Home / Horor / PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN / Bab 3. MUSTIKA KEABADIAN PANJI ANOM

Share

Bab 3. MUSTIKA KEABADIAN PANJI ANOM

Author: Evi Supiyah
last update Last Updated: 2021-10-20 20:45:49

Bab 3. Mustika Keabadian Panji Anom.

Hari-hari berlalu, Narendra yang dengan kebulatan tekad menjalani ritual demi ritual yang tentu saja tidak bisa dibilang mudah. Begitu besar godaan silih berganti yang datang untuk menggagalkan usahanya, tapi ia tetap menguatkan diri demi apa yang tengah diperjuangkannya. Keteguhan hatinya itu semakin menumbuhkan kekaguman Ki Sudarma. 

Hingga tibalah malam terakhir perjuangan dalam ritual puasanya. 

Esok paginya, sesaat setelah terdengar Kokok ayam jantan pertama terdengar, Ki Sudarma memasuki gubuk kayu yang sengaja dibangunnya di tempat yang sangat terpencil jauh di dalam hutan. Adalah tempat dimana Narendra menjalankan ritualnya selama lebih dari satu purnama.

  

Dibukanya gubuk kayu berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter itu. Derit pintu terdengar memecah kesunyian. Fajar belum lagi menyingsing, sementara gubuk tanpa lampu itu terlihat gelap gulita. Apalagi Ki Sudarma sengaja mematikan obor yang tadi dipakainya untuk menerangi jalan setapak yang dilaluinya menembus hutan di pinggir desa tempat tinggalnya. 

     

Setelah beberapa saat, mata tuanya mulai terbiasa pada kegelapan, ia bisa melihat bayangan sosok yang tengah duduk bersila di tengah-tengah satu-satunya ruangan yang ada.

Berusaha tidak menimbulkan suara iapun segera menempatkan diri tak jauh dari sosok Narendra. Sebentar lagi, ia harus segera membangunkan lelaki muda penuh tekad itu dan membawa sukmanya kembali sebelum fajar.

Sedikit saja terlambat, maka Sukma Narendra tak akan dapat kembali memasuki raganya. Itu artinya semua usaha Narendra akan sia-sia, sukmanya akan terperangkap di dunia yang berbeda, sementara raga kosongnya akan membusuk begitu saja. Orang awam akan menyangka ia sudah meninggal dunia.

***

Narendra menunduk takzim di depan sosok lelaki muda gagah dengan pakaian kebesaran melekat di tubuh kekarnya, serta mahkota tinggi bertabur permata di atas kepalanya. 

Lelaki gagah itu tampak gemerlap oleh emas dan permata yang membalut tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala, bahkan kasutnya pun terbuat dari emas berhias intan permata. Dan tentu saja, bagaimanapun kasut itu digunakan, selarik bayangan berwarna gelap akan melapisi bagian bawah solnya dari tanah dan bergerak kemanapun lelaki itu melangkah. Sepintas seolah kaki lelaki gagah bermahkota itu tak menapak tanah. 

"Kau sudah berhasil melaksanakan ujian awal. Maka aku akan meluluskan keinginanmu!" titah lelaki bermahkota itu. Narendra mengangguk penuh syukur. Hatinya gembira. Sebentar lagi, ia akan dapat meraih keinginannya untuk menguasai dunia.

"Terimalah mustika Panji Anom ini, yang akan membuatmu abadi. Tubuhmu tak akan menua, cahayamu akan mempesona orang-orang yang berada di sekitarmu. Pengaruhmu akan menjadi lebih kuat. Engkau akan menjadi pusat bagi sekelilingmu.

Tapi yang kaulakukan kemarin barulah awal untuk membuka pintu dari dunia yang kau impikan, ujian yang sesungguhnya, baru akan kau lalui setelah kaupikir kau sudah mulai berhasil!

Hasilnya adalah, tergantung dari apa tindakanmu untuk melalui ujian tersebut. Jadi berpikirlah dengan bijak! Tak ada sesuatu pun yang mudah untuk mendapatkan hasil terbaik. Bisa jadi untuk mendapatkan impianmu semu, kamu harus kehilangan kebahagiaan sejatimu. Kamu mengerti?" Kembali Narendra mengangguk takzim. 

Dan sesuatu yang terasa hangat berukuran sebesar biji kacang tiba-tiba sudah berada dalam genggamannya. Ia masih menunduk, namun tidak berani melihat benda yang berada dalam genggamannya itu.

