Tejo mengisyaratkan dengan lirikan matanya pada seorang anak buahnya untuk mengecek keadaan rekannya yang telah tumbang itu. Seorang bandit yang berada di sampingnya langsung menurut dan menghampiri tubuh si rekan yang juga mengenakan baju berwarna cokelat.
"Dia sudah mati," ucap si bandit berpakaian cokelat beberapa saat setelah mengecek keadaan rekannya.Merasa geram dan dipermainkan oleh seseorang, Tejo mengeluarkan bentakan yang sangat lantang. Dirinya yang memang lumayan jago di dunia persilatan saat itu menjadi murka."Orang gila siapa yang membunuh rekanku dan berani mencari mati denganku, keluarlah!!"Tiga kali Tejo berteriak seperti itu. Namun setelah ditunggu agak lama tetap tak ada seorang pun yang memunculkan diri."Apa mungkin bocah ini yang melakukannya?" terka seorang anak buah Tejo berpakaian abu-abu.Tejo melirik ke arah Ambu berada. Ambu masih tetap tak sadarkan diri dengan tubuh yang babak belur penuh luka dan lebam."Tak mungkin. Pasti ada seseorang yang juga berada di sini tapi masih tetap menyembunyikan dirinya!" ucap Tejo kemudian langsung melirik ke arah lain.Sementara itu, di atas salah satu atap rumah yang tak jauh dari komplotan bandit itu berada, dua orang tengah berselisih satu sama lain. Seorang anak laki-laki berambut gondrong tengah disekap mulutnya oleh seorang anak perempuan cantik berpakaian putih sebayanya. Si anak laki-laki berambut gondrong meronta-ronta agar bisa melepaskan tangan temannya itu dari mulutnya."Diam! Jangan berisik! Kau mengacaukan rencanaku!" bisik si anak perempuan cantik dengan nada berat."Hmphh.. hmph..."Mulut si gondrong seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi tidak bisa. Kedua tangannya memegang tangan si perempuan yang berada di mulutnya dengan kuat untuk memaksa si perempuan melepaskan tangannya.Dilepasnya dengan paksa tangan si perempuan dari mulutnya dan akhirnya si gondrong bisa bernapas dengan leluasa."Ah kasar sekali!" lirih si perempuan."Hufff... itu lihat!" tunjuk si gondrong ke arah bawah.Anak perempuan itu melihat ke arah yang ditunjuk si gondrong. Seorang anak lelaki berkepala botak yang tak memiliki rambut barang sehelai pun tengah berjalan ke arah para bandit berada."Siapa dia?" tanya si anak perempuan heran."Tak tahu, sepertinya anak nyasar. Bagaimana? Tertarik menolongnya?" tanya si gondrong meminta persetujuan."Biarkan saja. Dia pasti akan baik-baik saja," ujar si anak perempuan dengan yakin."Lantas sekarang bagaimana? Satu sudah aku tumbangkan. Bukankah sekarang jadi lebih mudah untuk mengalahkan mereka dan menolong anak yang pingsan di sana?"Si anak perempuan langsung saja menjitak kepala si gondrong. Si gondrong meringis kesakitan dan memegangi kepalanya."Bodoh! Meski begitu 4 lawan 2 masih terlalu sulit untuk kita.""Cih! Padahal aku sudah cukup membantu," ujar si gondrong.Mereka berdua pun memutuskan untuk mengamati pergerakan si anak botak dan para bandit itu dari kejauhan."Oh! Jadi kau pelakunya, Bocah Botak!" terka Tejo dengan sangat geram.Tejo yang melihat kedatangan si bocah botak itu langsung menarik golok dari pinggangnya dan segera menghampiri bocah botak.Bocah dengan muka bonyok dan pakaian lusuh itu kini mulai membuka matanya pelan. Dia mendapati dirinya masih terbaring di tanah. Bola matanya memutar ke sekelilingnya. Perlahan dia mulai bangkit dari posisinya dan duduk di tempat yang teduh sambil memegangi luka yang dirasanya sakit. Siapa lagi bocah itu kalo bukan Ambu Radul yang tadi pingsan akibat dipukuli si Tejo. Ambu merasa dirinya tak sadarkan diri cukup lama. Semuanya berubah dari keadaannya yang semula. Matahari semakin terik dengan angin sepoi-sepoi yang sedikit menyejukkan udara panas. Ambu melihat dengan kedua matanya sendiri di