Bab 5. Lelaki Yang Sangat Mencinta
Ki Sudarma menatap tak percaya pada wanita yang tengah tertunduk dengan bahu terguncang oleh Isak tangis yang terdengar memilukan.
"Aku sungguh-sungguh tak percaya kau bisa melakukan perbuatan sekeji itu, Wulan!" Wanita yang bersimpuh di depannya tak menjawab selain isaknya yang kian keras penuh penyesalan.
"Ampuni aku, Bapak! Aku begitu marah saat mengetahui apa yang dilakukannya di belakangku. Ternyata selama ini ia masih sering menemui sinden itu!" isak Wulan mengadu.
"Dia melakukannya atas seijinku. Kamu hanya cemburu padanya. Padahal ia hanya menjalankan kewajibannya yaitu menafkahi anak kandungnya. Seharusnya kamu mempercayainya. Aku yakin dia tidak akan bertindak di luar batas!" bantah Ki Sudarma.
"Aku sangat mencintainya, Bapak! Aku tidak rela jika dia membagi perhatiannya pada wanita lain. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya. Aku ingin memiliki dia seutuhnya!"
"Kita ini hanya manusia biasa, Nduk, Cah Ayu! Tidak ada yang sempurna. Kita harus punya watak Nrimo. Ingat, tidak semua yang kita inginkan akan kita dapatkan. Belajar ikhlas Yo Nduk!" nasehat Ki Sudarma lembut.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, Bapak" bisik Wulan dengan wajah khawatir. "Aku takut dia meninggalkanku setelah tahu yang kulakukan, Pak!"
Suasana senyap. Ki Sudarma terdiam, kerutan dalam tercetak di dahinya. Putrinya masih bersimpuh didepannya, kali ini pandangan memohon tertuju padanya.
Dia adalah putri satu-satunya. Tak ada hal yang lebih berharga baginya, selain putrinya itu. Ia bahkan rela melakukan apapun untuk membuat putri semata wayangnya itu hidup bahagia.
Putrinya itu, adalah sosok gadis yang kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Dulu, saat ia sibuk dengan urusannya, ia benar-benar tak pernah memperhatikan kehidupan putrinya.
Pada saat istrinya meninggal dunia, saat Wulansari menginjak usia remaja. Ia justru semakin jarang pulang ke rumah, membiarkan Wulansari hidup sendirian di rumah besar dan hanya ditemani beberapa abdi saja.
Hingga kesadaran menyapa hatinya, bahwa ada seorang anak gadis yang butuh perhatian dan kasih sayangnya, tapi kesadaran itu datang terlambat. Wulansari sudah menjelma menjadi sosok wanita yang terbilang liar dan benar-benar tidak mencerminkan sosok wanita anggun pada umumnya.
"Apakah hal itu kaulakukan dengan tanganmu sendiri, Nduk?" tanyanya hati-hati
"Tentu saja tidak, Bapak! Bagaimana mungkin aku bisa tega melakukan hal itu? Sebenarnya bukan seperti itu juga maksudku. Saat marah, tanpa sengaja aku bercerita pada Subandrio. Aku cuma bilang, ingin sekali membuatnya jera dan menjauhi Kang Narendra. Tapi Subandrio salah mengerti, ia justru membunuh perempuan itu untuk membelaku." dusta Wulansari membela diri.
"Wulansari!! Kau ini sudah bersuami. Kenapa masih kau temui lelaki itu! Apa jadinya jika Narendra tahu kau menemui lelaki lain? Apa yang akan dipikirkannya?" bentak Ki Sudarma tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget oleh pengakuan putrinya itu.
Wulansari tersentak. Baru kali ini ayahnya itu bersuara keras terhadapnya. Seketika kemarahan mulai merasuki hatinya. Tapi ia berusaha menahan diri. Saat ini, posisinya sangat tidak menguntungkan. "Lalu pada siapa aku bisa berkeluh kesah, Bapak? Bukankah selama ini, Bapak juga tidak pernah ada untukku? Cuma pada Subandrio saja aku bisa menceritakan kesulitan ku.
Sejak dulu, cuma dia yang mau mendengar keluhanku. Aku ini cuma perempuan biasa yang kadang-kadang membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahku. Sementara orang tuaku menganggap hidupku sudah sangat nyaman dengan hanya menyodorkan harta benda di depanku!" kecam Wulansari. Ki Sudarma kembali terdiam oleh serangan rasa bersalah yang kian dalam.
