Share

Dendam Kesumat

Author: Moonlae Dirla
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hoshh... hosh... 

Ambu terus berlari turun dari gunung dan masuk ke hutan yang sangat gelap itu meski sudah mulai kehabisan napas dan juga kedinginan. Paru-parunya bekerja lebih keras dari sebelumnya meski tangan kirinya sudah mulai mati rasa.

"Sialan! Siluman itu! Aku pasti akan membunuhnya! Bapak, ibu! Maafkan aku! Aku tidak berguna dan justru lari seperti pecundang!" teriak Ambu memecah keheningan hutan disertai dengan tangisan.

Koin emas yang diwariskan oleh bapaknya, Ambu simpan baik-baik di dalam bajunya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat besi satunya yang masih berada di luar rumah. Ambu merasa dirinya akan sedikit aman jika membawa sebuah senjata. Ambu juga tak tahu kalo dirinya sedang dikejar oleh puluhan tuyul.

Beberapa menit berlalu, stamina Ambu mulai melemah. Dirinya sudah mulai merasa lelah karena berlari dengan membawa tongkat besi yang lumayan berat. Meski tangisnya sudah berhenti, tapi lubang besar di hatinya akan sulit ditutup. Hal itu sangat diuntungkan bagi para tuyul di belakang Ambu. Alhasil para tuyul itu hampir menyusul Ambu dan memenuhi misinya saat Ambu berhenti sejenak untuk mengatur napas.

"Apa-apaan ini?! Jadi benar ada yang mengejarku!" batin Ambu setelah mendengar suara langkah kaki yang banyak di belakangnya.

"Aku harus segera lari kembali! Percuma saja kalo aku tertangkap di sini! Pengorbanan bapak dan ibu hanya akan sia-sia saja," pikir Ambu lantas berancang-ancang untuk berlari lagi.

Para tuyul yang seperti goblin itu terus saja mengejar Ambu hingga masuk ke bagian hutan paling dalam. Cuma cahaya rembulan dan bintang malam yang menerangi hutan.

"Aku sungguh tidak kuat lagi berlari. Apa aku harus melawan mereka juga, ya? Tapi percuma saja. Saat di hadapan siluman yang tadi pun aku tak bisa bertindak apa-apa! Sial!" recok Ambu dengan napas tersengal-sengal. Dirinya kini berhenti dari larinya.

Ambu mulai merasakan kepalanya pusing tujuh keliling. Pijakan kakinya pun serasa lemas lunglai. Pandangan matanya mulai kabur dan tubuhnya pun gontai.

"Tidak... aku harus bisa kabur dari hutan ini dan memenuhi wasiat bapak. Aku tidak boleh tak sadarkan diri di sini," lirih Ambu masih berusaha menjaga matanya agar tetap terbuka.

Meski Ambu sudah merasa tubuhnya yang lemah itu akan tersungkur, namun dengan segenap kekuatannya Ambu tetap mempertahankannya. Hingga sampailah para tuyul itu berhasil menyusul remaja yang tengah berkecamuk dengan perasaannya itu.

"Knk bch pnkt!" ucap si pimpinan tuyul dengan bahasa mereka sendiri setelah melihat Ambu.

"Tgkp dy dn bw k T.Ptr psknk!" perintah si pimpinan. Para tuyul itu pun segera menuruti perintahnya.

Tuyul berukuran 60-120 cm yang berjumlah 30 itu langsung menyerbu Ambu secara bersamaan. Ambu yang melihat hal tersebut langsung bereaksi dengan mengayunkan tongkat besinya ke sana ke mari untuk menghalau para tuyul.

Suhu tubuh Ambu seketika mendidih dan peluh pun berceceran mulai dari keningnya sampai jatuh ke tanah. Tangan kirinya yang tadi sangat mati rasa karena dinginnya udara malam di hutan, kini sudah bisa digerakkan lagi.

Pemimpin tuyul hanya berdiri tak jauh dari Ambu berada. Terpaksa Ambu yang berniat lari malah meladeni tuyul-tuyul yang terus berdatangan padanya. 4 sampai 5 tuyul berhasil Ambu tumbangkan, namun jumlah yang sama kembali datang padanya. Ditambah lagi tuyul tersebut tidak langsung mati karena ayunan tongkat Ambu tidak terlalu kuat untuk membuat para tuyul itu pingsan bahkan mati.

"Matilah! Matilah kalian, Siluman Jahat!" umpat Ambu hingga tak terasa air matanya mulai mengalir bercampur kemurkaan saat dia mengayunkan tongkat besinya.

