Pendekar Buta berdiri tegak, meski tubuhnya terasa lelah setelah pertarungan yang panjang. Dia dapat merasakan energi kegelapan dari sosok berkerudung yang masih berdiri di depannya. Sri Langit di sampingnya juga terlihat kelelahan, tapi sorot matanya masih penuh semangat bertarung. Meskipun mereka berhadapan dengan kekuatan yang tidak pernah mereka duga, menyerah bukanlah pilihan.Sosok pemimpin Bayangan Hitam itu tertawa kecil, suaranya bergema menembus kegelapan di sekitar mereka. “Kalian memang tangguh, tapi perlawanan kalian sia-sia. Kalian hanya menunda kehancuran yang tak terelakkan.”Sri Langit mencengkeram gagang pedangnya lebih erat. “Kita tidak akan menyerah!” serunya penuh keyakinan.“Seranganku belum berakhir,” gumam Pendekar Buta pelan, suara hatinya dipenuhi dengan tekad. Meskipun tidak dapat melihat, ia merasakan getaran halus dari energi musuh. Sejak pertarungan dimulai, ia fokus memperhatikan celah kecil yang tersembunyi dalam aliran kekuatan kegelapan itu. Dan kini,
Suasana di sekitar mereka terasa hening setelah pemimpin Bayangan Hitam terjatuh. Kabut yang tadi begitu pekat mulai memudar, dan udara terasa sedikit lebih ringan. Namun, baik Pendekar Buta maupun Sri Langit tidak merasa lega. Mereka tahu, kemenangan ini bukanlah akhir dari ancaman. Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai, tersembunyi di balik semua yang baru saja terjadi.Sri Langit menghampiri tubuh pemimpin Bayangan Hitam yang masih tergeletak di tanah. Dia menarik napas dalam-dalam, matanya meneliti setiap detail sosok yang terbungkus jubah hitam. “Siapa dia sebenarnya?” tanyanya pelan, meski ia tak berharap ada jawaban yang mudah.Pendekar Buta tetap diam, tongkatnya terpegang erat di tangannya. Ia tidak bisa melihat, tapi seluruh inderanya tetap terjaga, mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka. “Ada sesuatu yang salah,” gumamnya pelan.Sri Langit menatapnya dengan penuh tanya. “Apa maksudmu?”Pendekar Buta berjalan pelan ke arah pemimpin Bayangan Hitam yang kini tak lagi b
Pertarungan di sekitar mereka semakin mencekam. Sosok bayangan besar itu melayang-layang di atas tanah, sementara udara semakin berat dengan energi kegelapan yang meresap. Pendekar Buta berdiri tegak, mencengkeram tongkatnya erat-erat. Ia tahu ini adalah ujian terberat dalam hidupnya. Di sisinya, Sri Langit, meski gemetar, bersiap dengan pedangnya, sorot matanya menunjukkan bahwa ia siap bertarung hingga akhir.Sosok bayangan besar itu menatap mereka dengan mata merah menyala. “Kalian berani melawan kegelapan abadi? Kalian hanya akan menjadi korban berikutnya,” suaranya menggema di seluruh medan pertarungan. Setiap kata yang diucapkan menggetarkan tanah, membuat batu-batu di sekitar mereka terpecah.Pendekar Buta tidak menanggapi. Sebaliknya, ia fokus mendengarkan suara-suara halus di sekitarnya, merasakan energi yang mengalir dalam bayangan. Di dalam kegelapan, ada pola, dan dalam pola itu, dia bisa menemukan celah. Itulah caranya selama ini menghadapi musuh yang tampaknya tak terkal
Setelah sosok bayangan besar itu lenyap, suasana menjadi hening. Hanya angin malam yang lembut meniupkan dedaunan di sekitar mereka. Meski pertempuran sudah usai, rasa tenang tidak sepenuhnya hadir di hati Pendekar Buta dan Sri Langit. Keduanya masih merasakan bahwa ada sesuatu yang belum selesai.Pendekar Buta berdiri di tengah medan yang berantakan. Tongkatnya ia tancapkan ke tanah, membiarkan dirinya menikmati jeda sejenak setelah pertarungan yang sangat melelahkan. Di sisinya, Sri Langit tampak termenung, menatap tanah yang hancur akibat serangan-serangan dahsyat tadi. Keringat masih menetes di dahinya, tapi sorot matanya tajam, seakan-akan sedang mencari sesuatu di kejauhan.“Aku tak bisa percaya semuanya berakhir seperti ini,” gumam Sri Langit pelan, suaranya hampir tidak terdengar.Pendekar Buta menoleh sedikit ke arah sumber suara itu. Meski tidak bisa melihat, ia tahu persis apa yang sedang dirasakan Sri Langit. “Tidak ada yang benar-benar berakhir, Langit. Ini hanya awal dar
