Terdorong oleh rasa penasarannya, Sapta Aji pun berinisiatif untuk bertanya tentang berita yang sedang berkembang di perguruan Lembah Ular. "Maaf jika aku lancang. Saat ini sudah tersiar luas kabar mengenai hancurnya tiga perguruan oleh seorang pendekar. Apakah pendekar yang dimaksud itu kau?" Jalu sedikit menautkan kedua alisnya. Ternyata benar jika namanya sudah cukup meluas setelah hancurnya tiga perguruan di tangannya. Tercetak guratan senyum yang penuh misteri di bibirnya, dan itu membuat Sapta Aji mulai yakin jika pendekar muda di depannya tersebut adalah sosok yang sedang menjadi buah bibir di dunia persilatan. "Sekarang antarkan aku ke sana. Nanti Kakang tunggu saja di pintu gua," kata Jalu. Sapta mengangguk. "Baiklah, sambil jalan aku akan menjelaskan situasinya. Mari kita berangkat sekarang," ucapnya lalu berjalan terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan yang kontur tanahnya terus menaik, Sapta Aji menjelaskan situasi di sekitar Lembah Ular. Tak lupa bagian dalam perguruan
Keduanya pun berjalan menyusuri jalanan gua yang sedikit licin. Andai tidak menjadi satu-satunya akses menuju lembah ular, mungkin setiap sisi gua itu akan dipenuhi dengan lumut yang tumbuh subur. Sesekali Jalu menempelkan telapak tangannya untuk mengetahui tingkat kelembaban di dalam gua. Semakin masuk ke dalam, kadar oksigen pun semakin menipis, dan pernapasan pun perlahan menjadi berat. Tapi hal itu tidak dirasakan oleh Sapta Aji. Dia sudah terbiasa melewati gua itu dan paru-parunya pun bisa dengan cepat menyesuaikan diri. Kedua lelaki yang berselisih usia dua belas tahun itu terus menyusuri gua. Nyala api dari obor yang dipegang Sapta Aji menjadi sangat berarti di dalam kondisi yang begitu gelap. "Sebentar lagi kita akan melewati jebakan pertama. Ikuti tapak kakiku dan jangan sekalipun memegang dinding gua," kata Sapta Aji. "Memangnya seberapa banyak jebakan di dalam gua ini?" tanya Jalu penasaran. "Hanya ada dua jebakan yang berupa tombak dan pisau. Sejauh ini belum ada ya
"Sialan! Ternyata batu yang kupegang barusan juga sebuah jebakan." Jalu merespon kebingungan Sapta Aji. "Batu apa?" tanya Sapta Aji sambil berpegangan di dinding karena getaran di dalam gua semakin kuat. Satu tangannya yang lain memegang obor agar tidak jatuh."Batu runcing itu!" jawab Jalu, kemudian meraih salah satu batu runcing dan mematahkan dengan kekuatannya. "Aneh. Seharusnya tidak ada lagi jebakan di dalam gua ini," ucap Sapta Aji pelan selepas mendengar jawaban Jalu, "Apa mungkin ketua sengaja tidak memberitahu anggotanya?" lanjutnya sebelum mendekatkan tubuhnya di dekat Jalu. "Mana aku tahu?"Jalu meremas potongan batu yang dipegangnya hingga menjadi butiran kecil dan debu. Pemuda tampan itu memejamkan mata, sesaat setelah telinganya menangkap adanya gelombang suara yang belum jelas berasal dari mana sumbernya."Berhati-hatilah, ada yang datang!" ucapnya. Aaaaaaah!Belum tiga detik Jalu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja lantai gua yang mereka berdua injak seperti
Hmmm! Jalu menggumam pelan. Posisi lubang yang dilihatnya memang tidak terlalu tinggi, tapi di situ dia pastinya akan kesulitan sendiri jika ingin membuat lubang yang lebih besar agar bisa dilewatinya. Dengan posisi yang sulit dijangkau, dia harus fokus pada titik lubang dan tidak boleh meleset dari sasaran ketika mengarahkan pukulan jarak jauh. Kesulitan kedua yang ada dalam pikirannya adalah, dia takut ketika berusaha membuat lubang lebih besar malah meruntuhkan bagian atas gua. Dan tentu saja jika hal itu terjadi, maka tubuhnya akan tertimbun di tempat tersebut. Jalu menarik napas panjang dan menahannya untuk sesaat sebelum menghembuskan perlahan. Hal itu dilakukannya sambil memfokuskan pikirannya dengan mata yang tertuju ke lubang kecil setinggi tujuh meter. "Aku harus bisa!" ucapnya pelan. Jalu sedikit menekuk lututnya, dan kemudian melompat vertikal setinggi lobang yang hendak menjadi sasaran serangnya. Hyaaa! Pukulan jarak jauh dilepaskannya dengan cepat beberapa kali