"Cpt tgkp dy!" perintah si pimpinan tuyul.

10 tuyul yang masih ada di belakang dengan segera mengarah ke Ambu. Para tuyul lainnya yang sudah tumbang pun bangkit kembali dan hendak menangkap Ambu juga.

"Gawat! Mereka semakin banyak! Aku tak mungkin sanggup melawan mereka semua! Semuanya akan berakhir jika aku tertangkap di sini!" pikir Ambu untuk tetap berusaha tenang.

Tanpa pikir panjang lagi Ambu langsung angkat kaki dari tempatnya semula dan kembali berlari dengan harapan ada yang menolongnya.

Hutan dengan pepohonan yang lebat dan besar itu sungguh mengerikan saat malam hari. Para tuyul berwarna hijau dengan matanya yang merah serta badan kecil menambah kesan menakutkannya hutan. Belum lagi hewan-hewan buas yang tak bisa diterka kapan munculnya.

Entah kenapa Ambu masih kuat berlari saat itu, namun tetap saja itu tidak akan mengubah hasil yang sudah bisa diperkirakan. Hanya selang beberapa langkah kaki saja, Ambu terjatuh. Kakinya sungguh tak bisa diajak lari lebih lama lagi.

"Ah! Sial! Ayolah kaki! Berdirilah!" pekik Ambu setinggi langit sembari memukul kakinya. Sesekali Ambu melirik ke belakang dan melihat para tuyul itu hampir berhasil menangkapnya untuk ke sekian kali. Perlahan untuk kedua kalinya karena tenaga Ambu betul-betul sudah terkuras, pandangan matanya buyar. Tangan yang tadinya menggenggam sebuah tongkat besi dengan kuat juga mulai melemah dan tongkat pun mencium tanah sepenuhnya.

"Ah... apa ini akhirnya untukku? Bapak, ibu, maaf tidak bisa memenuhi wasiat kalian berdua. Andai saja sejak dulu aku tidak malas untuk berlatih, jika hal seperti ini terjadi pastinya aku akan lebih berguna dari pada hanya bisa lari saja," batin Ambu sesaat sebelum matanya tertutup rapat dan hanya bisa memandangi tuyul yang sudah sangat dekat padanya untuk terakhir kali.

Ambu juga masih bisa melihat dengan samar kalo seorang tuyul berhasil meraih kakinya. Beberapa tuyul yang lain pun mendekatinya juga untuk membawanya ke Putri Siluman. Beberapa lagi berusaha merogoh pakaian Ambu untuk mencari keberadaan koin emas yang di bawa anak itu. 

Tawa nyaring sang Putri Siluman yang menggema di tengah hutan pun terdengar jelas oleh telinga Ambu. Remaja itu sangat tahu apa yang akan terjadi padanya saat dirinya tertangkap.

“Di mana kau bocah penakut?! Aku pasti akan merebut koin emas itu darimu!”

Suara si Putri Siluman semakin dekat. Dengan arahan dari beberapa tuyul yang ada di hutan itu, si Putri Siluman pun akhirnya melihat keberadaan Ambu dari kejauhan. Senyum culas terukir jelas di bibir siluman yang berparas wanita cantik itu. Tak ketinggalan pula tawa nyaring kembali memecah keheningan di tengah hutan.

Namun tiba-tiba saja...

Rawwrrrrr!!! Rawrr!!!!

Sekujur tubuh Ambu yang sudah tak berdaya hanya bisa meratapi nasibnya yang malang. Tatapannya nanar ke arah langit malam yang semakin pekat dengan awan hitam yang menggumpal. Rasa dendam kesumat yang membara sebelumnya seakan lenyap seketika. Untuk menggerakkan tangan dan kakinya saja dia sudah tidak sanggup. Hanya terdengar suara degupan jantung yang mulai melemah dirasakannya. "Ah... tampaknya mati karena dimakan singa lebih baik dari pada dimakan siluman laknat!"

