Bab 4. WULANSARI
Ki Dalang Suryo, ayah Narendra menatap dengan sorot mata kebingungan saat putranya meminta restu padanya untuk menikahi Wulansari, putri dari Ki Sudarma seorang dalang yang dulu sangat terkenal, namun sudah beberapa tahun terakhir seolah telah mengasingkan diri, karena sudah sangat lama tak lagi terdengar penampilannya membawakan kisah perwayangan.
"Lalu bagaimana dengan Suminar, Ngger? Bukankah dulu, kamu sendiri yang mendatangiku untuk meminta ijin menikahinya? Bagaimana dengan bayi yang baru dilahirkannya?"
"Kami sudah bicara, Pak. Dia wanita yang sangat mengerti kebutuhanku. Dia tidak akan menahan langkahku, toh semua ini kulakukan untuk masa depan kami, masa depan Lintang. Putriku harus mendapatkan yang terbaik. Meskipun ada yang harus dikorbankan di awal, tapi Suminar dapat mengerti." jawab Narendra. "Kami sudah membuat kesepakatan sebelum Minar melepaskan saya!"
"Kesepakatan?"
"Nggih, Pak. Saya berjanji untuk tetap menjamin hidup Lintang, walaupun saya sudah menalak Suminar. Karena Lintang itu masih menjadi tanggung jawab saya!"
"Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ngger? Karena kulihat kamu sudah berbahagia dengan Suminar. Apalagi dengan calon istrimu itu, kamu belum terlalu mengenali perwatakannya. Bagaimana jika ternyata nanti kau merasa tidak cocok dengannya? Hidupmu tidak akan bahagia nanti!"
"Hanya dengan menikahinya, saya dapat meraih impian saya, Pa! Keputusan saya sudah bulat. Saya ingin menjadi dalang yang misuwur. Yang dikenal dan disegani. Tentunya saya harus memperoleh ilmu dari guru yang tepat. Yaitu bapaknya Wulansari. Ki Sudarma!" jawab Narendra tegas
"Bukankah Bapak dan Kakek juga menginginkan hal itu? Kita memiliki cita-cita yang sama. Kebetulan saya yang memiliki kesempatan."
Ki Dalang Suryo terdiam untuk beberapa saat. Yah tentu saja, memangnya orang tua mana yang tidak ingin anaknya menjadi orang sukses yang membanggakan? Kedisiplinan yang ia dan ayahnya terapkan dalam menggembleng Narendra sedari kecil memang bertujuan untuk kesuksesannya di masa depan.
Dan sekarang, saat ada orang yang bisa memberi ilmu yang lebih dari yang bisa diberikannya meskipun untuk itu harus ada yang dikorbankan, mengapa tidak? Toh pengorbanan yang ada tidaklah sia-sia. Semua juga tahu, tak ada yang gratis di dunia ini jika itu berhubungan dengan sesama manusia. Hanya alam semesta saja yang dapat memberi dengan cuma-cuma.
"Baiklah, tolong kamu ingat pesanku ini, Ngger! Jika kamu sudah menetapkan hatimu untuk melangkah, maka melangkahkan dengan benar. Tuntaskan semua kewajibanmu sehingga tidak ada ganjalan yang merintangi langkahmu!" pesan Ki Dalang Suryo setelah memahami apa yang diidamkan putra tumpuan harapannya itu.
Narendra mengangguk mengerti.
"Katakan pada Suminar, saat bayinya sudah bisa ditinggal, ia boleh bergabung untuk menyinden lagi di sini. Agar dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya bersama ibu dan juga cucuku!"
Setelah memohon restu dan berpamitan, Narendra melanjutkan perjalanannya ke rumah Jernih Suminar untuk menemui mantan istri dan putrinya serta menyerahkan beberapa lembar uang yang tadi dititipkan ayahnya untuk diserahkan sebagai penopang sementara hidup istrinya selama ia belum bisa mencari nafkah setelah melahirkan.
