah! Pasti penyusup itu yang telah membuat semua anggotaku ketakutan.” Ageng Pamuju merutuk dalam hati. Ada rasa sesal kenapa tadi dia harus mementingkan memenuhi syahwatnya terlebih dahulu dari pada melawan si penyusup. Rasa percayanya yang terlalu tinggi kepada empat orang tetua bawahannya, kini berakibat dia harus sendirian di perguruan yang telah didirikan sejak empat puluh tahun lalu. Lelaki tua yang memiliki ajian awet muda itu berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Melihat banyaknya jasad anggota yang telah tewas telah membuatnya mual. Dia berpikir jika tidak mungkin untuk menguburkan semua sendiri, tapi jika bertahan di tempat itu, pasti bau busuk dari jasad yang sudah menjadi bangkai akan membuatnya kesulitan sendiri. Ageng Pamuju memasuki kamanrnya. Dia berpikir harus bisa mengambil langkah selanjutnya untuk kembali mengumpulkan anggota. Nama besar perguruan Gunung Setan harus kembali bergabung di blantika dunia persilatan. Di dalam sebuah bangunan, suasana heni
“Baiklah, kalian berdua boleh pergi. Tapi jangan pernah kembali lagi ke tempat ini atau nyawa kalian berdua tidak akan kuberi ampun!” ucap Jalu datar dan mengancam. Reso dan Waji menghela napas lega. Keduanya tanpa berpikir lagi langsung melesat meninggalkan Perguruan Gunung Setan secepat mungkin. Mereka berdua tidak peduli lagi dengan anggota perguruan yang masih bergerombol dalam jarak empat puluhan meter. Kepergian tetua dua dan tetua empat meninggalkan pertanyaan dalam benak ratusan anggota yang kebingungan. Mereka tak menyangka jika dua tetua tersisa yang diharapkan bisa menjadi dewa penolong nyatanya telah pergi tanpa pamit. Rasa takut akan kematian jelas menguasai pikiran setiap anggota perguruan yang masih hidup. Entah siapa yang memulai, tapi tiba-tiba saja anggota yang jumlahnya masih dua pertiga dari keseluruhan anggota perguruan Gunung Setan itu tiba-tiba berhamburan berlarian pergi dari perguruan menyusul Reso dan Waji. Jalu tersenyum tipis melihat hal itu. Dia tidak