Home / Pendekar / PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN / Lima Bandit Berewokan

Share

Lima Bandit Berewokan

Author: Moonlae Dirla
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Suara arungan seekor singa terdengar tepat beberapa detik sebelum akhirnya Ambu menutup mata. Ambu Radul pun pingsan di hutan karena kehabisan tenaga. Ambu mengira kalo riwayatnya sudah tamat. Namun nyatanya, keesokan harinya Ambu masih bisa membuka lebar kedua matanya itu.

"Di mana aku?" tanya Ambu pada dirinya sendiri seraya bangkit dari posisinya yang semula telentang.

Semburat sinar mentari menghangatkan tubuh yang hampir sepenuhnya dingin. Pandangan Ambu mengamati sekitar dan tahulah Ambu bahwa dirinya berada di sebuah pasar yang baru buka pagi itu. Banyak orang lalu lalang dan hanya memandangi Ambu yang berpakaian lusuh layaknya gelandangan. Hiruk pikuk meramaikan suasana di pasar.

"Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku masih hidup?" pikir Ambu memegangi kepalanya yang terasa pusing.

Sedikit demi sedikit Ambu ingat akan kejadian yang dialaminya semalam. Ingatannya terputus saat dirinya jatuh pingsan dan mendengar suara auman singa yang keras.

"Betul juga! Apa mungkin sang singa yang menolongku? Ah! Tapi sepertinya itu hal yang tak masuk akal! Tapi..." lirih Ambu berbicara pada dirinya sendiri.

Ambu merasakan perutnya sakit saat mendengar perutnya yang keroncongan. Ambu memegangi perutnya dan menatap ke depan. Tubuhnya yang masih lemas dia sandarkan pada dinding di sampingnya. Rambut Ambu berantakan dengan muka yang kotor dan pucat.

"Lapar... aku juga tidak punya uang untuk beli makanan."

Seketika Ambu ingat akan koin emas yang dibawanya. Dengan cepat Ambu pun meraba selipan bajunya untuk memastikan kalo koin emas tersebut masih ada. Harap-harap cemas kalo-kalo koin emas tersebut hilang.

"Untunglah koin emas ini masih ada. Aku harus menyimpannya baik-baik," ujar Ambu lantas menyelipkan kembali koin emasnya.

Ambu merasa bersyukur masih bisa selamat dari maut. Namun dari rasa lapar, Ambu berpikir keras untuk bisa menanganinya juga. Ambu pun berusaha bangkit dari duduknya dan mencari makanan untuk mengganjal perutnya. Pikiran Ambu sangat susah diajak untuk tidak mencuri. Perutnya yang terasa perih sungguh memaksa Ambu untuk mencuri beberapa potong wajik yang kelihatan menggiurkan di mata Ambu.

Wajik merupakan jajanan yang cukup tenar di kalangan masyarakat baik dari golongan biasa mau pun golongan bangsawan. Kue yang terbuat dari campuran ketan, gula merah, kelapa, dan dipotong menjadi segi empat itu dijual saat pagi.

"Wajik!! Wajik enak!! Wajik murah!" teriak si penjual wajik.

Seketika banyak orang yang berdatangan ke tempatnya untuk membeli wajik tersebut sebagai camilan sesudah makan. Ambu pun mengambil kesempatan tersebut untuk berbaur ke kerumunan pembeli dan mencuri beberapa wajik tersebut untuk mengganjal perutnya. Ambu tak tahu klo ada beberapa pasang mata yang sedari tadi mengincarnya.

Usai berhasil dengan misinya, Ambu segera meninggalkan tempat tersebut dan melahap kue wajiknya di tempat yang sepi. Beberapa orang yang tadi sudah mengamati Ambu pun menghampiri Ambu dan mulai beraksi. Mereka adalah komplotan bandit yang kebetulan lewat.

"Oi, Anak Muda! Sepertinya kau mempunyai barang yang cukup berharga di balik sakumu itu!" ucap si ketua bandit.