***
Hari-hari berlalu, Narendra berusaha menjalani kehidupan baru sesuai pilihannya. Berumah tangga dengan Wulansari, sosok wanita yang memiliki watak bertolak belakang dengan Suminar.
Jika Suminar adalah wanita pendiam yang selalu nriman dan tak pernah neko-neko, maka Wulansari adalah sosok yang lebih lincah, manja dan keras kepala dengan wajahnya yang manis.
Wulansari juga termasuk wanita yang cerdas dan ambisius. Ia sangat gemar berdandan dan menyadari bahwa kelebihan yang dimilikinya adalah tubuh sintal yang menggiurkan hasrat lelaki yang memandangnya.
Penampilannya walaupun sederhana namun selalu terlihat apik. Dan kelebihan ini cukup membuat Narendra terkesan. Walaupun wajahnya tak secantik Suminar, tapi penampilannya yang selalu resik dan serasi memberikan nilai lebih pada dirinya.
Apalagi kepandaiannya dalam menyenangkan hati serta memberi kepuasan bagi Narendra. Membuat Narendra merasa cukup dapat mempertahankan biduk rumah tangganya yang baru ini hingga waktunya tiba ia kembali pada kekasih sejatinya Jernih Suminar.
Sesuai janjinya, setiap minggu ia selalu menyempatkan diri selama beberapa saat mengunjungi rumah Suminar untuk mengirimkan nafkah serta memantau perkembangan putri mereka, dan ia melakukannya atas ijin Ki Sudarma karena ia berjanji pada lelaki tua itu bahwa ia hanya melaksanakan kewajibannya menafkahi putrinya.
Untuk membuktikan kesungguhannya serta menghindarkannya dari fitnah, Narendra selalu mengajak abdi kepercayaan Ki Sudarma untuk mengawalnya saat mengunjungi Lintang Prameswari.
Namun, Wulansari yang sudah menaruh curiga pada suaminya itu, sekali waktu mengikuti dengan diam-diam kepergian suaminya yang saat berpamitan padanya mengatakan bahwa suaminya itu hendak mengunjungi Ki Sudarma, ayahnya.
Awalnya, Narendra memang pergi mengunjungi rumah ayahnya, tapi hanya untuk menjemput salah satu abdi yang bertugas merawat gamelan di rumah ayahnya itu, untuk selanjutnya mereka pergi mengunjungi rumah sinden cantik yang konon menurut berita yang didengarnya adalah mantan kekasih Narendra.
Betapa sakit hati Wulansari setelah mengetahui kenyataan itu. Apalagi menurut orang kepercayaan yang disuruhnya mengawasi Narendra melaporkan bahwa suaminya sangat sering mengunjungi rumah sinden itu.
Maka Wulansari pun mengadukan rasa sakit hati atas penghianatan suaminya itu pada Subandrio,teman mainnya sedari kecil yang ia ketahui telah menyimpan rasa cinta padanya sejak mereka masih sangat muda.
Sejak saat itu, mereka seringkali melakukan pertemuan rahasia saat Narendra sedang tidak di rumah. Apalagi, sejak berguru pada Ki Sudarma, pamor Narendra sebagai dalang juga semakin meningkat dan mulai dikenal sehingga seringkali Narendra harus pergi hingga ke luar daerahnya untuk memenuhi undangan untuk melakukan pagelaran wayang kulit. Kesibukan Narendra itu membuat Wulansari dan Subandrio semakin leluasa untuk bertemu.
Memanfaatkan perasaan cinta temannya itu, Wulansari mulai memasang perangkap melakukan apa saja termasuk memberi kepuasan agar dapat mempengaruhi Subandrio yang sangat memujanya itu untuk membalas sakit hatinya. Membiarkan lelaki itu mengira bahwa Wulansari juga memiliki rasa cinta yang sama bahkan mempermainkan perasaan lelaki yang tengah mabuk kepayang itu dengan mengatakan bahwa janin yang telah tumbuh di rahimnya adalah buah cinta kasih mereka.