Related chapters

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Lima Bandit Berewokan

    Suara arungan seekor singa terdengar tepat beberapa detik sebelum akhirnya Ambu menutup mata. Ambu Radul pun pingsan di hutan karena kehabisan tenaga. Ambu mengira kalo riwayatnya sudah tamat. Namun nyatanya, keesokan harinya Ambu masih bisa membuka lebar kedua matanya itu."Di mana aku?" tanya Ambu pada dirinya sendiri seraya bangkit dari posisinya yang semula telentang.Semburat sinar mentari menghangatkan tubuh yang hampir sepenuhnya dingin. Pandangan Ambu mengamati sekitar dan tahulah Ambu bahwa dirinya berada di sebuah pasar yang baru buka pagi itu. Banyak orang lalu lalang dan hanya memandangi Ambu yang berpakaian lusuh layaknya gelandangan. Hiruk pikuk meramaikan suasana di pasar."Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku masih hidup?" pikir Ambu memegangi kepalanya yang terasa pusing.Sedikit demi sedikit Ambu ingat akan kejadian yang dialaminya semalam. Ingatannya terputus saat dirinya jatuh pingsan dan mendengar suara auman singa yang keras."Betul juga! Apa mungkin sang sin

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Botak

    Tejo mengisyaratkan dengan lirikan matanya pada seorang anak buahnya untuk mengecek keadaan rekannya yang telah tumbang itu. Seorang bandit yang berada di sampingnya langsung menurut dan menghampiri tubuh si rekan yang juga mengenakan baju berwarna cokelat."Dia sudah mati," ucap si bandit berpakaian cokelat beberapa saat setelah mengecek keadaan rekannya.Merasa geram dan dipermainkan oleh seseorang, Tejo mengeluarkan bentakan yang sangat lantang. Dirinya yang memang lumayan jago di dunia persilatan saat itu menjadi murka."Orang gila siapa yang membunuh rekanku dan berani mencari mati denganku, keluarlah!!"Tiga kali Tejo berteriak seperti itu. Namun setelah ditunggu agak lama tetap tak ada seorang pun yang memunculkan diri."Apa mungkin bocah ini yang melakukannya?" terka seorang anak buah Tejo berpakaian abu-abu.Tejo melirik ke arah Ambu berada. Ambu masih tetap tak sadarkan diri dengan tubuh yang babak belur penuh luka dan lebam."Tak mungkin. Pasti ada seseorang yang juga berad

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat

    "Apa-apan dia itu?! Kenapa sikapnya sangat berlawanan sekali dengan yang tadi! Apa kita salah orang?" tanya si anak gondrong pada temannya."Dasar bodoh! Dia masih tetap anak yang tadi!" hardik si anak perempuan."Emm.. tapi aneh sekali. Saat bertarung tadi, dia seakan kesurupan dan sikapnya pun sungguh aneh. Tapi sekarang si anak botak itu sangat bersahabat sekali dengan anak itu," pikir si anak perempuan keheranan sendiri dengan perubahan sikap Sibo.Dua anak yang sedari tadi masih berada di atap sebuah rumah masih saja mengintai. Mereka berdua juga mengetahui dengan jelas apa yang terjadi saat Ambu tak sadarkan diri. Si anak gondrong teramat sangat ingin turun dan menemui Ambu yang bersama Sibo. Tapi berulang kali pula rekannya yang anak perempuan cantik itu menghalangi bahkan melarangnya."Sepertinya kita memang harus turun dan menemui mereka berdua," saran si gondrong."Jangan dulu. Misi kita sudah gagal karena ulahmu yang sembrono!" bentak si anak perempuan menyalahkan si gondro

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat (Bagian 2)

    Dua orang bandit yang melihat hal tersebut juga langsung bersiaga dengan mencabut celurit mereka masing-masing. Di tempat Ambu, si pimpinan bandit alias Tejo langsung tersentak dan bangkit dari duduk manisnya. Sementara itu, Sibo dengan mata yang hanya warna putihnya saja yang kelihatan, tengah berdiri tegap di belakang Parjo.Tanpa pikir panjang lagi, kini dua bandit berbaju abu-abu ikut membantu Parjo dan mengayunkan celuritnya ke arah Sibo dari belakang. Sibo dengan mudahnya menghindari serangan itu meski tak melihat gerakan dua orang itu di belakang punggungnya. Sibo melompat lalu menendang punggung Parjo sebagai pijakan untuk membuatnya melayang di udara lebih tinggi lagi.Dua bandit berbaju abu-abu kaget bukan kepalang dengan gerakan Sibo. Mereka sebelumnya tak menyangka bocah botak itu bisa melawan.Kini giliran Sibo menyerang. Dia yang tadi berhasil mengelak dari tebasan dua celurit dari belakang dengan terbang di udara sekarang sudah berpijak lagi ke tanah. Sibo menendang sala