Sementara untuk mendongakkan kepala agar dapat memandang wajah lelaki yang tampak mengeluarkan sinar berpendar keemasan di depannya pun ia tak sanggup. Kalaupun ia berusaha untuk mendongak, pandangan matanya hanya sampai tepat di hiasan batu permata berwarna merah sebesar telur puyuh yang menghiasi dada lelaki itu. 

Tiba-tiba Narendra merasa seseorang menepuk bahunya, dan seketika itu juga rasa dingin melingkupi tubuhnya hingga ia menggigil menahan hawa sedingin es. Dan lelaki berselimut sinar keemasan yang tadi berada di hadapannya pun telah menghilang.

"Ngger, mari kita pulang!" Sayup suara Ki Sudarma menyusup di telinganya. Dan Narendra merasa tubuhnya yang seolah tak bertenaga tersedot pusaran angin dingin yang entah dari mana datangnya. 

Narendra ingin bertahan untuk menyelamatkan dirinya, tapi tubuh lemahnya tak mampu menahan. Ia pun pasrah kemana pusaran itu membawa tubuh lunglainya, tapi apapun yang terjadi Narendra berusaha mempertahankan apapun yang ada didalam genggamannya. Kuku tangannya seolah menancap di telapak tangannya yang mengepal erat.

***

"Hhhmm, rupanya usahamu tidak sia-sia, Ngger!" Gumaman Ki Sudarma menarik kesadaran Narendra yang tergolek roboh saat Ki Sudarma mengguncang pelan tubuhnya tadi.

Karena sudah berhari-hari menjalani puasa mutih yang artinya ia tidak memasukkan makanan apapun juga selain air putih dalam kendi dan sekepal nasi putih tawar tanpa rasa. 

Dilanjutkan puasa ngebleng, yaitu tak makan dan minum sehari semalam. Jadi wajar saja jika tubuh kekar Narendra pun menjadi lemas tanpa tenaga.

Ki Sudarma segera mengangkat kepala Narendra dan menempelkan ujung lubang kendi berisi air putih ke mulut Narendra membantunya minum untuk sekedar membasahi kerongkongan yang kering dan menyegarkan tubuh lemahnya. 

"Terima kasih, Ki" Narendra berusaha untuk duduk bersila setelah beberapa teguk air cukup menguatkannya untuk menegakkan tubuh.

"Coba lihat apa yang kau dapat!" Ki Sudarma menunjuk telapak tangan Narendra yang terkepal. 

Perlahan Narendra membuka kepalan tangannya yang terasa lengket oleh kuku-kuku jarinya yang seolah menancap di telapak tangan. Di luar, sinar fajar pertama mulai menyentuh bumi. Dan suasana sekitar gubuk kayu itupun mulai terang oleh cahaya pagi. Membuat ruangan yang semula gulita itupun terlihat temaram oleh cahaya pagi yang mulai menorobos di lubang-lubang dinding kayu, juga pintu yang sudah terbuka lebar.

Sebutir batu permata berwarna kebiruan sebesar kuku jari kelingking tampak ditengah telapak tangannya. 

"Telanlah mustika itu, agar menyatu dengan ragamu!" perintah Ki Sudarma setelah memperhatikan batu permata yang berada dalam genggaman Narendra.

"Mengapa harus saya telan, Ki?" tanya Narendra ragu.

"Mustika itu banyak diburu orang yang mengerti, tapi tak sanggup menjalani tirakat berat untuk penebusnya. Karena pemegang mustika itu akan mendapatkan keabadian.Pemegang mustika itu akan terlihat jauh lebih tampan jika ia lelaki dan cantik jika ia perempuan. 

Pemegang mustika itu akan mampu mempesona orang-orang disekitarnya. Otomatis ia akan bisa mempengaruhi siapapun. Orang lain, bahkan para lelembutpun akan tunduk padanya!

Dan orang yang mengerti, akan dapat merasakan kalau kau memiliki mustika itu. Jadi untuk menghindari kehilangan atau dicuri orang, maka kamu harus menelannya!" tutur Ki Sudarma menjelaskan seraya menyorongkan kembali kendi air ke arah Narendra yang langsung menerima dan melakukan apa yang diperintahkan gurunya spiritualnya itu.