Pada Subandrio, Wulansari mengaku akan tetap mempertahankan pernikahannya dengan Narendra hanya untuk menjadikannya sebagai sapi perah yang akan mengumpulkan harta sebanyak mungkin baginya sebagai bekal kehidupan mewah tanpa kerja keras dengan Subandrio kelak.
Tentu saja, akhirnya lelaki itupun terlena dan mau melakukan apa saja yang diminta Wulansari padanya. Termasuk untuk menyingkirkan sang sinden yang menurutnya berusaha menggoda sang penghasil harta.
Maka pada suatu malam, terjadilah peristiwa pembunuhan keji pada diri Jernih Suminar, sinden tercantik yang dilakukan oleh Subandrio dan teman-temannya. Mereka yang sedang mabuk setelah pesta arak yang disediakan Wulansari, melakukan pembunuhan keji itu dengan senang hati karena Subandrio mengijinkan mereka untuk menikmati tubuh sinden Suminar sampai puas sebelum menghabisinya, lalu membuang jasadnya ke sungai yang mengalir tak jauh dari tempat mereka menyergap Suminar.
***
Bab 5.Lelaki Yang Sangat Mencinta Ki Sudarma menatap tak percaya pada wanita yang tengah tertunduk dengan bahu terguncang oleh Isak tangis yang terdengar memilukan. "Aku sungguh-sungguh tak percaya kau bisa melakukan perbuatan sekeji itu, Wulan!" Wanita yang bersimpuh di depannya tak menjawab selain isaknya yang kian keras penuh penyesalan. "Ampuni aku, Bapak! Aku begitu marah saat mengetahui apa yang dilakukannya di belakangku. Ternyata selama ini ia masih sering menemui sinden itu!" isak Wulan mengadu. "Dia melakukannya atas seijinku. Kamu hanya cemburu padanya. Padahal ia hanya menjalankan kewajibannya yaitu menafkahi anak kandungnya. Seharusnya kamu mempercayainya. Aku yakin dia tidak akan bertindak di luar batas!" bantah Ki Sudarma. "Aku sangat mencintainya, Bapak! Aku tidak rela jika dia membagi perhatiannya pada wanita lain. Aku hanya i
Apapun Untuk Yang Dicinta "Sudah kulakukan apa yang harus kulakukan. Semuanya hanya untukmu. Untuk masa depan kita!' ujar lelaki itu seraya mengelus perut wanita pujaannya yang terlihat mulai mengembang diusia 4 bulan kehamilannya. "Ya. Aku sudah mendengarnya. Itu membuatku lebih tenang. Satu batu penghalang sudah disingkirkan. Kita bisa lanjutkan perjalanan dengan lebih nyaman. Meskipun harus lebih sabar karena butuh waktu untuk mencapai tujuan." tutur wanita di depannya dengan suara lembut. Batu yang didudukinya terasa basah oleh aliran air sungai, tapi ia tak perduli. Pun saat pakaian longgar yang membungkus tubuhnya juga sudah kuyup di bagian bawahnya. Ia hanya sedang menanti saat yang tepat. "Aku tak perduli, harus berapa lama lagi menunggumu dan bayi kita untuk bersatu! Aku akan selalu setia. Menjagamu dan bayi kita. Aku tidak akan rela membiarkanmu merasa takut dan khawat
Bab 7. SETELAH SEKIAN LAMA TERPISAH17 tahun berlalu...Jelang sore, Seorang gadis berparas cantik dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu yang tampak lusuh dipenuhi coretan pilox bahkan tas kain dan sebagian rambut panjangnya juga tak luput dari semprotan pilox warna oranye, tampak berdiri di depan gerbang besi setinggi hampir dua meter di pinggir jalan raya yang selalu tampak ramai lalu lintasnya, karena rumah mewah itu memang berada di tengah-tengah kota Kabupaten. Dari sela-sela jeruji gerbang ia dapat melihat sebuah bangunan rumah megah bertingkat di dalam pagar yang tampak sepi tak berpenghuni. Di halaman luas ia juga melihat sebuah truk besar dengan gambar gunungan wayang berwarana emas terlukis di bak papan berwarna dasar merah menyala, di sebelah truk, dan sebuah mobil sedan keluaran terbaru berwarna abu-abu metalik. Tepat di luar pagar, sebuah papan nama berukuran lumayan besar dengan tulisa