Apapun yang dikatakan Wulansari memang benar adanya. Di mana dia saat putrinya sedang menghadapi masalah? Selama ini sebenarnya ia memang kurang peduli terhadap kehidupan putrinya itu. Ia selalu menganggap semua akan baik-baik saja selama hidup putrinya terjamin dan tak kekurangan.
"Kita bisa saja menyimpan rahasia ini. Tapi bagaimana dengan Subandrio? Jika suatu saat ia berada dalam keadaan terjepit atau tertangkap polisi, bisa saja ia menyebut namamu entah sengaja atau tidak. Dan itu akan menyeretmu dalam kesulitan besar, Nduk!"
"Dia tidak mungkin menyulitkan ku, Bapak! Dia sangat menyayangiku. Dia bahkan rela melakukan apapun untukku!" tegas Wulansari penuh keyakinan.
"Apa maksudmu? Apa yang dia harapkan darimu hingga ia mau melakukan apapun untukmu? Imbalan apa yang sudah kau berikan padanya, Hah?!" Kembali Wulansari tersentak. Ia sadar, ia baru saja salah bicara. Ayahnya bukan orang sembarangan. Ayahnya adalah seorang yang sangat peka.
Wulansari tertunduk. Hatinya mulai gamang.
"Maafkan aku, Bapak. Akan kupikirkan apa yang harus kulakukan. Mungkin aku bisa meminta Subandrio untuk pergi sejauh mungkin dari daerah ini dengan imbalan uang dan perhiasan yang cukup banyak untuk menutup mulutnya!" ujar Wulansari pelan.
Ki Sudarma mengangguk setuju.
Setelah berpamitan dan sungkem pada ayahnya, Wulansari pun beranjak meninggalkan rumah sederhana milik ayahnya. Pulang ke rumah yang kini ditinggalinya bersama Narendra, suaminya. Dengan dibonceng motor bebek berwarna merah oleh salah satu abdi yang biasa mengantarkannya kemanapun ia mau saat Narendra tidak dapat mengantarnya.
Ki Sudarma menatap kepergian putri kesayangannya itu dengan hati gundah. Ia menyadari sifat keras kepala dan lumuh kaunggulan yang dimiliki putrinya itu suatu saat akan menyulitkan hidupnya. Semoga tidak ada karma buruk yang menimpamu, Nduk. Bisiknya membatin.
***
Wulansari melihat secarik kain hitam berbentuk segitiga dengan motif lurik yang tersangkut di dahan pohon dipinggir jalan setapak yang dilaluinya. Itu adalah sebuah isyarat bahwa pemilik kain lurik itu tengah berada tak jauh dari situ. Kain lurik itu adalah ikat kepala milik Subandrio.
Wulansari meminta abdi yang memboncengnya untuk menghentikan motor dan memintanya untuk menunggu karena ia butuh untuk segera ke sungai yang berada di balik pepohonan sepanjang jalan setapak untuk buang air kecil.
Dan tanpa membuang waktu, iapun segera berjalan sendirian ke arah sungai dan mencari tempat yang agak jauh dan tersembunyi dari pandangan kedua abadinya. Buang air kecil hanyalah alasan saja, karena sebenarnya ia hendak menemui sang pemilik ikat kepala yang telah menunggunya di sana.
Dengan langkah hati-hati agar longdress bermotif bunga dengan warna cerah yang membalut tubuhnya tak sampai basah saat ia menyusuri pinggiran sungai yang berbatu-batu.
Lalu tiba-tiba saja sebuah lengan kekar telah menarik tubuhnya ke dalam pelukan lelaki berdada bidang dan menyeretnya ke balik rimbunan semak.
Dengan sisa kekagetan dan gemas setelah mengetahui siapa lelaki yang telah lancang memeluk tubuhnya, Wulansari melayangkan pukulan ke dada bidang yang berada tepat di depannya itu.
"Jangan mengagetkanku seperti ini lagi!" sengitnya dengan suara rendah.
"Maaf, hanya saja aku sudah tidak sabar bertemu denganmu. Aku rindu padamu!" tanpa memperdulikan pukulan di dadanya, lelaki itu mengelus pipi Wulansari dengan ujung jarinya.