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Gondrong

    Sibo terdorong cukup jauh dari tempatnya akibat tendangan Tejo. Tak mau kehilangan kesempatan, dua orang berbaju abu-abu bernama Gono dan Renggo menyabetkan celurit mereka masing-masing. Sibo terenyak dan hampir saja tertebas celurit mereka berdua. Namun dengan cepat Sibo mengentakkan kedua kakinya dengan kuat dan melayang ke udara.Sabetan dua celurit itu hanya mengenai angin kosong. Gono dan Renggo terkejut bukan kepalang saat bocah botak itu melayang di atas kepala mereka. Sibo pun langsung saja menendang dengan keras batok kepala Gono dan Renggo bergantian menggunakan kaki kanan dan kirinya. Gono dan Renggo terpental bersama dengan celurit mereka dan tersungkur ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri dengan batok kepala yang sudah bocor. Sibo sendiri menapakkan kedua kakinya lagi ke tanah.Sementara itu, Tejo yang tadi hanya melihat hal itu sembari rehat sejenak semakin dibuat geram. Tejo gerutukan gigi-giginya dengan tangan yang makin kokoh menggenggam goloknya. Sibo yang sudah

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Menuju Desa Renggowa

    "Pertarunganmu dengan keempat bandit berewok itu sungguh mengesankan! Aku kagum dengan hal itu, Sibo! Di mana kau belajar ilmu silat dan dari mana asalmu? Aku sungguh penasaran! Kalo kita berdua bertarung, kira-kira siapa yang akan jadi pemenangnya nanti? Ayo kita bertarung sekarang, Sibo! Aku sungguh tak sabar dengan hasilnya!" kata Gon panjang lebar mengutarakan pikirannya yang sedari tadi terbendung."Aku tak paham dengan apa yang kaubicarakan. Tapi bisa tolong lepaskan tanganku? Aku merasa risih dengan hal itu," ujar Sibo tersendat-sendat seakan kehabisan napas. Seketika Gon pun melepaskan tangannya dari tangan Sibo."Oh, maafkan aku. Aku betul-betul gembira bisa bertemu dengan orang seperti kalian. Aku ingin menjadi teman kalian!" ucap Gon yang kini mengutarakan keinginannya."Tunggu sebentar, kau bilang tadi kalo Sibo yang sudah mengalahkan empat bandit sisanya? Dan juga kau sendiri sedari tadi mengucapkan kalo kau punya rekan yang tak mengizinkanmu mendekati kami. Di mana rekan

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Pembantaian di Malam Purnama

    Trang! Dua buah tongkat besi saling beradu. Tampak di halaman sebuah rumah saat kegelapan malam tiba dua orang lelaki tengah berlatih menggunakan tongkat besi yang panjang. Keduanya yakni seorang lelaki yang sudah berumur 40 tahun ke atas dengan kumis tebal melintang di bawah lubang hidungnya. Satunya lagi seorang remaja belasan tahun yang cukup tinggi dengan rambut pendek dan bertelinga lebar.Sementara Ambu dan pak Janaka berlatih dalam dinginnya angin malam, Ibu Ambu dan adik perempuannya melihat dari seberang pelataran rumahnya. Mereka berdua duduk di bangku yang terbuat dari bambu seraya menyiapkan minum untuk Ambu dan bapaknya saat telah selesai berlatih.Napas Ambu mulai tak beraturan. Walau dirinya sudah terbiasa dengan angin malam di daerah pegunungan, tapi pernapasannya masih belum cukup baik dikuasainya saat dalam pertarungan bahkan meski cuma latihan. Sedang Bapak Ambu tampak baik-baik saja. Meski sedikit ngos-ngosan juga, tapi tak seburuk yang Ambu kira."Bapak dulu juga

Latest chapter

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Menuju Desa Renggowa

    "Pertarunganmu dengan keempat bandit berewok itu sungguh mengesankan! Aku kagum dengan hal itu, Sibo! Di mana kau belajar ilmu silat dan dari mana asalmu? Aku sungguh penasaran! Kalo kita berdua bertarung, kira-kira siapa yang akan jadi pemenangnya nanti? Ayo kita bertarung sekarang, Sibo! Aku sungguh tak sabar dengan hasilnya!" kata Gon panjang lebar mengutarakan pikirannya yang sedari tadi terbendung."Aku tak paham dengan apa yang kaubicarakan. Tapi bisa tolong lepaskan tanganku? Aku merasa risih dengan hal itu," ujar Sibo tersendat-sendat seakan kehabisan napas. Seketika Gon pun melepaskan tangannya dari tangan Sibo."Oh, maafkan aku. Aku betul-betul gembira bisa bertemu dengan orang seperti kalian. Aku ingin menjadi teman kalian!" ucap Gon yang kini mengutarakan keinginannya."Tunggu sebentar, kau bilang tadi kalo Sibo yang sudah mengalahkan empat bandit sisanya? Dan juga kau sendiri sedari tadi mengucapkan kalo kau punya rekan yang tak mengizinkanmu mendekati kami. Di mana rekan