Lintang terbeliak tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya. Pandangannya seolah melekat pada sosok muda berwibawa dengan setelan resmi yang tengah berkonsentrasi pada ramainya lalu lintas di lajur jalan yang mereka lalui.Ayah kandungnya?? Lelaki yang terlihat masih berusia sekitar 23 - 25 tahun itu mengaku bahwa ia adalah ayah kandungnya. Sementara ia sendiri, beberapa bulan ke depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 18. Telinganya yang salah dengar apa otak lelaki itu yang sinting?Narendra melirik sorot tak percaya sekaligus bingung yang terpancar di mata putrinya yang melotot ke arahnya. Yah tentu saja. Tak ada satupun orang yang akan percaya jika ia mengaku telah berusia 43 tahun. Penampilannya memang terlihat seolah masih berusia 25 tahun.Tubuhnya seolah berhenti berproses untuk menua seiring usianya semenjak ia menelan mustika Panji Anom yang telah didapatkannya usai
Bab 9. Menemukan Jalan Untuk Pulang.Narendra segera memanggil pelayan rumah makan. Setelah meminta pelayan untuk membungkus semua pesanan yang nyaris tak tersentuh, membayar sekaligus memberi tip pada pelayan itu, Narendra mengajak Lintang keluar. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang, biar kamu tidak terlambat bekerja nanti!" ajak Narendra sebelah tangan menenteng tas berisi aneka makanan yang tadi mereka pesan, sementara tangan yang lain memeluk bahu Lintang, membimbingnya lembut keluar dari rumah makan yang tampak mulai terisi hampir disemua mejanya. Beberapa pasang mata mengunjung tampak memandang keduanya dengan pandangan ingin tahu dan bisik-bisik antar sesama pengunjung yang datang bersama setelah mereka mengenali sosok sang Dalang. "Baiklah, kemana aku harus mengantarmu?" tanya Narendra setelah mereka sudah berada dalam mobil dan bersiap untuk menj
Bab 10. NIGHT CLUBS STAR Jaya memasuki pelataran parkir sebuah bangunan ruko mewah di sudut kota. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi area parkir yang baru saja mereka masuki justru semakin padat. Beberapa motor dan mobil tampak mulai memadati area parkir. "Mau ke mana kita, Non?" tanya Jaya bingung saat dilihatnya Gendis sang putri majikan yang sudah bersiap-siap untuk turun dari sedan yang dikemudikannya. Lalu ia tergesa mengikuti langkah Gendis yang melenggang dengan stelan celana capri dan tanktop putih yang dilapisi jaket kulit hitam sepanjang pinggul yang menempel pas di tubuhnya. "Aku mau masuk ke sana, Jaya! Cuma aku, bukan kita. Kamu, tetap di mobil" perintah Gendis tanpa menoleh, kaki jenjangnya yang terbungkus boots kulit melangkah ringan diatas paving menuju salah satu ruko yang tampak temaram dengan minimnya penerangan. Tapi terlihat ramai oleh pengunjung.