Pendekar Buta dan Sri Langit berjalan perlahan meninggalkan lembah yang sebelumnya menjadi medan pertempuran sengit. Keduanya tidak berbicara banyak, hanya ditemani oleh suara angin dan gemerisik dedaunan di sekitar mereka. Pikiran mereka masih tertuju pada bayangan besar yang berhasil mereka kalahkan, tapi kekhawatiran tentang ancaman yang lebih besar mulai menggantung di benak mereka.“Kita mau ke mana sekarang?” tanya Sri Langit memecah keheningan, suaranya terdengar sedikit lelah namun penuh rasa ingin tahu.“Kita harus menemukan jejak yang ditinggalkan Bayangan Hitam,” jawab Pendekar Buta. “Aku percaya ada seseorang atau sesuatu yang mengetahui lebih banyak tentang mereka. Kita harus mencari orang itu.”Sri Langit terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Apakah kau tahu di mana kita bisa mulai mencari?”“Ada satu tempat,” jawab Pendekar Buta pelan. “Gerbang Rahasia di balik Pegunungan Senja. Legenda mengatakan bahwa siapa pun yang melewati gerbang itu bisa menemukan kebenaran tentang
Penjaga Gerbang Rahasia berdiri tegak di hadapan Pendekar Buta dan Sri Langit, tubuhnya yang besar dan kokoh seperti bagian dari gua itu sendiri. Setiap gerakannya seolah mengguncang bumi, dan kilatan matanya yang merah seperti bara api membuat suasana semakin tegang.“Kalian yang berani melewati Gerbang Rahasia, harus membuktikan diri. Jika kalian layak, maka kalian bisa melanjutkan perjalanan. Jika tidak, kalian akan menjadi bagian dari gua ini selamanya,” suara Penjaga itu dalam dan berat, seperti suara dari zaman kuno.Pendekar Buta tetap tenang, meskipun ia tahu bahwa pertarungan ini akan berbeda dari yang pernah ia hadapi sebelumnya. Ia merasakan energi luar biasa yang terpancar dari Penjaga itu, kekuatan yang jauh melampaui musuh-musuh biasa. Di sisinya, Sri Langit menghunus pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang nyata di depan mereka.“Apakah kau siap?” tanya Sri Langit dengan suara pelan, meski ketegangan jelas terdengar di balik keberaniannya.Pendekar Buta mengangguk pe
Setelah berhasil melewati ujian pertama, suasana di dalam gua mulai tenang kembali. Pendekar Buta dan Sri Langit saling bertukar tatapan, keduanya merasa lega, tetapi kesadaran akan ujian yang masih tersisa menimbang pikiran mereka. Penjaga Gerbang Rahasia berdiri tegak, siap untuk menguji mereka lagi.“Kalian telah menunjukkan keberanian untuk menghadapi ketakutan kalian,” kata Penjaga itu, suaranya menggema di dinding gua. “Sekarang, saatnya untuk ujian kedua—ujian kebijaksanaan.”Pendekar Buta merasakan ketegangan di udara. Ujian kebijaksanaan biasanya lebih sulit, karena melibatkan kemampuan untuk berpikir jernih di tengah kekacauan. Ia tidak bisa membiarkan Sri Langit goyah dalam ujian ini.Penjaga Gerbang melanjutkan, “Kau akan diberikan pertanyaan yang harus dijawab dengan bijaksana. Jawaban yang salah akan membuat kalian terjebak selamanya dalam gua ini.”Ketika kata-kata itu selesai, bayangan mulai berputar di sekitar mereka. Di depan mereka, tampak gambar-gambar simbolik yan
Ketika Pendekar Buta dan Sri Langit melangkah ke dalam portal bercahaya, dunia di sekitar mereka berubah secara dramatis. Mereka kini berada di sebuah lembah yang indah, dikelilingi oleh gunung-gunung megah dan ladang bunga yang berwarna-warni. Suasana cerah dan menenangkan, tetapi ada sesuatu yang aneh. Meski indah, lembah ini terasa seperti sebuah ilusi—tropis dan menawan, namun mengandung ketegangan yang tidak terungkap.“Di mana kita?” tanya Sri Langit, memandang sekeliling dengan mata terbelalak.“Aku tidak tahu,” jawab Pendekar Buta. “Tapi ini mungkin adalah dunia yang mencerminkan keinginan dan harapan kita.”Tiba-tiba, suara lembut menggema di udara, “Selamat datang di Ujian Hati. Di sini, setiap keinginan dan kerinduan kalian akan muncul dalam wujud yang nyata. Hati kalian akan diuji, dan hanya dengan ketulusan dan keberanian, kalian dapat kembali ke dunia nyata.”Suara itu menimbulkan gelombang ketegangan di dalam diri mereka. Pendekar Buta merasa detak jantungnya berdengung