"Ckckck ... Apa hanya seperti itu kualitas seorang tetua di perguruan ini?" Jalu menggeleng pelan seraya memberi cibiran, "Kurasa nama Lembah Ular terlalu berlebihan untuk perguruan selemah ini," sambungnya. "Bedebah kau! Aku akan membunuhmu!"Gandara mencabut pedang yang tergantung di pundaknya dan langsung bergerak maju memberikan serangan. Pedang berukuran cukup besar dan terlihat begitu tajam itu berkilauan tertimpa cahaya rembulan. Di sisi lain Jalu tidak terburu-buru untuk mencabut pedangnya. Dia meraih sebuah pedang yang masih dalam jangkauan tangannya.Dentingan suara pedang yang beradu terus terdengar berulang. Gandara dengan kekuatan fisiknya terus berusaha membuka pertahanan Jalu yang sangat rapat. Sebuah tusukan mengalir deras menuju perut Jalu. Dengan sedikit gerakan menyamping, pemuda tampan tersebut berhasil menghindari serangan pedang Gandara yang melintas mulus di depan perutnya. Mendapati serangannya gagal, Gandara lalu memutar pergelangan tangannya dan kemudian
Ageng Wicaksono tampak tersenyum nyinyir dengan satu sudut bibir yang terangkat naik. Dia sadar menghadapi Dharmawangsa tidak akan semudah yang dibayangkan. Namun dengan pedang perak milik Dharmawangsa yang sekarang dikuasainya, dan juga dengan bantuan Nyi Saraswati, dia yakin mantan saudara seperguruannya itu pasti akan bisa dibunuhnya. "Jangan harap aku akan menyerahkan pedang perak ini kepadamu, Dharmawangsa. Selama kita berlatih di gunung Pesagi, aku merasakan ketidak adilan dilakukan guru terhadap kita berdua. Orang tua itu terlalu pilih kasih dan selalu menganggapku tidak memiliki bakat sebaik dirimu." "Bukankah memang begitu adanya, Ageng? Kau memang tidak memiliki bakat sebaik diriku, jadi wajar jika kau hanya dinomor duakan oleh guru." Dharmawangsa membalas ucapan Ageng Wicaksono. Dirasanya akan sulit untuk membuat adik seperguruannya itu sadar, sehingga menjatuhkan secara verbal pun perlu dilakukan untuk memancing emosi bekas temannya itu. "Dan perlu kau tahu, meski kau s
Seusai berkata, Jalu memutar ganggang pedangnya setengah lingkaran dan kemudian bergerak cepat memberi serangan."Formasi Sarang Ular!" teriak Gandara.Ketika pemuda tampan itu datang mendekat, ketiga tetua perguruan Lembah Ular tersebut terlihat memisahkan diri dan melakukan serangan dari tiga sisi berbeda. Jalu kali ini dibuat kerepotan dengan formasi serangan berbeda yang digunakan ketiga lawannya. Dia terlihat sedikit kesulitan untuk memberikan tekanan dan menembus formasi serangan yang digunakan mereka bertiga.Perubahan posisi dari menyerang ke bertahan dan sebaliknya, mereka lakukan dengan cepat dan tepat. Beberapa serangan yang mereka bertiga lakukan bahkan bisa mengenai tubuh pendekar muda tersebut. Untungnya energi di dalam tubuhnya bereaksi dengan cepat menciptakan perisai untuk menghindarkan tubuh Jalu dari luka-luka.Mendapati dirinya kesulitan menembus pertahanan formasi lawan tidak membuat pemuda delapan belas tahun itu gentar, Jalu malah terus menyerang dengan menggun