"Aku juga rindu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Aku tidak sedang sendirian." bisiknya seraya melirik ke arah jalan setapak, dimana abadinya tengah menunggu.
"Temani aku sebentar saja, aku sungguh-sungguh ingin bersamamu. Rasanya hampir gila aku jika tidak bertemu denganmu!" Lelaki itu menciumi dengan rakus leher Wulansari.
"Tidak .. jangan sekarang! Aku tidak mau ada masalah jika mereka memergoki kita. Kita harus berhati-hati. Malam ini Narendra akan pulang. Jangan menandaiku! Aku akan berusaha mencari kesempatan untuk menemuimu segera setelah ia pergi lagi!" bisik Wulansari meyakinkan.
"Aku sudah tak tahan lagi. Sudah seminggu kita tidak bertemu. Aku menginginkanmu Wulan! Kalau begini terus lama-lama aku bisa gila. Aku akan menyelinap ke rumahmu nanti malam. Bukakan satu jendela untukku saat Narendra sudah tidur!" perintahnya dengan nada memaksa.
"Tidak ...jangan konyol! Dia akan membunuh kita berdua. Tunggulah aku ditempat biasa besok tepat tengah hari. Saat itu sungai sedang sepi. Kita bisa lebih leluasa. Aku akan memuaskanmu, besok!" bujuk Wulansari.
Saat ini, ia harus menjauhkan Subandrio dari sekitar rumahnya. Ia benar-benar harus menghindari masalah.
"Janji.."
"Aku berjanji. Selama ini, pernahkan aku tidak memuaskanmu?"
"Baiklah. Aku akan berusaha menahan diri hingga besok siang." akhirnya Subandrio menyerah setelah Wulansari menjanjikan hal yang sudah membuatnya kecanduan.
Seringai terlukis dibibirnya membayangkan kenikmatan yang sudah dijanjikan wanita pujaannya itu. "Tunggulah, besok akan kureguk sepuasnya, hingga hilang dahagaku!" bisiknya seraya mengusap setengah meremas lekukan di antara dua paha yang terpeta di balik longdress yang dikenakan Wulansari.
"Aku harus pergi sekarang. Mereka akan segera mencariku, jika aku tidak segera kembali!" bisik Wulansari. Tangannya menjauhkan tangan nakal Subandrio dari tubuhnya. Dan segera beranjak kembali kepada abdi yang masih setia menunggunya.
Sambil berjalan otaknya terus berputar, mencari cara untuk menjauhkan Subandrio dari dirinya. Menghindarkan dirinya dari masalah yang akan ditimbulkan oleh Subandrio yang mulai tak terkendali itu.
Malam hari, saat tatapan matanya terpaku pada sosok tegap berwajah mempesona milik Narendra, suaminya yang tengah tertidur pulas dengan rona puas di sampingnya, sebuah keputusan untuk Subandrio telah ditetapkannya.
Seekstrim apapun hal yang akan dilakukannya, adalah untuk memiliki Narendra seutuhnya
***
Apapun Untuk Yang Dicinta "Sudah kulakukan apa yang harus kulakukan. Semuanya hanya untukmu. Untuk masa depan kita!' ujar lelaki itu seraya mengelus perut wanita pujaannya yang terlihat mulai mengembang diusia 4 bulan kehamilannya. "Ya. Aku sudah mendengarnya. Itu membuatku lebih tenang. Satu batu penghalang sudah disingkirkan. Kita bisa lanjutkan perjalanan dengan lebih nyaman. Meskipun harus lebih sabar karena butuh waktu untuk mencapai tujuan." tutur wanita di depannya dengan suara lembut. Batu yang didudukinya terasa basah oleh aliran air sungai, tapi ia tak perduli. Pun saat pakaian longgar yang membungkus tubuhnya juga sudah kuyup di bagian bawahnya. Ia hanya sedang menanti saat yang tepat. "Aku tak perduli, harus berapa lama lagi menunggumu dan bayi kita untuk bersatu! Aku akan selalu setia. Menjagamu dan bayi kita. Aku tidak akan rela membiarkanmu merasa takut dan khawat