mana 5 bandit berewokan yang tak sadarkan diri di tanah dalam keadaan mengenaskan. Ada yang kepalanya terpisah dari tubuhnya, ada juga yang patah tulang sana sini kemudian pingsan, ada pula yang masih utuh tubuhnya namun sudah tak bernyawa. Ambu juga sangat heran dengan adanya seorang anak berkepala botak yang duduk di sampingnya."Siapa gerangan anak ini? Aku baru menyadarinya," batin Ambu saat mengamatinya."Yo! Kau sudah sadar rupanya. Baguslah kalo begitu, sekarang bayar wajik yang telah kau makan beberapa saat yang lalu!" tegas si anak botak membuka matanya."Hah? Apa maksudmu?" tanya Ambu pura-pura tak tahu. Ambu kembali merasakan sakit di kepalanya. Dia memegangi kepalanya itu kemudian sadar apa yang terjadi sebelumnya. Ambu segera merogoh saku dalam bajunya namun dia tak menemukan koin emas miliknya."Kau mencari ini?" Si anak botak langsung memperlihatkan koin emas itu.Dengan cepat, Ambu langsung mengambilnya. Namun tak disangka, si anak botak justru tidak mengizinkan Ambu untuk mengambil kembali koin emasnya."Ini milikmu?" tanya anak botak memastikan.Ambu mengangguk pelan."Bayar dulu wajik yang sudah kau makan tadi! Nanti aku kembalikan koin emas aneh milikmu ini," lanjut si anak botak langsung menyembunyikan koin emas itu kembali."Itu milikku! Kembalikan! Kau mencurinya!" bentak Ambu tak terima."Maling teriak maling!" ucap si anak botak lalu teetawa kencang.Anak laki-laki itu sungguh tak takut sama sekali terhadap Ambu. Padahal Ambu sudah merasa menang fisik yang besar dan tinggi dibanding si anak botak. Ambu pun mengira kalo anak botak ini juga yang telah mengalahkan para bandit yang tak bisa dilawan Ambu."Cih! Siapa kau sebenarnya? Biar nanti aku bayar wajik yang sudah kumakan asalkan kembalikan dulu koin emas milikku!" kata Ambu penasaran memberi penawaran.Si anak botak mengalihkan pandangannya ke arah Ambu lalu menjawab, "Aku melihatmu mencuri beberapa potong wajik dari si penjual wajik di pasar. Kalo kau memang sanggup membayarnya, kenapa kau mencurinya?" Ambu tak bisa mengelak. Dia terpaksa blak-blakan terhadap si anak botak saat itu juga."Baiklah! Baiklah! Aku memang mencurinya karena sangat lapar dan tak punya uang! Puas kau?!" kata Ambu tanpa keraguan sedikit pun. Dirinya sudah pasrah dan tak bisa berbuat banyak asal bisa mendapatkan koin emasnya kembali."Terus kenapa kau tadi bilang mau membayarnya?" pancing si anak botak."Sudahlah! Kembalikan saja koin emas itu! Aku tak bisa membayar biaya wajik yang sudah kumakan," jelas Ambu merasa jengkel dan menyesal karena telah mencuri.Si anak botak menghela napasnya usai mendengarkan penuturan Ambu. Sesaat kemudian, si anak botak tiba-tiba saja mengembalikan koin emas itu pada Ambu begitu saja. Ambu pun terheran-heran dengan hal tersebut."Kau anak yang jujur. Siapa namamu?" tanya si anak botak.Ambu yang menerima koin emasnya kembali, langsung menyimpannya baik-baik di tempat yang sama lalu menjawab pertanyaan si anak botak."Ambu Radul. Panggil saja Ambu. Namamu sendiri siapa?" "Sibo. Sibo Takakikukeko," jawab si anak botak."Ngomong-ngomong kau yang telah mengalahkan para bandit itu seorang diri?" tanya Ambu sambil menunjuk ke arah para bandit itu."Iya. Entahlah aku pun tak begitu ingat dengan hal yang baru saja terjadi."Ambu hanya bisa garuk-garuk kepalanya bingung. Di satu sisi Ambu yakin bocah botak bernama Sibo itu yang sudah mengalahkan bandit berewokan dan menolong dirinya. Tapi di sisi yang lain kalo Ambu pikir berulang kali rasanya mustahil. Tapi tetap saja di situ hanya ada dirinya dan Sibo."Apa-apan dia itu?! Kenapa sikapnya sangat berlawanan sekali dengan yang tadi! Apa kita salah orang?" tanya si anak gondrong pada temannya."Dasar bodoh! Dia masih tetap anak yang tadi!" hardik