"Nah, sesuai perjanjian kita di awal saat kau mendatangiku, kau harus ikut ke rumahku sekarang dan bersiap-siap untuk menikahi Wulansari, putriku!" 

"Baiklah, Ki! Tapi sebelumnya, ijinkan saya untuk pulang ke rumah orang tua saya untuk meminta restu. Sekaligus mengabarkan bahwa saya sudah menalak istri pertama saya."

"Baiklah. Pulanglah, mintalah restu orang tuamu, karena itu juga penting bagi masa depanmu, Ngger!" ujar Ki Sudarma mengerti. 

Baginya, restu serta doa terbaik dari orang tua sama pentingnya dengan segala tirakat dan ritual yang harus dijalani setiap orang yang tengah berusaha untuk meraih sesuatu. "Segera selesaikan semua urusanmu! Jangan sampai melupakan kewajibanmu! Jika semua sudah kau laksanakan, datanglah secepatnya ke rumahku untuk menyelesaikan urusan kita. Aku menunggumu!" 

Narendra mengangguk, ia sadar tentang penekanan pada kata-kata terakhir yang diucapkan Ki Sudarma. Bahwa ia menunggu kedatangan Narendra untuk menepati janjinya.

Sementara Narendra sendiri masih bingung, bagaimana ia akan mengatakan pada bapak dan kakeknya, tentang perceraiannya dengan Jernih Suminar, yang sebelum dinikahinya adalah seorang sinden yang bekerja pada bapaknya. 

Serta rencana pernikahan ke duanya yang akan segera berlangsung dalam hitungan hari dengan seorang wanita yang bahkan sama sekali belum pernah dilihatnya.    

***

    

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ucing Ucay
semangat thor ^^
goodnovel comment avatar
Khara Asha
lanjut ............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 4. WULANSARI

    Bab 4. WULANSARI Ki Dalang Suryo, ayah Narendra menatap dengan sorot mata kebingungan saat putranya meminta restu padanya untuk menikahi Wulansari, putri dari Ki Sudarma seorang dalang yang dulu sangat terkenal, namun sudah beberapa tahun terakhir seolah telah mengasingkan diri, karena sudah sangat lama tak lagi terdengar penampilannya membawakan kisah perwayangan. "Lalu bagaimana dengan Suminar, Ngger? Bukankah dulu, kamu sendiri yang mendatangiku untuk meminta ijin menikahinya? Bagaimana dengan bayi yang baru dilahirkannya?" "Kami sudah bicara, Pak. Dia wanita yang sangat mengerti kebutuhanku. Dia tidak akan menahan langkahku, toh semua ini kulakukan untuk masa depan kami, masa depan Lintang. Putriku harus mendapatkan yang terbaik. Meskipun ada yang harus dikorbankan di awal, tapi Suminar dapat mengerti." jawab Narendra. "Kami sudah membuat kesepakatan sebelum Minar melepaskan saya!"

    Last Updated : 2021-10-20
  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 5. LELAKI YANG SANGAT MENCINTA

    Bab 5.Lelaki Yang Sangat Mencinta Ki Sudarma menatap tak percaya pada wanita yang tengah tertunduk dengan bahu terguncang oleh Isak tangis yang terdengar memilukan. "Aku sungguh-sungguh tak percaya kau bisa melakukan perbuatan sekeji itu, Wulan!" Wanita yang bersimpuh di depannya tak menjawab selain isaknya yang kian keras penuh penyesalan. "Ampuni aku, Bapak! Aku begitu marah saat mengetahui apa yang dilakukannya di belakangku. Ternyata selama ini ia masih sering menemui sinden itu!" isak Wulan mengadu. "Dia melakukannya atas seijinku. Kamu hanya cemburu padanya. Padahal ia hanya menjalankan kewajibannya yaitu menafkahi anak kandungnya. Seharusnya kamu mempercayainya. Aku yakin dia tidak akan bertindak di luar batas!" bantah Ki Sudarma. "Aku sangat mencintainya, Bapak! Aku tidak rela jika dia membagi perhatiannya pada wanita lain. Aku hanya i

    Last Updated : 2021-10-20
  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 6. APAPUN UNTUK YANG DICINTA