Meski serangan yang dilepaskan Gandara mengalami kegagalan, tapi serangan bergelombang yang mengincar nyawa Jalu tidak berhenti sampai di situ. Sumitra langsung mengayunkan pedangnya untuk menebas kepala pendekar muda itu, akan tetapi Jalu bisa menghindarinya dengan menarik tubuhnya ke bawah dan kemudian memberikan tendangan ke perut Sumitra Uuugh! Sumitra memekik ketika tendangan Jalu mengenai ulu hatinya dengan telak. Salah satu tetua di perguruan Lembah Ular itu tersurut ke belakang, lalu memegangi perutnya yang terasa nyeri. Bahkan untuk beberapa saat dia tidak bisa bernapas.Jalu tidak melepaskan kesempatan itu untuk menghabisi nyawa lawan, dia melompat beberapa langkah ke belakang lalu menyiapkan jurus Lidah Halilintar. Setelah itu pedangnya terangkat ke atas dan lantas menebaskannya dengan cepat ke arah Sumitra. Selarik sinar berwarna biru kemerahan keluar dari ujung bilah pedang halilintar, melesat menuju Sumitra yang masih memegangi perutnya. Beruntungnya Baruna tanggap,
Selain ilmu kanuragan yang mumpuni, pengalaman Dharmawangsa yang cukup panjang di dunia persilatan tentu adalah modal terbaik untuk menghadapi kedua pendekar yang sedang mengeroyoknya. Serangan Nyi Saraswati semakin menggila. Dia merasa di atas angin dan merasa memiliki kesempatan untuk bisa menghajar, atau bahkan membunuh Dharmawangsa. Menurutnya kekuatan Dharmawangsa tidak sekuat yang diceritakan Ageng Wicaksono, itu terbukti dari kesulitannya Dharmawangsa menghadapi serangannya. Bahkan dia juga tidak member kesempatan kepada Ageng Wicaksono untuk membantunya. Di sisi lain, Dharmawangsa tersenyum dalam hati. Dilihatnya Nyi Saraswati selalu meninggalkan celah setiap kali menyerang. Namun dia masih belum bisa menyarangkan serangannya, karena tongkat di tangan ketua perguruan Lembah Ular itu terus bergerak membuka pertahanannya.Nyi Saraswati masih terus menyerang dengan membabi buta. Statusnya yang merupakan ketua perguruan aliran hitam memang tidak bisa disepelekan. Semua serangann
"Bedebah! Di mana dia berada?" Ageng Wicaksono mengomel sendirian. Ditolehnya Nyi Saraswati yang juga tampak kebingungan mencari keberadaan Dharmawangsa yang menghilang tak berbekas. "Bagaimana kalian akan bisa mengalahkanku jika menemukan keberadaanku pun kalian tidak bisa?" Terdengar suara Dharmawangsa menggema dari seluruh penjuru. Ageng Wicaksono sampai menyipit dan mendongak melihat ke bagian atas pohon maupun atap rumah, tapi keberadaan bekas teman seperguruannya itu tidak bisa dia temukan. "Ilmu apa yang digunakan bedebah itu?" gumamnya kesal sambil terus mengedarkan pandangannya. Wajar saja Ageng Wicaksono kebingungan dengan ajian aneh yang saat ini dipertontonkan oleh Dharmawangsa, sebab selama dia dan bekas temannya itu berlatih di gunung Pesagi, tidak pernah sekalipun guru mereka berdua memberikan ajian menghilangkan tubuh. 'Atau jangan-jangan hanya Dharmawangsa saja yang diajari ajian itu dan aku tidak?' batinnya kesal. Di sisi lain, Dharmawangsa yang sebenarnya b
Tanpa berpikir panjang Jalu pun melesat menuju titik pertarungan yang terjadi. Dia merasa Dharmawangsa membutuhkan bantuannya untuk segera menghabisi kedua lawan. "Apa kalian berdua tidak memiliki rasa malu sehingga sampai bermain keroyokan?" ejek Jalu selepas berada di dekat mereka bertiga yang masih bertarung sengit. Pertarungan itupun terhenti seketika. Ageng Wicaksono dan Nyi Saraswati menoleh ke belakang. Keduanya melihat sesosok lelaki muda berwajah tampan yang tengah menatap tajam. Nyi Saraswati mendengus. Sengaja dia melihat ke arah pertarungan para bawahannya yang ternyata sudah berakhir. Dan pendekar muda yang saat ini berada di dekat dirinya dan Ageng Wicaksono pastilah sudah menghabisi semua anggotanya Namun yang membuatnya heran, dia tidak merasakan adanya sedikitpun energi yang merembes keluar dari tubuh pemuda tersebut. Apakah dirinya yang tidak bisa merasakan, atau karena memang pemuda itu tidak memiliki tenaga dalam. Tapi jika tidak memiliki energi tenaga dalam
