Penasaran dengan tidak bisanya dia meraih rantai energi, Jalu pun melakukannya lagi dan lagi. Bahkan dia sampai menggunakan kaki karena saking kesalnya. "Hehehehe ..." Lelaki tua itu terkekeh melihat Jalu yang kebingungan memutuskan rantai energi, "Meski kau memiliki tenaga dalam besar, ternyata kau belum memiliki pengalaman, Anak muda." Jalu menghentikan apa yang sedang dilakukannya. Ditatapnya dengan rasa kesal lelaki tua yang hendak dibantunya tersebut. "Aku ini hendak membantu Kakek, tapi kenapa kakek malah menertawaiku?" "Hahaha ... Jangan marah dulu, Anak muda. Kau memang memiliki tenaga dalam yang sangat besar, tapi dari yang aku lihat, kau masih belum bisa memaksimalkannya." "Apa maksud Kakek? Aku sudah menghadapi para pendekar yang berkemampuan tinggi, dan sejauh ini aku bisa menang melawan mereka," sahut Jalu dengan memasang wajah tidak senang. "Buktinya kau tidak bisa memutuskan rantai energi itu, bukan?" Lelaki tua itu bertanya dengan senyum yang tersungging di bibir
Kekuatan lelaki tua itupun kembali sepenuhnya seiring mendaratnya tubuh rentanya di tanah. Meski fisiknya terlihat tak ubahnya sosok yang hanya tinggal menanti detik-detik terakhir kehidupan, tapi nyatanya kekuatan lelaki tua itu berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya. Besaran energi yang merembes keluar dari tubuhnya sedikit membuat Jalu tertekan walau akhirnya pemuda tampan itu bisa mengatasinya."Terima kasih atas bantuanmu, Anak muda. Namaku Dharmawangsa, kau bisa memanggilku Kakek Dharma saja," kata lelaki tua itu memperkenalkan diri. "Namaku Jalu, Kek," balas Jalu singkat. "Ngomong-ngomong apa kau anggota perguruan Lembah Ular?" tanya Dharmawangsa. "Bukan, Kek." Dahi Dharmawangsa yang sudah dipenuhi keriput terlihat semakin tebal. Lelaki tua itu mengernyit heran, sebab dia tahu betul jika yang tadi ambrol adalah satu-satunya akses aman menuju Lembah Ular. "Kalau kau bukan anggota perguruan Lembah Ular, kenapa bisa lewat gua di atas?"Jalu menatap mata Dharmawangsa leka
Dharmawangsa hanya tersenyum tipis melihat raut wajah Jalu yang kebingungan tak percaya. "Kau jelas heran bukan?" Jalu mengangguk."Bagaimana Kakek bisa tetap hidup tanpa makan dan minum selama itu?" "Karena aku menerapkan apa yang diajarkan guru kepadaku. Beliau bahkan pernah bertapa kurang lebih lima puluh tahun lamanya tanpa makan dan minum," balas Dharmawangsa. "Kakek tidak sedang berbohong, bukan?" Jalu menatap lelaki tua di depannya itu tanpa berkedip sama sekali. "Tidak ada gunanya aku berbohong kepadamu, Jalu. Nanti saja aku ceritakan bagaimana caranya setelah kita hancurkan perguruan Lembah Ular." Jalu lagi-lagi hanya mengangguk. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasa jika sosok di depannya itu seolah begitu besar baginya. Pamor Dharmawangsa setelah mengatakan bahwa mampu tidak makan dan minum selama dua puluh tahun membuat pemuda tampan itu serasa begitu kecil. "Kita keluar dari tempat ini lewat mana, Kek?" "Aku pernah memasuki tempat ini sebelumnya. Dan seingatku ada