si anak perempuan."Emm.. tapi aneh sekali. Saat bertarung tadi, dia seakan kesurupan dan sikapnya pun sungguh aneh. Tapi sekarang si anak botak itu sangat bersahabat sekali dengan anak itu," pikir si anak perempuan keheranan sendiri dengan perubahan sikap Sibo.Dua anak yang sedari tadi masih berada di atap sebuah rumah masih saja mengintai. Mereka berdua juga mengetahui dengan jelas apa yang terjadi saat Ambu tak sadarkan diri. Si anak gondrong teramat sangat ingin turun dan menemui Ambu yang bersama Sibo. Tapi berulang kali pula rekannya yang anak perempuan cantik itu menghalangi bahkan melarangnya."Sepertinya kita memang harus turun dan menemui mereka berdua," saran si gondrong."Jangan dulu. Misi kita sudah gagal karena ulahmu yang sembrono!" bentak si anak perempuan menyalahkan si gondro
Dua orang bandit yang melihat hal tersebut juga langsung bersiaga dengan mencabut celurit mereka masing-masing. Di tempat Ambu, si pimpinan bandit alias Tejo langsung tersentak dan bangkit dari duduk manisnya. Sementara itu, Sibo dengan mata yang hanya warna putihnya saja yang kelihatan, tengah berdiri tegap di belakang Parjo.Tanpa pikir panjang lagi, kini dua bandit berbaju abu-abu ikut membantu Parjo dan mengayunkan celuritnya ke arah Sibo dari belakang. Sibo dengan mudahnya menghindari serangan itu meski tak melihat gerakan dua orang itu di belakang punggungnya. Sibo melompat lalu menendang punggung Parjo sebagai pijakan untuk membuatnya melayang di udara lebih tinggi lagi.Dua bandit berbaju abu-abu kaget bukan kepalang dengan gerakan Sibo. Mereka sebelumnya tak menyangka bocah botak itu bisa melawan.Kini giliran Sibo menyerang. Dia yang tadi berhasil mengelak dari tebasan dua celurit dari belakang dengan terbang di udara sekarang sudah berpijak lagi ke tanah. Sibo menendang sala
Sibo terdorong cukup jauh dari tempatnya akibat tendangan Tejo. Tak mau kehilangan kesempatan, dua orang berbaju abu-abu bernama Gono dan Renggo menyabetkan celurit mereka masing-masing. Sibo terenyak dan hampir saja tertebas celurit mereka berdua. Namun dengan cepat Sibo mengentakkan kedua kakinya dengan kuat dan melayang ke udara.Sabetan dua celurit itu hanya mengenai angin kosong. Gono dan Renggo terkejut bukan kepalang saat bocah botak itu melayang di atas kepala mereka. Sibo pun langsung saja menendang dengan keras batok kepala Gono dan Renggo bergantian menggunakan kaki kanan dan kirinya. Gono dan Renggo terpental bersama dengan celurit mereka dan tersungkur ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri dengan batok kepala yang sudah bocor. Sibo sendiri menapakkan kedua kakinya lagi ke tanah.Sementara itu, Tejo yang tadi hanya melihat hal itu sembari rehat sejenak semakin dibuat geram. Tejo gerutukan gigi-giginya dengan tangan yang makin kokoh menggenggam goloknya. Sibo yang sudah
"Pertarunganmu dengan keempat bandit berewok itu sungguh mengesankan! Aku kagum dengan hal itu, Sibo! Di mana kau belajar ilmu silat dan dari mana asalmu? Aku sungguh penasaran! Kalo kita berdua bertarung, kira-kira siapa yang akan jadi pemenangnya nanti? Ayo kita bertarung sekarang, Sibo! Aku sungguh tak sabar dengan hasilnya!" kata Gon panjang lebar mengutarakan pikirannya yang sedari tadi terbendung."Aku tak paham dengan apa yang kaubicarakan. Tapi bisa tolong lepaskan tanganku? Aku merasa risih dengan hal itu," ujar Sibo tersendat-sendat seakan kehabisan napas. Seketika Gon pun melepaskan tangannya dari tangan Sibo."Oh, maafkan aku. Aku betul-betul gembira bisa bertemu dengan orang seperti kalian. Aku ingin menjadi teman kalian!" ucap Gon yang kini mengutarakan keinginannya."Tunggu sebentar, kau bilang tadi kalo Sibo yang sudah mengalahkan empat bandit sisanya? Dan juga kau sendiri sedari tadi mengucapkan kalo kau punya rekan yang tak mengizinkanmu mendekati kami. Di mana rekan