Bab 11. LELAKI YANG BERBEDA Lintang berusaha menyelesaikan lagu terakhirnya dengan susah payah, setelah tanpa sengaja pandangan matanya beradu dengan pasangan muda-mudi yang tengah asyik berdansa dengan tubuh yang seolah melekat satu sama lain. Sang pemudi, adalah Gendis, teman satu sekolahnya yang sangat populer. Di samping karena wajahnya yang cantik dengan penampilannya yang modis, ia juga dikenal sebagai anak orang kaya raya yang selalu dikelilingi teman-temannya yang bertingkah bak dayang-datang baginya. Sementara pasangan dansanya adalah kakak kelas mereka yang dulu pernah menjabat sebagai ketua OSIS saat ia dan Gendis masih sama-sama duduk di kelas X, yang menurut informasi yang Lintang dengar, pasangan dansa Gendis itu adalah putra bungsu sang Bupati. Lintang selalu mengingat sosok itu walau dalam keremangan, karena sejak ia duduk di kelas XI, pemuda it
Bab 12. MALAIKAT BERWAJAH MENGERIKAN Lintang melanjutkan langkahnya saat saat ia yakin pengendara motor itu tidak lagi mengikutinya. Dilihatnya motor yang ditumpangi lelaki tak dikenalnya sudah berbelok di tikungan depan. Jalanan kembali sepi. Sambil menengok sekali lagi ke arah tikungan yang baru dimasuki pengendara motor itu, tikungan itu tampak gelap. Tak terlihat ada kendaraan lain yang lewat. Lintang yakin pengendara itu sudah berlalu, pergi entah ke mana. Lintang berjalan dengan langkah lebih lebar. Beberapa meter ke depan ia akan menemukan lahan kosong lagi, dan di sana keadaan akan lebih gelap, karena sinar lampu jalan terhalang kerimbunan pohon besar yang tumbuh menjulur dari dalam lahan kosong itu yang melewati dinding pagar. Kata orang, lahan kosong itu dulunya adalah bekas gudang milik pabrik bir yang sudah lama tak terpakai. Karena pabrik dipindahkan ke
Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer jaraknya dari pesisir pantai tempat Gendis dan Jaya menghabis kan waktu untuk menghibur diri, Wulansari pun tengah menikmati malam panasnya bersama seorang pemuda tampan dengan tubuh terpahat indah hasil latihan rutin selama beberapa waktu di pusat kebugaran yang kini mulai marak dibangun di kota kabupaten tempat tinggalnya.Pemuda dengan paras dan bentuk tubuh yang selalu akan membuat wanita merasa bergairah saat bersama itu adalah yang Wulansari sebut sebagai mainan barunya, yang akhir-akhir ini telah membuatnya melayang dan melupakan keberadaan Jaya yang sudah sejak beberapa tahun lalu menghangatkan ranjang tidurnya.Semenjak berkenalan dengan pemuda itu di sebuah pusat kebugaran yang ia datangi bersama seorang teman perias yang tampaknya sudah lebih dahulu mengenal kisah indah yang lain di balik suramnya kisah pernikahan sah yang sudah mereka jalani sebelumnya.Wulansari merasa seperti menemukan surganya yang baru setelah mengenal dan memp
Menuruti kemauan Gendis yang masih saja terlihat murung selama perjalanan, Jaya mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke daerah pesisir yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari tengah kota kabupaten tempat tinggal mereka."Kenapa nyari tempat bersedihnya mesti ke pantai sih Non, kan jauh? Kenapa kita gak pergi ke puncak saja? Cukup setengah jam perjalanan. Gak capek, gak bosan di jalan..?""Jaya... Diam! Kamu cuma sopir, aku majikannya! Jadi jangan banyak protes, aku mau ke pantai sekarang juga!" bentak Gendis kesal wajah sedihnya seketika berubah judes dengan pandangan mata melotot ke arah Jaya.Sambil menelan ludah, akhirnya Jaya mengangguk juga. Selama beberapa saat pandangannya hanya lurus terfokus di jalanan yang mulai sepi meninggalkan keramaian kota jauh di belakang mereka. "Sepi sekali... boleh setel musik kan, Non?" tanyanya memecah kebisuan.Beberapa detik tak ada jawaban. Jaya melirik ke kursi samping yang diduduki Gendis. Dari sudut matanya ia melihat gadis itu terliha