"Siapa dan apa tujuan kalian melewati tempat ini?" tanya salah satu dari puluhan lelaki berseragam merah, setelah maju satu langkah di depan teman-temannya. Nada suaranya terdengar tidak bersahabat dan begitu terlihat mencurigai kedua sosok asing yang tidak mereka kenal.Jalu dan Dharmawangsa saling berpandangan sesaat, sebelum kemudian mengangguk secara bersamaan. Keduanya sudah saling mengerti apa yang harus dilakukan terhadap puluhan orang yang tengah berdiri menghadang. Tanpa berpikir lebih lama karena harus segera kembali untuk menyusul Ayu Wulandari, Jalu pun melesat menyerang orang-orang di depannya. "Aku tinggal dulu, nanti kau bisa menyusulku!" teriak Dharmawangsa, lalu melesat ke atas pohon dan berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa kesulitan sama sekali. "Serahkan cecunguk-cecunguk ini kepadaku, nanti aku akan menyusul Kakek!" Jalu berteriak menyahuti ucapkan Dharmawangsa. Pendekar muda yang namanya sudah mulai santer meluas di dunia persilatan itu lantas me
Jalu menutup mulutnya seraya tertawa pelan menyadari kebodohannya. Tapi kemudian bukankah dia dan Dharmawangsa sudah berpikir untuk menyerang secara langsung, lalu kenapa harus tetap di atas pohon, pikir Jalu. "Aku dulu, Kek!" teriaknya sebelum melesat menembus ranting dan dedaunan. Belasan penjaga pintu gerbang yang sebenarnya sudah bereaksi sejak terdengar suara berisik dari patahnya dahan pohon, terkejut dengan kemunculan orang asing yang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan dan berdiri tidak jauh dari dari pintu gerbang Perguruan Lembah Ular. Terang saja kemunculan Jalu membuat belasan penjaga tersebut semakin bersiap waspada. Gagang pedang terpegang erat dan terangkat sedikit naik seukuran perut."Siapa kau!?" teriak salah satu penjaga. "Banyak bicara! Mati kalian!" balas Jalu, kemudian melesat menyerang. Meski menghadapi belasan lawan yang bersenjata pedang, Jalu tanpa kesulitan menghabisi semua hingga jari jemari tangannya kembali bersimbah darah. Dharmawangsa yang meny
Jalu mengangkat pedangnya dengan ujung bilah berada di atas. Ditambahkannya lagi energinya untuk membuat aura kebiruan yang keluar semakin terang dan energi yang memancar semakin besar. Di balik apa yang dilakukannya itu tentu memiliki tujuan. Dia ingin lebih cepat mengeksekusi ratusan lawan yang mengepungnya. Dengan cepat anggota perguruan Lembah Ular yang kesulitan bergerak semakin banyak. Mereka yang berada di jarak terdekat dari Jalu langsung terkena imbas energi besar dari bilah pedang Halilintar. Pemuda tampan itupun kemudian menurunkan bilah pedangnya. "Ucapkan selamat tinggal pada dunia!" teriaknya keras sebelum berputar cepat seraya menyabetkan pedangnya. Pedang Halilintar seperti sedang menunjukkan keistimewaannya. Sama seperti namanya, muncullah kilatan petir yang keluar dari ujung pedang pusaka berbahan batu bintang tersebut. Seberkas kilatan memanjang berwarna biru kemerahan yang langsung menghajar puluhan hingga seratus lebih anggota perguruan Lembah Ular yang tidak
Ageng Wicaksono dan Nyi Saraswati tanpa sadar menelan ludah secara bersamaan. awalnya mereka tidak merasa takut meski perguruan Lembah Ular bakal didatangi sosok yang telah membuat heboh dunia persilatan, tapi kemunculan Dharmawangsa yang besar kemungkinan telah diselamatkan pendekar muda tersebut pastinya bakal membuat peta situasi berubah. Keduanya merasa tidak lagi dalam posisi diuntungkan saat ini. Dharmawangsa sendiri tahu kemana arah pandangan kedua lawannya itu. Cibirannya pun diarahkan kepada keduanya, "Kenapa kalian terlihat ketakutan seperti itu?" ujarnya, lalu melihat ke arah Jalu yang lawannya kini hanya tersisa tidak lebih dari lima puluh orang saja. Lelaki tua itu tampak terkejut juga dengan sepak terjang Jalu. Namun begitu melihat pendekar muda itu sudah mengeluarkan pedang pusakanya, keterkejutan yang dia rasakan pun menghilang. Dharmawangsa tahu betul bagaimana besarnya kekuatan pedang berbilah hitam yang bisa memutuskan rantai energi Ageng Wicaksono."Badra, cepat