    Apapun Untuk Yang Dicinta "Sudah kulakukan apa yang harus kulakukan. Semuanya hanya untukmu. Untuk masa depan kita!' ujar lelaki itu seraya mengelus perut wanita pujaannya yang terlihat mulai mengembang diusia 4 bulan kehamilannya. "Ya. Aku sudah mendengarnya. Itu membuatku lebih tenang. Satu batu penghalang sudah disingkirkan. Kita bisa lanjutkan perjalanan dengan lebih nyaman. Meskipun harus lebih sabar karena butuh waktu untuk mencapai tujuan." tutur wanita di depannya dengan suara lembut. Batu yang didudukinya terasa basah oleh aliran air sungai, tapi ia tak perduli. Pun saat pakaian longgar yang membungkus tubuhnya juga sudah kuyup di bagian bawahnya. Ia hanya sedang menanti saat yang tepat. "Aku tak perduli, harus berapa lama lagi menunggumu dan bayi kita untuk bersatu! Aku akan selalu setia. Menjagamu dan bayi kita. Aku tidak akan rela membiarkanmu merasa takut dan khawat

    Last Updated : 2021-10-26
  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 7. SETELAH SEKIAN LAMA TERPISAH

    Bab 7. SETELAH SEKIAN LAMA TERPISAH17 tahun berlalu...Jelang sore, Seorang gadis berparas cantik dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu yang tampak lusuh dipenuhi coretan pilox bahkan tas kain dan sebagian rambut panjangnya juga tak luput dari semprotan pilox warna oranye, tampak berdiri di depan gerbang besi setinggi hampir dua meter di pinggir jalan raya yang selalu tampak ramai lalu lintasnya, karena rumah mewah itu memang berada di tengah-tengah kota Kabupaten. Dari sela-sela jeruji gerbang ia dapat melihat sebuah bangunan rumah megah bertingkat di dalam pagar yang tampak sepi tak berpenghuni. Di halaman luas ia juga melihat sebuah truk besar dengan gambar gunungan wayang berwarana emas terlukis di bak papan berwarna dasar merah menyala, di sebelah truk, dan sebuah mobil sedan keluaran terbaru berwarna abu-abu metalik. Tepat di luar pagar, sebuah papan nama berukuran lumayan besar dengan tulisa

    Last Updated : 2021-11-24
  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 8. PENGAKUAN YANG MENGEJUTKAN

    Lintang terbeliak tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya. Pandangannya seolah melekat pada sosok muda berwibawa dengan setelan resmi yang tengah berkonsentrasi pada ramainya lalu lintas di lajur jalan yang mereka lalui.Ayah kandungnya?? Lelaki yang terlihat masih berusia sekitar 23 - 25 tahun itu mengaku bahwa ia adalah ayah kandungnya. Sementara ia sendiri, beberapa bulan ke depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 18. Telinganya yang salah dengar apa otak lelaki itu yang sinting?Narendra melirik sorot tak percaya sekaligus bingung yang terpancar di mata putrinya yang melotot ke arahnya. Yah tentu saja. Tak ada satupun orang yang akan percaya jika ia mengaku telah berusia 43 tahun. Penampilannya memang terlihat seolah masih berusia 25 tahun.Tubuhnya seolah berhenti berproses untuk menua seiring usianya semenjak ia menelan mustika Panji Anom yang telah didapatkannya usai

    Last Updated : 2021-11-26
  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 9. MENEMUKAN JALAN UNTUK PULANG

    Bab 9. Menemukan Jalan Untuk Pulang.Narendra segera memanggil pelayan rumah makan. Setelah meminta pelayan untuk membungkus semua pesanan yang nyaris tak tersentuh, membayar sekaligus memberi tip pada pelayan itu, Narendra mengajak Lintang keluar. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang, biar kamu tidak terlambat bekerja nanti!" ajak Narendra sebelah tangan menenteng tas berisi aneka makanan yang tadi mereka pesan, sementara tangan yang lain memeluk bahu Lintang, membimbingnya lembut keluar dari rumah makan yang tampak mulai terisi hampir disemua mejanya. Beberapa pasang mata mengunjung tampak memandang keduanya dengan pandangan ingin tahu dan bisik-bisik antar sesama pengunjung yang datang bersama setelah mereka mengenali sosok sang Dalang. "Baiklah, kemana aku harus mengantarmu?" tanya Narendra setelah mereka sudah berada dalam mobil dan bersiap untuk menj

    Last Updated : 2021-11-29
  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 10. NIGHTCLUBS' STAR