Nyi Saraswati terpental balik belasan langkah. Beruntung dia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya hingga tidak sampai bergulingan di tanah. Kelopak matanya menyipit menatap kepulan asap hasil pertemuan dua energi yang menutupi pandangan. Rahangnya mengeras dengan genggaman tangan yang kuat di gagang tongkat hijaunya. Serasa sulit dipercaya jika dirinya sampai harus terpental balik cukup jauh ketika posisinya yang dalam keadaan menyerang. Logikanya, lawanlah yang minimal harus terdorong mundur, sebab dirinya sudah mengeluarkan sebagian besar tenaga dalamnya untuk sesegera mungkin bisa mengalahkan lawannya kali ini. Rasa penasarannya perlahan menjadi senyuman, ketika dia tidak merasakan adanya energi sedikitpun dari lawannya. 'Apa mungkin dia sudah tewas?' batin Nyi Saraswati bertanya-tanya. Dalam posisi masih tetap menatap kepulan asap yang tak kunjung menghilang, Nyi Saraswati melangkah maju. Namun, baru tiga langkah kakinya terayun, angin yang cukup kencang berhembus dan membawa k
Gambaran akan mendapatkan uang yang cukup besar sudah tergambar di dalam benak kelima perampok tersebut. Mereka terus bercanda hingga tiba di depan rumah yang sangatlah besar untuk ukuran di desa. Kalau di Kotaraja mungkin tidaklah heran, tapi di sebuah desa tentu sebuah kemustahilan yang sulit untuk dipercaya ada. Di depan pintu gerbang, beberapa lelaki yang ditugaskan untuk menjaga, menatap heran dengan adanya lima orang yang membawa gerobak. “Kang, apa benar ini rumah Nyi Sundari?” tanya salah satu perampok yang wajahnya terdapat bekas luka memanjang dari kening sampai dagu.“Iya, benar. Kalian siapa dan mau apa datang kemari?” salah satu penjaga balik bertanya.“Kami dari desa sebelah hendak menjual hasil panen, Kang.” Perampok tersebut menjawab dengan ekspresi meyakinkan. “Ikut aku!” Penjaga yang tubuhnya paling kekar membuka pintu gerbang, kemudian masuk ke dalam. Lima orang perampok membawa masuk gerobak yang mereka bawa hingga di halaman.“Tunggu di sini. Kupanggilkan dulu
Jalu masih sedikit kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Ayu Wulandari. Arah pandangnya lantas tertuju kepada Nyi Sundari dan bertanya kenapa dengan membuka mulut tapi tanpa bersuara.“Ayu tadi menangis histeris ketika melihat darah yang terkumpul di baskom itu, Jalu,” kata Nyi Sundari. Ayu Wulandari langsung menoleh kepada ibunya dan membuka matanya lebar-lebar. Wajahnya langsung merah merona oleh rasa malu. “Oh, darah ini?” Jalu menunjuk baskom kuningan di depannya. “Begini Bi, dalam pertarungan terakhir sebelum berhasil menyelamatkan Ayu, aku mengalami luka dalam karena terkena pukulan. Tadi aku bermeditasi untuk untuk menyembuhkan luka dalam yang kualami. Sekarang aku sudah baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan,” sambungnya tanpa sekalipun menyebut kata racun. Dia tidak ingin membuat ibu dan anak itu kuatir atas kondisinya. Dalam meditasinya tadi, kelima panca indera Jalu benar-benar tidak berfungsi, sehingga diirinya tidak sadar jika keluarga Nyi Sundari sudah