"Oh, yang dimaksud itu kue wajik ini ya, Paman? " ujar Ambu pura-pura tak tahu dan berusaha untuk tetap tenang.

"Kampret! Sekarang apa lagi? Mana tongkat besiku juga tadi tidak ada di sisiku. Ke mana hilangnya? Mereka mengincar koin emas yang berada di sakuku. Sepertinya aku tadi kurang berhati-hati dalam mengeluarkan koin emas sehingga mereka melihatnya," batin Ambu menerka alasan kedatangan 5 lelaki yang semuanya punya berewok itu.

"Heh bocah! Jangan pura-pura tak tahu kau!" bentak si pimpinan bandit seraya menyibakkan bajunya guna memperlihatkan golok tajam yang berada di pinggangnya.

Ambu menelan ludah pelan setelah melihat golok tersebut. Dirinya betul-betul terdesak seperti kejadian tadi malam. Tidak bisa menolong dirinya sendiri dan tidak ada orang yang datang untuk menolongnya. Kalo pun Ambu teriak minta tolong, dirinya tidak yakin akan ada yang menolongnya.

Ambu menghela napasnya pelan dan berusaha untuk tetap tenang. Dirinya sudah terkepung oleh 5 orang bandit dari kanan, kiri, depan, dan belakang sehingga tidak bisa melarikan diri. Dilahapnya sisa wajik yang masih ada di tangannya.

"Sepertinya bocah bau kencur ini meremehkan kita. Pegang dia! Biar aku sendiri yang mengajarinya sopan santun dan mengambil barang berharga miliknya itu!" perintah si pimpinan bandit bernama Tejo.

"Eh tunggu! Tunggu sebentar! Apa yang kalian inginkan?! Aku tak bermaksud meremehkan kalian!" berontak Ambu saat 2 orang di sisi kanan dan kirinya mulai mendekatinya.

2 orang yang berada di samping kanan dan kiri Ambu dengan cepat memegangi kedua lengan Ambu sesuai perintah. Ambu hanya bisa terus-terusan berteriak sampai tak sadar kalo saat itu juga Ambu berteriak minta tolong. 

"Diam kau bocah!" hardik Tejo.

"Buat dia babak belur, Kang! Jangan kasih ampun sebab telah meremehkan kita!" ucap seseorang yang sedari tadi berada di samping Tejo.

"Tunggu! Apa yang kalian inginkan?! Tolong! Tolong!" teriak Ambu sambil terus berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman dua orang bandit itu.

Tejo maju beberapa langkah dan langsung melayangkan pukulannya dengan keras ke arah muka Ambu Radul tanpa aba-aba.

"To..."

Bugh!! Bugh! Bugh!!!

Berkali-kali Tejo memukulkan kepalan tangan yang kasar itu pada bocah berumur belasan tahun tanpa ampun. Sesekali dia memukul perut dan dada Ambu. Muka Ambu sudah bonyok kanan kiri dan tak berdaya untuk melawan. Ambu hanya bisa mengumpat dalam hati sampai kembali tak sadarkan diri. Barulah setelah Tejo merasa puas, dua orang bandit itu melepaskan Ambu dan membiarkannya jatuh ke tanah.

"Hahah dasar bocah lemah! Baru begitu saja sudah tepar! Aku ambil koin emasmu, Bocah!" kata Tejo yang langsung merogoh ke saku yang berada di dalam baju Ambu.

"Malam ini kita bisa puas minum-minum!" ujar seorang bandit berbaju cokelat. 

Bandit yang lain ikut tertawa mendengarnya. Hup! Namun tak disangka setelah itu bandit berbaju cokelat tersebut langsung tersungkur begitu saja ke tanah setelah tangan kanannya memegangi tengkuknya. Tejo dan 3 orang lainnya sontak kaget dan mencari tahu siapa pelakunya. Mereka tahu kalo temannya itu diserang secara sembunyi-sembunyi menggunakan tulup.