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Gondrong

    Sibo terdorong cukup jauh dari tempatnya akibat tendangan Tejo. Tak mau kehilangan kesempatan, dua orang berbaju abu-abu bernama Gono dan Renggo menyabetkan celurit mereka masing-masing. Sibo terenyak dan hampir saja tertebas celurit mereka berdua. Namun dengan cepat Sibo mengentakkan kedua kakinya dengan kuat dan melayang ke udara.Sabetan dua celurit itu hanya mengenai angin kosong. Gono dan Renggo terkejut bukan kepalang saat bocah botak itu melayang di atas kepala mereka. Sibo pun langsung saja menendang dengan keras batok kepala Gono dan Renggo bergantian menggunakan kaki kanan dan kirinya. Gono dan Renggo terpental bersama dengan celurit mereka dan tersungkur ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri dengan batok kepala yang sudah bocor. Sibo sendiri menapakkan kedua kakinya lagi ke tanah.Sementara itu, Tejo yang tadi hanya melihat hal itu sembari rehat sejenak semakin dibuat geram. Tejo gerutukan gigi-giginya dengan tangan yang makin kokoh menggenggam goloknya. Sibo yang sudah

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat (Bagian 2)

    Dua orang bandit yang melihat hal tersebut juga langsung bersiaga dengan mencabut celurit mereka masing-masing. Di tempat Ambu, si pimpinan bandit alias Tejo langsung tersentak dan bangkit dari duduk manisnya. Sementara itu, Sibo dengan mata yang hanya warna putihnya saja yang kelihatan, tengah berdiri tegap di belakang Parjo.Tanpa pikir panjang lagi, kini dua bandit berbaju abu-abu ikut membantu Parjo dan mengayunkan celuritnya ke arah Sibo dari belakang. Sibo dengan mudahnya menghindari serangan itu meski tak melihat gerakan dua orang itu di belakang punggungnya. Sibo melompat lalu menendang punggung Parjo sebagai pijakan untuk membuatnya melayang di udara lebih tinggi lagi.Dua bandit berbaju abu-abu kaget bukan kepalang dengan gerakan Sibo. Mereka sebelumnya tak menyangka bocah botak itu bisa melawan.Kini giliran Sibo menyerang. Dia yang tadi berhasil mengelak dari tebasan dua celurit dari belakang dengan terbang di udara sekarang sudah berpijak lagi ke tanah. Sibo menendang sala

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Satu Lawan Empat

    "Apa-apan dia itu?! Kenapa sikapnya sangat berlawanan sekali dengan yang tadi! Apa kita salah orang?" tanya si anak gondrong pada temannya."Dasar bodoh! Dia masih tetap anak yang tadi!" hardik si anak perempuan."Emm.. tapi aneh sekali. Saat bertarung tadi, dia seakan kesurupan dan sikapnya pun sungguh aneh. Tapi sekarang si anak botak itu sangat bersahabat sekali dengan anak itu," pikir si anak perempuan keheranan sendiri dengan perubahan sikap Sibo.Dua anak yang sedari tadi masih berada di atap sebuah rumah masih saja mengintai. Mereka berdua juga mengetahui dengan jelas apa yang terjadi saat Ambu tak sadarkan diri. Si anak gondrong teramat sangat ingin turun dan menemui Ambu yang bersama Sibo. Tapi berulang kali pula rekannya yang anak perempuan cantik itu menghalangi bahkan melarangnya."Sepertinya kita memang harus turun dan menemui mereka berdua," saran si gondrong."Jangan dulu. Misi kita sudah gagal karena ulahmu yang sembrono!" bentak si anak perempuan menyalahkan si gondro