Pendekar muda yang memiliki paras tampan di atas rata-rata itu terus mendongak seraya membelalakkan mata dan membuka mulutnya lebar-lebar. Sungguh kejadian yang aneh menurutnya ada sebuah batu mengambang di udara tanpa ada penyangga sedikitpun. Pastilah sosok yang tadi bersuara kepadanya itu memiliki tenaga dalam yang tinggi, menurutnya. "Jangan bengong saja, Anak muda, apa kau bisa membantuku?" Jalu mengernyit seraya menelan ludah. Kenapa suara lelaki yang diduganya sudah tua itu meminta pertolongan kepadanya? Bukankah dengan kemampuan yang tinggi sosok tersebut tidak membutuhkan pertolongan siapapun?Untuk mengobati rasa penasarannya, Jalu pun memberi pertanyaan balik, "Pertolongan seperti apa yang Kisanak inginkan?" "Fokuskan pikiran dan penglihatanmu, lihatlah rantai energi yang mengikat batu sialan ini." "Rantai energi?"Jalu menggumam pelan. Dicobanya untuk memfokuskan panca inderanya pada batu yang sedang melayang di atasnya.Semakin Jalu memfokuskan pikiran dan penglihatan
Penasaran dengan tidak bisanya dia meraih rantai energi, Jalu pun melakukannya lagi dan lagi. Bahkan dia sampai menggunakan kaki karena saking kesalnya. "Hehehehe ..." Lelaki tua itu terkekeh melihat Jalu yang kebingungan memutuskan rantai energi, "Meski kau memiliki tenaga dalam besar, ternyata kau belum memiliki pengalaman, Anak muda." Jalu menghentikan apa yang sedang dilakukannya. Ditatapnya dengan rasa kesal lelaki tua yang hendak dibantunya tersebut. "Aku ini hendak membantu Kakek, tapi kenapa kakek malah menertawaiku?" "Hahaha ... Jangan marah dulu, Anak muda. Kau memang memiliki tenaga dalam yang sangat besar, tapi dari yang aku lihat, kau masih belum bisa memaksimalkannya." "Apa maksud Kakek? Aku sudah menghadapi para pendekar yang berkemampuan tinggi, dan sejauh ini aku bisa menang melawan mereka," sahut Jalu dengan memasang wajah tidak senang. "Buktinya kau tidak bisa memutuskan rantai energi itu, bukan?" Lelaki tua itu bertanya dengan senyum yang tersungging di bibir
Kekuatan lelaki tua itupun kembali sepenuhnya seiring mendaratnya tubuh rentanya di tanah. Meski fisiknya terlihat tak ubahnya sosok yang hanya tinggal menanti detik-detik terakhir kehidupan, tapi nyatanya kekuatan lelaki tua itu berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya. Besaran energi yang merembes keluar dari tubuhnya sedikit membuat Jalu tertekan walau akhirnya pemuda tampan itu bisa mengatasinya."Terima kasih atas bantuanmu, Anak muda. Namaku Dharmawangsa, kau bisa memanggilku Kakek Dharma saja," kata lelaki tua itu memperkenalkan diri. "Namaku Jalu, Kek," balas Jalu singkat. "Ngomong-ngomong apa kau anggota perguruan Lembah Ular?" tanya Dharmawangsa. "Bukan, Kek." Dahi Dharmawangsa yang sudah dipenuhi keriput terlihat semakin tebal. Lelaki tua itu mengernyit heran, sebab dia tahu betul jika yang tadi ambrol adalah satu-satunya akses aman menuju Lembah Ular. "Kalau kau bukan anggota perguruan Lembah Ular, kenapa bisa lewat gua di atas?"Jalu menatap mata Dharmawangsa leka
Dharmawangsa hanya tersenyum tipis melihat raut wajah Jalu yang kebingungan tak percaya. "Kau jelas heran bukan?" Jalu mengangguk."Bagaimana Kakek bisa tetap hidup tanpa makan dan minum selama itu?" "Karena aku menerapkan apa yang diajarkan guru kepadaku. Beliau bahkan pernah bertapa kurang lebih lima puluh tahun lamanya tanpa makan dan minum," balas Dharmawangsa. "Kakek tidak sedang berbohong, bukan?" Jalu menatap lelaki tua di depannya itu tanpa berkedip sama sekali. "Tidak ada gunanya aku berbohong kepadamu, Jalu. Nanti saja aku ceritakan bagaimana caranya setelah kita hancurkan perguruan Lembah Ular." Jalu lagi-lagi hanya mengangguk. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasa jika sosok di depannya itu seolah begitu besar baginya. Pamor Dharmawangsa setelah mengatakan bahwa mampu tidak makan dan minum selama dua puluh tahun membuat pemuda tampan itu serasa begitu kecil. "Kita keluar dari tempat ini lewat mana, Kek?" "Aku pernah memasuki tempat ini sebelumnya. Dan seingatku ada