"Di mana agaknya orang yang berani menyerang kami?!" teriak Tejo berharap si pelaku berani menampakkan batang hidungnya.

4 orang bandit yang tersisa langsung siaga dan mengeluarkan senjatanya masing-masing. Tejo yang mengenakan baju hitam dengan goloknya, seorang bandit berbaju cokelat yang di samping Tejo juga dengan kerisnya, dan dua orang lain yang mengenakan baju abu-abu yang tadi memegangi lengan Ambu bersiaga dengan celuritnya. Mereka berempat mengamati daerah sekitar yang sepi itu. 

Semua mata mengarah ke setiap penjuru guna menemukan si pelaku yang telah merobohkan rekannya. Di daerah sepi tersebut hanya ada beberapa rumah kosong saja yang tak jauh dari pasar. Pohon di sekitarnya pun tidak terlalu lebat dan tinggi. 4 orang bandit itu tak menemukan adanya seseorang di atas pohon.

Related chapters

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Botak

    Tejo mengisyaratkan dengan lirikan matanya pada seorang anak buahnya untuk mengecek keadaan rekannya yang telah tumbang itu. Seorang bandit yang berada di sampingnya langsung menurut dan menghampiri tubuh si rekan yang juga mengenakan baju berwarna cokelat."Dia sudah mati," ucap si bandit berpakaian cokelat beberapa saat setelah mengecek keadaan rekannya.Merasa geram dan dipermainkan oleh seseorang, Tejo mengeluarkan bentakan yang sangat lantang. Dirinya yang memang lumayan jago di dunia persilatan saat itu menjadi murka."Orang gila siapa yang membunuh rekanku dan berani mencari mati denganku, keluarlah!!"Tiga kali Tejo berteriak seperti itu. Namun setelah ditunggu agak lama tetap tak ada seorang pun yang memunculkan diri."Apa mungkin bocah ini yang melakukannya?" terka seorang anak buah Tejo berpakaian abu-abu.Tejo melirik ke arah Ambu berada. Ambu masih tetap tak sadarkan diri dengan tubuh yang babak belur penuh luka dan lebam."Tak mungkin. Pasti ada seseorang yang juga berad

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat

    "Apa-apan dia itu?! Kenapa sikapnya sangat berlawanan sekali dengan yang tadi! Apa kita salah orang?" tanya si anak gondrong pada temannya."Dasar bodoh! Dia masih tetap anak yang tadi!" hardik si anak perempuan."Emm.. tapi aneh sekali. Saat bertarung tadi, dia seakan kesurupan dan sikapnya pun sungguh aneh. Tapi sekarang si anak botak itu sangat bersahabat sekali dengan anak itu," pikir si anak perempuan keheranan sendiri dengan perubahan sikap Sibo.Dua anak yang sedari tadi masih berada di atap sebuah rumah masih saja mengintai. Mereka berdua juga mengetahui dengan jelas apa yang terjadi saat Ambu tak sadarkan diri. Si anak gondrong teramat sangat ingin turun dan menemui Ambu yang bersama Sibo. Tapi berulang kali pula rekannya yang anak perempuan cantik itu menghalangi bahkan melarangnya."Sepertinya kita memang harus turun dan menemui mereka berdua," saran si gondrong."Jangan dulu. Misi kita sudah gagal karena ulahmu yang sembrono!" bentak si anak perempuan menyalahkan si gondro

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat (Bagian 2)