Trang! Dua buah tongkat besi saling beradu. Tampak di halaman sebuah rumah saat kegelapan malam tiba dua orang lelaki tengah berlatih menggunakan tongkat besi yang panjang. Keduanya yakni seorang lelaki yang sudah berumur 40 tahun ke atas dengan kumis tebal melintang di bawah lubang hidungnya. Satunya lagi seorang remaja belasan tahun yang cukup tinggi dengan rambut pendek dan bertelinga lebar.Sementara Ambu dan pak Janaka berlatih dalam dinginnya angin malam, Ibu Ambu dan adik perempuannya melihat dari seberang pelataran rumahnya. Mereka berdua duduk di bangku yang terbuat dari bambu seraya menyiapkan minum untuk Ambu dan bapaknya saat telah selesai berlatih.Napas Ambu mulai tak beraturan. Walau dirinya sudah terbiasa dengan angin malam di daerah pegunungan, tapi pernapasannya masih belum cukup baik dikuasainya saat dalam pertarungan bahkan meski cuma latihan. Sedang Bapak Ambu tampak baik-baik saja. Meski sedikit ngos-ngosan juga, tapi tak seburuk yang Ambu kira."Bapak dulu juga
Hoshh... hosh... Ambu terus berlari turun dari gunung dan masuk ke hutan yang sangat gelap itu meski sudah mulai kehabisan napas dan juga kedinginan. Paru-parunya bekerja lebih keras dari sebelumnya meski tangan kirinya sudah mulai mati rasa."Sialan! Siluman itu! Aku pasti akan membunuhnya! Bapak, ibu! Maafkan aku! Aku tidak berguna dan justru lari seperti pecundang!" teriak Ambu memecah keheningan hutan disertai dengan tangisan.Koin emas yang diwariskan oleh bapaknya, Ambu simpan baik-baik di dalam bajunya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat besi satunya yang masih berada di luar rumah. Ambu merasa dirinya akan sedikit aman jika membawa sebuah senjata. Ambu juga tak tahu kalo dirinya sedang dikejar oleh puluhan tuyul.Beberapa menit berlalu, stamina Ambu mulai melemah. Dirinya sudah mulai merasa lelah karena berlari dengan membawa tongkat besi yang lumayan berat. Meski tangisnya sudah berhenti, tapi lubang besar di hatinya akan sulit ditutup. Hal itu sangat diuntungkan bagi p
Suara arungan seekor singa terdengar tepat beberapa detik sebelum akhirnya Ambu menutup mata. Ambu Radul pun pingsan di hutan karena kehabisan tenaga. Ambu mengira kalo riwayatnya sudah tamat. Namun nyatanya, keesokan harinya Ambu masih bisa membuka lebar kedua matanya itu."Di mana aku?" tanya Ambu pada dirinya sendiri seraya bangkit dari posisinya yang semula telentang.Semburat sinar mentari menghangatkan tubuh yang hampir sepenuhnya dingin. Pandangan Ambu mengamati sekitar dan tahulah Ambu bahwa dirinya berada di sebuah pasar yang baru buka pagi itu. Banyak orang lalu lalang dan hanya memandangi Ambu yang berpakaian lusuh layaknya gelandangan. Hiruk pikuk meramaikan suasana di pasar."Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku masih hidup?" pikir Ambu memegangi kepalanya yang terasa pusing.Sedikit demi sedikit Ambu ingat akan kejadian yang dialaminya semalam. Ingatannya terputus saat dirinya jatuh pingsan dan mendengar suara auman singa yang keras."Betul juga! Apa mungkin sang sin
"Pertarunganmu dengan keempat bandit berewok itu sungguh mengesankan! Aku kagum dengan hal itu, Sibo! Di mana kau belajar ilmu silat dan dari mana asalmu? Aku sungguh penasaran! Kalo kita berdua bertarung, kira-kira siapa yang akan jadi pemenangnya nanti? Ayo kita bertarung sekarang, Sibo! Aku sungguh tak sabar dengan hasilnya!" kata Gon panjang lebar mengutarakan pikirannya yang sedari tadi terbendung."Aku tak paham dengan apa yang kaubicarakan. Tapi bisa tolong lepaskan tanganku? Aku merasa risih dengan hal itu," ujar Sibo tersendat-sendat seakan kehabisan napas. Seketika Gon pun melepaskan tangannya dari tangan Sibo."Oh, maafkan aku. Aku betul-betul gembira bisa bertemu dengan orang seperti kalian. Aku ingin menjadi teman kalian!" ucap Gon yang kini mengutarakan keinginannya."Tunggu sebentar, kau bilang tadi kalo Sibo yang sudah mengalahkan empat bandit sisanya? Dan juga kau sendiri sedari tadi mengucapkan kalo kau punya rekan yang tak mengizinkanmu mendekati kami. Di mana rekan