"Ckckck ... Apa hanya seperti itu kualitas seorang tetua di perguruan ini?" Jalu menggeleng pelan seraya memberi cibiran, "Kurasa nama Lembah Ular terlalu berlebihan untuk perguruan selemah ini," sambungnya. "Bedebah kau! Aku akan membunuhmu!"Gandara mencabut pedang yang tergantung di pundaknya dan langsung bergerak maju memberikan serangan. Pedang berukuran cukup besar dan terlihat begitu tajam itu berkilauan tertimpa cahaya rembulan. Di sisi lain Jalu tidak terburu-buru untuk mencabut pedangnya. Dia meraih sebuah pedang yang masih dalam jangkauan tangannya.Dentingan suara pedang yang beradu terus terdengar berulang. Gandara dengan kekuatan fisiknya terus berusaha membuka pertahanan Jalu yang sangat rapat. Sebuah tusukan mengalir deras menuju perut Jalu. Dengan sedikit gerakan menyamping, pemuda tampan tersebut berhasil menghindari serangan pedang Gandara yang melintas mulus di depan perutnya. Mendapati serangannya gagal, Gandara lalu memutar pergelangan tangannya dan kemudian
Gambaran akan mendapatkan uang yang cukup besar sudah tergambar di dalam benak kelima perampok tersebut. Mereka terus bercanda hingga tiba di depan rumah yang sangatlah besar untuk ukuran di desa. Kalau di Kotaraja mungkin tidaklah heran, tapi di sebuah desa tentu sebuah kemustahilan yang sulit untuk dipercaya ada. Di depan pintu gerbang, beberapa lelaki yang ditugaskan untuk menjaga, menatap heran dengan adanya lima orang yang membawa gerobak. “Kang, apa benar ini rumah Nyi Sundari?” tanya salah satu perampok yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang dari kening sampai dagu.“Iya, benar. Kalian siapa dan mau apa datang kemari?” salah satu penjaga balik bertanya.“Kami dari desa sebelah hendak menjual hasil panen, Kang.” Perampok tersebut menjawab dengan ekspresi meyakinkan. “Ikut aku!” Penjaga yang tubuhnya paling kekar membuka pintu gerbang, kemudian masuk ke dalam. Lima orang perampok membawa masuk gerobak yang mereka bawa hingga di halaman.“Tunggu di sini. Kupanggilkan dulu
Jalu masih sedikit kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Ayu Wulandari. Arah pandangnya lantas tertuju kepada Nyi Sundari dan bertanya kenapa dengan membuka mulut tapi tanpa bersuara.“Ayu tadi menangis histeris ketika melihat darah yang terkumpul di baskom itu, Jalu,” kata Nyi Sundari. Ayu Wulandari langsung menoleh kepada ibunya dan membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya langsung merah merona oleh rasa malu. “Oh, darah ini?” Jalu menunjuk baskom kuningan di depannya. “Begini Bi, dalam pertarungan terakhir sebelum berhasil menyelamatkan Ayu, aku mengalami luka dalam karena terkena pukulan. Tadi aku bermeditasi untuk untuk menyembuhkan luka dalam yang kualami. Sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan,” sambungnya tanpa sekalipun menyebut kata racun. Dia tidak ingin membuat ibu dan anak itu kuatir atas kondisinya. Dalam meditasinya tadi, kelima panca indera Jalu benar-benar tidak berfungsi, sehingga diirinya tidak sadar jika keluarga Nyi Sundari sudah