    Bab 10. NIGHT CLUBS STAR Jaya memasuki pelataran parkir sebuah bangunan ruko mewah di sudut kota. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi area parkir yang baru saja mereka masuki justru semakin padat. Beberapa motor dan mobil tampak mulai memadati area parkir. "Mau ke mana kita, Non?" tanya Jaya bingung saat dilihatnya Gendis sang putri majikan yang sudah bersiap-siap untuk turun dari sedan yang dikemudikannya. Lalu ia tergesa mengikuti langkah Gendis yang melenggang dengan stelan celana capri dan tanktop putih yang dilapisi jaket kulit hitam sepanjang pinggul yang menempel pas di tubuhnya. "Aku mau masuk ke sana, Jaya! Cuma aku, bukan kita. Kamu, tetap di mobil" perintah Gendis tanpa menoleh, kaki jenjangnya yang terbungkus boots kulit melangkah ringan diatas paving menuju salah satu ruko yang tampak temaram dengan minimnya penerangan. Tapi terlihat ramai oleh pengunjung.

    Last Updated : 2021-12-01
  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 11. LELAKI YANG BERBEDA

    Bab 11. LELAKI YANG BERBEDA Lintang berusaha menyelesaikan lagu terakhirnya dengan susah payah, setelah tanpa sengaja pandangan matanya beradu dengan pasangan muda-mudi yang tengah asyik berdansa dengan tubuh yang seolah melekat satu sama lain. Sang pemudi, adalah Gendis, teman satu sekolahnya yang sangat populer. Di samping karena wajahnya yang cantik dengan penampilannya yang modis, ia juga dikenal sebagai anak orang kaya raya yang selalu dikelilingi teman-temannya yang bertingkah bak dayang-datang baginya. Sementara pasangan dansanya adalah kakak kelas mereka yang dulu pernah menjabat sebagai ketua OSIS saat ia dan Gendis masih sama-sama duduk di kelas X, yang menurut informasi yang Lintang dengar, pasangan dansa Gendis itu adalah putra bungsu sang Bupati. Lintang selalu mengingat sosok itu walau dalam keremangan, karena sejak ia duduk di kelas XI, pemuda it

    Last Updated : 2021-12-03

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 69. WANITA YANG TAK PERNAH MERASA PUAS

    Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer jaraknya dari pesisir pantai tempat Gendis dan Jaya menghabis kan waktu untuk menghibur diri, Wulansari pun tengah menikmati malam panasnya bersama seorang pemuda tampan dengan tubuh terpahat indah hasil latihan rutin selama beberapa waktu di pusat kebugaran yang kini mulai marak dibangun di kota kabupaten tempat tinggalnya.Pemuda dengan paras dan bentuk tubuh yang selalu akan membuat wanita merasa bergairah saat bersama itu adalah yang Wulansari sebut sebagai mainan barunya, yang akhir-akhir ini telah membuatnya melayang dan melupakan keberadaan Jaya yang sudah sejak beberapa tahun lalu menghangatkan ranjang tidurnya.Semenjak berkenalan dengan pemuda itu di sebuah pusat kebugaran yang ia datangi bersama seorang teman perias yang tampaknya sudah lebih dahulu mengenal kisah indah yang lain di balik suramnya kisah pernikahan sah yang sudah mereka jalani sebelumnya.Wulansari merasa seperti menemukan surganya yang baru setelah mengenal dan memp

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 68. PENGHIBURAN UNTUK NONA MUDA YANG SEDANG GUNDAH

    Menuruti kemauan Gendis yang masih saja terlihat murung selama perjalanan, Jaya mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke daerah pesisir yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari tengah kota kabupaten tempat tinggal mereka."Kenapa nyari tempat bersedihnya mesti ke pantai sih Non, kan jauh? Kenapa kita gak pergi ke puncak saja? Cukup setengah jam perjalanan. Gak capek, gak bosan di jalan..?""Jaya... Diam! Kamu cuma sopir, aku majikannya! Jadi jangan banyak protes, aku mau ke pantai sekarang juga!" bentak Gendis kesal wajah sedihnya seketika berubah judes dengan pandangan mata melotot ke arah Jaya.Sambil menelan ludah, akhirnya Jaya mengangguk juga. Selama beberapa saat pandangannya hanya lurus terfokus di jalanan yang mulai sepi meninggalkan keramaian kota jauh di belakang mereka. "Sepi sekali... boleh setel musik kan, Non?" tanyanya memecah kebisuan.Beberapa detik tak ada jawaban. Jaya melirik ke kursi samping yang diduduki Gendis. Dari sudut matanya ia melihat gadis itu terliha