Bab 7. SETELAH SEKIAN LAMA TERPISAH17 tahun berlalu...Jelang sore, Seorang gadis berparas cantik dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu yang tampak lusuh dipenuhi coretan pilox bahkan tas kain dan sebagian rambut panjangnya juga tak luput dari semprotan pilox warna oranye, tampak berdiri di depan gerbang besi setinggi hampir dua meter di pinggir jalan raya yang selalu tampak ramai lalu lintasnya, karena rumah mewah itu memang berada di tengah-tengah kota Kabupaten. Dari sela-sela jeruji gerbang ia dapat melihat sebuah bangunan rumah megah bertingkat di dalam pagar yang tampak sepi tak berpenghuni. Di halaman luas ia juga melihat sebuah truk besar dengan gambar gunungan wayang berwarana emas terlukis di bak papan berwarna dasar merah menyala, di sebelah truk, dan sebuah mobil sedan keluaran terbaru berwarna abu-abu metalik. Tepat di luar pagar, sebuah papan nama berukuran lumayan besar dengan tulisa
Lintang terbeliak tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya. Pandangannya seolah melekat pada sosok muda berwibawa dengan setelan resmi yang tengah berkonsentrasi pada ramainya lalu lintas di lajur jalan yang mereka lalui.Ayah kandungnya?? Lelaki yang terlihat masih berusia sekitar 23 - 25 tahun itu mengaku bahwa ia adalah ayah kandungnya. Sementara ia sendiri, beberapa bulan ke depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 18. Telinganya yang salah dengar apa otak lelaki itu yang sinting?Narendra melirik sorot tak percaya sekaligus bingung yang terpancar di mata putrinya yang melotot ke arahnya. Yah tentu saja. Tak ada satupun orang yang akan percaya jika ia mengaku telah berusia 43 tahun. Penampilannya memang terlihat seolah masih berusia 25 tahun.Tubuhnya seolah berhenti berproses untuk menua seiring usianya semenjak ia menelan mustika Panji Anom yang telah didapatkannya usai
Bab 9. Menemukan Jalan Untuk Pulang.Narendra segera memanggil pelayan rumah makan. Setelah meminta pelayan untuk membungkus semua pesanan yang nyaris tak tersentuh, membayar sekaligus memberi tip pada pelayan itu, Narendra mengajak Lintang keluar. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang, biar kamu tidak terlambat bekerja nanti!" ajak Narendra sebelah tangan menenteng tas berisi aneka makanan yang tadi mereka pesan, sementara tangan yang lain memeluk bahu Lintang, membimbingnya lembut keluar dari rumah makan yang tampak mulai terisi hampir disemua mejanya. Beberapa pasang mata mengunjung tampak memandang keduanya dengan pandangan ingin tahu dan bisik-bisik antar sesama pengunjung yang datang bersama setelah mereka mengenali sosok sang Dalang. "Baiklah, kemana aku harus mengantarmu?" tanya Narendra setelah mereka sudah berada dalam mobil dan bersiap untuk menj
Bab 10. NIGHT CLUBS STAR Jaya memasuki pelataran parkir sebuah bangunan ruko mewah di sudut kota. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi area parkir yang baru saja mereka masuki justru semakin padat. Beberapa motor dan mobil tampak mulai memadati area parkir. "Mau ke mana kita, Non?" tanya Jaya bingung saat dilihatnya Gendis sang putri majikan yang sudah bersiap-siap untuk turun dari sedan yang dikemudikannya. Lalu ia tergesa mengikuti langkah Gendis yang melenggang dengan stelan celana capri dan tanktop putih yang dilapisi jaket kulit hitam sepanjang pinggul yang menempel pas di tubuhnya. "Aku mau masuk ke sana, Jaya! Cuma aku, bukan kita. Kamu, tetap di mobil" perintah Gendis tanpa menoleh, kaki jenjangnya yang terbungkus boots kulit melangkah ringan diatas paving menuju salah satu ruko yang tampak temaram dengan minimnya penerangan. Tapi terlihat ramai oleh pengunjung.