Ayu Wulandari beserta ayah dan ibunya tampak terpukul mendengar penuturan Ki Puguh. Berita yang mereka dapat mengenai kondisi Jalu tentu tidak sesuai yang diharapkan. Ketiganya semula berharap jika Jalu hanya kelelahan atau mungkin mengalami luka biasa, tapi tidak tahunya ternyata terkena racun tingkat tinggi. Belum percaya dengan hasil analisa pertamanya, Ki Puguh pun kembali memeriksa darah Jalu. Kali ini darah berwarna hitam dan berbau busuk di dalam baskom yang dia periksa. Tabib tua itu menggeleng pelan. Sungguh dia masih belum bisa percaya jika pemuda berparas tampan itu mampu bertahan hidup dalam kondisi racun yang sudah menjalar di tubuhnya. "Bagaimana, Ki?" tanya Aji. "Pemuda ini memang terkena racun. Aku tidak tahu jenis racun apa yang berada di dalam tubuhnya, tapi aku yakin pasti racun tingkat tinggi." Kali ini Ayu Wulandari tidak bisa menahan suara tangisannya yang akhirnya pecah. Di sisi lain, Nyi Sundari yang mencoba bertahan agar tidak sampai terbawa suasana, akhi
Raut wajah gadis cantik itu begitu tegang, takut terjadi sesuatu pada Jalu, Ayu Wulandari pun bergegas keluar untuk mencari ayah dan ibunya yang sedang berada di teras rumah. Namun karena kedua orang tuanya sibuk memberi penjelasan kepada anak buahnya yang bertugas menjual barang dagangan, gadis cantik itupun tidak berani menganggu. Ayu Wulandari hanya bisa menunggu dengan perasaan cemas. Sikapnya menunjukkan kegelisahan yang teramat kuat. “Kau kenapa, Putriku?” tanya Nyi Sundari ketika melihat putrinya mondar-mandir di dekatnya. “Jalu, Bu …” “Kenapa dengan Jalu? Bukankah dia masih di kamarnya?” potong Nyi Sundari. Ayu Wulandari mengangguk, kemudian diraihnya tangan ibunya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Ikut aku, Bu. Sepertinya sedang terjadi masalah pada Jalu, aku takut Bu!” ucapnya. Raut wajah Nyi Sundari langsung berubah. Ayunan langkahnya dipercepat agar segera sampai di kamar Jalu. Ibu dan anak itupun masuk ke dalam kamar. Sementara Jalu masih tetap dalam meditasiny
Tanpa perlu diarahkan, puluhan anggota Ageng Pamuju itu membuat 8 tim yang masing-masing berisikan minimal 5 orang. Setiap tim nantinya akan bergerak sesuai arah mata angin yang juga berjumlah 8. “Jika nanti ada dari kalian yang berhasil menemukan penyusup itu, segera cari aku di tempat ini,” kata Ageng Pamuju. “Maaf, ketua, tapi bukankah ketua tadi bilang hendak mencari tempat lain untuk mendirikan perguruan?” tanya seorang anggota. “Itu nanti setelah aku berhasil membunuh penyusup yang sudah memporak-porandakan perguruan kita. Aku beri kalian waktu dua minggu dari sekarang, jika kalian tidak berhasil menemukannya, aku akan menghilang dari dunia persilatan entah untuk berapa lama.” Lebih dari 40 anggota perguruan Gunung Setan itu menatap tak percaya akan ucapan pemimpinnya. Sebagian besar dari mereka tidak punya keluarga, juga tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari terik matahari dan air hujan. Selain itu, mereka tidak pernah bekerja secara halal dan selama ini hanya
Ketua perguruan aliran hitam yang berdiri di puncak Gunung Setan itu berjalan meninggalkan bekas perguruannya yang sudah hampir rata dengan tanah. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dilihatnya puluhan orang yang berkumpul di dekat sebuah pohon besar. Bola matanya menyipit untuk memastikan bahwa seragam yang dikenakan sekumpulan orang-orang itu adalah murid-muridnya. Ageng Pamuju pun berjalan mendekat begitu memastikan penglihatannya tidak salah. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Sontak orang-orang yang sedang berbicara satu sama lain itu menoleh ke belakang. Begitu mengetahui jika sosok yang baru menegur mereka itu adalah Ageng Pamuju, puluhan murid perguruan Gunung Setan tersebut langsung memberi sikap hormat. “Maaf, Ketua. Kami berkumpul di tempat ini karena bingung tidak tahu harus kemana. Mau kembali ke perguruan, tapi takut jika pendekar itu kembali lagi dan menghabisi kami semua,” balas seorang anggota yang paling senior di antara lainnya. “Sebenarnya kalian