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 67. KONFERENSI PERS

    Tanpa terasa, tibalah hari yang sudah dinantikan Narendra, yaitu hari Ulang tahun Lintang yang ke 19.Jam 11 pagi, sesuai dengan jadwal acara yang sudah diatur oleh Narendra dengan bantuan Wage dan beberapa orang temannya, acara tasyakuran untuk memperingati hari kelahiran Lintang sengaja di adakan di rumah makan langganan tempat kejadian kericuhan beberapa hari sebelumnya.Untuk acara ini Narendra juga mengundang keluarga Bupati dan beberapa orang penting yang sudah sangat akrab dengan Ki Dalang Narendra, juga Kepala Desa dan tim pengacara dari firma hukum yang ia sewa. Selebihnya adalah teman-teman Lintang.Karena pada acara itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi tentang kejadian memalukan beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan berita tak sedap dan menghebohkan itu menjadi tajuk utama di hampir seluruh koran terbitan lokal dan nasional sehingga Narendra dengan bantuan tim pengacaranya juga mengundang banyak wartawan di acara tersebut.Tepat di jam setengah 12 siang, pada saat

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 66 MENGURAI KERUWETAN

    Atas pesan Narendra yang sekarang tinggal bersamanya, Lintang mengantarkan sendiri minuman dan suguhan untuk tamu ayahnya itu ke ruang kerja ayahnya.Dua orang tamu dengan setelan resmi tampak duduk berseberangan dengan Narendra. Ketiganya tampak berbicara serius mengenai hal-hal yang berhubungan dengan legalitas hukum. Lintang sudah hampir keluar dari ruangan ayahnya setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat dan camilan ringan, ketika Narendra menghentikan langkahnya dan menyuruhnya untuk berdiri di dekat kursi yang ia duduki."Ini putri kandung saya dari istri pertama. Namanya Lintang Prameswari. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Saya ingin melegalkan semua aset pribadi saya untuk dia. Karena saya tidak ingin putri saya ini mengalami kesulitan yang mungkin akan mendatanginya, sehubungan dengan warisan kelak dikemudian hari.Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Pak Suprapto kemarin bahwa aset milik bersama dengan istri ke dua saya sudah saya berikan semua untuk ist

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 65. ENJOY A VERY HOT CLIMAX

    "Istirahatlah, Non. Biarkan saya memanjakan milik Non Gendis yang sangat berharga ini. Apa saya perlu meminta air hangat untuk mengompresnya? Untuk meredakan nyeri setelah menelan milik saya tadi, hmmm?""Tidak, cukup bersihkan saja. Aku merasa tidak nyaman dengan rasa lengketnya.""Baiklah, biar saya urus bagian itu. Saya sangat tersanjung bisa melakukannya untuk Non Gendis.""Heeem.." Dan sesudahnya, Gendis sudah tak lagi memperdulikan apapun karena ia sudah diterbangkan impian indah setelah raganya merasakan kelelahan teramat sangat karena sudah berpacu bersama Jaya demi mencapai puncak klimaks tertinggi tadi.Sementara Jaya yang benar-benar berusaha mempergunakan kesempatan terbaik yang ia dapatkan malam ini dengan menjelajahi, menjamah bahkan menguasai walau sesaat hal yang sebelumnya tak pernah sekalipun berani ia impikan ataupun menyapa alam khayalnya. Yaitu tubuh molek sang Nona Muda.Baginya, dapat menyentuh kulit mulus gadis cantik yang di matanya seperti seorang Dewi, apala

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 64. TERBAKAR GAIRAH LIAR NONA MUDA

    Perlahan Jaya mulai mengoleskan minyak zaitun ke atas kulit punggung mulus Gendis yang sudah terbaring dalam posisi menelungkup di pinggiran ranjang dan perlahan, dengan tekanan yang pas dia mulai mengurutnya. Usapan telapak tangannya yang hangat segera saja berhasil membuat otot-otot tubuh Gendis yang semula menegang, perlahan menjadi rileks.Seperempat jam kemudian, hampir seluruh tubuh bagian belakang milik Gendis sudah berbalur minyak zaitun, dari mulai punggung hingga ke telapak kaki. Gendis pun sudah terlihat menikmati setiap belaian dengan tekanan terukur telapak tangan Jaya pada tubuhnya.Dengan menahan gejolak hasratnya, Jaya sengaja berlama-lama memberikan treatment di bagian bok*ng milik Gendis yang terasa padat, dengan bentuk membulat yang begitu menggoda.Gendis juga terlihat menikmati segala perlakuan Jaya di bagian tubuhnya yang sintal itu. Meskipun secara sengaja kadang-kadang jemari Jaya nyasar dengan nakalnya menyentuh bagian tersembunyi di belahan pant*tnya. Bahkan