Ayu Wulandari beserta ayah dan ibunya tampak terpukul mendengar penuturan Ki Puguh. Berita yang mereka dapat mengenai kondisi Jalu tentu tidak sesuai yang diharapkan. Ketiganya semula berharap jika Jalu hanya kelelahan atau mungkin mengalami luka biasa, tapi tidak tahunya ternyata terkena racun tingkat tinggi. Belum percaya dengan hasil analisa pertamanya, Ki Puguh pun kembali memeriksa darah Jalu. Kali ini darah berwarna hitam dan berbau busuk di dalam baskom yang dia periksa. Tabib tua itu menggeleng pelan. Sungguh dia masih belum bisa percaya jika pemuda berparas tampan itu mampu bertahan hidup dalam kondisi racun yang sudah menjalar di tubuhnya. "Bagaimana, Ki?" tanya Aji. "Pemuda ini memang terkena racun. Aku tidak tahu jenis racun apa yang berada di dalam tubuhnya, tapi aku yakin pasti racun tingkat tinggi." Kali ini Ayu Wulandari tidak bisa menahan suara tangisannya yang akhirnya pecah. Di sisi lain, Nyi Sundari yang mencoba bertahan agar tidak sampai terbawa suasana, akhi
Raut wajah gadis cantik itu begitu tegang, takut terjadi sesuatu pada Jalu, Ayu Wulandari pun bergegas keluar untuk mencari ayah dan ibunya yang sedang berada di teras rumah. Namun karena kedua orang tuanya sibuk memberi penjelasan kepada anak buahnya yang bertugas menjual barang dagangan, gadis cantik itupun tidak berani menganggu. Ayu Wulandari hanya bisa menunggu dengan perasaan cemas. Sikapnya menunjukkan kegelisahan yang teramat kuat. “Kau kenapa, Putriku?” tanya Nyi Sundari ketika melihat putrinya mondar-mandir di dekatnya. “Jalu, Bu …” “Kenapa dengan Jalu? Bukankah dia masih di kamarnya?” potong Nyi Sundari. Ayu Wulandari mengangguk, kemudian diraihnya tangan ibunya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Ikut aku, Bu. Sepertinya sedang terjadi masalah pada Jalu, aku takut Bu!” ucapnya. Raut wajah Nyi Sundari langsung berubah. Ayunan langkahnya dipercepat agar segera sampai di kamar Jalu. Ibu dan anak itupun masuk ke dalam kamar. Sementara Jalu masih tetap dalam meditasiny
Tanpa perlu diarahkan, puluhan anggota Ageng Pamuju itu membuat 8 tim yang masing-masing berisikan minimal 5 orang. Setiap tim nantinya akan bergerak sesuai arah mata angin yang juga berjumlah 8. “Jika nanti ada dari kalian yang berhasil menemukan penyusup itu, segera cari aku di tempat ini,” kata Ageng Pamuju. “Maaf, ketua, tapi bukankah ketua tadi bilang hendak mencari tempat lain untuk mendirikan perguruan?” tanya seorang anggota. “Itu nanti setelah aku berhasil membunuh penyusup yang sudah memporak-porandakan perguruan kita. Aku beri kalian waktu dua minggu dari sekarang, jika kalian tidak berhasil menemukannya, aku akan menghilang dari dunia persilatan entah untuk berapa lama.” Lebih dari 40 anggota perguruan Gunung Setan itu menatap tak percaya akan ucapan pemimpinnya. Sebagian besar dari mereka tidak punya keluarga, juga tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung dari terik matahari dan air hujan. Selain itu, mereka tidak pernah bekerja secara halal dan selama ini hanya
Ketua perguruan aliran hitam yang berdiri di puncak Gunung Setan itu berjalan meninggalkan bekas perguruannya yang sudah hampir rata dengan tanah. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dilihatnya puluhan orang yang berkumpul di dekat sebuah pohon besar. Bola matanya menyipit untuk memastikan bahwa seragam yang dikenakan sekumpulan orang-orang itu adalah murid-muridnya. Ageng Pamuju pun berjalan mendekat begitu memastikan penglihatannya tidak salah. “Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Sontak orang-orang yang sedang berbicara satu sama lain itu menoleh ke belakang. Begitu mengetahui jika sosok yang baru menegur mereka itu adalah Ageng Pamuju, puluhan murid perguruan Gunung Setan tersebut langsung memberi sikap hormat. “Maaf, Ketua. Kami berkumpul di tempat ini karena bingung tidak tahu harus kemana. Mau kembali ke perguruan, tapi takut jika pendekar itu kembali lagi dan menghabisi kami semua,” balas seorang anggota yang paling senior di antara lainnya. “Sebenarnya kalian