Beberapa saat lamanya beristirahat, rasa lelah yang mendera tubuh Jalu pun berangsur menghilang. Pemuda berparas tampan itupun bangkit berdiri dan diikuti Ayu Wulandari yang juga berdiri setelahnya. “Ayo kita pulang. Ibumu saat ini pasti sangat cemas,” ajak Jalu. Memang benar apa yang dikatakan pemuda itu, Nyi Sundari dalam beberapa hari terakhir kebingungan menunggu kedatangan Jalu dan putrinya yang belum juga kembali. Rasa cemasnya begitu besar akan keselamatan mereka berdua. Bahkan dalam dua hari terakhir dia tidak tidur sama sekali, sehingga Aji sampai memanggil tabib untuk menjaga kesehatan istrinya. Dua hari berikutnya, sudah empat hari Nyi Sundari tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Tidak hanya itu, bahkan dia pun tidak berhasrat untuk mengisi perutnya. Tubuhnya terduduk lemas di kursi dalam rangkulan suaminya.“Kalaupun mereka ada masalah di perjalanan, aku yakin Jalu pasti akan bisa mengatasinya,” kata Aji menenangkan istrinya. Nyi Sundari hanya diam seribu bahasa.
“Bedebah! Pasti penyusup itu yang telah membuat semua anggotaku ketakutan.” Ageng Pamuju merutuk dalam hati. Ada rasa sesal kenapa tadi dia harus mementingkan memenuhi syahwatnya terlebih dahulu dari pada melawan si penyusup. Rasa percayanya yang terlalu tinggi kepada empat orang tetua bawahannya, kini berakibat dia harus sendirian di perguruan yang telah didirikan sejak empat puluh tahun lalu. Lelaki tua yang memiliki ajian awet muda itu berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Melihat banyaknya jasad anggota yang telah tewas telah membuatnya mual. Dia berpikir jika tidak mungkin untuk menguburkan semua sendiri, tapi jika bertahan di tempat itu, pasti bau busuk dari jasad yang sudah menjadi bangkai akan membuatnya kesulitan sendiri. Ageng Pamuju memasuki kamanrnya. Dia berpikir harus bisa mengambil langkah selanjutnya untuk kembali mengumpulkan anggota. Nama besar perguruan Gunung Setan harus kembali bergabung di blantika dunia persilatan. Di dalam sebuah bangunan, suasana heni
“Baiklah, kalian berdua boleh pergi. Tapi jangan pernah kembali lagi ke tempat ini atau nyawa kalian berdua tidak akan kuberi ampun!” ucap Jalu datar dan mengancam. Reso dan Waji menghela napas lega. Keduanya tanpa berpikir lagi langsung melesat meninggalkan Perguruan Gunung Setan secepat mungkin. Mereka berdua tidak peduli lagi dengan anggota perguruan yang masih bergerombol dalam jarak empat puluhan meter. Kepergian tetua dua dan tetua empat meninggalkan pertanyaan dalam benak ratusan anggota yang kebingungan. Mereka tak menyangka jika dua tetua tersisa yang diharapkan bisa menjadi dewa penolong nyatanya telah pergi tanpa pamit. Rasa takut akan kematian jelas menguasai pikiran setiap anggota perguruan yang masih hidup. Entah siapa yang memulai, tapi tiba-tiba saja anggota yang jumlahnya masih dua pertiga dari keseluruhan anggota perguruan Gunung Setan itu tiba-tiba berhamburan berlarian pergi dari perguruan menyusul Reso dan Waji. Jalu tersenyum tipis melihat hal itu. Dia tidak