Tanpa terasa, tibalah hari yang sudah dinantikan Narendra, yaitu hari Ulang tahun Lintang yang ke 19.Jam 11 pagi, sesuai dengan jadwal acara yang sudah diatur oleh Narendra dengan bantuan Wage dan beberapa orang temannya, acara tasyakuran untuk memperingati hari kelahiran Lintang sengaja di adakan di rumah makan langganan tempat kejadian kericuhan beberapa hari sebelumnya.Untuk acara ini Narendra juga mengundang keluarga Bupati dan beberapa orang penting yang sudah sangat akrab dengan Ki Dalang Narendra, juga Kepala Desa dan tim pengacara dari firma hukum yang ia sewa. Selebihnya adalah teman-teman Lintang.Karena pada acara itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi tentang kejadian memalukan beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan berita tak sedap dan menghebohkan itu menjadi tajuk utama di hampir seluruh koran terbitan lokal dan nasional sehingga Narendra dengan bantuan tim pengacaranya juga mengundang banyak wartawan di acara tersebut.Tepat di jam setengah 12 siang, pada saat
Atas pesan Narendra yang sekarang tinggal bersamanya, Lintang mengantarkan sendiri minuman dan suguhan untuk tamu ayahnya itu ke ruang kerja ayahnya.Dua orang tamu dengan setelan resmi tampak duduk berseberangan dengan Narendra. Ketiganya tampak berbicara serius mengenai hal-hal yang berhubungan dengan legalitas hukum. Lintang sudah hampir keluar dari ruangan ayahnya setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat dan camilan ringan, ketika Narendra menghentikan langkahnya dan menyuruhnya untuk berdiri di dekat kursi yang ia duduki."Ini putri kandung saya dari istri pertama. Namanya Lintang Prameswari. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Saya ingin melegalkan semua aset pribadi saya untuk dia. Karena saya tidak ingin putri saya ini mengalami kesulitan yang mungkin akan mendatanginya, sehubungan dengan warisan kelak dikemudian hari.Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Pak Suprapto kemarin bahwa aset milik bersama dengan istri ke dua saya sudah saya berikan semua untuk ist
"Istirahatlah, Non. Biarkan saya memanjakan milik Non Gendis yang sangat berharga ini. Apa saya perlu meminta air hangat untuk mengompresnya? Untuk meredakan nyeri setelah menelan milik saya tadi, hmmm?""Tidak, cukup bersihkan saja. Aku merasa tidak nyaman dengan rasa lengketnya.""Baiklah, biar saya urus bagian itu. Saya sangat tersanjung bisa melakukannya untuk Non Gendis.""Heeem.." Dan sesudahnya, Gendis sudah tak lagi memperdulikan apapun karena ia sudah diterbangkan impian indah setelah raganya merasakan kelelahan teramat sangat karena sudah berpacu bersama Jaya demi mencapai puncak klimaks tertinggi tadi.Sementara Jaya yang benar-benar berusaha mempergunakan kesempatan terbaik yang ia dapatkan malam ini dengan menjelajahi, menjamah bahkan menguasai walau sesaat hal yang sebelumnya tak pernah sekalipun berani ia impikan ataupun menyapa alam khayalnya. Yaitu tubuh molek sang Nona Muda.Baginya, dapat menyentuh kulit mulus gadis cantik yang di matanya seperti seorang Dewi, apala