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Si Bocah Botak

    Tejo mengisyaratkan dengan lirikan matanya pada seorang anak buahnya untuk mengecek keadaan rekannya yang telah tumbang itu. Seorang bandit yang berada di sampingnya langsung menurut dan menghampiri tubuh si rekan yang juga mengenakan baju berwarna cokelat."Dia sudah mati," ucap si bandit berpakaian cokelat beberapa saat setelah mengecek keadaan rekannya.Merasa geram dan dipermainkan oleh seseorang, Tejo mengeluarkan bentakan yang sangat lantang. Dirinya yang memang lumayan jago di dunia persilatan saat itu menjadi murka."Orang gila siapa yang membunuh rekanku dan berani mencari mati denganku, keluarlah!!"Tiga kali Tejo berteriak seperti itu. Namun setelah ditunggu agak lama tetap tak ada seorang pun yang memunculkan diri."Apa mungkin bocah ini yang melakukannya?" terka seorang anak buah Tejo berpakaian abu-abu.Tejo melirik ke arah Ambu berada. Ambu masih tetap tak sadarkan diri dengan tubuh yang babak belur penuh luka dan lebam."Tak mungkin. Pasti ada seseorang yang juga berad

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Lima Bandit Berewokan

    Suara arungan seekor singa terdengar tepat beberapa detik sebelum akhirnya Ambu menutup mata. Ambu Radul pun pingsan di hutan karena kehabisan tenaga. Ambu mengira kalo riwayatnya sudah tamat. Namun nyatanya, keesokan harinya Ambu masih bisa membuka lebar kedua matanya itu."Di mana aku?" tanya Ambu pada dirinya sendiri seraya bangkit dari posisinya yang semula telentang.Semburat sinar mentari menghangatkan tubuh yang hampir sepenuhnya dingin. Pandangan Ambu mengamati sekitar dan tahulah Ambu bahwa dirinya berada di sebuah pasar yang baru buka pagi itu. Banyak orang lalu lalang dan hanya memandangi Ambu yang berpakaian lusuh layaknya gelandangan. Hiruk pikuk meramaikan suasana di pasar."Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Aku masih hidup?" pikir Ambu memegangi kepalanya yang terasa pusing.Sedikit demi sedikit Ambu ingat akan kejadian yang dialaminya semalam. Ingatannya terputus saat dirinya jatuh pingsan dan mendengar suara auman singa yang keras."Betul juga! Apa mungkin sang sin

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Dendam Kesumat

    Hoshh... hosh... Ambu terus berlari turun dari gunung dan masuk ke hutan yang sangat gelap itu meski sudah mulai kehabisan napas dan juga kedinginan. Paru-parunya bekerja lebih keras dari sebelumnya meski tangan kirinya sudah mulai mati rasa."Sialan! Siluman itu! Aku pasti akan membunuhnya! Bapak, ibu! Maafkan aku! Aku tidak berguna dan justru lari seperti pecundang!" teriak Ambu memecah keheningan hutan disertai dengan tangisan.Koin emas yang diwariskan oleh bapaknya, Ambu simpan baik-baik di dalam bajunya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat besi satunya yang masih berada di luar rumah. Ambu merasa dirinya akan sedikit aman jika membawa sebuah senjata. Ambu juga tak tahu kalo dirinya sedang dikejar oleh puluhan tuyul.Beberapa menit berlalu, stamina Ambu mulai melemah. Dirinya sudah mulai merasa lelah karena berlari dengan membawa tongkat besi yang lumayan berat. Meski tangisnya sudah berhenti, tapi lubang besar di hatinya akan sulit ditutup. Hal itu sangat diuntungkan bagi p

  • PENDEKAR PEMBASMI SILUMAN   Pembantaian di Malam Purnama

    Trang! Dua buah tongkat besi saling beradu. Tampak di halaman sebuah rumah saat kegelapan malam tiba dua orang lelaki tengah berlatih menggunakan tongkat besi yang panjang. Keduanya yakni seorang lelaki yang sudah berumur 40 tahun ke atas dengan kumis tebal melintang di bawah lubang hidungnya. Satunya lagi seorang remaja belasan tahun yang cukup tinggi dengan rambut pendek dan bertelinga lebar.Sementara Ambu dan pak Janaka berlatih dalam dinginnya angin malam, Ibu Ambu dan adik perempuannya melihat dari seberang pelataran rumahnya. Mereka berdua duduk di bangku yang terbuat dari bambu seraya menyiapkan minum untuk Ambu dan bapaknya saat telah selesai berlatih.Napas Ambu mulai tak beraturan. Walau dirinya sudah terbiasa dengan angin malam di daerah pegunungan, tapi pernapasannya masih belum cukup baik dikuasainya saat dalam pertarungan bahkan meski cuma latihan. Sedang Bapak Ambu tampak baik-baik saja. Meski sedikit ngos-ngosan juga, tapi tak seburuk yang Ambu kira."Bapak dulu juga

DMCA.com Protection Status