    Dua orang bandit yang melihat hal tersebut juga langsung bersiaga dengan mencabut celurit mereka masing-masing. Di tempat Ambu, si pimpinan bandit alias Tejo langsung tersentak dan bangkit dari duduk manisnya. Sementara itu, Sibo dengan mata yang hanya warna putihnya saja yang kelihatan, tengah berdiri tegap di belakang Parjo.Tanpa pikir panjang lagi, kini dua bandit berbaju abu-abu ikut membantu Parjo dan mengayunkan celuritnya ke arah Sibo dari belakang. Sibo dengan mudahnya menghindari serangan itu meski tak melihat gerakan dua orang itu di belakang punggungnya. Sibo melompat lalu menendang punggung Parjo sebagai pijakan untuk membuatnya melayang di udara lebih tinggi lagi.Dua bandit berbaju abu-abu kaget bukan kepalang dengan gerakan Sibo. Mereka sebelumnya tak menyangka bocah botak itu bisa melawan.Kini giliran Sibo menyerang. Dia yang tadi berhasil mengelak dari tebasan dua celurit dari belakang dengan terbang di udara sekarang sudah berpijak lagi ke tanah. Sibo menendang sala

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Gondrong

    Sibo terdorong cukup jauh dari tempatnya akibat tendangan Tejo. Tak mau kehilangan kesempatan, dua orang berbaju abu-abu bernama Gono dan Renggo menyabetkan celurit mereka masing-masing. Sibo terenyak dan hampir saja tertebas celurit mereka berdua. Namun dengan cepat Sibo mengentakkan kedua kakinya dengan kuat dan melayang ke udara.Sabetan dua celurit itu hanya mengenai angin kosong. Gono dan Renggo terkejut bukan kepalang saat bocah botak itu melayang di atas kepala mereka. Sibo pun langsung saja menendang dengan keras batok kepala Gono dan Renggo bergantian menggunakan kaki kanan dan kirinya. Gono dan Renggo terpental bersama dengan celurit mereka dan tersungkur ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri dengan batok kepala yang sudah bocor. Sibo sendiri menapakkan kedua kakinya lagi ke tanah.Sementara itu, Tejo yang tadi hanya melihat hal itu sembari rehat sejenak semakin dibuat geram. Tejo gerutukan gigi-giginya dengan tangan yang makin kokoh menggenggam goloknya. Sibo yang sudah

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Menuju Desa Renggowa

    "Pertarunganmu dengan keempat bandit berewok itu sungguh mengesankan! Aku kagum dengan hal itu, Sibo! Di mana kau belajar ilmu silat dan dari mana asalmu? Aku sungguh penasaran! Kalo kita berdua bertarung, kira-kira siapa yang akan jadi pemenangnya nanti? Ayo kita bertarung sekarang, Sibo! Aku sungguh tak sabar dengan hasilnya!" kata Gon panjang lebar mengutarakan pikirannya yang sedari tadi terbendung."Aku tak paham dengan apa yang kaubicarakan. Tapi bisa tolong lepaskan tanganku? Aku merasa risih dengan hal itu," ujar Sibo tersendat-sendat seakan kehabisan napas. Seketika Gon pun melepaskan tangannya dari tangan Sibo."Oh, maafkan aku. Aku betul-betul gembira bisa bertemu dengan orang seperti kalian. Aku ingin menjadi teman kalian!" ucap Gon yang kini mengutarakan keinginannya."Tunggu sebentar, kau bilang tadi kalo Sibo yang sudah mengalahkan empat bandit sisanya? Dan juga kau sendiri sedari tadi mengucapkan kalo kau punya rekan yang tak mengizinkanmu mendekati kami. Di mana rekan

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Pembantaian di Malam Purnama