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 63. SERANJANG DENGAN JAYA DEMI MENDAPATKAN DIRGA

    "Cari tempat menginap yang aman, Jaya! Kurasa sudah tidak ada jalan lain, selain mengikuti ide gila yang kau usulkan dulu!" ujar Gendis tiba-tiba setelah beberapa menit duduk diam tak bersuara dengan wajah merah padam karena amarah."Menginap, Non? Tapi beberapa tikungan lagi kita sampai di rumah?" jawab Jaya bingung."Kalau begitu putar balik, Bodoh!" sentak Gendis tak sabar."Baik, Non!" Jaya langsung memutar mobil yang dikemudikannya begitu menemukan jalur untuk memutar. Waktu yang hampir mendekati tengah malam membuat jalanan menjadi lengang dan memudahkan Jaya untuk segera putar balik arah menjauhi pusat kota. "Mau menginap dimana, Non?""Mana aku tahu, Tolol! Kau pikir aku sudah pengalaman dengan hal begituan? Kamu pikirkan saja tempat yang cocok, bukankah kamu sering pergi ke tempat-tempat seperti yang aku maksud dengan ibuku? Yang jelas tepat yang agak jauh agar tidak ada yang mengenali kita, bersih dan nyaman. Pastikan kita aman berada di sana!" perintah Gendis yang langsung

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 62. TAK LAGI TERMAKAN HASUTAN

    Gendis langsung memerintahkan Jaya untuk mendatangi rumah dinas Bupati setelah menerima kabar tentang keberadaan Dirgantara. Dengan binar bahagia di pandangan matanya, serta senyum kemenangan yang hampir tidak berhasil ia sembunyikan dari bibirnya membuatnya menjadi tidak sabar untuk melihat ekspresi kecewa dari Dirgantara setelah melihat gambar besar yang termuat di halaman depan surat kabar lokal yang tergeletak manis di atas pangkuannya itu. Bayangkan saja, saat seseorang yang tiba-tiba datang dan memberi kabar tak terbantahkan tentang perselingkuhan kekasihnya dengan seorang yang lebih pantas menjadi ayah ataupun pamannya. Apalagi spot foto yang terpampang di halaman depan koran itu menunjukkan kemesraan menjijikkan yang dipertontonkan di muka umum oleh seorang Dalang terkenal yang seharusnya jadi panutan bersama seorang gadis remaja yang terlihat sekali kalau usianya masih sangat muda. Mereka tertangkap kamera wartawan dalam keadaan saling berpelukan di tempat umum. Ini akan

  • PEMBALASAN DENDAM SANG PUTRI SINDEN   Bab 61. BERAKHIRNYA SEBUAH PERJANJIAN YANG MERANTAI KEBEBASAN

    Wulansari segera menemui suaminya yang baru saja memasuki kamar pribadinya saat hari sudah gelap. Di tangannya tergenggam selembar surat kabar terbitan sore tadi yang memuat berita tentang keributan yang terjadi di salah satu rumah makan ternama di kotanya yang melibatkan suami dan putrinya, Gendis."Apa ini, Kang?" tanyanya seraya melemparkan surat kabar yang sudah lecek ke arah Narendra.Dengan ketenangan luar biasa, Narendra mengambil gulungan surat kabar itu, membuka pada halaman depan dan membacanya sekilas. Ekspresi wajahnya masih sedatar ubin marmer yang tengah ia pijak di bawah kakinya. Datar dan dingin."Bisa jelaskan padaku?" tuntut Wulansari seraya melipat kedua lengannya di dada. Sorot matanya terlihat membara oleh api kemarahan."Semua sudah terlihat jelas di situ!" sahut Narendra datar, "Meskipun tidak semua keterangan yang diberitakan wartawan itu benar, tapi kejadiannya memang sepenuhnya benar. Bukankan ada foto yang membuktikan kebenarannya?" jawabnya tenang."Jadi be

DMCA.com Protection Status