Beberapa saat lamanya beristirahat, rasa lelah yang mendera tubuh Jalu pun berangsur menghilang. Pemuda berparas tampan itupun bangkit berdiri dan diikuti Ayu Wulandari yang juga berdiri setelahnya. “Ayo kita pulang. Ibumu saat ini pasti sangat cemas,” ajak Jalu. Memang benar apa yang dikatakan pemuda itu, Nyi Sundari dalam beberapa hari terakhir kebingungan menunggu kedatangan Jalu dan putrinya yang belum juga kembali. Rasa cemasnya begitu besar akan keselamatan mereka berdua. Bahkan dalam dua hari terakhir dia tidak tidur sama sekali, sehingga Aji sampai memanggil tabib untuk menjaga kesehatan istrinya. Dua hari berikutnya, sudah empat hari Nyi Sundari tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Tidak hanya itu, bahkan dia pun tidak berhasrat untuk mengisi perutnya. Tubuhnya terduduk lemas di kursi dalam rangkulan suaminya.“Kalaupun mereka ada masalah di perjalanan, aku yakin Jalu pasti akan bisa mengatasinya,” kata Aji menenangkan istrinya. Nyi Sundari hanya diam seribu bahasa.
“Bedebah! Pasti penyusup itu yang telah membuat semua anggotaku ketakutan.” Ageng Pamuju merutuk dalam hati. Ada rasa sesal kenapa tadi dia harus mementingkan memenuhi syahwatnya terlebih dahulu dari pada melawan si penyusup. Rasa percayanya yang terlalu tinggi kepada empat orang tetua bawahannya, kini berakibat dia harus sendirian di perguruan yang telah didirikan sejak empat puluh tahun lalu. Lelaki tua yang memiliki ajian awet muda itu berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Melihat banyaknya jasad anggota yang telah tewas telah membuatnya mual. Dia berpikir jika tidak mungkin untuk menguburkan semua sendiri, tapi jika bertahan di tempat itu, pasti bau busuk dari jasad yang sudah menjadi bangkai akan membuatnya kesulitan sendiri. Ageng Pamuju memasuki kamanrnya. Dia berpikir harus bisa mengambil langkah selanjutnya untuk kembali mengumpulkan anggota. Nama besar perguruan Gunung Setan harus kembali bergabung di blantika dunia persilatan. Di dalam sebuah bangunan, suasana heni
“Baiklah, kalian berdua boleh pergi. Tapi jangan pernah kembali lagi ke tempat ini atau nyawa kalian berdua tidak akan kuberi ampun!” ucap Jalu datar dan mengancam. Reso dan Waji menghela napas lega. Keduanya tanpa berpikir lagi langsung melesat meninggalkan Perguruan Gunung Setan secepat mungkin. Mereka berdua tidak peduli lagi dengan anggota perguruan yang masih bergerombol dalam jarak empat puluhan meter. Kepergian tetua dua dan tetua empat meninggalkan pertanyaan dalam benak ratusan anggota yang kebingungan. Mereka tak menyangka jika dua tetua tersisa yang diharapkan bisa menjadi dewa penolong nyatanya telah pergi tanpa pamit. Rasa takut akan kematian jelas menguasai pikiran setiap anggota perguruan yang masih hidup. Entah siapa yang memulai, tapi tiba-tiba saja anggota yang jumlahnya masih dua pertiga dari keseluruhan anggota perguruan Gunung Setan itu tiba-tiba berhamburan berlarian pergi dari perguruan menyusul Reso dan Waji. Jalu tersenyum tipis melihat hal itu. Dia tidak