Bab 11. LELAKI YANG BERBEDA Lintang berusaha menyelesaikan lagu terakhirnya dengan susah payah, setelah tanpa sengaja pandangan matanya beradu dengan pasangan muda-mudi yang tengah asyik berdansa dengan tubuh yang seolah melekat satu sama lain. Sang pemudi, adalah Gendis, teman satu sekolahnya yang sangat populer. Di samping karena wajahnya yang cantik dengan penampilannya yang modis, ia juga dikenal sebagai anak orang kaya raya yang selalu dikelilingi teman-temannya yang bertingkah bak dayang-datang baginya. Sementara pasangan dansanya adalah kakak kelas mereka yang dulu pernah menjabat sebagai ketua OSIS saat ia dan Gendis masih sama-sama duduk di kelas X, yang menurut informasi yang Lintang dengar, pasangan dansa Gendis itu adalah putra bungsu sang Bupati. Lintang selalu mengingat sosok itu walau dalam keremangan, karena sejak ia duduk di kelas XI, pemuda it
Bab 12. MALAIKAT BERWAJAH MENGERIKAN Lintang melanjutkan langkahnya saat saat ia yakin pengendara motor itu tidak lagi mengikutinya. Dilihatnya motor yang ditumpangi lelaki tak dikenalnya sudah berbelok di tikungan depan. Jalanan kembali sepi. Sambil menengok sekali lagi ke arah tikungan yang baru dimasuki pengendara motor itu, tikungan itu tampak gelap. Tak terlihat ada kendaraan lain yang lewat. Lintang yakin pengendara itu sudah berlalu, pergi entah ke mana. Lintang berjalan dengan langkah lebih lebar. Beberapa meter ke depan ia akan menemukan lahan kosong lagi, dan di sana keadaan akan lebih gelap, karena sinar lampu jalan terhalang kerimbunan pohon besar yang tumbuh menjulur dari dalam lahan kosong itu yang melewati dinding pagar. Kata orang, lahan kosong itu dulunya adalah bekas gudang milik pabrik bir yang sudah lama tak terpakai. Karena pabrik dipindahkan ke
Bab 13. BUKAN PEMILIK HATI Wulansari mendatangi kamar tidur suaminya pada siang hari. Ia tahu, saat itu suaminya pasti sudah terjaga meskipun tetap bertahan di kamarnya hingga sore menjelang. Lalu sehabis Maghrib suaminya akan segera pergi entah kemana dan baru akan pulang saat tengah malam. Berkeliaran di dalam rumah dan baru masuk ke kamar menjelang subuh. Begitu seterusnya. Kecuali hari Senin dan Kamis malam sudah pasti suaminya itu tidak pulang ke rumah entah menginap di mana, tapi Wulansari tak lagi peduli. Hidupnya sudah bergelimang materi, usaha rias pengantin yang digelutinya sudah sangat berkembang seiring dengan ketenaran nama suaminya. Urusan kepuasan batin bukan hal yang sulit. Dengan kekuasaan dan harta melimpah, tidak sulit untuk mencari lelaki yang bersedia memuaskannya. Tak ada kesulitan untuk membeli lelaki pemuas hasrat seperti itu. Seperti yang ia
Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer jaraknya dari pesisir pantai tempat Gendis dan Jaya menghabis kan waktu untuk menghibur diri, Wulansari pun tengah menikmati malam panasnya bersama seorang pemuda tampan dengan tubuh terpahat indah hasil latihan rutin selama beberapa waktu di pusat kebugaran yang kini mulai marak dibangun di kota kabupaten tempat tinggalnya.Pemuda dengan paras dan bentuk tubuh yang selalu akan membuat wanita merasa bergairah saat bersama itu adalah yang Wulansari sebut sebagai mainan barunya, yang akhir-akhir ini telah membuatnya melayang dan melupakan keberadaan Jaya yang sudah sejak beberapa tahun lalu menghangatkan ranjang tidurnya.Semenjak berkenalan dengan pemuda itu di sebuah pusat kebugaran yang ia datangi bersama seorang teman perias yang tampaknya sudah lebih dahulu mengenal kisah indah yang lain di balik suramnya kisah pernikahan sah yang sudah mereka jalani sebelumnya.Wulansari merasa seperti menemukan surganya yang baru setelah mengenal dan memp