Sibo terdorong cukup jauh dari tempatnya akibat tendangan Tejo. Tak mau kehilangan kesempatan, dua orang berbaju abu-abu bernama Gono dan Renggo menyabetkan celurit mereka masing-masing. Sibo terenyak dan hampir saja tertebas celurit mereka berdua. Namun dengan cepat Sibo mengentakkan kedua kakinya dengan kuat dan melayang ke udara.Sabetan dua celurit itu hanya mengenai angin kosong. Gono dan Renggo terkejut bukan kepalang saat bocah botak itu melayang di atas kepala mereka. Sibo pun langsung saja menendang dengan keras batok kepala Gono dan Renggo bergantian menggunakan kaki kanan dan kirinya. Gono dan Renggo terpental bersama dengan celurit mereka dan tersungkur ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri dengan batok kepala yang sudah bocor. Sibo sendiri menapakkan kedua kakinya lagi ke tanah.Sementara itu, Tejo yang tadi hanya melihat hal itu sembari rehat sejenak semakin dibuat geram. Tejo gerutukan gigi-giginya dengan tangan yang makin kokoh menggenggam goloknya. Sibo yang sudah
Dua orang bandit yang melihat hal tersebut juga langsung bersiaga dengan mencabut celurit mereka masing-masing. Di tempat Ambu, si pimpinan bandit alias Tejo langsung tersentak dan bangkit dari duduk manisnya. Sementara itu, Sibo dengan mata yang hanya warna putihnya saja yang kelihatan, tengah berdiri tegap di belakang Parjo.Tanpa pikir panjang lagi, kini dua bandit berbaju abu-abu ikut membantu Parjo dan mengayunkan celuritnya ke arah Sibo dari belakang. Sibo dengan mudahnya menghindari serangan itu meski tak melihat gerakan dua orang itu di belakang punggungnya. Sibo melompat lalu menendang punggung Parjo sebagai pijakan untuk membuatnya melayang di udara lebih tinggi lagi.Dua bandit berbaju abu-abu kaget bukan kepalang dengan gerakan Sibo. Mereka sebelumnya tak menyangka bocah botak itu bisa melawan.Kini giliran Sibo menyerang. Dia yang tadi berhasil mengelak dari tebasan dua celurit dari belakang dengan terbang di udara sekarang sudah berpijak lagi ke tanah. Sibo menendang sala
"Apa-apan dia itu?! Kenapa sikapnya sangat berlawanan sekali dengan yang tadi! Apa kita salah orang?" tanya si anak gondrong pada temannya."Dasar bodoh! Dia masih tetap anak yang tadi!" hardik si anak perempuan."Emm.. tapi aneh sekali. Saat bertarung tadi, dia seakan kesurupan dan sikapnya pun sungguh aneh. Tapi sekarang si anak botak itu sangat bersahabat sekali dengan anak itu," pikir si anak perempuan keheranan sendiri dengan perubahan sikap Sibo.Dua anak yang sedari tadi masih berada di atap sebuah rumah masih saja mengintai. Mereka berdua juga mengetahui dengan jelas apa yang terjadi saat Ambu tak sadarkan diri. Si anak gondrong teramat sangat ingin turun dan menemui Ambu yang bersama Sibo. Tapi berulang kali pula rekannya yang anak perempuan cantik itu menghalangi bahkan melarangnya."Sepertinya kita memang harus turun dan menemui mereka berdua," saran si gondrong."Jangan dulu. Misi kita sudah gagal karena ulahmu yang sembrono!" bentak si anak perempuan menyalahkan si gondro