    Trang! Dua buah tongkat besi saling beradu. Tampak di halaman sebuah rumah saat kegelapan malam tiba dua orang lelaki tengah berlatih menggunakan tongkat besi yang panjang. Keduanya yakni seorang lelaki yang sudah berumur 40 tahun ke atas dengan kumis tebal melintang di bawah lubang hidungnya. Satunya lagi seorang remaja belasan tahun yang cukup tinggi dengan rambut pendek dan bertelinga lebar.Sementara Ambu dan pak Janaka berlatih dalam dinginnya angin malam, Ibu Ambu dan adik perempuannya melihat dari seberang pelataran rumahnya. Mereka berdua duduk di bangku yang terbuat dari bambu seraya menyiapkan minum untuk Ambu dan bapaknya saat telah selesai berlatih.Napas Ambu mulai tak beraturan. Walau dirinya sudah terbiasa dengan angin malam di daerah pegunungan, tapi pernapasannya masih belum cukup baik dikuasainya saat dalam pertarungan bahkan meski cuma latihan. Sedang Bapak Ambu tampak baik-baik saja. Meski sedikit ngos-ngosan juga, tapi tak seburuk yang Ambu kira."Bapak dulu juga

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Dendam Kesumat

    Hoshh... hosh... Ambu terus berlari turun dari gunung dan masuk ke hutan yang sangat gelap itu meski sudah mulai kehabisan napas dan juga kedinginan. Paru-parunya bekerja lebih keras dari sebelumnya meski tangan kirinya sudah mulai mati rasa."Sialan! Siluman itu! Aku pasti akan membunuhnya! Bapak, ibu! Maafkan aku! Aku tidak berguna dan justru lari seperti pecundang!" teriak Ambu memecah keheningan hutan disertai dengan tangisan.Koin emas yang diwariskan oleh bapaknya, Ambu simpan baik-baik di dalam bajunya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat besi satunya yang masih berada di luar rumah. Ambu merasa dirinya akan sedikit aman jika membawa sebuah senjata. Ambu juga tak tahu kalo dirinya sedang dikejar oleh puluhan tuyul.Beberapa menit berlalu, stamina Ambu mulai melemah. Dirinya sudah mulai merasa lelah karena berlari dengan membawa tongkat besi yang lumayan berat. Meski tangisnya sudah berhenti, tapi lubang besar di hatinya akan sulit ditutup. Hal itu sangat diuntungkan bagi p

Latest chapter

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Menuju Desa Renggowa

    "Pertarunganmu dengan keempat bandit berewok itu sungguh mengesankan! Aku kagum dengan hal itu, Sibo! Di mana kau belajar ilmu silat dan dari mana asalmu? Aku sungguh penasaran! Kalo kita berdua bertarung, kira-kira siapa yang akan jadi pemenangnya nanti? Ayo kita bertarung sekarang, Sibo! Aku sungguh tak sabar dengan hasilnya!" kata Gon panjang lebar mengutarakan pikirannya yang sedari tadi terbendung."Aku tak paham dengan apa yang kaubicarakan. Tapi bisa tolong lepaskan tanganku? Aku merasa risih dengan hal itu," ujar Sibo tersendat-sendat seakan kehabisan napas. Seketika Gon pun melepaskan tangannya dari tangan Sibo."Oh, maafkan aku. Aku betul-betul gembira bisa bertemu dengan orang seperti kalian. Aku ingin menjadi teman kalian!" ucap Gon yang kini mengutarakan keinginannya."Tunggu sebentar, kau bilang tadi kalo Sibo yang sudah mengalahkan empat bandit sisanya? Dan juga kau sendiri sedari tadi mengucapkan kalo kau punya rekan yang tak mengizinkanmu mendekati kami. Di mana rekan

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Gondrong

    Sibo terdorong cukup jauh dari tempatnya akibat tendangan Tejo. Tak mau kehilangan kesempatan, dua orang berbaju abu-abu bernama Gono dan Renggo menyabetkan celurit mereka masing-masing. Sibo terenyak dan hampir saja tertebas celurit mereka berdua. Namun dengan cepat Sibo mengentakkan kedua kakinya dengan kuat dan melayang ke udara.Sabetan dua celurit itu hanya mengenai angin kosong. Gono dan Renggo terkejut bukan kepalang saat bocah botak itu melayang di atas kepala mereka. Sibo pun langsung saja menendang dengan keras batok kepala Gono dan Renggo bergantian menggunakan kaki kanan dan kirinya. Gono dan Renggo terpental bersama dengan celurit mereka dan tersungkur ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri dengan batok kepala yang sudah bocor. Sibo sendiri menapakkan kedua kakinya lagi ke tanah.Sementara itu, Tejo yang tadi hanya melihat hal itu sembari rehat sejenak semakin dibuat geram. Tejo gerutukan gigi-giginya dengan tangan yang makin kokoh menggenggam goloknya. Sibo yang sudah