Menuruti kemauan Gendis yang masih saja terlihat murung selama perjalanan, Jaya mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke daerah pesisir yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari tengah kota kabupaten tempat tinggal mereka."Kenapa nyari tempat bersedihnya mesti ke pantai sih Non, kan jauh? Kenapa kita gak pergi ke puncak saja? Cukup setengah jam perjalanan. Gak capek, gak bosan di jalan..?""Jaya... Diam! Kamu cuma sopir, aku majikannya! Jadi jangan banyak protes, aku mau ke pantai sekarang juga!" bentak Gendis kesal wajah sedihnya seketika berubah judes dengan pandangan mata melotot ke arah Jaya.Sambil menelan ludah, akhirnya Jaya mengangguk juga. Selama beberapa saat pandangannya hanya lurus terfokus di jalanan yang mulai sepi meninggalkan keramaian kota jauh di belakang mereka. "Sepi sekali... boleh setel musik kan, Non?" tanyanya memecah kebisuan.Beberapa detik tak ada jawaban. Jaya melirik ke kursi samping yang diduduki Gendis. Dari sudut matanya ia melihat gadis itu terliha
Tanpa terasa, tibalah hari yang sudah dinantikan Narendra, yaitu hari Ulang tahun Lintang yang ke 19.Jam 11 pagi, sesuai dengan jadwal acara yang sudah diatur oleh Narendra dengan bantuan Wage dan beberapa orang temannya, acara tasyakuran untuk memperingati hari kelahiran Lintang sengaja di adakan di rumah makan langganan tempat kejadian kericuhan beberapa hari sebelumnya.Untuk acara ini Narendra juga mengundang keluarga Bupati dan beberapa orang penting yang sudah sangat akrab dengan Ki Dalang Narendra, juga Kepala Desa dan tim pengacara dari firma hukum yang ia sewa. Selebihnya adalah teman-teman Lintang.Karena pada acara itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi tentang kejadian memalukan beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan berita tak sedap dan menghebohkan itu menjadi tajuk utama di hampir seluruh koran terbitan lokal dan nasional sehingga Narendra dengan bantuan tim pengacaranya juga mengundang banyak wartawan di acara tersebut.Tepat di jam setengah 12 siang, pada saat
Atas pesan Narendra yang sekarang tinggal bersamanya, Lintang mengantarkan sendiri minuman dan suguhan untuk tamu ayahnya itu ke ruang kerja ayahnya.Dua orang tamu dengan setelan resmi tampak duduk berseberangan dengan Narendra. Ketiganya tampak berbicara serius mengenai hal-hal yang berhubungan dengan legalitas hukum. Lintang sudah hampir keluar dari ruangan ayahnya setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat dan camilan ringan, ketika Narendra menghentikan langkahnya dan menyuruhnya untuk berdiri di dekat kursi yang ia duduki."Ini putri kandung saya dari istri pertama. Namanya Lintang Prameswari. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Saya ingin melegalkan semua aset pribadi saya untuk dia. Karena saya tidak ingin putri saya ini mengalami kesulitan yang mungkin akan mendatanginya, sehubungan dengan warisan kelak dikemudian hari.Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Pak Suprapto kemarin bahwa aset milik bersama dengan istri ke dua saya sudah saya berikan semua untuk ist
"Istirahatlah, Non. Biarkan saya memanjakan milik Non Gendis yang sangat berharga ini. Apa saya perlu meminta air hangat untuk mengompresnya? Untuk meredakan nyeri setelah menelan milik saya tadi, hmmm?""Tidak, cukup bersihkan saja. Aku merasa tidak nyaman dengan rasa lengketnya.""Baiklah, biar saya urus bagian itu. Saya sangat tersanjung bisa melakukannya untuk Non Gendis.""Heeem.." Dan sesudahnya, Gendis sudah tak lagi memperdulikan apapun karena ia sudah diterbangkan impian indah setelah raganya merasakan kelelahan teramat sangat karena sudah berpacu bersama Jaya demi mencapai puncak klimaks tertinggi tadi.Sementara Jaya yang benar-benar berusaha mempergunakan kesempatan terbaik yang ia dapatkan malam ini dengan menjelajahi, menjamah bahkan menguasai walau sesaat hal yang sebelumnya tak pernah sekalipun berani ia impikan ataupun menyapa alam khayalnya. Yaitu tubuh molek sang Nona Muda.Baginya, dapat menyentuh kulit mulus gadis cantik yang di matanya seperti seorang Dewi, apala