Tejo mengisyaratkan dengan lirikan matanya pada seorang anak buahnya untuk mengecek keadaan rekannya yang telah tumbang itu. Seorang bandit yang berada di sampingnya langsung menurut dan menghampiri tubuh si rekan yang juga mengenakan baju berwarna cokelat."Dia sudah mati," ucap si bandit berpakaian cokelat beberapa saat setelah mengecek keadaan rekannya.Merasa geram dan dipermainkan oleh seseorang, Tejo mengeluarkan bentakan yang sangat lantang. Dirinya yang memang lumayan jago di dunia persilatan saat itu menjadi murka."Orang gila siapa yang membunuh rekanku dan berani mencari mati denganku, keluarlah!!"Tiga kali Tejo berteriak seperti itu. Namun setelah ditunggu agak lama tetap tak ada seorang pun yang memunculkan diri."Apa mungkin bocah ini yang melakukannya?" terka seorang anak buah Tejo berpakaian abu-abu.Tejo melirik ke arah Ambu berada. Ambu masih tetap tak sadarkan diri dengan tubuh yang babak belur penuh luka dan lebam."Tak mungkin. Pasti ada seseorang yang juga berad
Suara arungan seekor singa terdengar tepat beberapa detik sebelum akhirnya Ambu menutup mata. Ambu Radul pun pingsan di hutan karena kehabisan tenaga. Ambu mengira kalo riwayatnya sudah tamat. Namun nyatanya, keesokan harinya Ambu masih bisa membuka lebar kedua matanya itu."Di mana aku?" tanya Ambu pada dirinya sendiri seraya bangkit dari posisinya yang semula telentang.Semburat sinar mentari menghangatkan tubuh yang hampir sepenuhnya dingin. Pandangan Ambu mengamati sekitar dan tahulah Ambu bahwa dirinya berada di sebuah pasar yang baru buka pagi itu. Banyak orang lalu lalang dan hanya memandangi Ambu yang berpakaian lusuh layaknya gelandangan. Hiruk pikuk meramaikan suasana di pasar."Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku masih hidup?" pikir Ambu memegangi kepalanya yang terasa pusing.Sedikit demi sedikit Ambu ingat akan kejadian yang dialaminya semalam. Ingatannya terputus saat dirinya jatuh pingsan dan mendengar suara auman singa yang keras."Betul juga! Apa mungkin sang sin
Hoshh... hosh... Ambu terus berlari turun dari gunung dan masuk ke hutan yang sangat gelap itu meski sudah mulai kehabisan napas dan juga kedinginan. Paru-parunya bekerja lebih keras dari sebelumnya meski tangan kirinya sudah mulai mati rasa."Sialan! Siluman itu! Aku pasti akan membunuhnya! Bapak, ibu! Maafkan aku! Aku tidak berguna dan justru lari seperti pecundang!" teriak Ambu memecah keheningan hutan disertai dengan tangisan.Koin emas yang diwariskan oleh bapaknya, Ambu simpan baik-baik di dalam bajunya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat besi satunya yang masih berada di luar rumah. Ambu merasa dirinya akan sedikit aman jika membawa sebuah senjata. Ambu juga tak tahu kalo dirinya sedang dikejar oleh puluhan tuyul.Beberapa menit berlalu, stamina Ambu mulai melemah. Dirinya sudah mulai merasa lelah karena berlari dengan membawa tongkat besi yang lumayan berat. Meski tangisnya sudah berhenti, tapi lubang besar di hatinya akan sulit ditutup. Hal itu sangat diuntungkan bagi p
Trang! Dua buah tongkat besi saling beradu. Tampak di halaman sebuah rumah saat kegelapan malam tiba dua orang lelaki tengah berlatih menggunakan tongkat besi yang panjang. Keduanya yakni seorang lelaki yang sudah berumur 40 tahun ke atas dengan kumis tebal melintang di bawah lubang hidungnya. Satunya lagi seorang remaja belasan tahun yang cukup tinggi dengan rambut pendek dan bertelinga lebar.Sementara Ambu dan pak Janaka berlatih dalam dinginnya angin malam, Ibu Ambu dan adik perempuannya melihat dari seberang pelataran rumahnya. Mereka berdua duduk di bangku yang terbuat dari bambu seraya menyiapkan minum untuk Ambu dan bapaknya saat telah selesai berlatih.Napas Ambu mulai tak beraturan. Walau dirinya sudah terbiasa dengan angin malam di daerah pegunungan, tapi pernapasannya masih belum cukup baik dikuasainya saat dalam pertarungan bahkan meski cuma latihan. Sedang Bapak Ambu tampak baik-baik saja. Meski sedikit ngos-ngosan juga, tapi tak seburuk yang Ambu kira."Bapak dulu juga