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat (Bagian 2)

    Dua orang bandit yang melihat hal tersebut juga langsung bersiaga dengan mencabut celurit mereka masing-masing. Di tempat Ambu, si pimpinan bandit alias Tejo langsung tersentak dan bangkit dari duduk manisnya. Sementara itu, Sibo dengan mata yang hanya warna putihnya saja yang kelihatan, tengah berdiri tegap di belakang Parjo.Tanpa pikir panjang lagi, kini dua bandit berbaju abu-abu ikut membantu Parjo dan mengayunkan celuritnya ke arah Sibo dari belakang. Sibo dengan mudahnya menghindari serangan itu meski tak melihat gerakan dua orang itu di belakang punggungnya. Sibo melompat lalu menendang punggung Parjo sebagai pijakan untuk membuatnya melayang di udara lebih tinggi lagi.Dua bandit berbaju abu-abu kaget bukan kepalang dengan gerakan Sibo. Mereka sebelumnya tak menyangka bocah botak itu bisa melawan.Kini giliran Sibo menyerang. Dia yang tadi berhasil mengelak dari tebasan dua celurit dari belakang dengan terbang di udara sekarang sudah berpijak lagi ke tanah. Sibo menendang sala

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat

    "Apa-apan dia itu?! Kenapa sikapnya sangat berlawanan sekali dengan yang tadi! Apa kita salah orang?" tanya si anak gondrong pada temannya."Dasar bodoh! Dia masih tetap anak yang tadi!" hardik si anak perempuan."Emm.. tapi aneh sekali. Saat bertarung tadi, dia seakan kesurupan dan sikapnya pun sungguh aneh. Tapi sekarang si anak botak itu sangat bersahabat sekali dengan anak itu," pikir si anak perempuan keheranan sendiri dengan perubahan sikap Sibo.Dua anak yang sedari tadi masih berada di atap sebuah rumah masih saja mengintai. Mereka berdua juga mengetahui dengan jelas apa yang terjadi saat Ambu tak sadarkan diri. Si anak gondrong teramat sangat ingin turun dan menemui Ambu yang bersama Sibo. Tapi berulang kali pula rekannya yang anak perempuan cantik itu menghalangi bahkan melarangnya."Sepertinya kita memang harus turun dan menemui mereka berdua," saran si gondrong."Jangan dulu. Misi kita sudah gagal karena ulahmu yang sembrono!" bentak si anak perempuan menyalahkan si gondro

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Botak

    Tejo mengisyaratkan dengan lirikan matanya pada seorang anak buahnya untuk mengecek keadaan rekannya yang telah tumbang itu. Seorang bandit yang berada di sampingnya langsung menurut dan menghampiri tubuh si rekan yang juga mengenakan baju berwarna cokelat."Dia sudah mati," ucap si bandit berpakaian cokelat beberapa saat setelah mengecek keadaan rekannya.Merasa geram dan dipermainkan oleh seseorang, Tejo mengeluarkan bentakan yang sangat lantang. Dirinya yang memang lumayan jago di dunia persilatan saat itu menjadi murka."Orang gila siapa yang membunuh rekanku dan berani mencari mati denganku, keluarlah!!"Tiga kali Tejo berteriak seperti itu. Namun setelah ditunggu agak lama tetap tak ada seorang pun yang memunculkan diri."Apa mungkin bocah ini yang melakukannya?" terka seorang anak buah Tejo berpakaian abu-abu.Tejo melirik ke arah Ambu berada. Ambu masih tetap tak sadarkan diri dengan tubuh yang babak belur penuh luka dan lebam."Tak mungkin. Pasti ada seseorang yang juga berad