Perlahan Jaya mulai mengoleskan minyak zaitun ke atas kulit punggung mulus Gendis yang sudah terbaring dalam posisi menelungkup di pinggiran ranjang dan perlahan, dengan tekanan yang pas dia mulai mengurutnya. Usapan telapak tangannya yang hangat segera saja berhasil membuat otot-otot tubuh Gendis yang semula menegang, perlahan menjadi rileks.Seperempat jam kemudian, hampir seluruh tubuh bagian belakang milik Gendis sudah berbalur minyak zaitun, dari mulai punggung hingga ke telapak kaki. Gendis pun sudah terlihat menikmati setiap belaian dengan tekanan terukur telapak tangan Jaya pada tubuhnya.Dengan menahan gejolak hasratnya, Jaya sengaja berlama-lama memberikan treatment di bagian bok*ng milik Gendis yang terasa padat, dengan bentuk membulat yang begitu menggoda.Gendis juga terlihat menikmati segala perlakuan Jaya di bagian tubuhnya yang sintal itu. Meskipun secara sengaja kadang-kadang jemari Jaya nyasar dengan nakalnya menyentuh bagian tersembunyi di belahan pant*tnya. Bahkan
"Cari tempat menginap yang aman, Jaya! Kurasa sudah tidak ada jalan lain, selain mengikuti ide gila yang kau usulkan dulu!" ujar Gendis tiba-tiba setelah beberapa menit duduk diam tak bersuara dengan wajah merah padam karena amarah."Menginap, Non? Tapi beberapa tikungan lagi kita sampai di rumah?" jawab Jaya bingung."Kalau begitu putar balik, Bodoh!" sentak Gendis tak sabar."Baik, Non!" Jaya langsung memutar mobil yang dikemudikannya begitu menemukan jalur untuk memutar. Waktu yang hampir mendekati tengah malam membuat jalanan menjadi lengang dan memudahkan Jaya untuk segera putar balik arah menjauhi pusat kota. "Mau menginap dimana, Non?""Mana aku tahu, Tolol! Kau pikir aku sudah pengalaman dengan hal begituan? Kamu pikirkan saja tempat yang cocok, bukankah kamu sering pergi ke tempat-tempat seperti yang aku maksud dengan ibuku? Yang jelas tepat yang agak jauh agar tidak ada yang mengenali kita, bersih dan nyaman. Pastikan kita aman berada di sana!" perintah Gendis yang langsung
Gendis langsung memerintahkan Jaya untuk mendatangi rumah dinas Bupati setelah menerima kabar tentang keberadaan Dirgantara. Dengan binar bahagia di pandangan matanya, serta senyum kemenangan yang hampir tidak berhasil ia sembunyikan dari bibirnya membuatnya menjadi tidak sabar untuk melihat ekspresi kecewa dari Dirgantara setelah melihat gambar besar yang termuat di halaman depan surat kabar lokal yang tergeletak manis di atas pangkuannya itu. Bayangkan saja, saat seseorang yang tiba-tiba datang dan memberi kabar tak terbantahkan tentang perselingkuhan kekasihnya dengan seorang yang lebih pantas menjadi ayah ataupun pamannya. Apalagi spot foto yang terpampang di halaman depan koran itu menunjukkan kemesraan menjijikkan yang dipertontonkan di muka umum oleh seorang Dalang terkenal yang seharusnya jadi panutan bersama seorang gadis remaja yang terlihat sekali kalau usianya masih sangat muda. Mereka tertangkap kamera wartawan dalam keadaan saling berpelukan di tempat umum. Ini akan
Wulansari segera menemui suaminya yang baru saja memasuki kamar pribadinya saat hari sudah gelap. Di tangannya tergenggam selembar surat kabar terbitan sore tadi yang memuat berita tentang keributan yang terjadi di salah satu rumah makan ternama di kotanya yang melibatkan suami dan putrinya, Gendis."Apa ini, Kang?" tanyanya seraya melemparkan surat kabar yang sudah lecek ke arah Narendra.Dengan ketenangan luar biasa, Narendra mengambil gulungan surat kabar itu, membuka pada halaman depan dan membacanya sekilas. Ekspresi wajahnya masih sedatar ubin marmer yang tengah ia pijak di bawah kakinya. Datar dan dingin."Bisa jelaskan padaku?" tuntut Wulansari seraya melipat kedua lengannya di dada. Sorot matanya terlihat membara oleh api kemarahan."Semua sudah terlihat jelas di situ!" sahut Narendra datar, "Meskipun tidak semua keterangan yang diberitakan wartawan itu benar, tapi kejadiannya memang sepenuhnya benar. Bukankan ada foto yang membuktikan kebenarannya?" jawabnya tenang."Jadi be