Perlahan Jaya mulai mengoleskan minyak zaitun ke atas kulit punggung mulus Gendis yang sudah terbaring dalam posisi menelungkup di pinggiran ranjang dan perlahan, dengan tekanan yang pas dia mulai mengurutnya. Usapan telapak tangannya yang hangat segera saja berhasil membuat otot-otot tubuh Gendis yang semula menegang, perlahan menjadi rileks.Seperempat jam kemudian, hampir seluruh tubuh bagian belakang milik Gendis sudah berbalur minyak zaitun, dari mulai punggung hingga ke telapak kaki. Gendis pun sudah terlihat menikmati setiap belaian dengan tekanan terukur telapak tangan Jaya pada tubuhnya.Dengan menahan gejolak hasratnya, Jaya sengaja berlama-lama memberikan treatment di bagian bok*ng milik Gendis yang terasa padat, dengan bentuk membulat yang begitu menggoda.Gendis juga terlihat menikmati segala perlakuan Jaya di bagian tubuhnya yang sintal itu. Meskipun secara sengaja kadang-kadang jemari Jaya nyasar dengan nakalnya menyentuh bagian tersembunyi di belahan pant*tnya. Bahkan
"Cari tempat menginap yang aman, Jaya! Kurasa sudah tidak ada jalan lain, selain mengikuti ide gila yang kau usulkan dulu!" ujar Gendis tiba-tiba setelah beberapa menit duduk diam tak bersuara dengan wajah merah padam karena amarah."Menginap, Non? Tapi beberapa tikungan lagi kita sampai di rumah?" jawab Jaya bingung."Kalau begitu putar balik, Bodoh!" sentak Gendis tak sabar."Baik, Non!" Jaya langsung memutar mobil yang dikemudikannya begitu menemukan jalur untuk memutar. Waktu yang hampir mendekati tengah malam membuat jalanan menjadi lengang dan memudahkan Jaya untuk segera putar balik arah menjauhi pusat kota. "Mau menginap dimana, Non?""Mana aku tahu, Tolol! Kau pikir aku sudah pengalaman dengan hal begituan? Kamu pikirkan saja tempat yang cocok, bukankah kamu sering pergi ke tempat-tempat seperti yang aku maksud dengan ibuku? Yang jelas tepat yang agak jauh agar tidak ada yang mengenali kita, bersih dan nyaman. Pastikan kita aman berada di sana!" perintah Gendis yang langsung
Gendis langsung memerintahkan Jaya untuk mendatangi rumah dinas Bupati setelah menerima kabar tentang keberadaan Dirgantara. Dengan binar bahagia di pandangan matanya, serta senyum kemenangan yang hampir tidak berhasil ia sembunyikan dari bibirnya membuatnya menjadi tidak sabar untuk melihat ekspresi kecewa dari Dirgantara setelah melihat gambar besar yang termuat di halaman depan surat kabar lokal yang tergeletak manis di atas pangkuannya itu. Bayangkan saja, saat seseorang yang tiba-tiba datang dan memberi kabar tak terbantahkan tentang perselingkuhan kekasihnya dengan seorang yang lebih pantas menjadi ayah ataupun pamannya. Apalagi spot foto yang terpampang di halaman depan koran itu menunjukkan kemesraan menjijikkan yang dipertontonkan di muka umum oleh seorang Dalang terkenal yang seharusnya jadi panutan bersama seorang gadis remaja yang terlihat sekali kalau usianya masih sangat muda. Mereka tertangkap kamera wartawan dalam keadaan saling berpelukan di tempat umum. Ini akan
Wulansari segera menemui suaminya yang baru saja memasuki kamar pribadinya saat hari sudah gelap. Di tangannya tergenggam selembar surat kabar terbitan sore tadi yang memuat berita tentang keributan yang terjadi di salah satu rumah makan ternama di kotanya yang melibatkan suami dan putrinya, Gendis."Apa ini, Kang?" tanyanya seraya melemparkan surat kabar yang sudah lecek ke arah Narendra.Dengan ketenangan luar biasa, Narendra mengambil gulungan surat kabar itu, membuka pada halaman depan dan membacanya sekilas. Ekspresi wajahnya masih sedatar ubin marmer yang tengah ia pijak di bawah kakinya. Datar dan dingin."Bisa jelaskan padaku?" tuntut Wulansari seraya melipat kedua lengannya di dada. Sorot matanya terlihat membara oleh api kemarahan."Semua sudah terlihat jelas di situ!" sahut Narendra datar, "Meskipun tidak semua keterangan yang diberitakan wartawan itu benar, tapi kejadiannya memang sepenuhnya benar. Bukankan ada foto yang membuktikan kebenarannya?" jawabnya tenang."Jadi be