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Lima Bandit Berewokan

    Suara arungan seekor singa terdengar tepat beberapa detik sebelum akhirnya Ambu menutup mata. Ambu Radul pun pingsan di hutan karena kehabisan tenaga. Ambu mengira kalo riwayatnya sudah tamat. Namun nyatanya, keesokan harinya Ambu masih bisa membuka lebar kedua matanya itu."Di mana aku?" tanya Ambu pada dirinya sendiri seraya bangkit dari posisinya yang semula telentang.Semburat sinar mentari menghangatkan tubuh yang hampir sepenuhnya dingin. Pandangan Ambu mengamati sekitar dan tahulah Ambu bahwa dirinya berada di sebuah pasar yang baru buka pagi itu. Banyak orang lalu lalang dan hanya memandangi Ambu yang berpakaian lusuh layaknya gelandangan. Hiruk pikuk meramaikan suasana di pasar."Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku masih hidup?" pikir Ambu memegangi kepalanya yang terasa pusing.Sedikit demi sedikit Ambu ingat akan kejadian yang dialaminya semalam. Ingatannya terputus saat dirinya jatuh pingsan dan mendengar suara auman singa yang keras."Betul juga! Apa mungkin sang sin

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Dendam Kesumat

    Hoshh... hosh... Ambu terus berlari turun dari gunung dan masuk ke hutan yang sangat gelap itu meski sudah mulai kehabisan napas dan juga kedinginan. Paru-parunya bekerja lebih keras dari sebelumnya meski tangan kirinya sudah mulai mati rasa."Sialan! Siluman itu! Aku pasti akan membunuhnya! Bapak, ibu! Maafkan aku! Aku tidak berguna dan justru lari seperti pecundang!" teriak Ambu memecah keheningan hutan disertai dengan tangisan.Koin emas yang diwariskan oleh bapaknya, Ambu simpan baik-baik di dalam bajunya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat besi satunya yang masih berada di luar rumah. Ambu merasa dirinya akan sedikit aman jika membawa sebuah senjata. Ambu juga tak tahu kalo dirinya sedang dikejar oleh puluhan tuyul.Beberapa menit berlalu, stamina Ambu mulai melemah. Dirinya sudah mulai merasa lelah karena berlari dengan membawa tongkat besi yang lumayan berat. Meski tangisnya sudah berhenti, tapi lubang besar di hatinya akan sulit ditutup. Hal itu sangat diuntungkan bagi p

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Pembantaian di Malam Purnama

    Trang! Dua buah tongkat besi saling beradu. Tampak di halaman sebuah rumah saat kegelapan malam tiba dua orang lelaki tengah berlatih menggunakan tongkat besi yang panjang. Keduanya yakni seorang lelaki yang sudah berumur 40 tahun ke atas dengan kumis tebal melintang di bawah lubang hidungnya. Satunya lagi seorang remaja belasan tahun yang cukup tinggi dengan rambut pendek dan bertelinga lebar.Sementara Ambu dan pak Janaka berlatih dalam dinginnya angin malam, Ibu Ambu dan adik perempuannya melihat dari seberang pelataran rumahnya. Mereka berdua duduk di bangku yang terbuat dari bambu seraya menyiapkan minum untuk Ambu dan bapaknya saat telah selesai berlatih.Napas Ambu mulai tak beraturan. Walau dirinya sudah terbiasa dengan angin malam di daerah pegunungan, tapi pernapasannya masih belum cukup baik dikuasainya saat dalam pertarungan bahkan meski cuma latihan. Sedang Bapak Ambu tampak baik-baik saja. Meski sedikit ngos-ngosan juga, tapi tak seburuk yang Ambu kira."Bapak dulu juga

DMCA.com Protection Status